Penulis: Suzanne Collins
Bab 20
BUTUH waktu satu jam membuat Peeta menghabiskan kuah daging
itu. Satu jam yang diisi dengan bujukan, permohonan, ancaman, dan ya, ciuman,
tapi akhirnya, tegukan demi tegukan, Peeta akhirnya menghabiskan isi panci itu.
Kubiarkan dia tidur lalu aku mengurus kebutuhan-kebutuhanku
sendiri, menyantap makan malam berupa daging groosling dan umbi-umbian sambil
menonton laporan harian di angkasa. Tidak ada korban baru. Tapi, hari ini aku
dan Peeta memberikan tayangan yang lumayan menarik bagi penonton. Kuharap, para
juri Pertarungan akan membiarkan kami melewati malam ini dengan damai.
Secara otomatis aku berkeliling mencari pohon yang bagus untuk
jadi tempat istirahat sebelum aku sadar bahwa masa itu sudah berakhir. Paling
tidak untuk sementara. Aku tidak bisa meninggalkan Peeta tanpa penjagaan di
tanah. Aku meninggalkan tempat persembunyian Peeta di tepi sungai tanpa
tersentuh bagaimana aku bisa menutupinya?-dan kami hanya berjarak lima puluh
meter jauhnya ke arah hilir. Kupakai kacamataku, bersiap dengan senjataku, dan
duduk beristirahat sambil berjaga.
Suhu udara turun drastis dan tak lama kemudian aku sudah
menggigil sampai ke tulang. Akhirnya aku menyerah dan masuk ke dalam kantong
tidur bersama Peeta. Hangat di dalam kantong tidur dan aku bergelung nyaman
penuh rasa syukur sampai aku sadar bahwa yang kurasakan bukan sekedar hangat,
tapi panas tinggi karena kantong tidur itu memantulkan panas dari demam Peeta.
Kupegang dahinya yang ternyata panas dan kering. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan.
Meninggalkannya di dalam kantong tidur dan berharap panas
berlebihan akan menurunkan demamnya? Mengeluarkannya dari kantong tidur dan
berharap udara malam akan menyejukkannya? Akhirnya aku membasahkan perban dan
menaruhnya di dahi Peeta. Memang ini seperti usaha yang seadanya, tapi aku
takut melakukan apa pun yang terlalu drastis.
Kuhabiskan malam itu dengan setengah duduk, setengah berbaring
di samping Peeta, membasahkan kembali perban, dan berusaha untuk tidak
memikirkan kenyataan bahwa dengan bergabung bersamanya, aku menjadi lebih
rentan daripada ketika aku sendirian. Tertahan di tanah, berjaga-jaga dan harus
mengurus orang yang sangat sakit. Aku hanya perlu memercayai bahwa insting yang
mengirimku menemukan Peeta adalah insting yang bagus.
Ketika langit berubah kemerahan, aku memperhatikan ada
keringat di bibir Peeta dan sadar bahwa demamnya sudah turun. Kondisinya belum
kembali normal, tapi suhu tubuhnya tidak sepanas sebelumnya. Tadi malam sewaktu
mengumpulkan tanaman rambat, aku melihat semak buah-buah berry Rue. Kupetik
buah-buah berry itu dan kuremukkan ke dalam panci kuah daging dengan air
dingin.
Peeta berjuang untuk bangun ketika aku tiba di gua.
"Aku bangun dan kau tak ada," katanya. "Aku
menguatirkanmu."
Aku jadi tertawa seraya membantunya duduk lagi. "Kau
menguatirkanku? Kau sudah lihat dirimu seperti apa belakangan ini?"
"Kupikir Cato dan Clove berhasil menemukanmu. Mereka
senang berburu pada malam hari," kata Peeta dengan nada serius.
"Clove? Itu yang mana ya?" tanyaku.
"Anak perempuan dari Distrik Dua. Dia masih hidup,
kan?" katanya.
"Ya, ada mereka dan kita, Thresh dan si Muka Rubah,"
kataku. "Itu julukanku buat anak perempuan dari Distrik Lima. Bagaimana
perasaanmu?"
"Lebih baik daripada kemarin. Ini jauh lebih menyenangkan
dibandingkan lumpur," kata Peeta. "Pakaian bersih, obat-obatan,
kantong tidur... dan kau."
Oh, ya, segala urusan asmara ini. Aku mengulurkan tangan
menyentuh pipinya dan Peeta menangkap tanganku lalu menekankannya di bibirnya.
