Penulis: Suzanne Collins
Bab 26
KULUDAHKAN buah-buah berry dari mulutku, mengelap lidah dengan
ujung kausku untuk memastikan tidak ada cairan berry yang menempel. Peeta
menarikku ke danau, di sana kami membasuh mulut kami dengan air lalu ambruk
berpelukan.
"Kau tak menelannya kan?" aku bertanya padanya.
Peeta menggeleng. "Kau?"
"Kurasa aku sudah mati kalau ada yang tertelan,"
kataku.
Aku bisa melihat bibirnya bergerak untuk menjawab, tapi aku
tidak bisa mendengarnya di antara gemuruh raungan penonton di Capitol yang
mereka perdengarkan langsung ke arena melalui pengeras suara.
Pesawat ringan muncul diatas kepala dan dua tangga turun,
hanya saja tak mungkin aku melepaskan Peeta. Satu tanganku masih merangkulnya
ketika aku membantunya naik dan kami berdua menaruh satu kaki di anak
tanggapaling bawah. Arus listrik membuat kami membeku ditempat dan aku lega
karena aku tidak yakin Peeta sanggup bertahan sepanjang perjalanan. Karena kami
bisa memandang ke bawah sementara otot-otot kami tak bisa bergerak, aku bisa
melihat darah mengalir keluar dari kaki Peeta. Tidak heran ketika pintu menutup
di belakang kami dan arus listrik itu berhenti, Peeta langsung tak sadarkan
diri dilantai.
Jemariku masih memegang bagian belakang jaketnya kuat-kuat
sehingga ketika mereka menariknya pergi, di tanganku terenggut segenggam kain
hitam. Dokter dengan pakaian steril putih, bermasker dan sarung tangan, sudah
siap untuk mengoperasi Peeta dan langsung beraksi. Peeta tampak begitu pucat
dan tenang di atas meja perak, berbagai tabung dan kabel mencelat dari berbagai
sisi tubuhnya.
Sesaat aku lupa kami sudah tidak lagi berada di Hunger Games
dan aku melihat para dokter sebagai salah satu ancaman lain, sekawanan aku
ditangkap dan ditarik ke ruangan lain, pintu kaca menutup diantara kami.
Kugedor-gedor pintu kaca, berteriak sekuat-kuatnya. Semua orang mengabaikanku
kecuali beberapa pelayan Capitol yang muncul dari belakangku dan menawariku
minum.
Aku terduduk di lantai, wajahku menghadap pintu, memandangi
gelas kristal di tanganku. Sedingin es, terisi jus jeruk, sedotan dengan
rumbai-rumbai putih. Betapa tidak pasnya benda ini berada di tanganku yang
berdarah, kotor dengan kuku-kuku penuh tanah dan bekas-bekas luka. Mulutku
langsung mengeluarkan liur mencium aroma yang nikmat, tapi kutaruh gelas itu
dengan hati-hati ke lantai, aku tidak percaya pada sesuatu yang tampak begitu
bersih dan cantik.
Melalui pintu kaca, aku melihat para dokter bekerja giat
mengobati Peeta, alis mereka bertautan ketika berkonsentrasi. Aku melihat
cairan dipompakan ke tubuhnya melalui tabung-tabung, mengamati deretan tombol
dan lampu yang tak berarti apa-apa bagiku. Aku tidak yakin, tapi kupikir
jantungnya berhenti dua kali.
Aku serasa berada di rumah lagi, ketika mereka membawa tubuh
korban yang hancur karena ledakan tambang, atau wanita yang sudah tiga hari
menunggu persalinannya yang tak kunjung tiba, atau anak kelaparan berusaha
melawan pneumonia sementara ibuku dan Prim menunjukan ekspresi yang sama
seperti para dokter itu. Sekarang saatnya untuk berlari ke hutan, bersembunyi
di antara pepohonan sampai si pasien itu sudah lama tewas dan di bagian lain
Seam peti mati sedang dibuat.
