Penulis: Suzanne Collins
Bab 21
JAM-JAM terakhir menjelang malam tiba, aku mengumpulkan
batu-batu dan berusaha membuat kamuflasi di pintu gua sebaik mungkin. Kegiatan
ini lambat dan melelahkan, tapi setelah banyak berkeringat dan
memindah-mindahkan batubatuan, aku merasa puas dengan hasil kerjaku. Gua itu
sekarang kelihatan seperti bagian dari tumpukan batu-batuan, seperti yang ada
di sekitar tempat ini. Aku masih bisa merangkak masuk ke tempat Peeta melalui
bukaan kecil, tapi tidak terdeteksi dari luar.
Itu bagus, karena aku masih perlu berbagi kantong tidur lagi
malam ini. Selain itu, jika aku tidak kembali dari pesta, Peeta akan
tersembunyi tapi tidak sampai terpenjara. Meskipun aku tidak yakin dia bisa
bertahan lebih lama tanpa obat. Kalau aku tewas dalam pesta, kemungkinan besar
Distrik 12 takkan punya pemenang.
Aku meracik makanan dari ikan yang lebih kecil dan lebih
banyak tulangnya yang mendiami sungai di sini. Kuisi juga semua tempat air yang
kupunya dan kusuci-hamakan, lalu kubersihkan senjata-senjataku. Hanya ada
sembilan anak panah yang tersisa. Aku sedang menimbang-nimbang apakah ingin
meninggalkan pisauku di tangan Peeta agar dia punya perlindungan selama aku
pergi, tapi sesungguhnya itu tak ada gunanya. Kamuflase jadi pertahanan
terakhirnya. Tapi aku masih bisa memanfaatkan pisau ini. Siapa tahu apa yang
bakal kuhadapi nanti?
Berikut ini beberapa hal yang kuyakini. Paling tidak Cato,
Clove, dan Thresh akan siap ketika pesta dimulai. Aku tidak yakin dengan si
Muka Rubah karena pertarungan langsung bukanlah gayanya atau kekuatannya.
Tubuhnya lebih kecil daripada tubuhku dan dia tidak bersenjata, kecuali dia
menemukan senjata entah di mana belakangan ini. Dia mungkin akan menunggu tidak
jauh dari tempat pesta, melihat apa sisa-sisa yang bisa dia pungut. Tapi tiga
peserta lain... aku pasti bakal sibuk sekali.
Kemampuanku untuk membunuh sasaran dari jarak jauh adalah aset
terbesarku, tapi aku tahu harus terjun ke sarang kehebohan untuk memperoleh
ransel itu, ransel bernomor 12 seperti yang disebutkan Claudius Templesmith.
Aku mendongak menatap langit, berharap lawan yang harus
kuhadapi pada dini hari nanti bisa berkurang satu, tapi tak ada seorang pun
yang muncul. Besok akan ada wajah-wajah yang muncul di sana. Pesta selalu
menghasilkan korban jiwa.
Aku merangkak ke dalam gua, menyimpan kacamataku, dan
bergelung di samping Peeta. Untungnya aku sudah tidur nyenyak sepanjang siang
tadi. Aku tidak boleh tidur. Kurasa tak ada seorang pun yang akan menyerang gua
kami malam ini, tapi aku tidak bisa menanggung risiko ketinggalan dini hari.
Dingin sekali, dingin yang amat menggigit malam ini. Seakan
para Juri Pertarungan telah menyuntikkan embusan udara yang membeku ke arena
pertarungan, dan mungkin saja mereka memang sungguh-sungguh melakukannya.
Aku berbaring di samping Peeta di dalam kantong tidur,
berusaha menyerap setiap titik panas dari demamnya. Aneh rasanya berada dekat
secara fisik dengan seseorang yang teramat jauh. Peeta bisa saja berada di
Capitol, Distrik 12, atau di bulan saat ini, aku sama saja tak bisa menggapainya.
Aku tak pernah merasa kesepian seperti saat ini sejak Hunger Games dimulai.
Terima saja ini akan jadi malam yang buruk, kataku dalam hati.
Aku berusaha tidak melakukannya, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan ibuku
dan Prim, bertanya-tanya apakah mereka bisa tidur malam ini. Pada tahap-tahap
menjelang akhir Hunger Games dan adanya peristiwa penting seperti pesta,
sekolah mungkin diliburkan. Keluargaku bisa memilih antara menonton di televisi
tua yang gambarnya berbintik-bintik di rumah atau bergabung dengan massa di
alun-alun untuk menonton di layar-layar televisi besar yang gambarnya jernih.
Mereka akan mendapat privasi di rumah tapi dukungan di alun-alun.