Aku ingat ayahku melakukan hal yang persis sama pada ibuku dan aku penasaran
dari mana Peeta memiliki gagasan ini. Tentu bukan dari ayahnya dan ibunya yang
nenek sihir itu.
"Tidak ada ciuman untukmu sampai kau makan," kataku.
Kubantu dia duduk bersandar di dinding dan dengan patuh dia
menelan suapansuapan buah berry yang kusendokkan ke mulutnya. Tapi dia menolak
makan daging groosling.
"Kau tidak tidur," kata Peeta.
"Aku tidak apa-apa," kataku. Tapi sejujurnya, aku
lelah setengah mati.
"Tidurlah sekarang. Aku yang akan berjaga-jaga. Aku akan
membangunkanmu jika terjadi apa-apa," katanya.
Aku ragu sejenak.
"Katniss, kau tidak bisa tidak tidur nonstop."
Peeta benar juga. Pada akhirnya aku harus tidur. Dan mungkin lebih
baik aku tidur selagi Peeta tampak sehat dan hari masih terang.
"Baiklah," kataku. "Tapi beberapa jam saja. Kau
harus membangunkanku."
Saat ini terlalu hangat jika tidur di kantong tidur.
Kuluruskan kantong tidur di atas dasar gua dan berbaring di atasnya, satu
tanganku memegangi busur dan panah yang siap ditembakkan seketika. Peeta duduk
di sampingku, bersandar di dinding, kakinya yang teluka terjulur ke depan,
matanya awas memandangi dunia di luar gua.
"Tidurlah," kata Peeta lembut. Tangannya menepis
anak-anak rambut nakal di dahiku. Tidak seperti ciuman-ciuman yang sudah diatur
dan sentuhan-sentuhan yang terjadi selama ini, gerakan ini tampak alami dan
menenangkan. Aku tidak ingin Peeta berhenti dan dia terus melakukannya. Dia
masih membelai rambutku hingga aku tertidur.
***
Terlalu lama. Aku tidur terlalu lama. Aku tahu saat membuka
mata dan kulihat hari sudah menjelang sore. Peeta berada persis di sebelahku,
posisinya tidak berubah sejak aku tidur. Aku duduk, merasa jauh lebih segar
daripada beberapa hari terakhir tapi merasa perlu membela diri.
"Peeta, kau harus membangunkanku setelah aku tidur dua
jam," kataku.
"Untuk apa? Tidak ada apa-apa yang terjadi di sini,"
katanya. "Lagi pula, aku senang melihatmu tidur. Kau tidak cemberut.
Penampilanmu lebih baik."
Perkatannya tentu membuatku cemberut sehingga Peeta jadi
nyengir. Saat itulah aku memperhatikan betapa kering bibir Peeta. Kupegang
pipinya. Panas seperti kompor batu bara. Dia bilang dia sudah minum, tapi botol
minumannya masih terasa penuh. Kuberikan lebih banyak pil penurun panas dan
berdiri di atasnya sementara dia minum sebotol air lalu botol berikutnya. Lalu
aku merawat luka-luka kecilnya, luka-luka bakar, sengatan tawon, yang semuanya
tampak lebih baik.
Kukuatkan diriku dan kubuka perban di kakinya. Jantungku
terasa jatuh ke perut. Keadaannya lebih buruk, jauh lebih buruk. Tidak ada lagi
nanah yang kelihatan, tapi bengkaknya membesar dan kulitnya meradang. Lalu aku
melihat garis-garis kemerahan mulai naik ke pahanya. Keracunan darah.
Jika tidak dirawat, Peeta pasti mati. Daun-daunan yang
kukunyah dan salep takkan berfungsi untuk luka ini. Kami membutuhkan obat anti
infeksi yang kuat dari Capitol. Aku tidak bisa membayangkan biaya untuk
memperoleh obat seampuh itu.
Jika Haymitch berhasil memperoleh sumbangan dari semua
sponsor, apakah jumlahnya cukup untuk obat itu? Aku tidak yakin. Hadiah-hadiah
semakin mahal harganya seiring dengan berlangsungnya Hunger Games. Uang yang
cukup untuk membeli makanan komplet pada hari pertama hanya bisa membeli
biskuit pada hari kedua belas. Dan obat yang dibutuhkan Peeta pasti sudah
teramat mahal sejak hari pertama.