Tapi aku tertahan di sini dengan dinding-dinding pesawat
ringan dan kekuatan yang sama yang menahan orang-orang yang mencintai mereka
yang di ambang batas maut. Entah sudah berapa kali aku melihat mereka,
mengelilingi meja dapur kami dan aku pikir, Kenapa mereka tak pergi? Kenapa
mereka tetap tinggal untuk melihat? Dan sekarang aku tau. Itu karena kau tak
punya pilihan. Aku terkejut ketika melihat ada yang memandangku dalam jarak
beberapa sentimeter, lalu aku tersadar bahwa aku sedang melihat wajahku sendiri
yang terpantul di kaca. Tatapan mata yang liar, pipi yang cekung, rambut kusut.
Ganas. Buas. Gila. Tidak heran semua orang menjaga jarak aman denganku.
Selanjutnya yang kutahu kami mendarat diatap Pusat Latihan,
mereka membawa Peeta tapi meninggalkanku di belakang pintu. Kubenturkan tubuhku
ke kaca sambil menjerit-jerit. Kupikir sekilas aku melihat bayangan rambut pink—pasti
rambut Effie, pasti Effie datang menyelamatkanku—ketika jarum suntik menusukku
dari belakang.
***
Ketika aku terbangun, mulanya aku takut bergerak. Seluruh
langit-langit berbinar dengan sinar kuning lembut membuatku bisa melihat bahwa
aku berada di kamar yang di dalamnya hanya ada ranjangku.Tidak tampak pintu
atau jendela. Ada bau menyengat dan bau antiseptik di udara. Di lengan kananku
ada beberapa slang yang menjulur hingga ke dinding di belakangku. Aku
telanjang, tapi seprai terasa nyaman di kulitku. Ragu-ragu aku mengangkat
tangan kiriku diatas selimut. Tidak hanya tanganku sudah digosok hingga bersih,
kuku-kukunya-pun sudah dibentuk menjadi oval sempurna, bekas luka bakarnya tak
tampak terlalu kentara lagi.
Kusentuh pipiku, bibirku, luka lama di atas alisku dan
jemariku baru saja menyentuh rambutku yang halus ketika aku tercekat.
Takut-takut aku menyentuh rambut di dekat telinga kiriku. Bukan, ini bukan
ilusi. Aku bisa mendengar lagi.
Aku berusaha bangkit dan duduk, tapi ada semacam pengikat yang
menahan tubuhku di sekitar pinggang sehingga aku hanya bisa bangkit tak lebih
dari beberapa sentimeter. Tubuhku yang tertahan ini membuatku panik dan aku
berusaha bergerak duduk, menggoyang-goyangkan pahaku keluar dari pengikat
ketika ada bagian dinding yang terbuka dan gadis Avox berambut merah melangkah
masuk membawa nampan.
Melihatnya membuatku tenang dan aku berhenti mencoba
melepaskan diri. Aku ingin menanyakan jutaan pertanyaan padanya, tapi aku takut
jika aku kelihatan mengenalinya dia malah akan kena bahaya. Saat ini tentu aku
diawasi secara ketat. Dia menaruh nampan diatas pahaku dan menekan sesuatu yang
membuat ranjangku bergerak hingga aku dalam posisi duduk. Ketika dia mengatur
bantal-bantalku, aku memberanikan diri mengajukan satu pertanyaan. Kutanyakan
pertanyaan itu dengan lantang, selantang yang bisa kuucapkan dengan suara
serakku, jadi tak tampak ada rahasia.
"Apakah Peeta selamat?"
Gadis itu mengangguk. Lalu dia menyelipkan sendok ke tanganku
dan aku merasakan tekanan persahabatan darinya. Kurasa dia tidak mengharapkan
aku mati. Dan Peeta berhasil selamat. Tentu saja, dia selamat. Dengan segala
peralatan canggih dan mahal yang ada di tempat ini. Tapi, aku tidak pernah
yakin sampai saat ini.
