Penulis: Suzanne Collins
Bab 7
Tidurku penuh dengan mimpi mengganggu. Wajah gadis berambut
merah itu berkelebat dengan bayangan mengerikan dari kilasan Hunger Games yang
dulu. Ibuku tampak meringkuk ngeri dan tak bisa kujangkau, sementara Prim
tampak kurus dan ketakutan. Aku menerjang memekik memanggil ayahku agar berlari
ketika tambang meledak memecah dalam jutaan cahaya mematikan.
Fajar merekah menembus jendela. Udara Capitol terasa berkabut
dan menakutkan. Kepalaku sakit dan aku pasti menggigit bagian dalam pipiku
ketika tidur. Lidahku meraba daging yang terbuka dan merasakan darah di sana.
Perlahan-lahan, aku menyeret tubuhku turun dari ranjang dan berjalan ke bawah
pancuran kamar mandi. Dengan asal-asalan aku memencet tombol di papan kendali,
akibatnya aku jadi melompat-lompat ketika semprotan air sedingin es dan panas
menusuk menyerangku. Kemudian aku bermandikan busa berlimpah beraroma jeruk
yang harus kusingkirkan dengan sikat berbulu. Oh, biarlah. Paling tidak darahku
mengalir lancar.
Setelah mengeringkan tubuh dan melembapkannya dengan losion,
aku menemukan pakaian yang sudah disediakan untukku di depan lemari. Celana
panjang hitam ketat, tunik ungu lengan panjang, dan sepatu kulit. Aku mengepang
rambutku menjadi satu kepangan besar yang dilepas di punggungku. Ini pertama
kalinya sejak pagi hari pemilihan aku mirip dengan penampilanku yang biasa.
Tidak ada pakaian mewah atau gaya rambut berlebihan, tidak ada jubah yang
berkobar.
Hanya aku. Penampilanku seperti hendak pergi ke hutan. Dan itu
membuatku tenang.
Haymitch tidak bilang jam berapa kami harus bertemu untuk
sarapan dan tak ada seorang pun yang menghubungiku pagi ini, tapi aku lapar
jadi aku berjalan menuju ruang makan, berharap ada makanan di sana. Aku tidak
kecewa. Meja makannya memang kosong, tapi meja panjang di dekat dinding berisi
paling tidak dua puluh jenis makanan. Seorang lelaki muda, kaum Avox, tampak
berdiri siaga. Saat kubertanya apakah aku boleh menyiapkan makananku sendiri,
dia mengangguk mengiyakan. Aku memenuhi piringku dengan telur, sosis, kue yang
dilapisi selai jeruk, sepotong melon ungu muda. Saat aku mengisi perut dengan
rakus, matahari terbit menyinari Capitol. Aku mengisi piring kedua dengan gandum
panas yang disiram rebusan daging sapi. Akhirnya, aku memenuhi piring dengan
roti dan duduk di meja, memecah-mecahkan roti dan mencelupkannya pada cokelat
panas, seperti yang dilakukan Peeta di kereta.
Pikiranku melayang pada ibuku dan Prim. Mereka pasti sudah
bangun. Ibuku menyiapkan bubur encer untuk sarapan. Prim memerah susu kambing
sebelum ke sekolah. Dua pagi yang lalu aku masih ada di rumah. Benarkah Ya, dua
pagi lalu. Dan kini rumah itu terasa kosong, bahkan dalam jarak sejauh ini. Apa
kata mereka tadi malam tentang penampilan perdanaku yang berapi-api dalam
pembukaan Hunger Games? Apakah penampilanku memberi mereka harapan, atau hanya
menambah ketakutan ketika mereka melihat kenyataan bahwa 24 peserta berkumpul
bersama, dan sadar cuma satu orang yang bakal hidup?
Haymitch dan Peeta masuk, menyapaku selamat pagi, mengisi
piring mereka. Aku kesal melihat Peeta memakai pakaian yang sama seperti yang
kupakai. Aku harus bicara dengan Cinna tentang ini. Tampil kembaran seperti ini
akan jadi masalah bagi kami setelah Hunger Games dimulai. Mereka pasti tahu
soal ini. Kemudian aku ingat kata-kata Haymitch agar melakukan apa yang
diperintahkan penata gaya.
