Penulis: Suzanne Collins
Bab 5
BRETTTTT
Aku merapatkan gigi ketika Venia, wanita dengan rambut biru
cerah dan tato emas di atas alisnya, menarik lembaran kain dari kakiku dan
mencabut bulu yang menempel di sana. "Maaf," katanya dengan suara
melengking tolol khas logat Capitol. "Kau banyak bulunya sih."
Kenapa orang-orang di sini bicara dengan nada melengking
tinggi seperti ini? Kenapa mulut mereka nyaris tidak terbuka saat bicara?
Kenapa mereka mengakhiri kalimat dengan nada yang naik seakan-akan mereka
mengajukan kalimat pertanyaan? Huruf vokal yang aneh, kata-kata yang terpotong
dan huruf s yang diiringi desisan... tidak heran jika orang-orang tidak tahan
untuk tidak menirukannya.
Venia memperlihatkan wajah yang seharusnya menunjukkan rasa
simpatinya. "Tapi kabar baiknya, ini yang terakhir. Siap?"
Kupegang erat-erat kedua ujung meja dekat tempatku duduk dan
mengangguk. Sapuan terakhir langsung mencabut bulu kakiku dalam sekali sentakan
yang menyakitkan.
Aku sudah berada di Pusat Tata Ulang selama lebih dari tiga
jam tapi aku belum bertemu penata gayaku. Jelas dia tidak minat menemuiku
hingga Venia dan anggota tim persiapan lain membereskan sejumlah masalah yang
kelihatan jelas. Kegiatan persiapan ini antara lain menggosok tubuhku dengan
sabun berpasir yang tidak hanya mengangkat kotoran tapi juga mengangkat tiga
lapisan kulitku, membentuk kukuku dalam bentuk yang seragam, dan yang terutama,
mencabuti bulu-bulu dari tubuhku. Kedua kaki, lengan, dada, ketiak, dan
beberapa bagian dari alisku, membuatku seperti ayam yang dibului, siap
dipanggang. Aku tidak menyukainya. Kulitku rasanya ngilu, nyeri, dan mudah
terluka. Tapi aku memegang janjiku pada Haymitch, tak ada keluhan sedikitpun
keluar dari mulutku.
"Kau anak yang oke," kata seorang lelaki bernama
Flavius. Dia menggoyang-goyangkan rambut ikalnya yang berwarna oranye dan
memulaskan lipstik berwarna ungu ke bibirnya. "Kami paling tidak tahan
pada anak yang suka mengeluh. Minyaki dia."
Venia dan Octavia, wanita bertubuh montok yang seluruh
tubuhnya disepuh dengan warna hijau kacang polong, menggosok tubuhku dengan
losion yang mulanya terasa menyengat tapi kemudian menyejukkan kulitku yang
pedih. Kemudian mereka menarikku turun dari meja, melepaskan jubah tipis yang
kupakai dan kulepas berkali-kali. Aku berdiri telanjang sementara mereka
bertiga mengelilingiku, memegang penjepit untuk mencabuti buluku yang tersisa.
Aku tahu aku seharusnya malu, tapi rupa mereka tidak mirip manusia membuatku
tidak bisa merasa risi, seolah-olah aku berdiri di depan tiga ekor burung
eksentrik yang berwarna aneh dan sedang mematuk makanan di dekat kakiku. Mereka
bertiga mundur dan mengagumi hasil karya mereka.
"Bagus sekali. Kau hampir kelihatan seperti manusia
sekarang" kata Flavius, lalu mereka pun tertawa.
Kupaksakan bibirku membentuk senyuman untuk menunjukkan aku
berterima kasih pada mereka.
"Terima kasih," ujarku dengan manis. "Kami
tidak punya banyak alasan untuk tampil cantik di Distrik Dua Belas."
Ucapanku langsung mengambil hati mereka.
"Tentu saja tidak, betapa malangnya dirimu," seru
Octavia menepukkan tangan risau atas kemalanganku.
"Tapi jangan kuatir," kata Venia. "Pada saat
Cinna selesai denganmu, kau pasti akan tampak memesona."
"Kami janji. Kau tahu, setelah kita membuang bulu dan
kotoran dari tubuhmu, kau ternyata tidak jelek" kata Flavius memberi
semangat. "Ayo kita panggil Cinna."