"Masih ada pembengkakan, tapi sudah tidak ada
nanah," kataku dengan suara bergetar.
"Aku tahu seperti apa keracunan darah, Katniss,"
kata Peeta. "Bahkan jika ibuku bukan ahli obat-obatan."
"Kau hanya perlu bertahan hidup melampaui yang lain,
Peeta. Mereka akan menyembuhkan lukamu di Capitol saat kita menang,"
kataku.
"Ya, itu rencana bagus," katanya. Tapi aku merasa
ini demi kepentinganku saja. "Kau harus makan. Meningkatkan kekuatanmu.
Aku akan membuatkan sup untukmu," kataku.
"Jangan nyalakan api," kata Peeta. "Tidak layak
demi semangkuk sup."
"Kita lihat saja," sahutku.
Saat membawa panci ke sungai, aku kaget saat menyadari betapa
panasnya air di sungai. Aku berani sumpah para Juri Pertarungan sengaja
menaikkan suhu setinggi mungkin pada siang hari dan menurunkan suhu
serendah-rendahnya pada malam hari. Panas dari batu-batu yang terpanggang
matahari memberiku ide. Mungkin aku tidak perlu menyalakan api.
Aku duduk di atas batu besar yang berada di antara sungai dan
gua. Setelah memurnikan setengah panci air, aku menaruhnya di bawah sinar
matahari langsung dan menambahkan beberapa batu panas seukuran telur ayam ke
dalam air di panci. Aku harus mengakui bahwa aku bukan tukang masak yang bisa
diandalkan. Tapi karena membuat sup adalah salah satu keahlianku.
Kucincang-cincang daging groosling-ku sampai nyaris menjadi bubur dan
kutambahkan umbi-umbian Rue.
Untungnya daging dan umbi sudah matang jadi hanya perlu
dipanaskan saja dalam sup. Di antara sinar matahari dan batu-batuan, air dalam
panci pun sudah menghangat. Kumasukkan daging dan umbi-umbian ke dalam panci,
kuganti batu-batu di dalam panci dengan yang baru, lalu aku pergi mencari daun
hijau untuk menambahkan rasa sedikit. Tidak lama kemudian, aku menemukan lokio
yang tumbuh di dasar bebatuan. Sempurna. Kucincang lokio hingga halus lalu
kutambahkan ke dalam panci. Aku mengganti batu-batuan lagi, menutup panci, dan
membiarkan sup masak.
Aku melihat tanda-tanda keberadaan hewan buruan di sekitar
sini, tapi aku tidak merasa nyaman meninggalkan Peeta sendirian sementara aku
berburu, jadi aku memasang enam jerat dan berharap semoga aku beruntung. Aku
bertanya-tanya tentang peserta-peserta lain, bagaimana cara mereka mencari dan
menemukan makanan setelah sumber makanan mereka diledakkan. Paling tidak tiga
peserta, Cato, Clove, dan si Muka Rubah, bergantung pada sumber makanan mereka.
Mungkin Thresh tidak. Aku punya firasat dua pasti memiliki
pengetahuan seperti Rue tentang bagaimana cara mencari makanan dari alam.
Apakah para peserta lain saling bertarung? Mencari kami? Mungkin salah satu
dari mereka telah menemukan kami dan sedang menunggu saat yang tepat untuk
menyerang.
Pemikiran itu membuatku segera kembali ke gua.
Peeta berbaring di atas kantong tidur di bawah naungan
batu-batuan. Meskipun dia tampak sedikit ceria ketika aku datang, jelas
kelihatan bahwa dia menderita. Kutaruh kain basah yang sejuk di kepalanya, tapi
kain itu langsung hangat tidak lama setelah menyentuh kulitnya.
"Kau mau sesuatu?" tanyaku.
"Tidak," katanya. "Terima kasih. Tunggu, ya.
Berceritalah untukku."
"Cerita? Tentang apa?" kataku. Aku bukan pencerita
yang baik. Sama seperti bernyanyi. Tapi ada kalanya, Prim berhasil memaksaku
bercerita.
"Sesuatu yang gembira. Ceritakan hari paling bahagia yang
bisa kau ingat," kata Peeta.
Dari mulutku keluar perpaduan antara desahan dan dengusan.
Cerita bahagia? Ini butuh lebih banyak usaha daripada membuat sup.