Kalau bukan Cinna yang jadi penata gaya, aku mungkin bakal
tergoda untuk tidak memedulikannya. Tapi setelah kemenangan tadi malam, aku
tidak punya alasan untuk mengkritik pilihan-pilihannya. Aku tegang menghadapi
latihan. Akan ada waktu tiga hari bagi semua peserta untuk berlatih bersama.
Pada sore terakhir, kami berkesempatan untuk tampil dalam sesi pribadi di
hadapan para juri Hunger Games. Membayangkan pertemuan langsung dengan
peserta-peserta lain membuatku mual. Tanganku memutar-mutar roti yang kuambil
dari keranjang, tapi nafsu makanku sudah hilang.
Setelah menghabiskan beberapa piring rebusan daging sapi,
Haymitch mendorong piringnya sambil mendesah. Dia mengambil botol kecil dari
sakunya, meminum isi botolnya dengan lahap, lalu menyandarkan sikunya di meja.
"Ayo, kita bereskan urusan kita. Latihan. Pertama-tama, kalau kalian mau
aku bisa melatih kalian secara terpisah. Putuskan sekarang."
"Kenapa kau mau melatih kami secara terpisah?"
tanyaku.
"Yah, siapa tahu kau punya keahlian tersembunyi yang tak
ingin kauperlihatkan pada yang lain," kata Haymitch.
Aku bertukar pandang dengan Peeta.
"Aku tidak punya keahlian rahasia," ujar Peeta.
"Dan aku sudah tau apa keahlianmu, kan? Maksudku, aku banyak makan tupai
buruanmu."
Aku tak pernah membayangkan Peeta makan tupai yang kupanah.
Entah bagaimana aku selalu membayangkan tukang roti diam-diam membersihkan dan
menggoreng tupai-tupai itu untuk dimakan sendiri. Bukan karena dia rakus, tapi
karena keluarga-keluarga di kota biasanya makan daging mahal yang dijual tukang
daging. Daging sapi, ayam, dan kuda.
"Kau bisa melatih kami bersama," kataku pada
Haymitch.
"Aku tidak punya kemampuan apa-apa," sahut Peeta.
"Kecuali kau menghitung kemampuanku memanggang roti."
"Maaf, itu tidak dihitung. Katniss, aku tahu kau mahir
dengan pisau," kata Haymitch.
"Tidak juga. Tapi aku bisa berburu," kataku.
"Dengan busur dan panah."
"Apakah kau hebat?" tanya Haymitch.
Aku harus memikirkan jawabannya. Dengan berburu aku menyediakan
makanan di rumah selama empat tahun. Itu bukan urusan kecil. Aku tidak sehebat
ayahku, tapi dia memang lebih banyak latihan. Aku lebih jitu memanah dibanding
Gale, tapi aku lebih sering latihan dibanding dia. Gale piawai dalam membuat
jerat dan perangkap.
"Ya, lumayanlah," jawabku.
"Dia hebat sekali," sambar Peeta. "Ayahku
membeli tupai buruannya. Ayahku selalu berkomentar bahwa panahnya tak pernah
menembus daging tupai. Dia selalu memanah matanya. Sama seperti kelinci yang
dijualnya ke tukang daging. Dia bahkan bisa memburu rusa."
Aku terpana mendengar penilaian Peeta atas keahlian berburuku.
Pertama, karena dia memperhatikannya. Kedua, dia sedang memujiku.
"Apa-apaan sih?" tanyaku curiga.
"Bagaimana kau ini? Kalau dia akan harus membantumu, dia
perlu tahu apa saja keahlianmu. Jangan merendahkan dirimu sendiri," kata
Peeta.
Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya ada yang salah.
"Bagaimana denganmu? Aku pernah melihatmu di pasar. Kau
bisa mengangkat seratus kilogram tepung terigu," aku membentaknya.
"Katakan padanya. Itu bukannya tidak punya keahlian apa-apa."
"Ya, dan aku yakin arena pertarungan nanti bakal penuh
dengan kantong tepung terigu yang bisa kujejalkan ke orang-orang. Itu kan
bukannya keahlian menggunakan senjata. Kau pasti tahu," Peeta balas
membentak.
"Dia bisa bergulat," aku memberitahu Haymitch.
"Dia juara dua dalam pertandingan di sekolah kami tahun lalu, juara
satunya adalah kakaknya."
"Apa gunanya? Berapa kali kau melihat ada peserta yang
bergulat menghabisi lawannya?" tanya Peeta mengejek.