Mereka melesat keluar ruangan. Sulit bagiku untuk membenci tim
persiapanku. Mereka semua idiot kelas berat. Namun, dengan cara yang aneh, aku
tahu mereka tulus membantuku. Kupandangi dinding-dinding dan lantai berwarna
putih dingin dan menahan dorongan hati untuk mengambil jubahku. Tapi Cinna,
penata gayaku, pasti akan menyuruhku melepaskannya. Tanganku bergerak memegangi
rambut, satu-satunya bagian yang tidak disentuh tim persiapanku. Jemariku
mengelus hasil kepangan ibuku yang amat rapi. Ibuku. Kutinggalkan gaun biru
milik ibuku dan sepatu di lantai kamarku di dalam kereta api, tak pernah
berpikir untuk mengambilnya, dan berusaha memegang sesuatu yang mengingatkan
aku pada ibuku, dan rumah. Kini aku berharap aku mengambil gaun itu tadi.
Pintu terbuka dan lelaki muda yang pastinya bernama Cinna itu
masuk. Aku terpana melihat betapa normalnya penampilan lelaki itu. Kebanyakan
penata gaya yang diwawancara di televisi biasanya tampil penuh warna, riasan,
dan dipermak dengan operasi sampai bentuknya mengerikan. Tapi rambut Cinna yang
dipotong pendek cepak tampak berwarna cokelat alami. Dia mengenakan kaus hitam
sederhana dan celana panjang. Satu-satunya tampilan yang ditambahkan tampaknya
cuma eyeliner berwarna emas metalik yang dipulas dengan halus. Warna itu
menonjolkan titik emas yang ada dalam mata hijaunya. Meskipun aku jijik dengan
Capitol dan cara mereka berpakaian, aku tidak bisa menganggap betapa menariknya
lelaki ini.
"Halo, Katniss. Aku Cinna, penata gayamu." kata
Cinna berbicara dengan suara pelan, tanpa aksen Capitol yang terdengar
dibuat-buat.
"Halo," jawabku hati-hati.
"Beri aku waktu sebentar, ya?" pintanya. Dia
berjalanan mengelilingi tubuh telanjangku, tidak menyentuhku, tapi menyerap
pemandangan setiap jengkal tubuhku dengan matanya. Aku menahan dorongan hati
untuk menyilangkan tangan menutupi dada. "Siapa yang menata rambutmu?"
"Ibuku," jawabku.
"Indah. Klasik menurutku. Nyaris sempurna dengan raut
wajahmu. Ibumu punya tangan yang cermat," kata Cinna.
Kukira aku akan didatangi seorang yang flamboyan, seseorang
yang lebih tua yang mati-matian berusaha kelihatan muda, seorang yang melihatku
sebagai sepotong daging yang siap disajikan. Cinna sama sekali di luar
perkiraanku.
"Kau baru ya? Rasanya aku tidak pernah melihatmu,"
kataku. Kebanyakan penata gaya tidak asing lagi, mereka yang mendampingi
peserta yang berbeda setiap tahun biasanya itu-itu saja. Sepanjang ingatanku,
malah ada yang selalu ada setiap tahun.
"Ya, ini tahun pertamaku di acara ini," sahut Cinna.
"Jadi mereka sengaja memberimu Distrik Dua Belas?"
tanyaku. Orang baru biasanya berakhir dengan kami, distrik yang paling tidak
diinginkan.
"Aku meminta Distrik Dua Belas," kata Cinna tanpa
menjelaskan lebih lanjut. "Pakai dulu jubahmu lalu kita ngobrol."
Sehabis memakai jubah, kuikuti Cinna melewati pintu menuju
ruang duduk. Dua sofa berwarna merah berhadapan disela meja rendah. Tiga bagian
dindingnya kosong, dinding keempat sepenuhnya dari kaca, memberikan jendela
pemandangan ke kota. Melihat cahaya di luar sana pasti sekarang sudah tengah
hari, meskipun matahari berselimutan awan. Cinna menyuruhku duduk di salah satu
sofa dan dia duduk di seberangku. Dia menekan tombol yang berada di samping
meja. Bagian atas meja itu terbuka dan dari bawah muncul meja kedua yang
menyajikan makan siang kami. Ayam dengan potongan-potongan jeruk yang dimasak
dengan saus krim ditaruh di atas roti tawar seputih mutiara, kacang polong
hijau dan bawang bombay, roti manis yang dibentuk seperti bunga dan sebagai
makanan penutup puding berwarna madu.
