Penulis: Suzanne Collins
Bab 2
Pernah suatu ketika aku tidak bisa melihat apa-apa dari pohon,
menunggu tanpa bergerak hingga binatang buruanku lewat, lalu aku ketiduran dan
jatuh dari ketinggian tiga meter, dan mendarat dengan punggungku. Benturan itu
seakan membuat semua udara tersembur keluar dari paru-paruku, dan aku hanya
bisa terbaring di tanah berusaha keras untuk bisa menarik napas, untuk bisa
melakukan apa saja.
Itulah yang kurasakan sekarang, berusaha mengingat bagaimana
cara bernapas, tidak sanggup bicara, terpana tak kuasa bergerak ketika nama
yang disebutkan memantul-mantul dalam tengkorakku. Seorang anak lelaki dari
Seam memegangi lenganku, rasanya aku mungkin nyaris terjatuh dan dia menahanku.
Pasti ada kesalahan. Ini tak mungkin terjadi. Kertas
bertuliskan nama Prim hanya ada satu di antara ribuan Kemungkinan namanya
terpilih teramat sangat kecil sehingga aku bahkan tidak menguatirkannya.
Bukankah aku sudah melakukan segalanya? Aku yang mengambil tessera, dan
melarangnya melakukan itu? Selembar nama. Selembar nama di antara ribuan.
Probabilitas pemilihan ini sangat menguntungkan baginya. Tapi itu sudah tidak
penting lagi.
Nun jauh di sana, aku bisa mendengar kerumunan massa bergumam
tak bersemangat sebagaimana yang selalu mereka lakukan saat yang terpilih
adalah anak berusia dua belas tahun karena tak seorang pun menganggap ini adil.
Kemudian aku melihat Prim, wajahnya pias, kedua telapak tangannya terkepal
keras di samping tubuhnya, jalannya kaku, dengan langkah-langkah kecil menuju
panggung, melewatiku, kemudian aku melihat bagian belakang blusnya lagi-lagi
keluar dan menggantung di atas roknya. Hal kecil inilah, blus yang tak
dimasukkan sehingga tampak seperti ekor bebek, yang membuatku kembali ke
kenyataan.
"Prim." Pekikan tertahan keluar dari mulutku, dan
otot-ototku mulai bergerak lagi. "Prim"
Aku tidak perlu mendesak kerumunan. Anak-anak lain segera
membuka jalan dan membiarkanku langsung berjalan menuju panggung. Aku tiba
disamping Prim tepat ketika dia hendak menaiki tangga. Dengan sekali dorong,
aku mendesak Prim ke belakang tubuhku.
"Aku mengajukan diri," pekikku. "Aku mengajukan
diri sebagai peserta."
Ada sedikit kekacauan di panggung. Sudah berpuluh-puluh tahun
tidak ada yang mengajukan diri jadi peserta di Distrik 12 dan protokolnya agak
berkarat. Peraturannya adalah setelah nama peserta ditarik dari bola, anak
lelaki lain, jika anak lelaki yang baru dibacakan, atau anak perempuan lain,
jika nama anak perempuan yang baru dibacakan, bisa maju dan menggantikan tempat
anak yang disebutkan namanya. Di beberapa distrik yang menganggap memenangkan
pemilihan ini adalah kehormatan besar, dan orang-orang bernafsu untuk
mengorbankan diri, adanya orang yang sukarela mengajukan diri jadi peserta
malah menjadi masalah rumit. Tapi di Distrik 12, dimana kata peserta kurang
lebih sinonim dengan kata mayat, orang yang mengajukan diri bisa dibilang
mahkluk langka.
"Bagus sekali," kata Effie Trinket. "Tapi menurutku
ada masalah kecil antara memperkenalkan pemenang terpilih dan menanyakan apakah
ada yang mau jadi sukarela jadi peserta, dan jika ada yang mau sukarela jadi
peserta kemudian kita, hmm..." Suaranya perlahan-lahan menghilang, bingung
harus bicara apa lagi.
