Penulis: Suzanne Collins
Bab 25
MUTAN. Tidak ada keraguan lagi. Aku pernah melihat mutt ini,
tapi mereka bukan binatang-binatang yang lahir secara alami. Mereka mirip
serigala-serigala raksasa, tapi serigala apa yang berdiri mantap dengan kedua
kaki belakangnya? Serigala apa yang melambai pada kawanannya dengan cakar
depannya seakan punya pergelangan tangan? Aku bisa melihat makhluk-makhluk ini
dari jauh. Dari jarak dekat, aku yakin tampilan mereka yang lebih menakutkan
akan lebih jelas terlihat.
Cato langsung berlari lurus menuju Cornucopia, dan tanpa
bertanya lagi aku mengikutinya. Jika Cato berpikir Cornucopia adalah tempat
yang paling aman, aku tak mau menentang pendapatnya. Selain itu, jika aku bisa
memanjat pohon, tak mungkin Peeta bisa lari lebih cepat dari mereka dengan
kakinya yang luka—Peeta. Kedua tanganku baru saja mendarat di logam yang
menjadi bagian dari ekor runcing Cornucopia ketika aku ingat Peeta adalah
bagian dari timku. Dia berada lima belas meter di belakangku, tertatih-tatih
secepat yang dia bisa, tapi mutt-mutt itu mendekat dengan amat cepat.
Kutembakkan anak panahku ke kawanan binatang itu dan satu tumbang kena panahku,
tapi masih banyak yang menggantikan tempatnya.
Peeta melambai menyuruhku naik keatas trompet. "Sana,
Katniss Pergi"
Peeta benar. Aku tak bisa melindungi kami berdua dengan tetap
berada di atas tanah. Aku mulai memanjat, menapaki Cornucopia dengan kedua
tangan dan kakiku. Permukaannya yang terbuat dari emas murni di desain agar
bentuknya serupa dengan trompet anyaman yang kami isi pada saat memungut hasil
panen, jadi ada bagian-bagian yang menonjol dan lipatan yang bisa untuk tempat
berpegangan. Tapi setelah sehari terpanggang matahari di arena pertarungan ini,
logam itu cukup panas untuk bisa membuat tanganku melepuh.
Cato berbaring miring di puncak trompet, enam meter diatas
tanah, terengah-engah sambil muntah diujung trompet. Sekarang kesempatanku
untuk menghabisinya. Aku berhenti di tengah jalan menuju trompet dan menyiapkan
anak panah, tapi ketika aku hendak menembakkannya, aku mendengar jeritan Peeta.
Aku menoleh dan melihatnya baru tiba di ekor Cornucopia, dan
mutt itu berada di tumitnya. "Panjat," teriakku.
Peeta mulai memanjat, tapi gerakannya tak hanya terhalang
kakinya yang luka tapi juga pisau di tangannya. Kutembakkan panah ke leher mutt
pertama yang sudah menancapkan cakarnya di ekor logam itu. Sebelum mati
binatang itu menyambar teman-temannya, tanpa bisa dihindari cakarnya
menimbulkan luka menganga pada tubuh beberapa mutt lain. Saat itulah aku sempat
melihat cakarnya. Panjangnya sepuluh sentimeter dan setajam silet.
Peeta sampai di kakiku dan kupegang lengannya lalu kutarik
dia. Kemudian aku ingat Cato menunggu di puncak trompet, tapi dia sedang
meringkuk kesakitan dan lebih disibukkan dengan mutt daripada kami. Cato
mengucapkan sesuatu yang tak bisa kupahami. Suara dengusan dan raungan
mutt-mutt membuatku makin tak mengerti apa yang diucapkannya.
"Dia bilang, 'Apa mereka bisa memanjat?'" jawab
Peeta, dan mengembalikan fokusku ke dasar trompet.