Aku berusaha membayangkan menyusun makanan seperti ini untukku
di kampung halaman. Ayam terlalu mahal, tapi aku bisa menggantinya dengan
kalkun liar. Aku harus menangkap kalkun kedua untuk ditukar dengan jeruk. Susu
kambing bisa menggantikan krim. Kami bisa menanam kacang polong di kebun. Aku
tinggal mengambil bawang bombay yang tumbuh liar di hutan. Aku tidak mengenali
gandum yang jadi bahan roti ini, gandum jatah tessera biasanya hanya
menghasilkan gumpalan roti berwarna cokelat yang tidak menarik. Rasa manis yang
enak ini berarti menukar sesuatu dengan tukang roti, mungkin dua atau tiga ekor
tupai untuk roti. Sementara untuk pudingnya, aku tidak bisa menebak apa saja
bahannya. Untuk bisa sekali makan seperti ini, aku harus berburu dan
mengumpulkan makanan selama berhari-hari, bahkan hasilnya pun bakal jauh di
bawah makanan versi Capitol ini.
Aku penasaran, seperti apa rasanya hidup dalam dunia dengan
makanan yang langsung muncul sekali kau menekan tombol? Bagaimana aku
menghasilkan waktu yang biasanya kuhabiskan dengan menyisiri hutan mencari
makanan untuk bertahan hidup jika makanan semudah ini datangnya? Apa yang
dilakukan para penduduk Capitol ini setiap hari, selain menghiasi tubuh mereka
dan menunggi kiriman peserta terbaru untuk pertarungan dan mati demi hiburan?
Aku mendongak dan melihat mata Cinna yang awas sedang memandangiku.
"Pasti kau menganggap kami orang-orang hina ya," kata
lelaki itu.
Apakah Cinna melihat di wajahku atau entah bagaiamana dia
berhasil membaca pikiranku? Tapi dia benar. Segalanya tentang tempat ini
kuanggap hina.
"Tidak apa-apa," ujar Cinna. "Begini, Katniss,
tentang kostum yang kau pakai untuk upacara pembukaan. Partnerku, Portia,
adalah penata gaya untuk rekan pesertamu, Peeta. Dan kami berniat mendandani
kalian dengan kostum yang saling melengkapi," kata Cinna. "Seperti
yang kau ketahui, sudah jadi kebiasaan bahwa kostum harus menunjukkan ciri khas
distrik."
"Untuk upacara pembukaan, kau diwajibkan memakai pakaian
yang menunjukkan industri utama distrikmu. Distrik 11, pertanian. Distrik 4,
perikanan. Distrik 3, pabrik. Ini berarti dari Distrik 12, aku dan Peeta akan
memakai semacam pakaian penambang batu bara."
Karena pakaian pekerja penambang yang longgar tidak sedang
jadi tren, peserta dari distrik kami biasanya memakai pakaian minim dan topi
lengkap dengan lampunya. Pernah, peserta dari distrik kami telanjang bulat
hanya ditutupi bedak hitam sebagai lambang abu batubara. Kostum distrik kami
selalu mengerikan dan tidak bisa menenangkan hati para penonton. Kusiapkan
diriku untuk menerima yang terburuk.
"Jadi aku akan memakai pakaian penambang batubara?"
bertanya, berharap semoga pakaiannya masih sopan.
"Tidak juga. Begini, aku dan Portia berpendapat bahwa
kostum penambang itu terlalu sering digunakan. Tak ada seorang pun akan
mengingatmu dengan pakaian semacam itu. Dan kami berdua beranggapan sudah tugas
kami membuat peserta dari Distrik Dua Belas sebagai peserta yang tak
terlupakan," jelas Cinna.
Pasti aku akan telanjang, pikirku.
"Jadi bagaimana kami memusatkan perhatian pada
pertambangan batubara, kami akan memusatkan perhatian pada batubaranya,"
kata Cinna.
Telanjang dan tertutup abu hitam, pikirku.