"Apa masalahnya?" tanya sang wali kota.
Dia memandangku dengan ekspresi sedih di wajahnya. Sebenarnya
dia tidak mengenalku, tapi samar-samar dia tahu siapa aku. Akulah anak
perempuan yang membawakannya stroberi. Anak perempuan yang kadang-kadang diajak
ngobrol oleh putrinya. Anak perempuan yang berdiri berdempetan dengan ibu dan
adik perempuannya lima tahun lalu. Dan sebagai anak tertua, anak perempuan itu
menerima medali tanda keberanian dari sang wali kota. Medali atas nama ayahnya,
yang tewas menguap di tambang. Apakah wali kota mengingat semua itu?
"Apa masalahnya?" ulang sang wali kota dengan suara
serak. "Biarkan saja dia maju."
Prim menjerit histeris di belakangku. Kedua lengannya yang kurus
memelukku tak mau lepas. "Jangan, Katniss. Jangan. Kau tidak boleh pergi."
"Prim, lepaskan aku," bentakku kasar, karena hal ini
membuatku gusar dan aku tidak mau menangis. Nanti malam saat mereka menayangkan
ulang acara pemilihan, semua orang akan mengingat tangisanku, dan aku akan di
cap sebagai sasaran mudah. Orang lemah. Aku tak mau memberi mereka kepuasan
itu. "Lepaskan."
Aku bisa merasa ada orang yang menarik Prim dari punggungku.
Aku menoleh dan melihat Gale menarik Prim hingga kakinya terangkat dari tanah
sambil meronta-ronta dalam pelukan Gale.
"Naik sana, Catnip," katanya, dengan suara yang
berusaha ditagannya agar tetap tegar, kemudian dia membopong Prim ke ibuku.
Kukuatkan diriku dan kunaiki tangga menuju panggung. Aku
menelan ludah dengan susah payah. "Katniss Everdeen." kataku.
"Aku berani taruhan tadi adik perempuanmu. Kau tidak mau
dia jadi jagoan ya? Ayo, semuanya Berikan tepuk tangan yang meriah untuk
peserta terbaru kita," seru Effie Trinket.
Penduduk Distrik 12 memang patut dipuji, karena tak ada
seorang pun bertepuk tangan. Bahkan orang-orang yang memegang kertas taruhan
pun tidak ada yang bertepuk tangan, padahal mereka biasanya paling tidak
pedulian. Mungkin karena mereka mengenalku dari Hob, atau mengenal ayahku atau
pernah bertemu dengan Prim, yang selalu disukai semua orang. Jadi bukannya
menerima tepuk tangan, aku berdiri tak bergerak di panggung sementara mereka
menunjukkan penolakan terberani yang bisa mereka lakukan. Diam. Mereka
menyatakan bahwa mereka tidak setuju. Mereka tidak memaafkan. Semua ini salah.
Kemudian terjadi sesuatu yang tak terduga. Paling tidak aku
tidak menduganya karena aku tidak menganggap Distrik 12 sebagai tempat yang
peduli padaku. Tapi terjadi perubahan sejak aku menggatikan posisi Prim, dan
sekarang aku tampaknya menjadi seseorang yang berharga. Mulanya hanya satu
orang, kemudian ada yang lain, lalu hampir semua orang yang ada di kerukunan
menyentuhkan tiga jemari tengah kanan kiri ke bibir mereka kemudian mengulurkan
jemari mereka ke arahku.
Gerakan ini adalah gerakan lama dan jarang di gunakan di
distrik kami, kadang-kadang dilakukan oleh beberapa orang di pemakaman. Gerakan
ini artinya terimakasih, penghormatan, salam selamat tinggal pada orang yang kau
kasihi. Sekarang aku benar-benar tidak bisa menahan tangis, tapi untungnya
Haymitch memilih saat ini untuk terhuyung-huyung melintasi panggung dan
memberikan selamat padaku.
"Lihat dia. Lihat yang satu ini," teriaknya, satu
lengannya memeluk bahuku. Untuk pemabuk lusuh, pegangannya ternyata kuat.