Mutt-mutt itu mulai berkumpul. Ketika mereka bergabung, mereka
bangkit dan berdiri dengan kaki belakang dengan mudah, membuat mereka secara
mengerikan tampak seperti manusia. Masing-masing binatang itu memiliki bulu
lebat, ada yang bulunya lurus, ada yang keriting, warnanya pun beragam mulai
dari hitam legam sampai pirang. Ada sesuatu dari mereka yang membuat bulu
kudukku berdiri, tapi aku tak tau apa yang salah. Moncong mereka mengendus dan
merasakan trompet, mencium dan merasakan logam itu, mengais-ngais permukaan
logam itu lalu memekik dengan nada tinggi terhadap satu sama lain. Ini pasti
cara mereka berkomunikasi karena kawanan mutt itu mundur seakan memberikan
ruang. Lalu salah satu dari mereka, mutt berukuran besar dengan bulu pirang dan
halus berlari dari jauh lalu melompat ke trompet. Kedua kaki belakangnya sangat
kuat karena dia mendarat hanya tiga meter di bawah kami, bibirnya yang pink
membentuk seringai.
Selama sesaat binatang itu bertahan disana dan ketika itulah
aku sadar apa yang membuatku gelisah memandang mutt itu. Mata hijaunya
memandangku tidak seperti mata anjing atau serigala atau mata binatang lain
yang pernah kulihat. Mata itu tak salah lagi mata manusia. Kesadaran itu baru
saja kucerna ketika kuperhatikan ada kalung leher dengan angka 1 tertera disana
dengan perhiasan dan semua itu menghantamku. Rambut pirang, mata hijau dan
angka itu... Glimmer.
Aku memekik kecil dan kesulitan memegang panahku. Aku sudah
menunggu untuk menembakkan panah, dan makin menyadari menipisnya jumlah anak
panahku. Aku menunggu apakah makhluk itu bisa memanjat. Tapi sekarang, ketika
mutt itu mulai meluncur mundur, tidak mampu berpegangan pada logam itu,
meskipun aku bisa mendengar suara cakaran pelan seperti kuku yang digeruskan di
papan tulis, aku menembakkan anak panah ke lehernya. Tubuh mutt itu
berkelojotan lalu jatuh berdebum di tanah.
"Katniss?" aku bisa merasakan genggaman Peeta di
lenganku.
"Itu dia," aku berseru.
"Siapa?" tanya Peeta.
Kepalaku menoleh kesana kemari melihat kawanan itu,
memperhatikan berbagai ukuran dan warna kawanan itu. Mutt yang kecil dengan
bulu merah dan mata kekuningan.. si Muka Rubah. Dan disana, rambut kelabu dan
mata hijau kecoklatan anak lelaki dari distrik 9 yang tewas ketika kami
berebutan ransel. Dan yang terburuk dari semuanya, mutt terkecil, dengan bulu
gelap berkilau, mata coklat besar dan kalung yang tertulis angka 11. Giginya
dipamerkan dengan penuh kebencian. Rue...
"Ada apa Katniss?" Peeta mengguncang bahuku.
"Itu mereka. Mereka semua. Yang lain-lain. Rue dan si
Muka Rubah dan.. peserta-peserta lain," aku tercekat.
Aku mendengar Peeta terkesiap ketika mengenali mereka.
"Apa yang mereka lakukan pada mereka? Kaupikir.. itu mata asli
mereka?"
Mata mereka adalah kekuatiran terakhirku. Bagaimana dengan
otak mereka? Apakah mereka diberi ingatan peserta yang sesungguhnya? Apakah
mereka diprogram secara khusus untuk membenci wajah kami karena kami selamat
dan mereka tewas terbunuh dengan keji? Dan mereka yang kami bunuh... apakah
mereka percaya bahwa mereka membalaskan kematian mereka?
Sebelum aku bisa menemukan jawabannya, mutt-mutt itu mulai
menyerang trompet. Mereka terbagi dalam dua kelompok di kedua sisi trompet dan
menggunakan bagian bawah tubuh mereka yang kuat untuk menghantamkan diri mereka
ke arah kami. Sergapan gigi tak jauh dari tanganku lalu aku mendengar Peeta
berteriak, kurasakan tubuhnya ditarik, beratnya tubuh anak lelaki dan mutt
membuatku tertarik ke samping. Jika bukan karena pegangan dengan lenganku,
Peeta sudah terjatuh ke tanah, tapi karena itu juga butuh seluruh kekuatanku
untuk membuat kami tetap berada di lekukan trompet. Dan lebih banyak lagi
peserta yang datang.