Kukorek-korek otakku mencari kenangan-kenangan indah. Kebanyakan dari kenangan
itu melibatkan Gale dan aku berburu, dan entah bagaimana menurutku cerita
semacam itu tidak cocok bagi Peeta atau penonton. Jadi tinggal cerita tentang
Prim.
"Pernah tidak aku cerita bagaimana aku mendapat kambing
untuk Prim?" tanyaku.
Peeta menggeleng, dan dia memandangku penuh semangat menanti
ceritaku. Jadi aku mulai bercerita. Tapi aku berhati-hati. Karena kata-kataku
akan terdengar di seantero Panem. Dan kalau orang-orang yakin aku sudah berburu
secara ilegal, aku tidak mau melukai Gale atau Greasy Sae atau tukang daging
atau bahkan Penjaga Perdamaian di distrikku yang juga menjadi pelangganku
dengan memberikan pernyataan di depan umum bahwa mereka juga melanggar hukum.
Ini cerita sesungguhnya tentang bagaimana aku mendapat uang
untuk membeli kambing Prim, Lady. Saat itu jumat malam, sehari sebelum ulang
tahun Prim yang kesepuluh pada akhir Mei. Saat sekolah bubar, aku dan Gale
langsung pergi ke hutan, karena aku ingin punya banyak hewan buruan yang bisa
kutukar untuk membeli hadiah buat Prim. Mungkin kain baru untuk membuat pakaian
atau sisir. Jerat-jerat kami menghasilkan tangkapan yang lumayan dan hutan
dipenuhi daundaun hijau, tapi hari ini tidak lebih dari sekedar tangkapan jumat
malam yang biasa.
Aku kecewa ketika berjalan pulang, meskipun Gale menghiburku
dengan mengatakan bahwa besok pasti hari kami akan lebih baik. Kami sedang
beristirahat sejenak di hutan ketika aku melihatnya. Seekor rusa jantan yang
masih muda, mungkin masih anak rusa kalau melihat ukurannya. Tanduk-tanduk baru
mulai tumbuh, masih kecil dan seakan berbalut beludru. Dia tampak hendak lari
tapi tidak yakin terhadap kami, tidak terbiasa melihat manusia. Indah sekali.
Mungkin sudah tidak seindah semasa hidupnya ketika dua anak
panah menembus tubuh anak rusa itu, satu di leher, satu di dada. Aku dan Gale
memanah bebarengan. Anak rusa itu berusaha lari tapi terjatuh, dan pisau Gale
langsung menggorok lehernya sebelum binatang itu menyadari apa yang terjadi.
Sejenak, aku merasakan sengatan kepedihan yang datang tiba-tiba karena telah
membunuh mahkluk yang masih kecil dan tak berdosa. Tapi kemudian perutku
langsung keroncongan membayangkan daging yang masih segar dan polos itu.
Seekor rusa. Selama kami berburu, aku dan Gale hanya pernah
membunuh tiga ekor. Rusa pertama adalah rusa betina yang entah bagaimana
kakinya terluka, dan nyaris tidak bisa dihitung sebagai buruan yang sukses.
Tapi kami belajar dari pengalaman untuk tidak menyeret bangkai hewan ke Hob.
Hal itu cuma akan menimbulkan kekacauan karena orang-orang berteriak menawar
potonganpotongan dagingnya sembari mereka berusaha memotong daging itu untuk
mereka sendiri. Greasy Sae turun tangan dan mengirim kami berdua ke tukang
daging.
Tapi binatang itu sudah dalam kondisi rusak berat,
bongkahan-bongkahan dagingnya banyak yang sudah hilang, kulitnya
berlubang-lubang. Meskipun semua orang membayar, tapi harganya di bawah nilai
buruan. Kali ini, kami menunggu sampai malam tiba dan menyelinap melalui lubang
di bawah pagar yang dekat dengan tempat tukang daging. Meskipun kami sudah
dikenal sebagai pemburu, tetap saja bukan pemandangan yang bagus bila menyeret
rusa seberat 75 kilogram di sepanjang jalan Distrik 12 pada tengah hari bolong,
seakan kami sengaja mempermalukan pihak yang berwenang.
