Penulis: Suzanne Collins
Bab 22
BUNYI hujan yang bertalu-talu menghantam atap rumah kami
perlahan-lahan menarikku kembali ke alam sadar. Namun aku berusaha kembali
tidur, terbungkus dalam kehangatan selimut, aman di dalam rumah. Samar-samar
aku sadar kepalaku sakit. Mungkin aku kena flu dan ini sebabnya aku boleh tetap
berada di ranjang, meskipun aku tahu aku sudah lama tidur. Tangan ibuku
mengelus pipiku dan aku tidak mengenyahkannya, sebagaimana yang kulakukan jika
aku dalam keadaan sadar, karena aku tak pernah ingin ibuku tahu betapa aku
mendambakan sentuhan lembut itu. Betapa aku merindukannya meskipun aku masih
belum percaya padanya. Kemudian terdengar suara, suara yang salah, bukan suara
ibuku, dan aku ketakutan.
"Katniss," terdengar suara itu berkata.
"Katniss, kau bisa dengar aku?"
Mataku terbuka dan rasa aman itu pun lenyap. Aku tidak berada
di rumah, tidak sedang bersama ibuku. Dalam gua yang dingin dan temaram, kakiku
yang telanjang seperti membeku meskipun diselimuti, di udara tercium bau darah
yang anyir. Wajah anak lelaki yang pucat dan tirus tampak di depanku, dan
setelah melewati kekagetanku, aku merasa lebih baik, "Peeta."
"Hei," panggilnya. "Senang bisa melihat matamu
lagi."
"Sudah berapa lama aku pingsan?" tanyaku.
"Tidak yakin juga. Aku bangun kemarin sore dan kau
terbaring di sampingku dalam kubangan darah yang sangat menakutkan," kata
Peeta. "Kupikir darahnya sudah berhenti, tapi lebih baik kau jangan duduk
dulu atau melakukan sesuatu."
Dengan gamang kuangkat tanganku menyentuh kepala dan ada
perban di sana. Gerakan sederhana ini membuatku lemah dan pening. Peeta
mendekatkan botol ke bibirku dan aku minum dengan haus.
"Kau sudah lebih baik," kataku.
"Jauh lebih baik. Apa pun yang kausuntikkan ke lenganku
menyembuhkanku," katanya. "Pagi ini, hampir semua bengkak di kaki
hilang."
Peeta tampaknya tidak marah aku sudah menipunya, membiusnya,
lalu kabur menuju pesta. Mungkin aku terlalu payah sekarang dan aku bakal
mendengarnya nanti ketika kondisiku lebih kuat. Tapi untuk sementara ini, sikap
yang ditampilkan Peeta hanyalah kelembutan.
"Kau sudah makan?" tanyaku.
"Maaf aku sudah menghabiskan tiga potong daging groosling
itu sebelum aku sadar bahwa makanan mesti dihemat. Jangan kuatir, aku kembali
ke diet ketatku," katanya.
"Tidak apa-apa. Baguslah, kau perlu makan. Aku akan
berburu tak lama lagi," kataku.
"Jangan terburu-buru, oke?" ujar Peeta. "Biar
aku yang mengurusimu sementara ini."
Tampaknya aku juga tak punya banyak pilihan. Peeta menyuapiku
potongan-potongan daging groosling dan kismis, lalu menyuruhku minum banyak
air. Dia menggosok-gosok kakiku hingga kehangatan menjalar di sana dan
membungkus kakiku dengan jaketnya sebelum menarik kantong tidur hingga menutupi
sampai sebatas daguku.
"Sepatu botmu juga kaus kakimu masih lembap dan cuaca
juga tidak membantu," katanya.
Terdengar gemuruh guntur, dan aku melihat sambaran kilat di
angkasa melalui celah di batu-batuan. Hujan menetes masuk melalui beberapa
lubang di atap, tapi Peeta telah membangun semacam kanopi di atas kepalaku dan
bagian atas tubuhku dengan menyelipkan kotak plastik di celah batu-batuan di
atasku.
"Aku jadi penasaran apa yang menjadi alasan badai ini?
Maksudku, siapa sasarannya?" tanya Peeta.
"Cato dan Thresh," kataku tanpa pikir panjang.
"Si Muka Rubah akan berada di sarangnya entah di mana, dan Clove... dia
melukaiku lalu..." Suaraku menghilang.