"Dan apa yang kita lakukan terhadap batubara? Kita
membakarnya," kata Cinna. "Kau tidak takut pada api kan,
Katniss?"
Dia melihat ekspresiku dan menyeringai.
Beberapa jam kemudian, aku mengenakan pakaian yang bisa
dianggap paling sensasional atau paling mematikan dalam upacara pembukaan. Aku
mengenakan pakaian ketat terusan yang menutup tubuhku mulai dari mata kaki
sampai leher. Sepatu bot kulit berkilau hingga ke lutut. Tapi mantel yang
berkibar dengan warna oranye, kuning, dan merah dan penutup kepala yang senada
yang menjadi penentu pada kostum ini. Cinna bermaksud membakarnya tepat sebelum
kereta kuda kami meluncur ke jalanan.
"Tentu saja, bukan api sungguhan, hanya api sintesis yang
kupikirkan bersama Portia. Kau benar-benar aman," kata Cinna.
Tapi aku tidak yakin diriku tidak akan terpanggang sempurna
pada saat kami tiba ke pusat kota. Wajahku nyaris bersih tanpa riasan, hanya
sedikut highlight di sana-sini. Rambutku sudah disisir lalu dikepang dan
dibiarkan jatuh di punggung seperti gayaku yang biasa.
"Aku ingin penonton mengenalimu ketika kau berada di
arena," kata Cinna dengan pikiran mengawang. "Katniss, gadis yang
terbakar."
Terlintas dalam pikiranku bahwa gaya Cinna yang tenang dan
normal sebenarnya hanya topeng yang menutupi jati dirinya sebagai orang
sinting. Walaupun baru tadi pagi aku melihat karakter asli Peeta, aku
sesungguhnya lega ketika melihatnya muncul dengan kostum yang sama denganku.
Dia pasti tahu banyak hal tentang api, karena bagaimanapun dia kan anak tukang
roti. Penata gayanya, Portia, dan timnya menemani Peeta, dan semua orang
dipompa semangat berlebihan mengenai kegemparan yang akan kami hasilkan.
Kecuali Cinna. Dia tampak sedikit letih ketika menerima ucapan selamat.
Kami dibawa ke lantai bawah Pusat Tata Ulang, yang pada
dasarnya adalah kandang raksasa. Upacara pembukaan dimulai sebentar lagi.
Pasangan peserta naik ke kereta yang ditarik empat ekor kuda. Kuda kami sehitam
batubara. Binatangbinatang ini sangat terlatih, hingga tak perlu manusia untuk
mengendalikannya. Cinna dan Portia mengarahkan kami ke kereta kuda dan
menempatkan posisi tubuh kami dengan hati-hati, mengatur hiasan mantel kami,
sebelum menjauh dan berdiskusi berdua.
"Bagaiamana menurutmu?" Aku berbisik pada Peeta.
"Soal api ini."
"Akan kurobek mantelmu jika kaurobek mantelku,"
sahut Peeta dengan gigi terkatup.
"Oke," sahutku. Mungkin kami bisa melepaskan mantel
secepat mungkin, kami bisa menghindari luka bakar yang lebih burum. Tapi tetap
saja buruk. Mereka akan tetap melempar kami ke arena tanpa peduli pada kondisi
kami. "Aku tahu kita berjanji pada Haymitch bahwa kita akan melaksanakan
apa yang mereka perintahkan, tapi kurasa dia tidak mempertimbangkan sudut
ini."
"Di mana Haymitch? Bukankah dia seharusnya melindungi
kita dari hal-hal semacam ini?" tanya Peeta.
"Dengan begitu banyak alkohol pada tubuhnya, mungkin
tidak baik baginya untuk berada di dekat api yang berkobar," jawabku.
Tiba-tiba kami berdua tertawa. Kurasa kami berdua gelisah
mengenai Hunger Games dan yang lebih menakutkan, kami takut dijadikan obor
manusia, sehingga kami berbuat aneh.
Musik pembuka dimulai. Suaranya membahana, bisa didengar oleh
semua orang seantero Capitol. Pintu-pintu besar terbuka memperlihatkan jalanan
yang penuh orang. Perjalanan naik kereta kuda ini memakan waktu dua puluh menit
dan berakhir di Bundaran Kota, di sana mereka akan menyambut kami, memainkan
lagu kebangsaan, dan mengawal kami memasuki Pusat Latihan, yang akan menjadi
rumah/penjara kami sampai Hunger Games dimulai.