"Biasanya selalu ada perkelahian satu lawan satu. Hanya
dengan bersenjatakan pisau, kau masih punya kesempatan. Kalau aku disergap oleh
lawan, aku pasti mampus" aku bisa merasakan suaraku makin lama makin
terisi kemarahan.
"Tapi kau takkan mati. Kau akan memanjat pohon makan
tupai mentah dan menembaki lawan dengan panah. Kau tahu apa kata ibuku ketika
dia mengucapkan selamat tinggal padaku, seakan dia ingin menghiburku, dia
bilang mungkin Distrik Dua Belas akhirnya akan punya pemenang. Kemudian aku
sadar, yang dimaksud ibuku bukan aku, kaulah yang dimaksud ibuku' Peeta
menyemburkan amarahnya.
"Oh, maksudnya pasti kau," kataku sambil mengibaskan
tangan tak peduli.
"Ibuku bilang, 'Gadis itu sanggup bertahan hidup.' Gadis
itu," kata Peeta.
Aku terkesiap. Apakah ibunya benar-benar mengatakan semua hal
tentangku? Apakah dia menilaiku lebih hebat dibanding putranya? Aku melihat
kepedihan di mata Peeta dan sadar dia tidak berbohong. Mendadak aku seakan-akan
berasa di belakang toko roti dan aku bisa merasakan dinginnya air hujan yang
mengalir di punggungku, kosongnya perutku yang belum diisi. Suaraku seperti
anak berumur sebelas tahun ketika aku akhirnya bicara. "Tapi itu semua
karena ada orang yang membantuku."
Mata Peeta mengerjap lalu tertuju pada roti di tanganku, dan
aku tahu dia juga teringat pada hari itu. Tapi Peeta hanya mengangkat bahu.
"Orang-orang akan membantumu di arena. Mereka akan berebutan untuk menjadi
sponsormu."
"Kau juga pasti diperebutkan," kataku.
Peeta memutar bola matanya memandang Haymitch. "Dia sama
sekali tidak menyadari pengaruh yang dimilikinya."
Kuku jemari Peeta menelusuri alur kayu di meja, matanya
menolak memandangku. Apa sih maksud Peeta? Orang-orang membantuku? Saat kami
hampir mati kelaparan, tak ada seorangpun membantuku Tak seorang pun kecuali
Peeta. Setelah aku memperoleh barang-barang yang bisa kutukar dengan makanan,
keadaan berubah. Aku pedagang yang alot. Benarkah itu? Apa pengaruh yang
kumiliki? Aku lemah dan butuh bantuan? Maksud Peeta aku memperoleh penawaran
yang baik karena orang-orang kasihan padaku?
Kurasa benar begitu. Mungkin ada beberapa pedagang yang agak
loyal dalam bertukar barang denganku, tapi aku selalu menganggapnya karena
mereka memiliki hubungan baik dengan ayahku. Selain itu, hasil buruanku kelas
satu. Tak ada seorang pun yang mengasihaniku. Aku memandang tajam roti di
tanganku, yakin Peeta bermaksud menghinaku.
Setelah lewat semenit, Haymitch berkata, "Hmm, begitu ya.
Yah. Katniss, tidak ada jaminan bakal ada busur dan panah di arena, tapi pada
sesi pribadi dengan juri, tunjukkan pada mereka apa yang bisa kaulakukan.
Sebelum itu, jauhi semua kegiatan memanah. Apakah kau pandai membuat
perangkap?"
"Aku tahu cara-cara dasar membuat jerat," aku
bergumam.
"Itu mungkin penting dalam usaha mendapat makanan,"
kata Haymitch. "Dan Peeta, dia benar, jangan pernah meremehkan kekuatan di
arena. Sering kali kekuatan fisik menjadi keuntungan bagi pemain. Di Pusat
Latihan, akan ada angkat beban, tapi jangan tunjukkan berapa berat yang bisa kauangkat
di depan peserta lain. Rencananya sama untuk kalian berdua. Kalian ikut latihan
kelompok. Pelajari apa yang tidak kalian ketahui. Melempar tombak. Mengayunkan
tongkat. Belajar membuat simpul yang baik. Simpan kemampuan terbaikmu sampai
pada sesi pribadi. Jelas?" tanya Haymitch.
Aku dan Peeta mengangguk.