"Bunuh dia, Peeta Bunuh dia," aku berteriak,
meskipun aku tidak bisa melihat apa yang terjadi, aku tau Peeta pasti menusuk
binatang itu karena tarikannya melemah. Aku berhasil menarik Peeta kembali ke
trompet dan menyeret tubuh kami ke puncak. Disana musuh kami yang tidak sekeji
musuh kami di bawah sudah menunggu.
Cato belum bangkit berdiri, tapi napasnya sudah teratur dan
aku tahu tidak lama lagi dia akan pulih dan bisa mendatangi kami, mendorong
kami ke samping agar jatuh menuju kematian kami. Kusiapkan busurku, tapi anak
panahku berakhir ke mutt yang kemungkinan besar adalah Thresh. Siapa lagi yang
bisa melompat setinggi itu? Sejenak aku merasa lega karena akhirnya kami bisa
lebih tinggi daripada lompatan mutt itu dan aku baru saja hendak menoleh ke
Cato ketika Peeta terlonjak dari sisiku.
Aku yakin kawanan binatang itu berhasil menariknya sampai
darahnya muncrat mengenai wajahku. Cato berdiri di hadapanku, nyaris di mulut
trompet, mengunci Peeta dan menutup jalan pernapasannya. Peeta mencakar-cakar
lengan Cato, tapi dengan lemah, seakan bingung apakah jauh lebih penting untuk
bernapas atau berusaha membendung semburan darah dari lubang terbuka yang
ditimbulkan mutt di betisnya.
Kuarahkan satu dari dua sisa anak panah ke kepala Cato, tahu
bahwa panahku takkan ada efeknya pada tubuhnya atau lengan dan kakinya, yang
kini bisa kulihat tubuhnya tertutup semacam jala berwarna kulit yang pas badan.
Semacam baju pelindung canggih dari Capitol. Apakah itu yang terdapat di
ranselnya sewaktu pesta? Baju pelindung dari serangan panahku? Yah, mereka lupa
mengirimkan pelindung wajah.
Cato hanya tertawa. "Tembak aku dan dia ikut jatuh
bersamaku."
Dia benar. Jika aku memanahnya dan dia jatuh ke kawanan mutt
itu, Peeta pasti akan tewas bersamanya. Kami tiba di jalan buntu. Aku tidak
bisa memanah Cato tanpa membunuh Peeta juga. Dia tidak bisa membunuh Peeta
tanpa memastikan otaknya akan kena panah. Kami berdiri seperti patung, kami
semua mencari jalan keluar.
Otot-ototku menegang, rasanya otot-ototku bisa putus kapan
saja. Gigiku bergemeletuk. Kawanan mutt itu terdiam dan satu-satunya hal yang
bisa kudengar adalah darah yang berdentam di telingaku yang masih bagus.
Bibir Peeta membiru. Jika aku tak melakukan sesuatu dengan
cepat, dia akan mati kehabisan napas dan aku juga akan kehilangan dia dan Cato
mungkin akan menggunakan tubuh Peeta sebagai senjata melawanku. Sesungguhnya,
aku yakin ini rencana Cato. Karena ketika dia berhenti tertawa, bibirnya
menyunggingkan senyum kemenangan.
Seakan ini usaha terakhirnya, Peeta mengangkat jemarinya, yang
meneteskan darah dari kakinya, ke arah lengan Cato. Bukannya berusaha
meloloskan diri, telunjuknya tiba-tiba berbelok dan dengan sengaja membuat
tanda X di punggung tangan Cato. Cato menyadari apa artinya sedetik setelah aku
sadar. Aku bisa melihat dari senyumnya yang hilang dari bibirnya. Tapi
kesadarannya terlambat sedetik karena pada saat itu anak panahku menembus
tangannya. Cato menjerit dan secara naluriah melepaskan Peeta yang
menghantamkan punggungnya ke Cato.
Selama sesaat yang mengerikan, kupikir mereka akan jatuh
bersama. Aku meluncur ke depan memegangi Peeta ketika Cato kehilangan
pijakannya di atas trompet yang licin kena darah dan terjerembap ke tanah.
Kami mendengarnya menghantam tanah, udara mengembus keluar
dari tubuhnya, lalu kawanan mutt menyerangnya. Aku dan Peeta berpegangan,
menunggu tembakan meriam. Menunggu kompetisi ini berakhir. Menunggu dibebaskan.