Orang-orang akan bersikap ramah pada mereka, memberikan
sedikit makanan jika ada yang tersisa. Aku bertanya-tanya apakah tukang roti
telah mengurus mereka, terutama sekarang setelah aku dan Peeta satu tim, dan
melaksanakan janjinya untuk menjaga perut adikku tetap kenyang.
Semangat pasti berkobar di Distrik 12. Kami jarang sekali
memiliki peserta yang bisa kami elu-elukan pada tahap ini di Hunger Games.
Tentu saja, orang-orang pasti gembira melihat aku dan Peeta, terutama sekarang
setelah kami bersama. Kalau aku memejamkan mata, aku bisa membayangkan
teriakan-teriakan mereka ke layar-layar televisi, mendorong kami untuk terus
lagi. Aku melihat wajah-wajah mereka-Greasy Sae dan Madge, bahkan para Penjaga
Perdamaian yang membeli daging dariku-sedang bersorak untuk kami.
Dan Gale. Aku kenal dia. Dia takkan berteriak dan bersorak.
Tapi dia akan menonton, setiap momen, setiap gerak dan tingkah laku, dan
menginginkan aku pulang. Aku ingin tahu apakah dia berharap Peeta juga bisa
selamat. Gale bukan kekasihku, tapi akankah dia jadi kekasihku, jika aku
membuka pintu hatiku? Dia bicara tentang kami kabur bersama. Apakah itu cuma
perhitungan praktis dari kemungkinan kami bertahan hidup jauh dari distrik?
Atau ada sesuatu yang lebih? Aku ingin tahu apa yang dia tangkap dari semua
ciuman ini.
Melalui celah di bebatuan, aku melihat bulan melintasi langit.
Pada waktu yang kuperkirakan tiga jam sebelum dini hari tiba, aku memulai
segala persiapan akhir. Aku berhati-hati meninggalkan Peeta dengan air dan
obat-obatan tepat di sampingnya. Barang-barang lainnya takkan berguna jika aku
tidak kembali.
Setelah melalui sejumlah pertimbangan, kulepaskan jaket Peeta
dan kupakai rangkap di luar jaketku. Dia tidak membutuhkannya. Apalagi sekarang
ketika dia berada di kantong tidur dengan demam tingginya, dan pada siang hari
besok nanti. Jika aku tidak melepaskannya, dia pasti terpanggang kepanasan di
dalam kantong tidur. Kedua tanganku sudah kaku kedinginan, jadi kupakai kaus
kaki cadangan Rue, Setelah kubuat lubang untuk empat jari-jariku. Kaus kaki ini
membantu. Aku mengisi ransel kecil Rue dengan makanan, botol air, dan perban,
menyelipkan pisau di ikat pinggangku, lalu mengambil busur dan anak panahku.
Aku baru saja hendak pergi ketika teringat pada pentingnya
menjaga situasi kami sebagai pasangan kekasih yang bernasib malang, jadi aku
menunduk dan mencium Peeta, lama dan tak terlupakan. Aku membayangkan desahan
penuh air mata di Capitol, lalu aku pura-pura menyeka air mataku sendiri.
Kemudian aku melesat di antara batu-batuan menuju pekatnya malam.
Napasku menimbulkan awan-awan putih kecil ketika terembus ke
udara. Dinginnya sama seperti dinginnya udara bulan November di distrikku.
Suatu malam ketika aku menyelinap ke hutan, dengan lentera di tangan, bertemu
dengan Gale di tempat yang sudah kami atur agar kami bisa duduk terbungkus
selimut bersama, menyesap teh herbal dari termos logam yang terbungkus kain
perca, sambil berharap buruan akan lewat depan kami sementara menunggu pagi
tiba. Oh, Gale, pikirku. Seandainya ada kau yang menjagaku sekarang....
Aku bergerak secepat yang berani kulakukan. Kacamata malam ini
luar biasa, tapi aku masih sedih kehilangan pendengaran sebelah kiri. Aku tak
tahu ledakan itu menyebabkan apa, tapi yang pasti ledakan itu merusak sesuatu
yang dalam dan tak bisa diperbaiki lagi. Tak apalah. Kalau aku pulang, aku
bakalan kaya raya, dan aku bisa membayar orang untuk jadi pendengarku.
Hutan selalu tampak berbeda pada malam hari. Bahkan dengan
kacamata, segalanya memiliki secercah kesan asing. Seakan pohon-pohon,
bunga-bungaan, dan bebatuaan siang hari sudah tidur dan mereka mengirim versi
mereka yang tidak menyenangkan untuk mengganti tempat mereka. Aku tidak mencoba
berbuat macam-macam, seperti mengambil rute baru. Aku berjalan naik menyusuri
sungai dan mengikuti jalan yang sama menuju tempat persembunyian Rue di dekat
danau.