"Satu hal lagi. Di depan umum, aku ingin kalian berdua
selalu bersama-sama sepanjang waktu," kata Haymitch.
Kami berdua hendak membantah, tapi Haymitch menghantamkan
tangannya di meja. "Sepanjang waktu. Tidak boleh dibantah. Kalian akan
berduaan, kalian akan tampil akrab satu sama lain. Sekarang keluar. Jam sepuluh
temui Effie di elevator untuk latihan."
Kugigit bibirku dan berjalan kembali ke kamarku, kupastikan
Peeta bisa mendengarku membanting pintu. Aku duduk di ranjang, benci pada
Peeta, benci pada Haymitch, benci pada diriku sendiri karena menyinggung hari
hujan yang sudah lama berlalu itu.
Konyol sekali Aku dan Peeta akan berpura-pura bersahabat
Memuji kekuatan satu sama lain, berkeras agar yang lain mau menerima kehebatan
diri. Padahal kenyataannya, pada titik tertentu kami harus menyadarkan diri dan
menerima kenyataan bahwa kami sebenarnya musuh. Aku sudah siap bersikap seperti
musuh dengan Peeta jika saja Haymitch tidak memberi instruksi bodoh agar kami
selalu bersama-sama saat latihan. Kurasa ini salahku juga, karena aku bilang
padanya agar melatih secara terpisah. Tapi itu tidak berarti aku ingin selalu melakukan
segalanya bersama Peeta. Lagi pula, dia juga jelas-jelas tidak mau berpasangan
terus bersamaku.
Kata-kata Peeta bergaung dalam kepalaku. Dia sama sekali tidak
menyadari pengaruh yang dimilikinya. Jelas kata-kata tersebut bertujuan
merendahkanku. Tapi ada bagian kecil dalam diriku yang bertanya-tanya apakah
kata-kata tersebut mengandung pujian. Entah bagaimana dia mungkin saja
menganggapku menarik.
Aneh rasanya, menyadari bagaimana dia memperhatikanku. Seperti
perhatiannya pada caraku berburu. Dan ternyata, aku juga tidak semasa bodoh
yang kubayangkan tentang dirinya. Tepung terigu. Gulat. Aku juga mengikuti
kegiatan anak lelaki dengan roti itu.
Sudah hampir jam sepuluh. Aku menyikat gigi dan merapikan
rambutku lagi. Untuk sementara kemarahan membuatku lupa pada kesedihanku
bertemu dengan para peserta lain, tapi kini aku bisa merasakan kerisauanku
muncul kembali. Saat bertemu Effie dan Peeta di elevator, aku sedang menggigiti
kukuku. Aku segera menghentikan perbuatanku.
Ruang-ruang latihan berada di lantai di bawah gedung kami.
Dengan elevator-elevator ini, kami sampai dalam waktu kurang dari satu menit.
Pintu elevator terbuka menuju gymnasium besar yang penuh dengan berbagai
senjata dan jalurjalur rintangan. Meskipun belum jam sepuluh, kami ternyata
pasangan terakhir yang tiba. Para peserta lain berkumpul dalam lingkaran kecil.
Masing-masing memakai nomor distrik yang dijepitkan dipakaian mereka. Saat kain
bernomor 12 dipasangkan ke punggungku, aku mengamati sekelilingku dengan cepat.
Hanya aku dan Peeta yang berpakaian seragam.
Ketika kami bergabung dalam lingkaran, pelatih kepala, seorang
wanita jangkung dan atletis bernama Atala melangkah maju dan menjelaskan jadwal
latihan. Para ahli dalam masing-masing bidang keahlian akan tetap berada di pos
mereka. Kami bebas berjalan dari satu tempat ke tempat lain yang kami pilih,
sesuai dengan instruksi dari mentor kami. Beberapa pos mengajarkan
teknik-teknik bertahan hidup, selain teknik-tenik perkelahian. Kami dilarang
melakukan latihan pertarungan dengan peserta lain. Ada asisten yang siap sedia
jika kami mau berlatih dengan lawan.
Ketika Atala mulai membicarakan daftar pos, mataku tidak bisa
tidak melirik ke arah peserta lain. Inilah pertama kalinya kami berkumpul, di
tempat yang sama, dalam pakaian sederhana. Hatiku mencelos. Hampir semua anak
lelaki dan paling tidak setengah dari anak perempuan berukuran lebih besar
daripada tubuhku, meskipun banyak dari peserta yang memperoleh makanan cukup.