Ketika si Avox pergi, pintu menutup tanpa suara dibelakangnya
lalu aku menyerbu isi nampan dengan rakus. Semangkuk kuah daging yang jernih,
sedikit saus apel dan segelas air. Cuma ini? pikirku geram. Bukankah makan
malam menyambut kepulanganku seharusnya lebih spektakuler? Tapi ternyata aku
harus susah payah menghabiskan sedikit makanan yang tersaji di depanku.
Lambungku sepertinya menyusut hingga seukuran kacang, sehingga aku
bertanya-tanya sudah berapa lama aku pingsan karena tak sulit bagiku makan
sarapan lumayan banyak tadi pagi di arena pertarungan.
Biasanya ada jeda beberapa hari antara akhir pertarungan dan
tampilnya pemenang, agar mereka bisa mengembalikan pemenang, yang kelaparan,
terluka dan kacau hingga utuh lagi. Entah dimana, Cinna dan Portia akan membuat
pakaian untuk penampilan kami di depan umum. Haymitch dan Effie akan mengatur
pesta untuk para sponsor kami, meninjau pertanyaanpertanyaan untuk
wawancara-wawancara akhir kami. Di kampung halaman, distrik 12 mungkin dalam
kondisi kacau karena mereka berusaha mengatur pesta penyambutan untuk aku dan
Peeta, mengingat pesta penyambutan terakhir diadakan hampir tiga puluh tahun
lalu.
Rumah, Prim dan ibuku, Gale. Bahkan memikirkan kucing tua
budukan milik Prim saja membuatku tersenyum. Tak lama lagi aku akan pulang ke
rumah. Aku ingin turun dari ranjang ini. Melihat Peeta dan Cinna, mencari tau
apa yang terjadi. Dan kenapa aku tak boleh melakukannya? Aku merasa sehat. Tapi
ketika aku berusaha melepaskan diri dari ikatan, aku merasakan cairan dingin
masuk ke pembuluh darahku dari salah satu slang dan seketika aku hilang
kesadaran.
Ini terjadi beberapa kali dalam waktu yang tak bisa kuhitung.
Aku bangun, makan, meskipun aku berusaha menolak dengan turun dari ranjang, aku
tak sadarkan diri lagi. Seakan-akan aku berada dalam senja yang aneh dan tak
berkesudahan. Hanya beberapa hal yang kuingat.
Gadis Avox berambut merah tak pernah datang lagi sejak
membawakanku makanan, bekas luka-lukaku mulai menghilang dan apakah aku cuma
mengkhayalkannya? Atau apakah aku mendengar laki-laki berteriak? Bukan dengan
aksen Capitol, tapi dengan irama aksen dirumah yang lebih kasar. Dan aku tak
bisa tidak merasakan perasaan menenangkan yang samar bahwa ada seseorang yang
menjagaku.
Akhirnya, tiba waktunya ketika aku sadar dan tak ada slang
yang menempel di lengan kananku. Ikatan penahan dibagian tengah tubuhku juga
sudah lepas dan aku bebas bergerak kemanapun. Aku mulai duduk tapi terpukau
melihat kedua tanganku. Kulitku tampak sempurna, halus dan berkilau. Tak hanya
luka-luka di arena yang hilang, tapi luka-luka yang terkumpul selama beberapa
tahun berburu telah lenyap tanpa bekas. Dahiku selembut satin dan ketika aku
berusaha mencari bekas luka dibetisku, aku tidak bisa menemukannya.
Kuturunkan kakiku dari ranjang, gelisah membayangkan bagaimana
kakiku sanggup menahan beratku, tapi ternyata kakiku kuat dan mantap. Di kaki
ranjang ada pakaian yang membuatku tersentak. Itu pakaian yang dikenakan semua
peserta di arena. Kupandangi pakaian itu begitu lama seakan pakaian itu punya
gigi, sampai aku ingat bahwa pakaian ini yang akan kupakai untuk menyambut
timku.