Tapi semua tidak terjadi. Belum. Karena ini klimaks Hunger Games dan penonton
menunggu tayangan yang tak terlupakan.
Aku tidak melihat, tapi aku bisa mendengar gerunan, raungan
dan lolongan kesakitan dari manusia dan binatang ketika Cato menghajar kawanan
mutt. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa selamat sampai aku teringat pada baju
pelindung yang melindunginya dari pergelangan kaki sampai leher. Cato pasti
juga punya pisau atau pedang atau semacamnya, sesuatu yang dia sembunyikan di
balik pakaiannya, karena sesekali terdengar jeritan kematian mutt atau suara
logam beradu ketika mata pisau itu beradu dengan trompet emas. Pertarungan
berpindah ke samping Cornucopia dan Cato pasti berusaha mencoba satu cara yang
bisa menyelamatkan nyawanya-kembali ke ekor trompet lalu bergabung bersama
kami. Tapi, dia tak sanggup lagi melawan meskipun memiliki kekuatan dan
keahlian luar biasa.
Aku tidak tahu sudah lewat berapa lama, mungkin sekitar satu
jam, ketika Cato terjatuh ke tanah. Kami mendengar para mutt menyeretnya,
menyeretnya kembali ke Cornucopia. Sekarang mereka akan menghabisinya, pikirku.
Tapi tidak terdengar suara meriam.
***
Malam tiba dan lagu kebangsaan terdengar tapi tak ada foto
Cato di angkasa, hanya ada erangan-erangan samar yang terdengar dari logam di
bawah kami. Udara dingin yang berhembus dari tanah lapang mengingatkanku bahwa
Hunger Games belum berakhir dan mungkin akan berlangsung sampai entah kapan,
dan tidak ada jaminan siapa yang bakal jadi pemenangnya.
Aku mengalihkan perhatianku pada Peeta dan melihat kakinya
berdarah parah. Semua persediaan kami, ransel kami, berada di dekat danau
tempat kami meninggalkannya ketika melarikan diri dari kawanan mutt. Aku tidak
punya perban, tidak ada yang bisa kupakai untuk menghambat aliran darah dari betisnya.
Walaupun menggigil, aku membuka jaketku, melepaskan kausku dan
menutup ritsleting jaketku secepat mungkin. Hanya sebentar saja terkena udara
dingin gigiku sudah bergemeletuk tanpa terkendali.
Wajah Peeta tampak kelabu dalam cahaya bulan yang pucat. Aku
menyuruhnya berbaring sebelum aku memeriksa lukanya. Darah yang licin dan
hangat mengalir dijemariku. Aku pernah beberapa kali melihat ibuku mengikat
turniket dan kini aku berusaha meniru ikatannya. Aku memotong bagian lengan
kausku, membungkusnya dua kali di kakinya tepat di bawah lutut dan kubuat
simpul setengah. Aku tak punya kayu, jadi kupakai anak panahku yang tersisa dan
kuselipkan di dalam simpul, lalu kuputar ikatannya sejauh yang bisa kulakukan
dengan aman.
Tindakanku amat beresiko—Peeta bisa saja kehilangan
kakinya—tapi ketika aku menimbang kemungkinan Peeta kehilangan kaki dengan
kemungkinan kehilangan nyawa, pilihan apalagi yang kumiliki? Kuperban lukanya
dengan sisa kausku lalu aku berbaring di sisinya.
"Jangan tidur," kataku padanya. Aku tidak yakin
apakah ini protokol medis yang tepat, tapi aku takut jika dia tertidur dia
takkan bangun lagi.
"Kau kedinginan?" tanya Peeta.
Dia membuka ritsleting jaketnya dan aku melekatkan tubuhku
padanya, Peeta memelukku erat. Rasanya sedikit lebih hangat, bisa berbagi panas
tubuh di dalam dua lapis jaketku, tapi malam belum larut. Suhu udara masih akan
terus turun. Bahkan sekarang aku bisa merasakan Cornucopia, yang panas membakar
ketika aku mendakinya pertama kali, perlahan-lahan jadi sedingin es.
"Cato masih bisa memenangkan pertarungan ini," aku
berbisik pada Peeta.