Sepanjang jalan, aku tidak melihat tanda keberadaan peserta
lain, tidak ada embusan napas, atau guncangan pada cabang pohon. Entah akulah
orang pertama yang tiba atau yang lain-lain sudah berada di posisi mereka sejak
tadi malam.
Masih ada waktu sekitar satu jam, mungkin dua, ketika aku
masuk ke semak-semak dan menunggu darah tertumpah di Cornucopia. Kukunyah
beberapa helai daun mint, perutku tidak sanggup makan berat.
Untunglah aku memakai jaket Peeta sekalian dengan jaketku.
Kalau tidak, aku bakal terpaksa bergerak terus agar tetap hangat. Langit
berubah kelabu pagi yang berembun dan masih tak ada tanda-tanda peserta lain.
Tidak mengejutkan sebenarnya. Semua orang punya kelebihan entah dengan kekuatan,
kemampuan mematikan, atau kelicikan. Aku penasaran apakah mereka menduga Peeta
bersamaku sekarang? Aku tidak yakin si Muka Rubah dan Thresh tau bahwa Peeta
terluka. Lebih baik jika mereka berpikir Peeta melindungiku saat aku masuk
mengambil ransel.
Tapi di mana ranselnya? Arena pertarungan sudah cukup terang
sehingga aku membuka kacamataku. Aku bisa mendengar burung-burung pagi
bernyanyi. Waktunya tiba? Selama sedetik, aku panik karena mengira berada di
lokasi yang salah. Tapi tidak, aku yakin aku ingat Claudius Templesmith
menyebut Cornucopia. Dan Cornucopia ada di sana. Aku di sini. Jadi di mana
pestaku berlangsung?
Tepat ketika cahaya matahari pertama menyinari bagian emas
Cornucopia, ada gerakan di tanah. Tanah di depan mulut terompet terbelah dua dan
meja bundar dengan taplak putih bersih muncul di arena. Di meja terdapat empat
ransel, dua ransel hitam besar dengan angka 2 dan 11, ransel hijau ukuran
sedang dengan angka 5, dan ransel oranye mungil-yang sesungguhnya bisa kuikat
di pergelangan tanganku-pasti yang bertanda angka 12.
Meja itu baru saja terpasang di tempatnya ketika ada sosok
yang melesat dari Cornucopia, menyambar ransel hijau, dan kabur dengan cepat.
Si Muka Rubah. Dia paling lihai membuat gagasan yang penuh risiko dan cerdas.
Peserta-peserta lain masih tenang berada di sekitar tanah lapang, menilai
situasi, dan dia sudah mendapatkan ranselnya. Dia juga memerangkap kami, karena
tak ada seorang pun yang mau mengejarnya, sementara ransel kami sendiri masih
duduk manis di atas meja. Si Muka Rubah pasti sengaja meninggalkan
ransel-ransel itu, dia sadar benar mencuri ransel yang bukan miliknya pasti
akan membuat dirinya dikejar.
Seharusnya itu jadi strategiku. Ketika segala perasaan
terkejut, kagum, marah, cemburu, dan frustasi usai kurasakan, aku melihat
rambut kemerahan menghilang di antara pepohonan dan berada di luar jarak
tembakanku. Huh. Aku selalu ngeri pada peserta-peserta lain, tapi mungkin si
Muka Rubah adalah lawan yang sesungguhnya di sini.
Dia juga menghabiskan waktuku, karena sekarang jelas bahwa aku
harus tiba di meja sehabis ini. Siapa pun yang tiba lebih dulu ke meja akan
dengan mudah mengambil ranselku lalu kabur. Tanpa ragu, aku berlari cepat ke
meja. Aku bisa merasakan datangnya bahaya sebelum aku melihatnya. Untungnya
lemparan pisau pertama mendesing di sebelah kanan tubuhku jadi aku bisa
mendengarnya dan menangkisnya dengan busurku. Aku berbalik, menarik tali busur
dan menembakkan panah ke arah jantung Clove. Dia mengelak tepat untuk
menghindari serangan fatal, tapi ujung mata panah menembus lengan kiri atas
Clove.
Sialnya, dia melempar pisau dengan tangan kanan, tapi panah
itu sempat membuat gerakannya lambat, dia juga harus menarik panah dari
lengannya dan kesakitan akibat lukanya. Aku terus bergerak, secara otomatis
langsung memasang anak panah di busur, yang hanya bisa dilakukan oleh seorang
yang sudah bertahun-tahun berburu.
Aku berada di meja sekarang, jemariku menggenggam ransel
mungil itu. Tanganku masuk di antara talinya dan menggantung di lengan bawahku.