"Aku tahu Clove tewas. Aku melihatnya di langit tadi
malam," kata Peeta. "Kau membunuhnya?"
"Tidak. Thresh menghancurkan tengkoraknya dengan
batu," kataku.
"Untung dia tidak menangkapmu juga," kata Peeta.
Kenangan tentang pesta itu kembali sepenuhnya dan aku merasa
mual. "Dia menangkapku. Tapi dia membiarkanku pergi."
Tentu saja aku harus menceritakan pada Peeta. Tentang banyak
hal yang jadi rahasiaku karena dia terlalu sakit untuk bertanya dan aku belum
siap untuk menceritakannya kembali. Seperti ledakan itu, telingaku, kematian
Rue, anak lelaki dari Distrik 1, dan roti. Semua itu mengarah pada apa yang
terjadi pada Thresh dan bagaimana dia membayar hutangnya.
"Dia melepasmu karena dia tidak mau berutang
padamu?" tanya Peeta tak percaya.
"Ya. Aku tidak berharap kau mengerti. Kau selalu hidup
berkecukupan. Tapi jika kau tinggal di Seam, aku tak perlu menjelaskannya
padamu," kataku.
"Tidak perlu. Jelas aku tidak secerdas itu untuk bisa
memahaminya," kata Peeta.
"Seperti roti contohnya. Bagaimana aku tak pernah bisa
lupa bahwa aku berutang padamu karena roti itu," kataku.
"Roti? Apa? Waktu kita masih kanak-kanak?" tanyanya.
"Kurasa kita bisa melupakan itu. Maksudku, kau baru saja membangkitkanku
dari maut."
"Tapi kau tidak kenal aku waktu itu. Kita tak pernah
bicara. Lagi pula, hadiah pertama selalu sulit untuk dibayar. Aku takkan pernah
berada di sini untuk membantumu jika kau tidak menolongku saat itu,"
kataku. "Lagi pula, kenapa kau melakukannya?"
"Kenapa? Kau tahu kenapa," kata Peeta.
Aku menggeleng pelan, terluka.
"Haymitch bilang kau memang sulit diyakinkan."
"Haymitch?" tanyaku. "Apa hubungannya dengan
dia?"
"Tak apa-apa," kata Peeta. "Jadi Cato dan
Thresh, ya? Kurasa berlebihan jika aku berharap mereka bisa saling membunuh
ya?"
Tapi pemikiran itu membuatku muram.
"Kurasa kita ingin Thresh yang tewas. Kurasa dia bisa
jadi teman kita jika tinggal di Distrik Dua Belas," kataku.
"Jadi mari kita harap Cato membunuhnya, agar kita tidak
harus melakukannya," kata Peeta muram.
Aku sama sekali tidak ingin Cato membunuh Thresh. Aku tidak
mau ada peserta lagi yang mati. Tapi ini bukanlah kata-kata yang boleh
diucapkan para pemenang di arena pertarungan. Meskipun sudah berusaha
mati-matian, aku bisa merasakan air mata mengambang di mataku.
Peeta waswas melihatku. "Ada apa? Kau kesakitan?"
Kuberikan jawaban lain pada Peeta, karena apa yang kukatakan
ini juga jujur tapi bisa dianggap sebagai kelemahan sesaat bukannya kelemahan
fatal.
"Aku ingin pulang, Peeta." kataku sedih, seperti
anak kecil.
"Kau akan pulang. Aku berjanji," katanya, dan dia
menunduk untuk menciumku.
"Aku ingin pulang sekarang," kataku.
"Begini saja. Kau tidur saja lagi dan mimpikan rumah.
Tanpa sadar kau sudah ada dirumah," katanya. "Oke?"
"Oke," bisikku. "Bangunkan aku kalau kau ingin
aku berjaga."
"Aku sudah sehat dan puas beristirahat, berkat kau dan
Haymitch. Selain itu, siapa yang tahu berapa lama ini berlangsung?"
tanyanya.
Apa maksud Peeta? Badai ini? Jeda yang diberikannya kepada
kami? Hunger Games. Aku tak tahu, tapi aku terlalu sedih dan letih untuk
bertanya.
***
Sudah malam saat Peeta membangunkanku. Hujan sudah menderas,
membuat tetesan air dari langit-langit berubah menjadi arus air tanpa henti.