"Aku menyukainya."
Napasnya bau minuman keras dan entah kapan terakhir kalinya
dia mandi.
"Banyak... " Sejenak dia tidak bisa memikirkan kata
apa yang hendak diucapkannya. "Nyali," katanya dengan penuh kemenangan.
"Lebih dari kalian." Haymitch melepasku dan menuju bagian depan
panggung.
"Lebih dari kalian," teriaknya, menunjuk langsung ke
arah kamera. Apakah ucapannya ditujukan untuk penonton atau saking mabuknya dia
sesungguhnya mengejek Capitol? Aku tak pernah tahu apa maksudnya karena ketika
Haymitch membuka mulut untuk melanjutkan, dia ambruk di panggung dan langsung
tak sadarkan diri.
Pria itu menjijikan, tapi aku bersyukur. Karena kamera mereka
tertuju padanya, aku jadi punya waktu berdeham kecil mengeluarkan rasa sesak di
tenggorokanku dan menenangkan diriku kembali. Kulipat tanganku ke belakang dan
tatapanku tertuju ke kejauhan, masih bisa kulihat perbukitan yang kudaki
bersama Gale pagi tadi.
Sesaat, aku mendambakan sesuatu... gagasan bahwa kami
meninggalkan distrik... hidup mandiri di hutan... tapi aku benar dengan memilih
untuk tidak melarikan diri. Karena siapa lagi yang mau sukarela menggantikan
Prim?
Haymitch dibawa pergi dengan usungan, dan Effie Trinket
berusaha melanjutkan acara. "Hari yang seru," ocehnya sambil berusaha
meluruskan rambut palsunya, yang terlalu miring ke kanan.
Tapi masih ada yang lebih seru lagi. Waktunya memilih peserta
laki-laki. Wanita itu jelas masih berusaha memperbaiki keadaan rambutnya,
dengan satu tangan di kepala dia berjalan menuju bola yang berisi nama anak
laki-laki dan mencomot kertas pertama yang disentuhnya. Dia bergegas kembali ke
podium, dan aku bahkan tidak sempat berharap semoga Gale anan ketika dia
membacakan nama di kertas. "Peeta Mellark."
Peeta Mellark.
Oh tidak, pikirku. Jangan dia. Karena aku mengenali namanya,
meskipun aku tak pernah bicara langsung dengan pemilik nama itu. Peeta Mellark.
Ternyata, keberuntungan tak di pihakku hari ini.
Kuperhatikan dia saat berjalan menuju panggung. Tinggi
tubuhnya sedang, sedikit gempal, rambutnya pirang abu yang jatuh bergelombang
di dahinya. Keterkejutan yang dirasakan Peeta atas kejadian ini tertera di
wajahnya, aku bisa melihat perjuangannya untuk memperlihatkan wajah tanpa
emosi, tapi mata birunya menunjukkan kewaspadaan yang sering kulihat di mata
mangsa buruan. Namun dia tetap naik ke panggung dengan langkah mantap dan
mengambil tempat yang disediakan untuknya.
Effie Trinket bertanya apakah ada yang mau sukarela
menggantikan Peeta, tak ada seorang pun yang muncul. Aku tahu dia punya dua
kakak laki-laki. Aku pernah melihatnya di toko roti, tapi salah satu kakaknya
mungkin terlalu tua untuk sukarela menggantikannya dan satu lagi tidak mau
melakukannya. Bagi kebanyakan orang rasa bakti terhadap keluarga ada batasnya
pada hari pemungutan. Apa yang kulakukan adalah perbuatan radikal.
Wali kota mulai membacakan Perjanjian Pengkhianatan yang
panjang dan membosankan sebagaimana yang selalu di lakukannya setiap tahun—bacaan
ini adalah keharusan—tapi tidak sepatah kata pun masuk ke telingaku.
Kenapa dia? Pikirku. Lalu aku berusaha meyakinkan diriku
sendiri bahwa tidak ada masalah. Aku tidak bersahabat dengan Peeta Mellark.