"Jangan berpikir seperti itu," sahut Peeta, menarik
tutup kepalaku, tapi dia gemetar lebih hebat dari aku.
Jam-jam selanjutnya adalah masa terburuk dalam hidupku, dan
apa yang kumaksud buruk ini pasti sudah jelas jika memikirkan apa yang telah
kulewati sepanjang hidupku. Dinginnya sudah cukup menyiksa, tapi mimpi buruk yang
sesungguhnya adalah mendengarkan Cato mengerang, memohon dan akhirnya merengek
ketika kawanan mutt menjauh darinya. Tidak lama kemudian, aku tidak peduli lagi
siapa dia atau apa yang telah dia lakukan, aku hanya ingin penderitaannya
segera berakhir.
"Kenapa mereka tak langsung membunuhnya?" aku
bertanya pada Peeta.
"Kau tau kenapa," katanya, lalu dia menarikku makin
dekat padanya.
Dan aku paham kenapa. Tak ada seorang penonton pun yang bisa
meninggalkan tayangan ini sekarang. Dari sudut pandang juri pertarungan, ini
adalah kata penghabisan dalam dunia hiburan.
Suara Cato terus-menerus terdengar hingga akhirnya menguasai
pikiranku, menghalangi berbagai kenangan dan harapan akan hari esok, menghapus
segalanya kecuali yang terjadi saat ini, yang mulai kuyakini takkan pernah
berubah. Takkan ada apapun kecuali rasa dingin dan takut serta suara-suara
memilukan dari anak lelaki yang menjelang kematiannya ditrompet Cornucopia.
Peeta mulai tertidur sekarang, dan setiapkali dia tertidur,
aku meneriakkan namanya makin lama makin keras karena jika dia tidur lalu mati,
aku yakin aku pasti bakalan gila. Peeta melawannya, mungkin lebih untukku
daripada untuk dirinya sendiri, dan aku tau itu pasti sulit karena
ketidaksadaran pasti merupakan salah satu bentuk pelarian. Tapi adrenalin dalam
tubuhku tak mengizinkanku mengikutinya, jadi aku tak bisa membiarkan Peeta
tertidur. Aku tidak bisa membiarkannya.
Satu-satunya petunjuk berlalunya waktu tampak di langit,
dengan perubahan bulan yang nyaris tak kentara. Jadi Peeta mulai menunjukkannya
padaku lagi, berkeras agar aku menyadari pergerakannya dan kadang-kadang,
selama sesaat aku merasakan sepercik harapan sebelum penderitaan malam itu
melahapku bulat-bulat sekali lagi.
Akhirnya, aku mendengar Peeta berbisik bahwa matahari sudah
terbit. Kubuka mataku dan kulihat bintang-bintang tampak memudar dalam cahaya
dini hari yang pucat. Aku juga bisa melihat betapa piasnya wajah Peeta. Waktu
yang tersisa untuknya juga tak banyak lagi. Dan aku tau aku harus segera
membawanya kembali ke Capitol. Namun, tetap tak terdengar dentuman meriam.
Kutempelkan telingaku yang masih bisa mendengar pada trompet dan samar-samar
kudengar suara Cato.
"Rasanya dia lebih dekat sekarang. Katniss, kau bisa
memanahnya?" tanya Peeta.
Jika dia berada di mulut trompet, aku mungkin bisa
menghabisinya. Pada titik ini, membunuhnya adalah tindakan yang kulakukan
karena belas kasihan.
"Panah terakhir ada di turniketmu," kataku.
"Ambil saja," kata Peeta, membuka ritsleting
jaketnya dan melepaskanku dari pelukannya.
Kemudian kulepaskan anak panah di kakinya, kuikat turniket itu
lagi seerat yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku yang beku.
Kugosok-gosokan kedua tanganku. Ketika aku merangkak ke mulut trompet dan
berpegangan diujungnya, aku merasakan tangan Peeta memegangiku.
Perlu beberapa saat untuk melihat Cato dalam cahaya temaram
ini, dalam genangan darah. Onggokan daging mentah yang dulunya adalah musuhku
mengeluarkan suara, aku tau di mana letak mulutnya. Dan menurutku kata yang
hendak diucapkannya adalah kumohon. Rasa kasihan, bukan balas dendam, yang
membuat anak panahku melayang ke tengkoraknya. Peeta menarikku ke atas, busur
di tangan, tak ada anak panah tersisa.