Tukang daging kami adalah wanita gempal bertubuh pendek
bernama Rooba, yang membuka pintu belakang ketika kami mengetuk. Kau tidak
boleh menawar dengan Rooba. Dia akan menyebutkan harga, yang bisa kau terima
atau kau tolak, tapi itu harga yang adil. Kami menerima harga yang
ditawarkannya pada rusa kami dan dia memberikan potongan-potongan daging yang
bisa kami ambil setelah rusa dipotong. Bahkan setelah uangnya dibagi dua, aku
dan Gale tidak pernah memegang uang sebanyak itu sepanjang hidup kami. Kami
memutuskan untuk merahasiakannya dan mengejutkan keluarga kami dengan daging
buruan dan uang itu besok malam.
Dari sinilah aku memperoleh uang untuk membeli kambing, tapi
aku bercerita pada Peeta bahwa aku menjual liontin perak milik ibuku. Cerita
itu takkan merugikan siapa pun. Lalu aku melanjutkan cerita pada sore hari
ulang tahun Prim. Aku dan Gale pergi ke pasar di alun-alun agar aku bisa
membeli bahan kain untuk dibuat gaun. Ketika jemariku sedang mengelus kain
katun biru yang tebal, mataku menangkap sesuatu. Ada lelaki tua yang sedang
menggembalakan kambing-kambingnya di seberang Seam. Aku tak tahu nama aslinya,
semua orang memanggilnya Pak Kambing. Sendi-sendi tubuhnya bengkak dan terpelintir
dalam sudut yang menyakitkan, dan dia batuk-batuk parah yang menunjukkan bahwa
dia menghabiskan waktu bertahun-tahun di tambang.
Tapi dia beruntung. Selama bekerja di tambang dia berhasil
menyimpan uang cukup banyak untuk membeli kambing-kambing itu dan di usia
tuanya dia memiliki kegiatan daripada Cuma menunggu dan mati kelaparan
pelan-pelan. Orang tua itu jorok dan tidak sabaran, tapi kambing-kambingnya
bersih dan susunya banyak jika kau punya uang untuk membelinya.
Seekor kambing, yang berwarna putih dengan totol-totol hitam,
sedang berbaring di kereta. Mudah melihat alasannya. Entah binatang apa,
mungkin anjing, telah melukai punggungnya dan menimbulkan infeksi. Kondisinya
buruk, Pak Kambing menjaganya hanya untuk diambil susunya. Tapi aku kenal
seseorang yang bisa mengobati kambing itu.
"Gale," bisikku. "Aku ingin kambing itu untuk
Prim."
Di Distrik 12, memiliki kambing betina bisa mengubah nasib.
Hewan-hewan itu bisa hidup nyaris di mana pun, padang rumput jadi tempat
sempurna mereka untuk makan, dan mereka bisa menghasilkan satu setengah liter
susu setiap hari. Bisa untuk diminum, dibuat keju, dijual. Dan semuanya tidak
melanggar hukum.
"Lukanya tampak parah," kata Gale. "Sebaiknya
kita lihat lebih teliti."
Kami menghampirinya dan membeli secangkir susu untuk diminum
berdua, lalu berdiri di dekat kambing itu dengan berlagak cuek tapi ingin tahu.
"Jangan ganggu," kata Pak Kambing.
"Cuma lihat-lihat," tukas Gale.
"Jangan lama-lama lihatnya. Sebentar lagi dia akan dibawa
tukang daging. Nyaris tak ada yang mau membeli susunya, dan mereka cuma bayar
setengah harga," kata lelaki tua itu.
"Berapa harga yang dibayar tukang daging untuknya?"
tanyaku.
Dia mengangkat bahu. "Tunggu dan lihat saja."
Aku menoleh dan melihat Rooba menyebrang jalan menghampiri
kami. "Untung kau datang," kata Pak Kambing ketika tukang daging
datang. "Anak perempuan ini naksir kambingmu."
"Tidak, jika dia sudah ada yang punya," kataku
seolah tak peduli.
Rooba memandangiku dari atas ke bawah lalu mengernyit melihat
kambingnya. "Kambing itu tak ada yang punya. Lihat punggungnya. Pasti
setengah bangkainya nanti akan terlalu buruk untuk dijadikan sosis."
"Apa?" seru Pak Kambing. "Kita sudah punya
perjanjian."
"Kita punya perjanjian untuk hewan dengan beberapa luka
gigitan. Bukan hewan itu. Jual saja pada anak perempuan itu jika dia cukup
bodoh untuk membelinya," kata Rooba. Ketika tukang daging itu berjalan
pergi, kulihat dia mengedipkan matanya padaku.