Bahkan kami tidak hidup bertetangga. Kami tidak saling bicara. Satu-satunya
hubungan nyata antara kami terjadi beberapa tahun lalu. Dia mungkin sudah
melupakannya. Tapi aku tidak lupa dan aku tahu akan takkan pernah
melupakannya...
Kejadiannya berlangsung pada masa terburuk. Ayahku tewas dalam
kecelakaan di tambang tiga bulan sebelumnya pada bulan Januari dalam musim
dingin terparah yang bisa diingat semua orang. Perasaanku yang mati rasa atas
kematian ayahku sudah berlalu, dan rasa sakit itu mendadak menyerangku entah
dari mana, dalam kepedihan yang berlipat ganda, dan mengguncang tubuhku dengan isakan.
Dimana kau? Jeritku dalam hati. Ke mana kau pergi? Tentu saja tak pernah ada
jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.
Distrik memberi kami sedikit uang sebagai jasa kematian
ayahku, cukup untuk sebagai biaya hidup selama satu bulan masa dukacita, dan
setelah itu ibuku diharapkan sudah memperoleh pekerjaan. Namun ternyata dia
tidak melakukannya. Ibuku tidak melakukan apa-apa selain duduk bersandar di
kursi, atau lebih sering lagi, berbaring di tempat tidur meringkuk di bawah
selimut, matanya tertuju pada titik di kejauhan. Sesekali ibuku bergerak,
terbangun seolah karena ada urusan penting, namun kemudian jatuh lagi dalam
diamnya. Permohonan Prim yang bertubi-tubi tampaknya tidak berpengaruh padanya.
Aku ketakutan setengah mati. Sekarang aku bisa berpikir bahwa
ibuku mungkin terkunci dalam semacam dunia kesedihan yang kelam, tapi pada saat
itu, yang kutahu adalah aku tidak hanya kehilangan ayahku, tapi juga ibuku.
Pada usia sebelas tahun, dan Prim baru berusia tujuh tahun, aku mengambil peran
sebagai kepala keluarga. Tidak ada pilihan lain. Aku membeli makanan di pasar
dan memasaknya sesanggup yang bisa aku lakukan dan berusaha menjaga diriku dan
Prim agar berpenampilan layak. Karena jika ketahuan bahwa ibuku tidak bisa
merawat kami lagi, distrik akan mengambil kami dari ibuku dan menempatkan aku
dan Prim di rumah komunitas.
Di sekolah, aku melihat anak-anak yang tinggal di rumah itu.
Aku melihat kesedihan, tangan yang marah menyisakan bekas di wajah mereka,
ketidakberdayaan yang membuat mereka lemah lunglai. Aku tidak bisa membiarkan
itu terjadi pada Prim. Prim yang manis dan mungil, yang ikut menangis saat aku
menangis bahkan sebelum dia tahu alasanku menangis, yang menyikat dan mengepang
rambut ibuku sebelum kami berangkat ke sekolah, yang setiap malam masih memoles
cermin yang digunakan ayahku untuk bercukur karena ayahku tidak suka melihat
lapisan debu batu bara yang menempel di segala penjuru Seam. Rumah komunitas
akan menghancurkan Prim seperti serangga yang remuk. Jadi aku menyimpan rahasia
kesulitan hidup kami rapat-rapat.
Tapi kami kehabisan uang dan perlahan-lahan kami kelaparan
hingga nyaris mati. Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya. Aku terus-menerus
mengatakan pada diriku sendiri agar aku bisa bertahan sampai bulan Mei, hanya
sampai tanggal 8 Mei, saat umurku tepat dua belas tahun dan aku bisa mendaftar
untuk tessera lalu memperoleh gandum dan minyak yang berharga itu agar kami
bisa makan. Akan tetapi aku masih harus melewati beberapa minggu lagi. Pada
saat itu kami mungkin sudah mati.