"Kau berhasil menembaknya?" bisik Peeta.
Meriam berdentam sebagai jawabannya.
"Kalau begitu kita menang, Katniss," kata Peeta
tanpa semangat.
"Hore untuk kita," kataku, tapi dalam suaraku tak
tersirat kegembiraan karena menang.
Ada lubang terbuka di tanah lapang dan seakan ada aba-aba mutt
yang tersisa melompat ke dalamnya, menghilang ke dalam tanah yang kemudian
menutup.
Kami menunggu pesawat ringan mengambil mayat Cato. Menunggu
trompet kemenangan yang seharusnya akan mengikuti, tapi tak ada yang terjadi.
"Hei," aku berteriak ke udara. "Apa yang
terjadi?" hanya terdengar celoteh burung-burung.
"Mungkin karena mayatnya. Mungkin kita harus menjauh
darinya," kata Peeta.
Aku berusaha mengingatnya. Apakah kami harus menjauhkan diri
dari peserta yang tewas pada pembunuhan terakhir? Otakku terlalu keruh untuk
bisa yakin, tapi apalagi yang bisa menjadi alasan penundaan ini?
"Oke, apakah kau bisa berjalan sampai danau?"
tanyaku.
"Rasanya bisa kucoba," kata Peeta.
Kami meluncur turun menuju ekor trompet dan terjatuh ke tanah.
Kalau sendi-sendiku saja sekaku ini, bagaimana Peeta bisa bergerak? Aku bangkit
lebih dulu, mengoyang-goyangkan dan menekuk-nekukan kedua lengan dan kakiku
sampai kupikir bisa membantunya berdiri. Entah bagaimana kami berhasil sampai
ke danau. Kedua tanganku meraup air dingin untuk Peeta dan satu lagi untukku.
Seekor mockingjay bersiul panjang dan rendah membuat air mata
kelegaan memenuhi mataku ketika pesawat ringan mengambil mayat Cato. Sekarang
mereka akan membawa kami. Sekarang kami bisa pulang.
Tapi sekali lagi tak ada kelanjutannya.
"Apalagi yang mereka tunggu?" tanya Peeta dengan
suara lemah. Ikatan turniket yang mengendur dan usaha yang dihabiskannya untuk
berjalan ke danau ini membuat lukanya terbuka lagi.
"Aku tidak tau," jawabku.
Apapun yang menyebabkan penundaan ini, aku tidak sanggup
melihat Peeta kehilangan lebih banyak darah lagi. Aku berdiri untuk mencari
kayu tapi aku melihat anak panahku yang terpantul dari baju pelindung Cato.
Anak panah ini akan bisa dipakai seperti sebelumnya. Aku membungkuk untuk
mengambilnya, ketika suara Claudius Templesmith membahana di arena.
"Salam untuk para peserta terakhir dari Hunger Games ke
tujuh puluh empat. Perubahan peraturan sebelumnya telah dicabut. Setelah
membaca buku peraturan dengan lebih seksama, dinyatakan bahwa hanya satu
pemenang yang diizinkan dalam acara ini," katanya. "Semoga beruntung
dan semoga keberuntungan ada di pihakmu."
Terdengar ledakan statis kecil lalu hening. Kutatap Peeta tak
percaya ketika kenyataan itu meresap dalam benakku. Mereka tak pernah berniat
membiarkan kami berdua hidup. Ini cuma cara juri pertarungan untuk memastikan
bahwa Hunger Games kali ini menjadi tayangan paling dramastis dalam sejarah.
Dan tololnya, aku percaya.
"Kalau kaupikirkan lagi, sebenarnya tak terlalu
mengejutkan kok," kata Peeta pelan.
Kuperhatikan Peeta ketika dengan susah payah dan kesakitan
berusaha berdiri. Lalu dia bergerak menghampiriku, seakan dalam gerakan lambat,
tangannya mengeluarkan pisau dari ikat pinggangnya...