Kau bisa melihatnya dari tulang-tulang dan kulit mereka, serta tatapan kosong
di mata mereka. Mungkin aku memang bertubuh kecil, tapi secara keseluruhan akal
dan upayaku dalam keluarga memberikan keuntungan dalam hal itu. Aku berdiri
tegak, aku kuat meskipun kurus. Daging dan tumbuh-tumbuhan yang kuperoleh dari
hutan digabung dengan kerja keras yang harus kulakukan untuk memperolehnya
telah memberiku tubuh yang lebih sehat dibanding sebagian besar peserta yang
kulihat di sekitarku.
Pengecualian terhadap anak-anak dari distrik yang lebih kaya,
para peserta relawan, anak-anak yang diberi makan dan dilatih sepanjang hidup
mereka untuk menjalani masa ini. Para peserta distrik 1, 2, dan 4 biasanya
memiliki penampilan ini. Secara teknis melatih peserta sebelum sampai ke
Capitol adalah pelanggaran, tapi itu terjadi setiap tahun. Di Distrik 12, kami
menyebut mereka Peserta Karier, atau singkatnya Karier. Dan suka atau tidak,
biasanya pemenangnya salah satu dari mereka.
Sedikit kelebihan yang kupunya ketika ke Pusat
Latihan-penampilan perdanaku yang penuh api tadi malam-seakan lenyap dalam
kehadiran pesaingku. Peserta-peserta lain cemburu pada kami, bukan karena kami
hebat, tapi karena penata gaya kami. Aku bisa melihat penghinaan di mata para
Peserta Karier sekarang. Masing-masing dari mereka dua puluh kilogram sampai
lima puluh kilogram lebih berat daripadaku. Mereka menunjukkan kebrutalan dan
kesombongan.
Ketika Atala melepaskan kami, mereka langsung menuju ke tempat
senjata-senjata paling mematikan di gym dan memeganginya dengan santai. Aku
sedang berpikir bahwa aku beruntung karena aku bisa berlari dengan cepat ketika
Peeta menarik tanganku dan aku terlonjak. Dia masih berada di sampingku, sesuai
instruksi Haymitch. Wajahnya tampak tenang. "Kau mau mulai dari mana?"
Aku melihat Peserta-Peserta Karier sedang pamer, berusaha
untuk membuat takut peserta lain. Kemudian di sisi lain, anak-anak yang kurang
makan, tidak kompeten, tampak tegang belajar menggunakan pisau atau kapak untuk
pertama kali.
"Bagaimana kalau kita belajar membuat simpul,"
kataku.
"Aku ikut kau saja," sahut Peeta.
Kami menyeberang menuju pos kosong, yang pelatihnya tampak
senang mendapat murid. Aku mendapat firasat bahwa kelas mengikat simpul tali
bukanlah pilihan favorit Hunger Games. Ketika pelatihnya tahu bahwa aku
mengerti sedikit tentang cara membuat jerat, dia menunjukkan cara sederhana
yang hebat dalam membuat perangkap yang bisa membuat manusia tergantung di
pohon dengan kaki terikat tali. Kami berkonsentrasi pada keahlian ini selama satu
jam sampai kami berdua menguasainya. Kemudian kami berlanjut ke kamuflase.
Tampaknya Peeta sungguh-sungguh menyukai pos ini, dia mengoleskan campuran
lumpur, tanah liat, dan jus berry di kulitnya yang pucat, berusaha menyamar
diantara tanaman rambat dan dedaunan. Pelatih yang mengajar di pos kamuflasi
ini sangat antusias dengan pekerjaannya.
"Aku yang membuat kue," Peeta tiba-tiba mengaku
padaku.
"Kue?" tanyaku. Aku sedang sibuk melihat anak lelaki
dari Distrik 2 melempar tombak menembus jantung boneka dari jarak lima belas
meter. "Kue apa?"
"Di rumah. Kue yang ada lapisan gula, di toko roti,"
jawab Peeta.
Maksud Peeta adalah kue-kue yang dipajang di jendela. Kue-kue
cantik dengan bunga dan hiasan-hiasan indah yang dibuat dengan lapisan gula.
Kue-kue itu biasanya untuk ulang tahun dan Tahun Baru. Pada saat kami di kota,
Prim selalu menyeretku ke sana untuk mengagumi kue-kue itu, meskipun kami tak
pernah sanggup membelinya. Tidak banyak keindahan di Distrik 12, jadi aku tidak
bisa melarang Prim menikmati semua itu.