Peserta dari Distrik 1 keluar dari kereta kuda yang ditarik
kuda-kuda seputih salju. Mereka tampak begitu menawan, warna perak
disemperotkan ke tubuh mereka, dan mereka mengenakan tunik dengan perhiasan
berkilau. Distrik 1 menghasilkan barang-barang mewah untuk Capitol. Terdengar
suara pekikan membahana menyambut mereka. Distrik 1 selalu jadi favorit.
Distrik 2 mengikuti di belakang mereka. Tidak lama kemudian,
kami mendekati pintu dan aku melihat di antara langit berawan dan matahari sore
hari, cahaya mulai berubah kelabu.
Peserta dari Distrik 11 baru melangkah keluar ketika Cinna
datang membawa obor menyala.
"Mari kita laksanakan," katanya, dan sebelum kami
sempat bereaksi dia sudah menyulut mantel kami dengan api. Aku terkesiap,
menunggu rasa panas menjalar, tapi yang terasa hanya sensasi menggelitik yang
samar. Cinna naik di depan kami dan menyalakan penutup kepala kami.
Dia mendesah lega. "Berhasil." Kemudian dengan
lembut dia mengangkat daguku. "Ingat, kepala diangkat tinggi. Senyum.
Mereka akan menyukaimu."
Cinna melompat turun dari kereta kuda dan punya gagasan
terakhir. Dia meneriakkan sesuatu pada kami, tapi musik menenggelamkan
suaranya. Dia berteriak sekali lagi dan membuat gerakan.
"Dia bilang apa?" aku bertanya pada Peeta. Untuk
pertama kalinya, aku memandang Peeta dan menyadari bahwa di bawah api palsu
yang berkobar, dia tampak memesona. Pasti aku juga kelihatan memesona.
"Kurasa dia menyuruh kita berpegangan tangan," sahut
Peeta. Tangan kirinya meraih tangan kananku, dan kami memandang Cinna minta
penegasan. Lelaki itu mengangguk dan mengacungkan jempolnya, dan itulah hal
terakhir yang kami lihat sebelum kami memasuki kota.
Penonton yang awalnya terkejut melihat penampilan kami segera
bersorak dan berteriak, mengelu-elukan. "Distrik Dua Belas".
Semua kepala menoleh memandang aku dan Peeta, perhatian
terhadap tiga kereta kuda sebelumnya teralih pada kami. Mulanya, aku tak
sanggup bergerak, tapi kemudian aku melihat penampilan kami di layar televisi
raksasa dan aku terpana melihat betapa menakjubkannya kami di layar itu. Salam
cahaya senja yang makin kelam, kobaran api itu menyinari wajah kami. Mantel
kami berkibar seakan menginggalkan jejak-jejak api. Cinna benar dengan ide
riasan wajah kami tidak terlalu tebal, kami terlihat lebih menarik tapi wajah
kami masih bisa dikenali.
Ingat, kepala diangkat tinggi. Senyum. Mereka akan menyukaimu.
Kudengar suara Cinna bergaung dalam kepalaku. Kuangkat daguku sedikit lebih
tinggi, kutampilkan senyumku yang paling menawan, dan kulambaikan tanganku yang
bebas. Aku bersyukur ada Peeta yang bisa kugenggam tangannya memberiku keseimbangan,
dia begitu mantap, seteguh batu karang. Aku jadi semakin percaya diri, bahkan
berani meniupkan ciuman kepada para penonton.
Penduduk Capitol makin menggila, mereka melempari kami dengan
bunga, meneriakkan nama kami, nama depan kami, yang dengan susah payah mereka
cari dalam panduan program acara. Musik yang bertalu-talu, sorakan, dan
pemujaan mengalir masuk ke dalam darahku, dan aku tidak bisa menahan rasa
girangku. Cinna telah memberiku keuntungan besar. Tak ada seorang pun yang akan
melupakanku. Baik wajahku, maupun namaku. Katniss. Gadis yang terbakar.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan percikan harapan muncul
dalam diriku. Pasti paling tidak ada satu sponsor yang mau mendanaiku Dan
dengan ekstra bantuan, makanan, senjata yang tepat, aku bisa bertahan dalam
Hunger Games.