Peeta menaruh panci di bawah bocoran air paling besar dan menempatkan plastik
agar membelokkan air itu tidak mengenaiku. Aku merasa lebih baik, bisa duduk
tanpa jadi terlalu pening, dan aku sungguh kelaparan. Demikian juga Peeta.
Jelas bahwa dia menungguku terbangun untuk makan dan tidak sabar untuk segera
makan. Tidak banyak makanan yang tersisa. Dua potong daging groosling, campuran
umbi-umbian, dan segenggam buah kering.
"Apakah kita harus makan sedikit dan menyimpan
sisanya?" tanya Peeta.
"Tidak usah, mari kita habiskan saja. Daging groosling
ini sudah terlalu lama disimpan, dan kita tak mau sakit karena makan makanan
yang sudah busuk," kataku, dan membagi makanan jadi dua porsi yang sama
banyaknya. Kami berusaha makan pelan-pelan, tapi kamu terlalu lapar sehingga
makanan habis dalam beberapa menit. Perutku masih belum kenyang betul.
"Besok hari berburu," kataku.
"Aku takkan bisa banyak membantu," kata Peeta.
"Aku tak pernah berburu sebelumnya."
"Aku yang membunuh dan kau yang masak," kataku.
"Dan kau selalu bisa mengumpulkan makanan."
"Kuharap ada semacam semak roti di luar sana," kata
Peeta.
"Roti yang dikirim Distrik Sebelas untukku masih
hangat," kataku sambil menghela napas. "Sini, kunyah ini."
Kuberikan beberapa lembar daun mint dan kukunyah juga beberapa
lembar. Sulit melihat proyeksi di angkasa, tapi cukup jelas bagi kami untuk
tahu tidak ada kematian hari ini. Jadi Cato dan Thresh belum bertarung sampai
mati.
"Ke mana Thresh pergi? Maksudku, ada apa di ujung
lingkaran?" aku bertanya pada Peeta.
"Ladang. Sejauh mata memandang hanya terlihat rumput
setinggi bahuku. Aku tidak tahu, mungkin sebagian di antaranya tanaman gandum.
Dari jauh tampak potongan-potongan warna berbeda. Tapi tak tampak jelas jalan
yang bisa dilalui," kata Peeta.
"Aku yakin sebagian di antara rumput itu tanaman gandum.
Aku juga yakin Thresh tahu mana yang gandum," kataku. "Apakah kau ke
ladang itu?"
"Tidak. Tak ada seorang pun yang mau mengejar Thresh ke
ladang itu. Tempat itu menimbulkan perasaan seram. Setiap kali aku memandang
ladang itu, yang terpikir olehku adalah segala hal yang tersembunyi. Ular,
anjing gila, dan pasir isap," kata Peeta. "Bisa apa saja ada di
sana."
Aku tidak mengatakan apa-apa tapi kata-kata Peeta
mengingatkanku pada peringatan-peringatan yang mereka berikan pada kami agar
tidak melewati pagar di Distrik 12. Sesaat, aku tidak bisa tidak
membandingkannya dengan Gale, yang akan memandang ladang itu sebagai sumber
makanan potensial juga sebagai ancaman. Thresh jelas menganggapnya seperti itu.
Ini bukan berarti Peeta tak bernyali, dia sudah membuktikan bahwa dirinya bukan
pengecut.
Tapi kurasa ada hal-hal yang tak banyak kaupertanyakan ketika
di rumahmu selalu tercium aroma roti hangat, sementara Gale mempertanyakan
segalanya. Apa yang bakal dipikirkan Peeta jika mendengar kelakar tak sopan
yang terlontar di antara kami ketika aku dan Gale melanggar hukum setiap hari?
Apakah Peeta akan terkejut mendengar segala hal yang kami katakan tentang Panem?
Atau semburan kata-kata penuh amarah dari Gale tentang Capitol?
"Mungkin ada semak roti di ladang itu," kataku.
"Mungkin itu sebabnya Thresh tampak lebih gemuk daripada ketika kita
memulai Hunger Games ini."
"Bisa jadi atau dia mendapat sponsor-sponsor yang sangat
murah hati," kata Peeta.
"Aku penasaran, kira-kira apa yang harus kita lakukan
agar Haymitch mau mengirimi kita roti."