Aku mengamati desain di bagian lengan Peeta. Pola berwarna
terang dan gelap seakan memperlihatkan cahaya matahari yang menembus dedaunan
di hutan. Aku penasaran apakah dia tahu tentang hal ini, karena aku tidak yakin
dia pernah berada di luar pagar distrik kami. Apakah dia bisa melihat semua ini
dari pohon apel tua yang berdaun jarang di halaman belakang rumahnya? Entah
bagaimana semua ini-keahliannya, kue-kue yang tak sanggup kubeli, pujian dari
ahli kamuflasi-membuatku kesal.
"Menyenangkan sekali. Seandainya kau bisa menghias orang
dengan lapisan gula sampai mati," kataku.
"Jangan sok jago. Kau tak pernah tahu apa yang bisa
kautemukan di arena nanti. Seandainya, siapa tahu bakal ada kue
raksasa...," ujar Peeta.
"Seandainya kita jalan terus," aku memotong
ucapannya.
Jadi selama tiga hari aku dan Peeta berpindah dari satu pos ke
pos lain tanpa banyak bicara. Kami mempelajari beberapa keahlian berharga,
mulai dari membuat api, melempar pisau, dan membuat perlindungan. Walaupun
Haymitch memberi perintah agar kami tampil biasa-biasa saja, Peeta unjuk gigi
dalam pertarungan satu lawan satu, dan aku lolos tes tentang tanaman-tanaman
apa saja yang bisa dimakan dengan mudah. Tapi kami menjauh dari panahan dan angkat
berat, karena ingin menyimpannya untuk sesi pribadi.
Juri Hunger Games datang awal pada hari pertama. Sekitar dua
puluh pria dan wanita berpakaian jubah ungu. Mereka duduk di kursi di podium
tinggi yang mengelilingi gym, kadang-kadang mengamati kami sambil
berjalan-jalan, menuliskan catatan, di lain waktu menyantap makanan lezat yang
tersedia tanpa henti untuk mereka, dan mengabaikan kami. Tetapi mereka
tampaknya terus mengawasi peserta dari Distrik 12. Beberapa kali aku mendongak
dan melihat salah satu dari mereka memperhatikanku. Mereka berkonsultasi dengan
para pelatih saat kami istirahat makan. Kami melihat mereka berkumpul bersama
ketika kami kembali.
Sarapan dan makan malam disajikan di lantai kami, tapi saat
makan siang, dua puluh empat peserta makan di ruang makan tidak jauh dari
gymnasium. Makanan ditata di kereta-kereta di sekitar ruangan dan para peserta
mengambil sendiri makanan yang diinginkan. Para Peserta Karier biasanya
perkumpul di dekat satu meja sambil bicara berbisik, seakan ingin membuktikan
superioritas mereka, bahwa mereka tidak takut dan menganggap
kami-peserta-peserta yang lain-tidak layak diperhatikan. Kebanyakan peserta
lain duduk sendirian, seperti domba tersesat. Tak ada seorang pun yang bicara
dengan kami. Aku dan Peeta makan bersama, dan karena Haymitch terus merongrong
kami, maka kami berusaha mengobrol akrab selama makan.
Tidak mudah mencari topik pembicaraan. Bicara soal rumah
rasanya menyakitkan. Bicara soal peristiwa yang terjadi sekarang rasanya tak
tertahankan. Suatu hari, Peeta mengeluarkan semua roti dari keranjang dan
memperlihatkan bagaimana mereka menyertakan semua ciri khas distrik dalam roti
buatan Capitol. Roti tawar berbentuk ikan dengan bintik-bintik hijau dari
ganggang laut dari Distrik 4. Roti berbentuk bulan sabit dengan biji-bijian
dari Distrik 11. Entah bagaimana, meskipun dibuat dari bahan yang sama,
roti-roti ini kelihatan lebih enak dibanding biskuit-biskuit jelek tanpa rasa
yang jadi standar di rumah.
"Jadi kau tahu sekarang," kata Peeta, memasukkan
kembali roti-roti itu ke dalam keranjang.
"Kau tahu banyak ya," kataku.
"Hanya tentang roti," katanya. "Oke, sekarang
tertawa seolah-olah aku baru saja menceritakan sesuatu yang lucu."