Kelaparan bukanlah kejadian yang biasa di Distrik 12. Siapa
yang tak pernah melihat korban-korban kelaparan? Orang-orang tua yang tidak
bisa bekerja. Anak-anak dari keluarga yang memiliki terlalu banyak mulut untuk
diberi makan. Mereka yang terluka di tambang. Berusaha mengais-ngais di
jalanan. Dan suatu hari kau akan menemukan mereka sedang duduk tak bergerak
bersandar pada dinding atau berbaring di padang rumput, kau mendengar tangisan
dari rumah, dan Penjaga Perdamaian di panggil untuk mengambil jenazah itu.
Kelaparan tak pernah jadi penyebab kematian secara resmi. Selalu ada penyebab
lain seperti flu, terlalu lama berada di udara terbuka, atau pneumonia. Tapi
penyebab bohongan itu tidak bisa menipu siapapun.
Pada sore hari pertemuan pertamaku dengan Peeta Mellark, hujan
deras sedingin es menghantam bumi dengan bengis. Aku sedang berada di kota,
berusaha menukar pakaian bayi milik Prim yang sudah tipis kainnya di pasar
umum, tapi tidak ada seorang pun yang mau. Walaupun aku pernah ke Hob beberapa
kali bersama ayahku, aku terlalu takut untuk pergi menjelajah ke tempat yang
kasar dan keras itu seorang diri. Hujan sudah menembus hingga ke balik jaket
berburu ayahku, dan membuatku menggigil kedinginan hingga ke tulang. Selama
tiga hari, kami hanya minum air yang dididihkan dengan daun-daun mint kering
yang kutemukan di belakang lemari dapur.
Pada saat pasar tutup, aku gemetar begitu hebat sehingga
menjatuhkan buntalan pakaian bayi itu ke genangan lumpur. Aku tidak memungutnya
karena takut aku bakal jatuh terjungkal dan tak bakalan sanggup lagi bangkit
berdiri. Selain itu, tak ada seorang pun yang menginginkan pakaian tersebut.
Aku tidak bisa pulang. Karena di rumah ada ibuku yang matanya
tidak menunjukkan tanda kehidupan dan adik perempuanku, dengan pipinya yang
cekung dan bibir pecah-pecah. Aku tidak bisa melangkah masuk ke dalam ruangan
dengan api berasap tebal dari ranting-ranting lembap yang berhasil kupungut
dari tepi hutan setelah kami kehabisan batu bara, dan tanganku sudah kosong
kehabisan harapan.
Aku berjalan terhuyung-huyung di jalanan becek di belakang
toko-toko yang melayani orang-orang terkaya di kota. Para pedagang biasanya
tinggal di bagian atas tempat usaha mereka. Aku ingat pokok-pokok tanah di
kebun mereka belum ditanami untuk musim semi, ada satu atau dua ekor kambing di
kurungan, seekor anjing yang basah kuyup terikat di tiang, duduk membungkuk
dalam keadaan kotor.
Segala bentuk pencurian dilarang di Distrik 12. Pencuri bisa
dihukum mati. Tapi terlintas di pikiranku mungkin ada sisa-sisa makanan di tong
sampah, dan mengais tong sampah bukan perbuatan terlarang. Mungkin sisa tulang
hasil sampah tukang daging atau sayuran busuk di tong sampah penjual barang
pokok, sisa-sisa yang tak mau dimakan oleh siapa pun kecuali keluargaku yang
sudah putus asa untuk makan apa saja. Sialnya, tong-tong sampah itu baru saja
di kosongkan.
Ketika melewati toko roti, aroma roti segar memenuhi udara
sampai-sampai aku merasa pusing. Panggangan roti berada di belakang dan kilau
keemasan mengintip dari pintu dapur yang terbuka. Aku mengangkat penutup tong
sampah tukang roti dan melihat isinya kosong melompong.
Tiba-tiba aku mendengar orang berteriak kepadaku dan aku
melihat istri tukang roti, menyuruhku pergi dari sana atau dia akan menghubungi
Penjaga Perdamaian dan betapa menjijikkan baginya melihat anak nakal dari Seam
mengorek-ngorek tempat sampahnya. Kata-kata yang diucapkannya tidak enak
didengar dan aku tidak bisa membela diri.