Kedua alisku terangkat sebelum aku ingat dia tidak tahu
tentang pesan yang dikirimkan Haymitch beberapa malam lalu. Satu ciuman sama
dengan sepanci kuah daging. Ini juga bukan sesuatu yang bisa kuceritakan tanpa
pikir panjang. Mengucapkan isi pikiranku dengan lantang sama saja dengan
membocorkan rahasia pada penonton bahwa kisah cinta kami hanyalah tipuan untuk
memperoleh simpati mereka dan pada akhirnya kami takkan mendapat makanan. Entah
bagaimana, aku harus mengembalikan keadaan. Dimulai dari sesuatu yang
sederhana. Kuulurkan tangan dan kuraih tangannya.
"Hm, dia mungkin sudah menghabiskan seluruh sumber
dayanya untuk membantuku membuatmu pingsan," kataku nakal.
"Yeah, tentang itu," kata Peeta, mengaitkan
jemarunya dengan jemariku. "Jangan coba-coba melakukan hal semacam itu
lagi."
"Kau bisa apa memangnya?" tanyaku.
"Aku... aku..." Peeta kehilangan kata-kata.
"Beri aku waktu sebentar."
"Apa sih masalahnya?" tanyaku sambil nyengir.
"Masalahnya kita masih hidup. Itu membuatmu makin yakin
bahwa tindakanmu benar," ujar Peeta.
"Memang tindakanku benar," aku berseru.
"Tidak Jangan lakukan, Katniss" Genggamannya makin
erat, hingga menyakiti tanganku, dan ada kemarahan sungguh-sungguh dalam
suaranya. "Jangan mati demi aku. Kau tak boleh lagi melakukan apa pun
untuk membantuku. Setuju?"
Aku terkejut dengan intensitas kemarahannya tapi aku menyadari
adanya kesempatan yang baik memperoleh makanan, jadi aku mengikuti
permainannya. "Mungkin aku melakukannya untuk diriku sendiri, Peeta,
pernahkah kau berpikir seperti itu? Mungkin kau bukan satu-satunya yang... yang
kuatir tentang... seperti apa rasanya jika..."
Aku tergagap. Aku tidak pandai berkata-kata seperti Peeta. Dan
ketika aku bicara, bayangan bahwa aku bisa saja kehilangan Peeta menghantamku
lagi dan aku sadar betapa aku tidak ingin dia mati. Dan ini bukan tentang sponsor.
Bukan tentang apa yang akan terjadi di distrik. Bukan tentang aku tidak mau
sendirian. Aku tidak mau kehilangan anak lelaki yang memberiku roti.
"Jika apa, Katniss?" tanya Peeta lembut.
Aku berharap bisa menutup semua kamera, menghalangi momen ini
dari tatapan mata ingin tahu di seantero Panem. Bahkan jika itu berarti
kehilangan makanan. Apa pun yang kurasakan, perasaanku adalah urusanku bukan
urusan orang lain.
"Itu jenis topik yang Haymitch bilang padaku agar tidak
kubahas," kataku menghindar, meskipun Haymitch tak pernah bicara seperti
itu. Sesungguhnya, dia mungkin sedang mengutukku sekarang karena tidak
menggunakan kesempatan dengan baik. Tapi Peeta berhasil menangkap kesempatan
ini.
"Kalau begitu, biar kujawab sendiri," katanya, dan
bergerak mendekatiku.
Ini adalah ciuman pertama yang sama-sama kami sadari
sepenuhnya. Tak satu pun dari kami sedang demam, kesakitan, atau tak sadarkan
diri. Bibir kami tak ada yang terbakar demam atau sedingin es. Ini adalah
ciuman pertama yang kulakukan dengan dada berdebar. Hangat dan penuh rasa ingin
tahu. Ini adalah ciuman pertama yang membuatku menginginkan ciuman lainnya.
Tapi aku tidak mengerti. Yah, aku mendapat ciuman keduaku, tapi hanya kecupan
ringan di ujung hidungku karena perhatian Peeta teralih.
"Kurasa lukamu berdarah lagi. Ayo, berbaringlah. Lagi
pula, sudah waktunya tidur," kata Peeta.