Aku mengenakan pakaian dalam waktu kurang dari semenit dan
berdiri gelisah di depan dinding yang kutau ada pintu disana bahkan jika aku
tidak bisa melihatnya dan mendadak pintu itu terbuka. Aku melangkah ke lorong
lebar dan kosong yang tampaknya tak ada pintu lain disana. Tapi seharusnya ada
pintu. Dan dibalik salah satu pintu pasti ada Peeta. Sekarang aku sadar dan
bergerak, makin lama merasa makin gelisah memikirkannya. Dia pasti baik-baik
saja atau gadis Avox itu takkan mengatakannya.
"Peeta," aku berseru, karena tak ada seorangpun yang
bisa kutanyai.
Aku mendengar namaku dipanggil, sebagai jawabannya, tapi bukan
suara Peeta. Suara itu menimbulkan kekesalan dan keingintahuan. Effie.
Aku menoleh dan melihat mereka semua menunggu di ruangan besar
di ujung lorong, Effie, Haymitch dan Cinna. Kakiku melangkah tanpa ragu.
Mungkin pemenang harus menunjukkan lebih banyak menahan diri, superioritas,
terutama saat dia tau ini akan direkam kamera, tapi aku tak peduli. Aku berlari
ke arah mereka dan bahkan akupun terkejut ketika pertama-tama aku berlari ke
pelukan Haymitch.
Ketika dia berbisik ditelingaku, "Kerja bagus,
sweetheart," nadanya tak terdengar sarkastik.
Effie tampak berkaca-kaca sambil menepuk-nepuk rambutku dan
berbicara tentang bagaimana dia mengatakan pada semua orang betapa hebatnya
kami.
Cinna memelukku erat dan tak mengatakan apa-apa. Lalu
kuperhatikan Portia tak bersama kami dan aku jadi punya firasat buruk.
"Dimana Portia? Apakah dia bersama Peeta?" tanyaku
tanpa henti. "Peeta baik-baik saja kan? Maksudku, dia masih hidup
kan?"
"Dia baik-baik saja. Hanya saja mereka ingin kalian
melakukan reuni kalian langsung di upacara," kata Haymitch.
"Oh. Karena itu," kataku. Saat mengerikan ketika
memikirkan Peeta tewas kembali berlalu. "Kurasa aku hanya ingin melihatnya
sendiri."
"Pergilah dengan Cinna. Dia harus menyiapkanmu,"
kata Haymitch.
Lega rasanya bisa berduaan dengan Cinna, merasakan lengannya
yang melindungi di bahuku ketika dia membawaku menjauh dari kamera, melewati
jalan dan menuju elevator yang menuju lobi Pusat Latihan. Rumah sakit berada
jauh di bawah tanah, bahkan di bawah gym tempat para peserta berlatih.
Jendela-jendela lobi digelapkan dan beberapa penjaga berdiri berjaga-jaga.
Tidak ada orang lain di sana yang mengantar kami menyebrang menuju elevator
peserta. Langkah-langkah kaki kami bergema dalam ruangan kosong. Dan ketika
kami naik menuju lantai dua belas, semua wajah peserta yang takkan pernah
kembali melintas di benakku, membuat dadaku berat dan sesak.
Ketika pintu elevator terbuka, Venia, Flavius dan Octavia
mengerubungiku, bicara sangat cepat dan girang hingga aku tidak bisa mengerti
apa yang mereka ocehkan. Tapi perasaan mereka amat jelas. Mereka sungguh
bahagia melihatku dan aku juga bahagia bertemu mereka, meskipun kadarnya tak
seperti kebahagiaanku melihat Cinna. Rasanya lebih seperti seseorang yang
merasa gembira bisa melihat tiga binatang peliharaannya pada akhir hari yang
sulit.
Mereka membawaku menuju ruang makan dan di sana aku mendapat
makanan sungguhan—daging sapi panggang, kacang polong dan roti lembut—walaupun
porsi makananku masih sedikit dikontrol, karena ketika aku minta tambah, mereka
menolak memberikannya.