Sebelum aku sempat menyadari tindakanku, busurku langsung
siaga dengan anak panah yang tertuju ke jantung Peeta. Dia mengangkat alis dan
kulihat pisau sudah terlepas dari tangannya menuju danau dan tercemplung di
air. Aku menjatuhkan senjataku lalu melangkah mundur, wajahku terbakar malu.
"Tidak," kata Peeta. "Lakukanlah."
Peeta tertatih-tatih berjalan mendekatiku dan mendesakkan
senjataku ke tanganku.
"Aku tidak bisa," kataku. "Aku tidak mau."
"Lakukanlah. Sebelum mereka mengirim mutt-mutt itu
kembali atau apalah. Aku tak mau mati seperti Cato," katanya.
"Kalau begitu, kau saja yang panah," kataku marah,
mendorongkan senjata itu kembali padanya. "Kaupanah aku lalu kau pulang
dan jalani hidupmu" lalu ketika aku mengucapkannya, aku tau kematian
disini, sekarang, akan jauh lebih mudah bagi kami berdua.
"Kau tau aku tak bisa melakukannya," kata Peeta,
membuang senjata itu. "Baiklah, aku yang akan mati lebih dulu."
Dia menunduk dan merobek perban dari kakinya, melepaskan
penghalang antara darahnya dan tanah.
"Tidak, kau tak boleh bunuh diri," kataku. Aku
berlutut, putus asa berusaha menempelkan kembali perban ke lukanya.
"Katniss," katanya. "Ini yang kumau."
"Kau takkan meninggalkanku sendiri disini," kataku.
Karena jika dia mati, aku takkan pernah benar-benar pulang. Aku akan
menghabiskan sisa hidupku di arena ini, berusaha memikirkan jalan pulang.
"Dengar," kata Peeta, menarikku berdiri. "Kita
sama-sama tahu mereka harus punya pemenang. Dan hanya salah satu dari kita yang
akan jadi pemenangnya. Tolong jadilah pemenang. Demi aku."
Kemudian dia mengoceh tentang betapa dia mencintaiku, seperti
apa hidupnya tanpaku, tapi aku sudah tak mendengarnya karena kata-kata Peeta
sebelumnya terngiang dalam kepalaku. Kita sama-sama tau mereka harus punya
pemenang. Ya, mereka harus punya pemenang. Tanpa pemenang, semua ini akan
mempermalukan Juri Pertarungan. Mereka akan mengecewakan Capitol. Kemungkinan
mereka akan dihukum mati, secara perlahan dan menyakitkan sementara
kamera-kamera akan menyiarkannya ke seantero negeri.
Jika aku dan Peeta mati, atau mereka pikir kami...
Jemariku meraba-raba kantong di ikat pinggangku, lalu
melepaskannya. Peeta melihat apa yang kulakukandan segera mencengkeram
pergelangan tanganku.
"Tidak, aku takkan membiarkanmu."
"Percayalah," aku berbisik.
Dia menatapku lama sebelum melepaskan cengkeramannya. Kubuka
kantong itu dan kutuang segenggam kecil buah berry itu di telapak tangannya.
Lalu aku menuangnya ke tanganku sendiri. "Pada hitungan ketiga?"
Peeta menunduk dan menciumku sekali, sangat lembut. "Pada
hitungan ketiga," katanya.
Kami berdiri, berpunggungan, dua tangan kami yang kosong
bergenggaman erat. "Ulurkan tanganmu. Aku ingin semua orang
melihatnya," kata Peeta.
Kubuka telapak tanganku, buah-buah berry yang hitam berkilau
ditimpa matahari. Kugenggam tangan Peeta sebagai pertanda, sebagai salam
perpisahan, lalu kami mulai menghitung.
"Satu," mungkin aku salah.
"Dua," mungkin mereka tak peduli jika kami mati.
"Tiga," sudah terlambat untuk berubah pikiran.
Kuangkat tanganku ke mulut, kupandangi dunia terakhir kalinya.
Berry-berry itu baru saja melewati mulutku ketika suara trompet menggelegar.
Suara Claudius yang panik menyela suara trompet. "Stop
Stop. Bapak-ibu sekalian, dengan ini kupersembahkan para pemenang Hunger Games
ke 74, Katniss Everdeen dan Peeta Mellark."
"Kupersembahkan pada kalian—para peserta dari Distrik Dua
Belas."[]
No comments:
Post a Comment