Kaus kakiku sudah cukup kering untuk bisa kupakai. Kusuruh
Peeta memakai jaketnya lagi. Rasa dingin yang lembap seakan menusuk tulangku,
Peeta pasti sudah setengah beku. Aku berkeras berjaga lebih dulu, meskipun kami
berdua berpikir tak ada seorang pun yang bakal datang dengan cuaca seperti ini.
Tapi Peeta menolak kecuali aku juga masuk kantong tidur, dan aku menggigil
begitu keras sehingga tak ada gunanya menolak Peeta. Berbeda dengan dua malam
lalu, ketika kurasakan Peeta sejuta kilometer jauhnya dariku, saat ini aku
justru terkejut dengan kesigapannya.
Setelah kami berdua berada di dalam kantong tidur, dia menaruh
kepalaku di atas lengannya yang digunakannya sebagai bantal, sementara tangan
satunya lagi memelukku penuh perlindungan bahkan ketika dia tertidur. Sudah
lama sekali tak ada seorang pun yang memelukku seperti ini. Sejak ayahku
meninggal dan aku berhenti memercayai ibuku, tak ada satupun pelukan yang
membuatku senyaman ini.
Dengan bantuan kacamata malam,aku berbaring melihat
tetesan-tetesan air memantul dilantai gua. Beberapa kali aku ketiduran lalu
terbangun, merasa bersalah dan marah pada diriku sendiri. Setelah 3 atau 4 jam
aku tak tahan lagi,akhirnya kubangunkan Peeta karena mataku tak mau lagi
membuka. Dia tampaknya tak keberatan.
"Besok setelah kering, akan kucarikan tempat yang sangat
tinggi dipohon supaya kita bisa tidur dengan damai," aku berjanji padanya
lalu tertidur.
Tapi besoknya cuaca tak lebih baik.Hujan deras turun tanpa
henti seakan juri pertarungan berniat membanjiri kami. Petir menggelegar begitu
keras seakan mengguncang bumi. Peeta berniat keluar mencari makanan, tapi
kukatakan padanya usaha itu bakal sia-sia dalam badai seperti ini. Peeta tau
aku benar,tapi perut kami yang keroncongan makin lama makin sakit.
Hari berlalu hingga malam tiba dan tak ada perubahan pada
cuaca. Haymitch adalah satu-satunya harapan kami, tapi tak ada apapun yang
dikirimnya. Entah karena kekurangan uang—segalanya harus dibayar dengan harga
mahal ini—atau karena dia tak puas dengan penampilan kami. Mungkin dia tak
puas. Harus kuakui penampilan kami tak membuat penonton terpaku ditempatnya.
Kami kelaparan, lemah karena luka-luka kami, berusaha tak membuat luka kami
terbuka lagi. Kami memang duduk berimpitan terbungkus kantong tidur, tapi
tujuannya adalah agar tetap hangat. Kegiatan paling seru yang kami lakukan
adalah tidur siang.
Aku tak yakin bagaimana cara kami bisa sampai ke kegiatan
asmara. Ciuman tadi malam menyenangkan,tapi mengusahakan ciuman lagi perlu
perencanaan. Selain itu,ciuman jelas tak cukup lagi karena kami tak mendapat
makanan tadi malam. Firasatku Haymitch tak sekadar mencari kasih sayang fisik,
dia menginginkan sesuatu yang lebih personal. Aku payah dalam urusan ini, tapi
Peeta tidak.
Mungkin pendekatan terbaik adalah dengan membuatnya bicara.
"Peeta," kataku santai. "Waktu wawancara
kaubilang kau sudah lama naksir aku. Lamanya sejak kapan?"
"Coba kuingat-ingat. Kurasa pada hari pertama sekolah.
Kita berumur 5 tahun. Kau pake baju kotak-kotak merah dan rambutmu.. dikepang
dua bukan satu. Ayahku menunjukmu ketika kita menunggu untuk berbaris,"
kata Peeta.
"Ayahmu? Kenapa?" tanyaku.
"Dia bilang, 'Lihat anak perempuan itu? Aku ingin
menikahi ibunya, tapi dia kawin lari dengan penambang batubara,'" ujar
Peeta.
"Apa? Kau pasti mengarang cerita ini," aku berseru.
"Tidak, ini sungguhan," kata Peeta. "Lalu
kubilang, 'Penambang batubara? Kenapa mau dengan penambang batubara kalau
ibunya bisa menikah dengan ayah?' Dan ayahku bilang, 'karena ketika ayahnya
bernyanyi.. bahkan burung pun diam mendengarkan'."