Pak Kambing marah, tapi dia masih ingin kambing itu lepas dari
tangannya. Butuh waktu setengah jam bagi kami untuk mencapai kesepakatan harga.
Sejumlah orang bahkan ikut kumpul memberikan pendapat mereka. Aku memperolehnya
dengan harga yang amat bagus jika kambing itu hidup; tapi aku sama saja dengan
dirampok jika kambing itu mati. Orang-orang terus berargumen, tapi aku
mengambil kambing itu.
Gale menawarkan diri untuk menggendongnya. Sama seperti aku,
kurasa Gale ingin melihat seperti apa wajah Prim nanti ketika melihat kambing
ini. Dalam keadaan terburu-buru, kubeli pita pink dan kuikat di leher kambing
itu. Kemudian kami bergegas pulang.
Kau harus melihat reaksi Prim ketika kami masuk dengan kambing
itu. Ingat ya ini anak perempuan yang menangis untuk menyelamatkan kucing tua
menyebalkan itu, Buttercup. Prim langsung bersemangat hingga dia tertawa dan
menangis bebarengan. Ibuku tidak terlalu yakin melihat lukanya, tapi mereka
segera mengusahakan mengobatinya, dengan meracik ramuan dan memaksa binatang
itu meminum obat buatan mereka.
"Kedengarannya mereka sepertimu," kata Peeta.
Aku nyaris lupa dia ada di sini.
"Oh, tidak, Peeta. Mereka punya tangan magis. Binatang
itu bisa mati jika aku berusaha mengobatinya," kataku.
Tapi kemudian aku buru-buru menggigit lidahku, menyadari Peeta
pasti memikiran kondisinya, yang sedang sekarat dan berada di tangan yang tidak
kompeten.
"Jangan kuatir. Aku tidak sedang berusaha diobati
kok," gurau Peeta. "Teruskan ceritamu."
"Well, sudah selesai ceritanya. Aku ingat malam itu Prim
berkeras tidur bersama Lady di atas selimut di dekat perapian. Dan sebelum
tertidur, kambing itu menjilat pipi Prim, seakan dia memberi ciuman selamat
malam," kataku. "Saat itu si kambing sudah tergila-gila pada
Prim."
"Apakah kambing itu masih memakai pita pink?" tanya
Peeta.
"Sepertinya begitu," kataku. "Kenapa?"
"Aku hanya berusaha membayangkannya," kata Peeta
penuh perhatian. "Aku bisa mengerti kenapa hari itu membuatmu
bahagia."
"Yah, aku tahu kambing itu akan jadi tambang
emasku," kataku.
"Ya, tentu saja itu maksudku ketika membayangkan kenapa
kau bahagia, bukan karena kebahagiaan abadi yang kau berikan pada adikmu yang
amat kausayangi hingga kau rela menggantikan tempatnya di sini," kata
Peeta dengan gaya tak acuh.
"Kambing itu sudah membayar harga yang kubayar untuk
membelinya. Bahkan jauh berkali-kali lipat lebihnya," kataku dengan nada
sombong.
"Hm, hewan itu takkan berani tidak melakukannya setelah
kau menyelamatkan nyawanya," kata Peeta. "Aku juga berniat melakukan
hal yang sama."
"Sungguh? Memangnya apa yang kaulakukan hingga membuatku
rugi?" tanyaku.
"Menimbulkan banyak kesulitan untukmu. Jangan kuatir. Kau
akan mendapat bayarannya," kata Peeta.
"Omonganmu tak masuk akal," kataku. Kupegang
dahinya. Demamnya makin tinggi. "Kau sudah tidak sepanas tadi."
Suara terompet mengejutkanku. Secepat kilat aku berdiri dan
sudah berada di mulut gua, tidak ingin ketinggalan sepatah kata pun. Itu
sahabat baruku, Claudius Templesmith, dan sebagaimana sudah kuduga, dia
mengundang kami berpesta.
Hm, kami tidak selapar itu dan aku mengabaikan tawarannya
dengan gaya tak peduli ketika dia berkata, "Tunggu dulu. Beberapa dari
kalian mungkin sudah menolak undanganku. Tapi ini bukan pesta biasa.
Masing-masing dari kalian membutuhkan sesuatu yang amat kalian dambakan."
Aku memang butuh sesuatu yang amat kudambakan. Sesuatu untuk
menyembuhkan kaki Peeta.