Ketika aku menutup tong sampah dan mundur dengan hati-hati,
aku memperhatikannya, seorang anak laki-laki beramput pirang mengintip dari
belakang punggung ibunya. Aku pernah melihatnya di sekolah. Dia seangkatan
denganku, tapi aku tidak tahu siapa namanya. Dia biasa bermain bersama
anak-anak dari kota, jadi bagaimana aku bisa mengenalnya? Ibunya masuk lagi ke
toko roti sambil menggerutu, tapi anak lelaki itu pasti memperhatikanku ketika
aku berjalan ke belakang kurungan babi milik mereka dan bersandar di bawah
pohon apel yang sudah tua.
Kesadaran bahwa aku tidak punya apa-apa untuk di bawa pulang
akhirnya menghantamku. Kedua lututku goyah dan aku merosot dari sandaranku di
batang pohon hingga jatuh ke akarnya. Aku tak sanggup lagi. Aku terlalu sakit,
lemah, dan letih, oh, betapa letihnya aku. Biar saja mereka menghubungi Penjaga
Perdamaian dan membawa kami ke rumah komunitas, pikirku. Atau lebih baik lagi,
biarkan aku mati di sini di bawah siraman hujan.
Terdengar suara berkelontangan di dalam toko roti dan aku
mendengar wanita itu berteriak lagi diiringi suara pukulan, dan samar-samar aku
penasaran dengan peristiwa yang sedang berlangsung. Kudengar langkah kaki
menginjak lumpur ke arahku dan kupikir, Dia datang. Wanita itu datang untuk
mengusirku dengan kayu. Tapi bukan wanita itu yang datang. Ternyata anak
lelakinya. Dia membawa dua roti berukuran besar yang pasti jatuh ke dalam api
karena kulitnya hangus kehitaman.
Ibunya berteriak, "Beri makan babi sana, dasar anak
tolol. Sekalian saja. Tak ada orang yang mau membeli roti hangus."
Anak lelaki itu mulai mencungkil bongkahan roti di tangannya
dan melemparkannya ke antara jeruji kurungan kemudian bel pintu toko roti
berdentang dan sang ibu menghilang masuk ke toko untuk melayani pembeli. Tak
sekalipun anak lelaki itu melirik ke arahku, tapi aku memperhatikannya
lekat-lekat. Karena roti di tangannya, karena tanda berwarna merah di pipinya.
Dengan apa wanita itu memukul anaknya? Orangtua kami tak pernah memukul. Aku
bahkan tak bisa membayangkannya. Anak lelaki itu menoleh sekali ke toko roti
seakan memastikan bahwa situasi sudah aman, kemudian sembari memperhatikan babi
di kurungan dia melemparkan roti ke arahku. Diikuti roti kedua dengan cepat,
lalu dia berjalan lambat ke toko roti, dan menutup pintu dapur rapat-rapat di
belakangnya.
Aku tidak percaya memandangi dua roti besar yang di lemparnya.
Roti-roti ini bagus, sempurna sebenarnya, kecuali bagian yang hangus. Apakah
dia sengaja membuangnya untukku? Pasti begitu. Karena roti ini sekarang ada di
dekat kakiku. Sebelum ada orang yang menyaksikan kejadian ini aku buru-buru
menyelipkan dua roti ini ke balik kausku, membungkus tubuhku rapat-rapat dengan
jaket berburu ayahku, dan bergegas menjauh pergi. Panasnya roti ini membakar
kulitku, tapi aku memeganginya makin erat, berpegangan padanya seperti
menggantungkan nyawaku.