"Tidak, tidak, tidak. Mereka tak ingin semua makanan ini
keluar lagi di panggung," kata Octavia, tapi diam-diam dia menyelipkan
roti tambahan untukku di bawah meja agar aku tau dia mendukungnya.
Kami kembali ke kamarku dan Cinna menghilang sejenak ketika
tim persiapannya menyiapkanku.
"Oh, mereka melakukan poles satu badan penuh
padamu," kata Flavius dengan nada iri. "Tak ada cacat sedikitpun di
kulitmu."
Tapi ketika aku melihat tubuh telanjangku di cermin, aku hanya
melihat betapa kurusnya diriku. Maksudku, aku yakin kondisiku pasti lebih buruk
ketika aku keluar dari arena, tapi saat ini aku bisa menghitung jumlah rusukku
dengan mudah. Mereka membereskan pengaturan air pancuran untukku dan mereka
menata rambutku, kukuku dan makeup-ku ketika aku selesai. Mereka bicara tanpa
henti hingga aku tak perlu menjawab mereka, yang menurutku bagus karena aku
merasa tak kepingin bicara.
Lucu sebenarnya, karena walaupun mereka berceloteh tentang
Hunger Games, semua yang mereka bicarakan adalah tentang dimana mereka berada
atau apa yang sedang mereka lakukan atau bagaimana perasaan mereka ketika suatu
peristiwa khusus terjadi.
"Aku masih berbaring di ranjangku"
"Aku baru menyemir alisku"
"Berani sumpah aku nyaris pingsan"
Segalanya tentang mereka, bukan anak-anak lelaki dan perempuan
yang tewas di arena. Kami tidak bicara tentang Hunger Games di Distrik 12.
Disana kami mengatupkan gigi dan menontonnya karena kami harus melakukannya
lalu berusaha kembali melakukan kegiatan kami sesegera mungkin setelah
tanyangan itu usai. Kata-kata mereka hanya masuk kuping kiri keluar kuping
kanan, untuk menjaga diriku agar tak membenci tim persiapanku ini.
Cinna masuk membawa gaun kuning sederhana di kedua lengannya.
"Apakah kau sudah menyerah dengan segala konsep 'gadis
yang terbakar' itu?" tanyaku.
"Menurutmu bagaimana," kata Cinna dan dia memakaikan
gaun itu dari atas kepalaku.
Aku segera menyadari ada sumpalan di bagian dadaku, menambah
lekuk-lekuk di tubuhku yang hilang akibat kelaparan. Kedua tanganku memegang
dadaku lalu aku mengernyitkan dahi.
"Aku tau," kata Cinna sebelum aku bisa protes.
"Tapi para Juri Pertarungan ingin mengubah bentuk tubuhmu dengan operasi.
Haymitch ribut besar dengan mereka karena hal ini. Pakaian ini adalah bentuk
kompromi." Dia menghentikanku sebelum aku bisa melihat bayangan diriku.
"Tunggu, jangan lupa sepatunya."
Venia membantuku memakai sandal kulit datar lalu aku berpaling
ke cermin. Aku masih 'gadis yang terbakar.' Kain yang halus ini berkilau
lembut. Bahkan gerakan samar di udara mengirimkan desiran ke sekujur tubuhku.
Kostum kereta tampak berkilauan sementara gaun wawancara terlalu malu-malu.
Dalam gaun ini, aku memberi ilusi seakan mengenakan cahaya lilin.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Cinna.
"Menurutku ini yang terbaik," kataku.
Ketika mataku berpaling dari kain yang berkelap-kelip, aku
terkejut. Rambutku tergerai, tertahan dengan ikat rambut sederhana, riasan
wajahku mengisi sudut-sudut tajam wajahku, kuteks bening menghias kukuku. Gaun
tanpa lengan ini terpusat di rusukku bukan di pinggangku, menghilangkan kesan
sumpalan pada bentuk tubuhku. Ujung gaun jatuh tepat di lututku. Sepatu tanpa
hak membuat orang bisa melihat sosokku yang sesungguhnya. Aku terlihat
sederhana, seperti anak perempuan.