"Masing-masing dari kalian akan menemukan sesuatu itu
dalam ransel yang bertuliskan nomor distrikmu, di Cornucopia pada dini hari.
Pikirkan baik-baik jika kalian menolak untuk datang. Untuk beberapa orang, ini
bakal jadi kesempatan terakhirmu," kata Claudius.
Lalu senyap, hanya kata-katanya yang menggantung di udara. Aku
terlonjak ketika Peeta memegang bahuku dari belakang.
"Jangan," katanya. "Kau tidak boleh
mempertaruhkan hidupmu demi aku."
"Siapa bilang aku mau melakukannya?" tanyaku.
"Jadi kau takkan pergi?" tanya Peeta.
"Tentu saja, aku takkan pergi. Jangan pikir aku sebodoh
itu. Kaupikir aku bakalan langsung berlari merebut barang gratisan melawan
Cato, Clove, dan Thresh? Jangan konyol," kataku, sambil membantunya
kembali ke tempat tidur. "Kubiarkan mereka bertarung memperebutkannya,
kita lihat siapa yang muncul di angkasa besok malam dan mulai menyusun rencana
dari sana."
"Kau pembohong yang buruk, Katniss. Aku tidak tahu
bagaimana kau bisa bertahan hidup selama ini." Peeta mulai meniru omonganku.
"Aku tahu kambing itu akan jadi tambang emasku. Kau sudah tidak sepanas
tadi. Tentu saja, aku takkan pergi." Dia menggeleng. "Jangan pernah
berjudi. Kau akan kehilangan semua hartamu," kata Peeta.
Kemarahan membakar wajahku. "Baiklah, aku pergi, dan kau
tak bisa menghentikanku"
"Aku bisa mengikutimu. Paling tidak separo jalan. Aku
mungkin takkan berhasil tiba di Cornucopia, tapi jika aku meneriakkan namamu,
aku yakin bakal ada orang yang menemukanku. Dan pada saat itu tiba aku pasti
mampus," katanya.
"Kau takkan sanggup berjalan seratus meter dengan kakimu
itu," kataku.
"Akan kuseret tubuhku," kata Peeta. "Kau pergi,
aku pergi juga."
Peeta keras kepala dan mungkin cukup kuat untuk melaksanakan
ancamannya. Berteriak memanggil-manggil namaku di hutan. Bahkan jika tak ada
peserta yang menemukannya, bisa jadi mahkluk lain yang menemukannya. Dia tak
sanggup membela dirinya sendiri. Aku mungkin harus mengikatnya di dinding gua
kalau ingin pergi sendiri. Dan apa yang bakal terjadi padanya jika dia kusiksa
seperti itu?
"Apa yang harus kulakukan? Duduk di sini dan melihatmu
mati?" tanyaku.
Dia pasti tahu itu bukan pilihan. Penonton akan membenciku.
Dan sejujurnya, aku juga bakal membenci diriku sendiri, jika aku tidak
mencobanya.
"Aku takkan mati. Aku berjanji. Jika kau mau berjanji
untuk tidak pergi," katanya.
Kami menghadapi jalan buntu. Aku tahu aku tidak bisa berdebat
dengannya untuk urusan ini, jadi aku tidak mencobanya. Dengan enggan, aku
berpura-pura mengikuti keinginannya. "Kalau begitu, kau harus melakukan
apa yang kusuruh. Minum airmu, bangunkan aku pada jam yang kuperintahkan, dan
makan semua sup itu semenjijikkan apa pun rasanya." Aku membentaknya.
"Setuju. Supnya sudah matang?" tanya Peeta.
"Tunggu di sini," kataku.
Udara sekarang lebih dingin meskipun matahari masih belum
terbenam. Aku benar tentang juri Pertarungan yang mempermainkan suhu udara. Aku
penasaran apakah salah satu benda yang didambakan seseorang berupa selimut. Sup
buatanku masih bagus dan hangat dalam panci logam. Dan sesungguhnya rasanya
tidak terlalu buruk.
Peeta makan tanpa mengeluh, bahkan mengais-ngais hingga ke
dasar ke dasar panci untuk menunjukkan semangatnya. Dia mengoceh betapa
lezatnya sup buatanku. Seharusnya pujian dari Peeta terdengar menyenangkan
kalau kau tidak tahu ocehan apa saja yang diucapkan oleh penderita demam.