Seseorang melemparkan mawar merah kepadaku. Kutangkap bunga
itu, kucium pelan, dan kulemparkan ciuman kepada khalayak ramai ke arah
pelempar bunga. Ratusan tangan terulur untuk menangkap ciumanku, seakan
ciumanku nyata bisa dipegang.
"Katniss Katniss," kudengar namaku diserukan dari
segala penjuru. Semua orang menginginkan ciumanku.
Baru pada saat kami tiba di Bundaran Kota, aku sadar bahwa aku
sudah menghentikan peredaran darah tangan Peeta. Saking eratnya aku menggenggam
tangan itu. Aku menunduk memandang jemari kami yang bertautan dan aku
melonggarkan genggamanku, tapi Peeta tidak mau melpaskannya.
"Jangan, jangan lepaskan aku," kata Peeta. Kobaran
api membuat matanya yang biru tampak menyala. "Aku mohon. Aku bisa pingsan
akibat semua ini."
"Oke," sahutku. Jadi aku tetap berpegangan padanya,
tapi aku tetap merasa janggal dengan cara Cinna menggabungkan kami bersama.
Rasanya tidak adil menampilkan kami sebagai tim lalu mengunci kami di dalam
arena untuk saling membunuh.
Dua belas kereta kuda mengelilingi Bundaran Kota. Di
gedung-gedung yang mengelilingi Bundaran, semua jendela dipenuhi oleh penduduk
paling bergengsi di Capitol. Kuda-kuda berhenti tepat di depan mansion milik
Presiden Snow, dan kami semua berhenti berjalan. Musik berakhir dengan letupan
riang.
Presiden, yang bertubuh kecil dan kurus dengan rambut seputih
kertas, memberikan sambutan resmi dari balkon di atas kepala kami. Biasanya
wajahwajah para peserta tidak disorot kamera selama Presiden berpidato. Tapi di
layar kulihat kami mendapat sorotan lebih banyak dari seharusnya. Malam yang
semakin gelap, membuat penonton semakin sulit melepaskan pandangan dari tubuh kami
yang berkobar. Ketika lagu kebangsaan dinyanyikan, kamera-kamera menyoroti
wajah masing-masing peserta secara cepat, tapi kamera terus merekam kereta kuda
Distrik 12 ketika bergerak memutari bundaran untuk terakhir kalinya sebelum
menghilang ke Pusat Latihan.
Pintu baru menutup di belakang ketika kami diserbu oleh tim
persiapan, yang melontarkan pujian tidak cerdas. Saat memandang ke sekeliling,
aku melihat banyak peserta lain yang menatap kesal kepada kami, dan itu
menegaskan perkiraan kami, yaitu kami begitu bersinar sehingga penampilan
mereka jadi tidak berarti.
Cinna dan Portia ada di sana, membantu kami turun dari kereta
kuda, dengan hati-hati melepaskan mantel dan penutup kepala kami yang berkobar.
Portia memadamkan api dengan semacam semprotan kaleng.
Aku sadar aku masih berpegangan dengan Peeta dan kulepaskan
jemariku dengan susah payah. Kami memijat-mijat tangan kami masing-masing.
"Terima kasih mau memegangiku. Aku agak gemetar
tadi," kata Peeta.
"Tidak kelihatan kok," kataku padanya. "Aku
yakin tak ada yang tahu."
"Aku yakin penonton hanya tahu dirimu. Kau harus lebih
sering lagi memakai api," ujar Peeta. "Cocok untukmu."
Kemudian Peeta memperlihatkan senyum teramat manis yang
diiringi kesan malu-malu sehingga menimbulkan aliran rasa hangat dalam tubuhku.
Bel peringatan berdentang dalam kepalaku. Jangan bodoh. Peeta
menyusun rencana bagaimana membunuhmu. Aku mengingatkan diriku sendiri. Dia
membuatmu terpikat agar kau jadi mangsa mudah. Semakin memikat dia, semakin
mematikan pula dirinya.
Tapi
bukan cuma Peeta yang bisa memainkan permainan ini. Aku berjinjit mencium
pipinya. Tepat di bagian yang memar.[]
No comments:
Post a Comment