Pada saat aku tiba di rumah, entah bagaimana roti-roti itu
sudah mendingin, tapi bagian dalamnya masih hangat. Saat aku menaruh roti itu
di meja, tangan Prim sudah terulur untuk menyobek sepotong besar roti itu, tapi
aku menyuruhnya duduk dulu, memaksa ibuku untuk bergabung di meja makan dan
menuangkan teh hangat. Kukorek lalu kubuang bagian hangus dan kupotong roti
itu. Kami makan satu roti besar itu sepotong demi sepotong. Roti yang lezat
mengenyangkan, di dalamnya ada kismis dan kacang.
Aku mengeringkan pakaianku di dekat api, naik ke ranjang dan
tidur nyenyak tanpa mimpi. Baru keesokan paginya terlintas dalam pikiranku
bahwa anak lelaki itu mungkin sengaja menghanguskan roti-roti itu ke dalam api,
walaupun tahu dia bakal dihukum, lalu memberikannya padaku. Tapi aku
mengenyahkan pikiran ini. Pasti roti itu hangus tanpa sengaja. Buat apa dia
melakukannya? Dia bahkan tidak mengenalku. Namun, melemparkan roti-roti itu
kepadaku adalah kebaikan tak terkira yang bisa membuatnya dipukul jika
ketahuan. Aku tidak bisa membuatnya dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa
menjelaskan alasan perbuatannya.
Kami makan beberapa potong roti untuk sarapan lalu berangkat
ke sekolah. Seolah-olah musim semi tiba dalam semalam. Udara hangat yang manis.
Awan-awan empuk. Disekolah, aku melewati anak lelaki itu di lorong, pipinya
bengkak dan matanya memar kehitaman. Dia bersama teman-temannya dan tampak
tidak mengenaliku. Tapi saat aku menjemput Prim dan berjalan pulang pada siang
itu, kulihat dia memandangiku dari seberang lapangan sekolah. Hanya sedetik
mata kami bertemu, kemudian dia memalingkan wajahnya. Aku menunduk, malu, dan
saat itulah aku melihatnya. Bunga dandelion pertama tahun itu. Bunyi peringatan
berdentang dalam benakku. Aku teringat pada waktu yang kuhabiskan di hutan
bersama ayahku dan aku tahu bagaimana kami akan bertahan hidup.
Hingga hari ini, aku takkan pernah bisa menghilangkan hubungan
antara lelaki ini, Peeta Mellark, dan roti yang memberiku harapan, serta
dandelion yang mengingatkanku bahwa aku belum sampai ajal. Beberapa kali, aku
menoleh di lorong sekolah dan mendapati tatapannya sedang tertuju padaku, tapi
kemudian buru-buru dialihkannya. Aku merasa seperti berutang seperti itu.
Mungkin jika aku sempat berterima kasih padanya, aku tidak akan merasa sebingung
sekarang. Aku pernah berniat mengucapkan terima kasih padanya satu-dua kali,
tapi tak pernah ada kesempatan untuk itu. Dan sekarang kesempatan itu takkan
pernah ada lagi.
Karena kami akan dilempar di arena pertarungan untuk bertarung
sampai mati. Bagaimana aku bisa bilang terima kasih dalam situasi semacam itu?
Entah ya, tapi terima kasihku bakal tampak tidak tulus jika aku mengatakannya
sembari hendak menggorok lehernya.
Wali kota akhirnya selesai juga membacakan Perjanjian
Pengkhianatan dan mengisyaratkan aku dan Peeta agar berjabat tangan. Jabatan
tangannya mantap dan hangat seperti roti-roti yang diberikannya padaku. Peeta
memandang mataku lekat-lekat dan meremas tanganku, kupikir maksud remasan itu
adalah untuk menentramkan hatiku. Atau mungkin juga tangannya kedutan karena
tegang. Kami kembali berdiri menghadap kerumunan massa ketika lagu kebangsaan
Panem dinyanyikan.
Ya
sudahlah, pikirku. Ada dua puluh empat orang nanti. Kemungkinan ada orang lain
yang lebih dulu membunuhnya. Akan tetapi, belakangan ini segala bentuk hitungan
kemungkinan tidak bisa diandalkan lagi.[]
No comments:
Post a Comment