Gadis muda. Paling banter empat belas tahun. Lugu. Tak
berbahaya. Ya mengejutkan, Cinna berhasil menampilkanku seperti ini padahal aku
baru saja menang Hunger Games. Ini adalah penampilan yang penuh perhitungan.
Tak ada satupun rancangan Cinna yang tak punya tujuan. Kugigit bibirku berusaha
mencari tau motivasinya.
"Kupikir tadinya lebih.. anggun," kataku.
"Kupikir Peeta akan lebih menyukai yang ini," jawab
Cinna hati-hati.
Peeta? Bukan, ini bukan tentang Peeta. Ini tentang Capitol,
para juri pertarungan dan penonton. Walaupun aku tidak memahami rancangan
Cinna, gaun ini mengingatkanku bahwa Hunger Games belumlah berakhir. Dan di
balik jawabannya yang sambil lalu ini, aku merasakan adanya bahaya. Sesuatu
yang tak bisa diungkapkan Cinna di depan timnya sendiri.
Kami masuk ke elevator menuju lantai tempat kami latihan.
Sudah jadi kebiasaan bagi pemenang dan tim pendukungnya untuk muncul dari bawah
panggung. Pertama tim persiapan, diikuti pendamping. Penata gaya. mentor. Dan
akhirnya sang pemenang. Tapi tahun ini, dengan dua pemenang yang memiliki
pendamping dan mentor yang sama, semua ini harus dipikirkan ulang. Aku berdiri
di ruangan temaram di bawah panggung.
Piringan logam baru sudah terpasang untuk membawaku ke atas.
Aku masih bisa mencium bau serbuk gergaji dan cat yang masih baru. Cinna
bersama tim persiapannya mengganti pakaian dan mengenakan kostum mereka sendiri
lalu mengambil tempat,meninggalkanku seorang diri. Dalam keremangan, aku
melihat dinding buatan yang jaraknya sekitar sepuluh meter dan aku menduga
Peeta ada di baliknya.
Sorak-sorai penonton sangat ribut, sehingga aku tidak
menyadari kehadiran Haymitch sampai dia menyentuh bahuku. Aku terlonjak,
terkejut, kurasa separuh pikiranku masih berada di arena pertarungan.
"Tenang, ini aku. Sini kulihat dulu," kata Haymitch.
Aku mengulurkan lenganku dan berputar sekali.
"Cukup bagus." Kata-katanya tak terdengar seperti
pujian.
"Tapi apa?" tanyaku.
Mata Haymitch memandangi ruang pengap diantara kedua tanganku
yang terbuka dan dia tampaknya mengambil keputusan. "Tapi tidak apa-apa.
Bagaimana kalau pelukan untuk keberuntungan?"
Oke, ini permintaan janggal dari Haymitch, tapi bagaimanapun
kami adalah pemenang. Mungkin pelukan untuk keberuntungan adalah wajib. Namun
ketika aku merangkulnya, aku merasa terperangkap dalam pelukannya. Dia mulai
bicara, sangat cepat, sangat pelan di telingaku, rambutku menutupi bibirnya.
"Dengar. Kau dalam masalah. Katanya Capitol murka karena
kau melawan mereka di arena. Mereka tak tahan ditertawai dan jadi bahan olokan
Panem," kata Haymitch.
Saat ini rasa takut mengalir di sekujur tubuhku, tapi aku
tertawa seakan-akan Haymitch mengatakan sesuatu yang menyenangkan karena tak
ada apapun yang menutupi mulutku. "Lalu apa?"
"Satu-satunya perlindunganmu adalah kau sedang kasmaran
dan tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakanmu." Haymitch mundur dan
memperbaiki ikat rambutku. "Jelas Sweetheart?"
Orang tak bisa menduga Haymitch bicara tentang apa.
"Jelas," kataku. "Kau sudah bilang pada Peeta
tentang ini?"
"Tidak perlu," sahut Haymitch. "Dia sudah
paham."