Kami berdua tertawa dengan meyakinkan dan mengabaikan tatapan
dari peserta-peserta lain di ruangan.
"Baiklah, sekarang aku akan tersenyum senang dan kau
bicara," kata Peeta.
Perintah Haymitch untuk bersikap bersahabat membuat kami
lelah. Karena sejak aku membanting pintu, ada ketegangan di antara kami. Tapi
bagaimanapun kami sudah mendapat perintah.
"Pernah tidak aku cerita tentang kejadian ketika aku
dikejar beruang?" tanyaku.
"Belum, tapi kedengarannya seru," jawab Peeta.
Aku berusaha menampilkan mimik muka yang lucu ketika
menceritakan kembali kejadian itu, cerita itu sungguhan terjadi, ketika aku
dengan konyol menantang beruang hitam demi mendapatkan sarang lebah. Peeta
tertawa dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Dalam hal ini dia
lebih jago daripada aku.
Pada hari kedua ketika kami berlatih melempar tombak, Peeta
berbisik, "kurasa kita dibuntuti."
Aku melempar tombakku, lemparanku lumayan bagus sebenarnya,
kalau saja aku tidak harus melempar terlalu jauh. Saat itulah aku melihat gadis
kecil dari Distrik 11 yang berada tidak jauh tapi tetap menjaga jarak, sedang
mengawasi kami. Dia gadis dua belas tahun, yang sosoknya mengingatkanku pada
Prim. Jika dilihat lebih dekat dia tampak seperti anak sepuluh tahun. Matanya
hitam berkilau, dan kulitnya halus kecokelatan, dan dia berdiri sedikit
berjinjit dengan bertolak pinggang, seakan siap-siap mengembangkan sayapnya
jika terdengar aba-aba. Melihatnya menbuatku teringat pada burung. Kuambil
tombak yang lain sementara Peeta melemparkan tombaknya.
"Kalau tidak salah namanya Rue," ujar Peeta pelan.
Kugigit bibirku. Rue adalah bunga kuning kecil yang tumbuh di
Padang Rumput. Rue. Primrose. Dua-duanya tampak kurus, ringkih, dan rapuh.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, dengan nada
lebih kasar dari seharusnya.
"Tidak ada," sahut Peeta. "Kita ngobrol
saja."
Kini setelah aku mengetahui keberadaannya, sulit untuk
mengabaikan dirinya. Dia menyelinap dan bergabung dengan kami di pos lain.
Seperti aku, dia pandai dalam bidang tumbuh-tumbuhan, bisa memanjat dengan
gesit, dan bidikannya jitu. Dia selalu bisa mengenai sasaran dengan ketapel.
Tapi apa gunanya ketapel melawan lelaki berpedang yang beratnya seratus
kilogram?
Kembali ke lantai Distrik 12, sepanjang sarapan dan makan
malam Haymitch dan Effie menanyai kami habis-habisan tentang kejadian sepanjang
hari. Apa yang kami lakukan, siapa yang mengawasi kami, bagaimana persiapan
peserta-peserta lain. Cinna dan Portia tidak ada di sana, jadi tidak ada yang
membuat acara makan ini jadi lebih tenang. Haymitch dan Effie memang sudah
tidak bertengkar lagi. Malahan mereka seperti punya visi bersama, bertekad
membuat kami siap sedia. Mereka terus merempet memberi pengarahan tentang apa
yang harus kami lakukan dan sebaiknya tidak kami lakukan dalam latihan. Peeta
lebih sabar mendengarkan, tapi aku muak dan menampilkan wajah masam.
Ketika kami akhirnya tidur pada malam kedua, Peeta menggerutu,
"Harusnya ada yang memberi Haymitch minuman keras."
Aku mengeluarkan suara tidak jelas antara mendengus dan
tertawa. Kemudian aku cepat-cepat menyadarkan diri. Otakku jadi tidak beres
karena bingung aku harus bersikap bersahabat dan kapan tidak. Paling tidak,
kami berada di arena, aku tahu di mana posisi kami. "Jangan. Tidak perlu
berpura-pura saat tidak ada orang."
"Baiklah, Katniss," kata Peeta lelah.