"Itu memang betul. Burung-burung itu mendengarkan.
Maksudku, dulu mereka mendengarkan ayahku," kataku. Aku terpana dan amat
tersentuh memikirkan tukang roti menceritakan semua ini pada Peeta. Aku jadi
tersadar bahwa keenggananku bernyanyi, ketidak-pedulianku pada musik
sesungguhnya bukan karena aku menganggap musik cuma menghabiskan waktu. Mungkin
karena musik terlampau mengingatkanku pada ayahku.
"Jadi hari itu, di kelas musik, guru kita bertanya siapa
yang tau lagu lembah. Tanganmu terangkat tinggi. Dia menyuruhmu berdiri di atas
kursi kecil dan kau menyanyikan lagu itu pada kami. Dan aku berani sumpah,
semua burung di luar jendela terdiam mendengarmu,"kata Peeta.
"Yang benar saja," kataku sambil tertawa.
"Benar kok. Sungguh. Dan ketika lagumu berakhir, aku
tau—sama seperti ibumu—aku sudah takluk padamu," ujar Peeta. "Lalu
selama 11 tahun selanjutnya, aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara
denganmu."
"Yang ternyata tak berhasil," tambahku.
"Yang ternyata tak berhasil. Jadi bisa dibilang ketika
namaku yang tercabut dalam pemungutan, itu suatu keberuntungan." kata
Peeta.
Sesaat aku merasakan kegembiraan yang konyol, lalu rasa heran
menguasaiku. Karena kami seharusnya mengarang semua cerita ini, berakting jatuh
cinta bukan jatuh cinta sungguhan. Tapi cerita Peeta memiliki unsur kebenaran.
Bagian tentang ayahku dan burung-burung itu. Aku memang bernyanyi pada hari
pertama sekolah, walaupun aku tak ingat lagu apa yang kunyanyikan. Dan baju
kotak-kotak merah.. aku pernah punya baju seperti itu, yang kulungsurkan ke
Prim dan jadi kain lap setelah kematian ayahku.
Ceritanya juga menjelaskan hal lain. Kenapa Peeta rela dipukul
untuk bisa memberiku roti pada hari ketika aku kehabisan daya itu. Jadi jika
semua detail cerita itu benar.. mungkinkah semua ini benar?
"Kau punya ingatan.. yang luar biasa," kataku
terbata-bata.
"Aku ingat segalanya tentang dirimu," kata Peeta,
sambil menyelipkan rambut yang terlepas ke belakang telingaku. "Kaulah
yang tak memperhatikannya."
"Sekarang aku memperhatikan,"kataku.
"Yah, aku tak punya banyak pesaing disini," kata
Peeta.
Aku ingin menarik diri, memasang penutup pada kamera lagi.
Tapi aku tau aku tak bisa melakukannya. Seakan-akan aku bisa mendengar Haymitch
berbisik di telingaku, 'Katakan Katakan'. Aku menelan ludah dengan susah payah
dan membiarkan kata-kata itu terucap. "Kau tak punya pesaing
dimanapun."
Lalu kali ini, akulah yang mendekat. Bibir kami baru saja
bersentuhan ketika suara berdebam di luar membuat kami terlonjak. Busurku
terangkat, siap ditembakkan. Peeta mengintip di antara bebatuan lalu bersorak
dan dia sudah berada di bawah hujan, kemudian dia menyerahkan sesuatu padaku.
Parasut perak yang menempel pada keranjang. Langsung kubuka
penutupnya dan di dalamnya ada banyak makanan lezat, roti segar, keju kambing,
apel dan yang paling hebat dari semuanya ada wadah berisi sup daging domba di
atas nasi. Makanan yang kukatakan pada Caesar Flickerman sebagai hal terbaik
yang diberikan Capitol.
Peeta kembali ke gua, wajahnya tampak cerah. "Kurasa
Haymitch akhirnya bosan melihat kita kelaparan."
"Kurasa begitu," jawabku.
Tapi otakku bisa mendengar kata-kata Haymitch yang penuh
kepuasan dan menjengkelkan, "Ya, itu yang aku cari, sweetheart."[]
No comments:
Post a Comment