Mendengarnya bicara seolah mendengarkan Haymitch sebelum alkohol
menenggelamkannya dalam ketidaksadaran. Kuberikan obat penurun panas lagi
sebelum Peeta tertidur pulas.
***
Ketika aku turun ke sungai untuk bersih-bersih, yang terpikir
dalam otakku hanyalah Peeta akan mati jika aku tidak datang ke pesta itu. Aku
bisa merawatnya selama satu-dua hari lagi, kemudian infeksi akan mencapai
jantung atau otaknya atau paru-parunya, lalu dia pun tewas. Dan aku akan
sendirian di sini. Lagi. Menunggu yang lain.
Pikiranku kalut hingga aku nyaris tidak melihat parasut, yang
melayang tepat di depanku. Lalu aku menerjang mengejarnya, menariknya dari air,
merobek kain perak yang membungkusnya untuk mengambil botol kecil di dalamnya.
Haymitch melakukannya lagi Dia mendapatkan obat itu-aku tidak tahu bagaimana
caranya, membujuk orang-orang bodoh yang percaya pada romantisme untuk menjual
perhiasan mereka-dan aku bisa menyelamatkan Peeta Tapi botol ini sangat kecil.
Pasti dosisnya sangat kuat untuk bisa menyembuhkan orang yang
sakitnya separah Peeta. Keraguan menyelubungiku. Kubuka tutup botol dan kucium
isinya. Semangatku pupus ketika mencium aroma yang teramat manis. Untuk lebih
yakinnya, kuteteskan sedikit cairan itu keujung lidahku. Tidak diragukan lagi,
ini sirup obat tidur. Ini obat yang lazim ditemukan di Distrik 12. Harganya
murah, untuk ukuran obat, tapi bisa membuat kecanduan. Hampir semua orang
pernah mencicipinya satu atau dua kali. Di rumah kami punya sebotol. Ibuku
memberikan obat ini pada pasien-pasien yang histeris untuk membuatnya tidak
sadar agar bisa menjahit luka mereka atau menenangkan pikiran mereka atau
membantu seseorang yang sedang kesakitan agar bisa tidur dengan tenang. Hanya
butuh sedikit. Botol seukuran ini bisa membuat Peeta tak sadarkan diri
sepanjang hari, tapi apa gunanya?
Aku sangat marah dan hendak melemparkan hadiah terakhir dari
Haymitch ini ke sungai ketika aku sadar. Sepanjang hari? Itu lebih dari cukup
buatku.
***
Kuremukkan segenggam buah berry agar rasanya tidak terlalu
kentara dan menambahkan daun-daun mint untuk memberi rasa. Kemudian aku
berjalan kembali ke gua. "Kubawakan kau hadiah. Aku menemukan buah-buah
berry agak jauh dari hilir sungai."
Peeta membuka mulutnya, menggigit buah-buah itu tanpa ragu.
Dia menelannya kemudian mengernyit. "Rasanya sangat manis."
"Ya, ini namanya buah berry gula. Ibuku membuat selai
dari berry ini. Kau tidak pernah mencobanya ya?" tanyaku, dan menyuapkan
sesendok lagi ke mulutnya.
"Tidak pernah," katanya, wajahnya tampak heran.
"Tapi rasanya tidak asing. Berry gula?"
"Yah, kau tidak bisa membelinya, buah berry ini tumbuh
liar," kataku.
Suapan lagi ditelannya. Hingga tinggal satu suapan terakhir.
"Rasanya semanis sirup," kata Peeta, sambil
menyantap suapan sendok terakhir. "Sirup."
Mata Peeta terbelalak saat menyadarinya. Kututup mulutnya
dengan tanganku dan kujepit hidungnya keras-keras, sehingga Peeta terpaksa
menelan bukannya meludahkan buah berry itu. Peeta berusaha memuntahkannya, tapi
terlambat, dia sudah mulai kehilangan kesadarannya. Pada detik-detik terakhir
kesadarannya hilang, aku bisa melihat di matanya bahwa apa yang kulakukan ini
takkan termaafkan.
Aku duduk bertumpu pada tumitku dan memandangnya dengan
perpaduan kesedihan dan kepuasan. Ada buah berry tercecer di dagunya yang
segera kuhapus hingga bersih.
"Siapa yang tidak bisa berbohong, Peeta?" tanyaku,
meskipun dia tidak bisa mendengarku.
Tidak apa-apa. Seantero Panem bisa mendengarku.[]
No comments:
Post a Comment