Sehabis itu, kami hanya bicara di depan orang. Pada hari
ketiga latihan, mereka mulai memanggil kami saat makan siang untuk sesi pribadi
dengan juri Hunger Games. Satu demi satu distrik, pertama peserta lelaki baru
kemudian yang perempuan. Seperti biasa, Distrik 12 dipanggil terakhir. Kami
tetap berada di ruang makan, tidak tahu harus pergi kemana. Tak ada seorangpun
yang kembali setelah mereka dipanggil. Ketika ruangan makin kosong, tekanan pun
terasa makin ringan. Saat mereka memanggil Rue, kami hanya berduaan di ruangan
ini. Kami duduk dalam keheningan sampai mereka memanggil Peeta. Dia bangkit
berdiri.
"Ingat saran Haymitch agar percaya diri saat mengangkat
beban." Kata-kata tersebut meluncur keluar dari mulutku tanpa rencana.
"Trims. Akan kulakukan," katanya. "Dan kau...
memanah dengan lurus."
Aku mengangguk. Entah kenapa aku bicara sepeti itu. Jika aku
harus kalah, lebih baik Peeta yang menang daripada peserta lain. Lebih baik
bagi distrik kami, ibuku dan Prim.
Setelah sekitar lima belas menit, mereka memanggil namaku.
Kurapikan rambutku, kutegakkan punggungku, lalu berjalan memasuki gym. Seketika
aku tahu aku dalam masalah. Para juri sudah terlalu lama berada di ruangan ini.
Duduk memperhatikan 23 penampilan dari peserta-peserta lain. Kebanyakan dari
mereka juga tidak sabar ingin buru-buru pulang.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain melanjutkan rencanaku.
Aku berjalan ke pos panahan. Oh, senjata-senjata ini. Tanganku sudah gatal ingin
memegang busur dan panah selama berhari-hari. Busurnya terbuat dari kayu,
plastik, logam, dan bahan-bahan lain yang tak bisa kusebutkan namanya. Anak
panahnya lengkap dengan bulu dipotong dalam bentuk seragam. Aku memilih busur,
menarik talinya, dan menyandang tempat anak panah di bahuku. Di ruangan
terdapat jalur tembak, tapi tempatnya terbatas. Ada sasaran tembak standar dan
siluet-siluet manusia.
Aku berjalan ke bagian tengah gym dan memilih sasaran
pertamaku. Orang-orangan yang digunakan untuk latihan melempar pisau. Saat
menarik tali busur, aku tahu ada yang salah. Talinya lebih tegang daripada
panah yang kugunakan di rumah. Anak panahnya lebih kaku. Tembakanku meleset
beberapa sentimeter dari sasaran dan aku kehilangan perhatian yang kubutuhkan.
Sesaat, aku merasa malu, kemudian aku kembali ke sasaran tembak. Aku memanah
lagi dan lagi sampai aku bisa merasakan irama senjata baruku ini.
Aku kembali ke bagian tengah gym, mengambil ancang-ancang dan
tembakanku menembus bagian jantung orang-orangan itu. Kemudian anak panahku
memotong tali yang menahan kantong pasir untuk tinju, hingga kantongnya terbuka
dan pasirnya tumpah ketika jatuh ke lantai. Tanpa berhenti, aku bersalto ke
depan, sebelah kakiku berlutut, dan anak panahku mengenai lampu-lampu gantung
di atas lantai gym. Percikan api menyembur dari lampu-lampu itu. Tembakanku
luar biasa. Aku menoleh memandang para juri. Beberapa juri mengangguk memberi
pujian, tapi lebih banyak lagi yang tatapannya tertuju pada babi panggang yang
baru tiba di meja mereka.
Tiba-tiba aku marah sekali, saat hidupku berada di ujung
tanduk seperti ini, mereka bahkan tidak mau meluangkan waktu memperhatikanku.
Bahkan aku kalah pamor dibanding babi mati. Jantungku berdebar cepat, aku bisa
merasakan wajahku terbakar amarah. Tanpa pikir panjang, aku menarik anak panah
dari kantong dan mengarahkan ke meja juri. Kudengar teriakan kaget ketika
orang-orang terjajar mundur. Panahku menembus apel yang berada di mulut babi
dan menancapkan apel itu ke dinding yang berada di belakangnya. Semua orang
memandangku tak percaya.
"Terima
kasih atas perhatiannya," kataku. Lalu aku menunduk memberi hormat dan
berjalan ke luar tanpa menunggu izin mereka.[]
No comments:
Post a Comment