"Dan kaupikir aku tak paham?" tanyaku, sembari
menggunakan kesempatan ini untuk meluruskan dasi kupu-kupu merah cerah yang
pasti dipasangkan oleh Cinna dengan susah payah.
"Sejak kapan apa yang kupikirkan penting untukmu?"
tanya Haymitch. "Lebih baik kita bersiap-siap di posisi."
Dia membawaku ke lingkaran logam. "Ini malammu,
sweetheart. Nikmatilah." Dia mencium keningku lalu menghilang dalam
keremangan.
Kutarik rokku, berharap gaunku lebih panjang, berharap gaun
ini bisa menutupi lututku yang goyah. Lalu aku sadar tindakanku tak ada gunanya.
Seluruh tubuhku gemetar seperti daun. Aku berharap ini bisa diartikan sebagai
rasa grogi karena terlalu senang. Lagipula, ini kan malamku.
Bau apak dan lembab di bawah panggung membuatku tercekik.
Keringat dingin mengalir deras dan aku tak bisa menghalau pikiranku bahwa
papan-papan diatas kepalaku bakalan runtuh, menguburku. Ketika aku meninggalkan
arena, ketika trompet dimainkan, seharusnya aku merasa aman. Sejak saat itu.
Selama sisa hidupku. Tapi, jika yang dikatakan Haymitch benar, saat ini aku
berada ditempat yang paling berbahaya sepanjang hidupku.
Jauh lebih buruk daripada diburu di arena. Di sana aku paling
hanya tewas. Habis cerita. Tapi disini ada Prim, ibuku, Gale, penduduk Distrik
12, semua orang yang kusayangi bisa dihukum jika aku tidak bisa tampil sesuai
skenario sebagai gadisyang-sedang-jatuh-cinta-setengah-mati seperti yang
disarankan Haymitch. Tapi aku masih punya kesempatan.
Lucunya, di arena, ketika aku menuangkan buah-buah berry itu,
aku hanya berpikir untuk mempercundangi para Juri Pertarungan, tak memikirkan
bagaimana pengaruh tindakanku terhadap Capitol.
Tapi Hunger Games adalah senjata mereka dan kau tak seharusnya
mengalahkannya. Jadi sekarang Capitol akan bertindak seolah-olah mereka yang
mengontrol semua ini sepanjang waktu. Seakan mereka yang mengatur semua
kejadian ini, bahkan pada usaha bunuh diri bersama kami. Tapi hal itu hanya
akan berhasil jika aku bekerja sama dengan mereka.
Dan Peeta...
Peeta juga akan menderita jika semua ini gagal. Tapi tadi apa
kata Haymitch ketika aku bertanya apakah dia sudah memberitahu Peeta tentang
keadaan ini? Bahwa dia harus berpura-pura jatuh cinta?
"Tidak perlu. Dia sudah paham."
Sudah paham dan berpikir lebih maju daripada pikiranku dalam
Hunger Games dan menyadari betapa berbahayanya keadaan kami? Atau sudah paham
bahwa kami sedang jatuh cinta setengah mati? Aku tak tau. Aku belum
memilah-milah beragam perasaanku tentang Peeta. Semuanya terlalu rumit. Apa
yang kulakukan adalah bagian dari Hunger Games dan kebalikannya adalah
kemarahanku pada Capitol.
Atau karena aku memikirkan seperti apa tindakanku akan dilihat
oleh mereka di Distrik 12. Atau karena itu satu-satunya hal yang layak
dilakukan. Atau aku melakukannya karena aku menyayanginya.
Pertanyaan-pertanyaan ini harus kurenungkan lagi di rumah,
dalam hutan yang tenang dan damai, tanpa diawasi seorang pun. Bukan pada saat
ini ketika semua mata tertuju padaku. Tapi entah berapa lama aku bisa punya
kemewahan itu.
Dan saat ini, bagian paling berbahaya dari Hunger Games segera
dimulai.[]
No comments:
Post a Comment