Ransel ini terlalu kecil untuk bisa kubawa di bagian lain tubuhku, dan aku
berbalik untuk menembakkan panah lagi ketika pisau kedua menyambar dahiku.
Pisau itu mengiris bagian atas alisku, membuat luka terbuka yang mengucurkan
darah ke wajahku, membutakan mataku, memenuhi mulutku dengan rasa logam tajam
darahku sendiri.
Aku terhuyung-huyung mundur tapi masih sempat menembakkan
panah yang sudah siap tembak ke arah penyerangku. Saat anak panah itu terlepas
dari tanganku, aku tahu tembakanku pasti meleset. Kemudian Clove menghantamkan
tubuhnya ke tubuhku, membuatku jatuh telentang. Dia mengunci kedua bahuku di
tanah dengan lututnya.
Ini dia, pikirku, dan berharap demi Prim kematianku
berlangsung cepat. Tapi Clove tampak ingin menikmatinya. Bahkan dia tidak
tampak terburu-buru. Tidak diragukan lagi Cato berada tidak jauh dari tempat
ini, mengawasi Clove sambil menunggu Thresh mungkin Peeta.
"Di mana pacarmu, Distrik Dua Belas? Masih hidup?"
tanya Clove.
Selama kami bicara artinya aku masih hidup.
"Dia ada di luar sana. Memburu Cato," balasku. Lalu
aku berteriak sekeras-kerasnya. "Peeta."
Clove meninju leherku, langsung membuat suaraku hilang. Tapi
kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, dan aku tahu selama sesaat dia
mempertimbangkan apakah aku berkata yang sebenarnya. Karena Peeta tak muncul
menyelamatkanku, Clove kembali memandangku.
"Pembohong," katanya sambil menyeringai. "Dia
sudah sekarat. Cato tau di mana dia melukainya. Kau mungkin mengikatnya di
pohon sementara kau berusaha menjaganya tetap hidup. Apa yabg ada di ransel
mungilmu itu? Obat buat si Lover Boy? Sayang, dia tak pernah
mendapatkannya."
Clove membuka jaketnya. Di baliknya terdapat deretan pisau
yang mengesankan. Dengan hati-hati dia memilih pisau yang cantik dengan mata
pisau melengkung yang tampak kejam. "Aku berjanji pada Cato kalau dia
mengizinkanku menghabisimu, aku akan memberikan tontonan yang seru pada
penonton."
Sekarang aku berusaha keras untuk lepas dari tindihannya, tapi
gagal. Dia terlalu berat dan kunciannya terlalu keras.
"Lupakan saja, Distrik Dua Belas. Kami akan membunuhmu.
Sama seperti yang kami lakukan pada sekutu kecilmu yang suka melompat-lompar di
pepohonan? Ya, pertama Rue, lalu kau, dan kurasa kita biarkan saja alam
membereskan Lover Boymu. Bagaimana?" tanya Clove. "Nah, kita mulai
dari mana?"
Dengan asal-asalan dia menyeka darah dari lukaku dengan lengan
jaketnya. Sesaat, dia mengamati wajahku, memiringkannya dari satu sisi ke sisi
lain seakan wajahku ini sepotong kayu dan dia sedang memutuskan pola apa yang
akan digunakan untuk mengukirnya. Aku mencoba menggigit tangannya, tapi dia
menjambak rambut atasku, memaksaku tetap di tanah.
"Ku pikir..."
Clove seakan mendengkurkan ucapannya. "Kupikir kita akan mulai dari
mulutmu."
Kukatupkan gigiku rapat-rapat sementara dia bermain-main
dengan ujung mata pisaunya menelusuri bibirku. Aku tidak mau menutup mataku.
Komentarnya tentang Rue membuatku terbakar amarah, kemarahan yang sama kupikir
adalah mati dengan bermartabat. Sebagai tindakan perlawanan terakhirku, aku
akan menatapnya selama yang kubisa, yang mungkin sisa waktunya tak lama lagi,
tapi aku akan terus menatapnya, aku takkan menjerit. Dengan caraku sendiri, aku
akan mati, tapi tak terkalahkan.
"Ya, menurutku kau sudah tak perlu mulutmu lagi. Ingin
meniupkan ciuman terakhir untuk Lover Boy?" tanyanya.
Kuusahakan mengumpulkan darah dan air liur dalam mulutku lalu
kuludahi wajahnya.
Dia langsung murka. "Baik kalau begitu. Ayo kita
mulai."
Kukuatkan diriku menghadapi penderitaan yang sebentar lagi
tiba. Tapi ketika aku merasakan ujung pisau mulai mengiris bibirku, ada
kekuatan besar yang menarik Clove dari tubuhku lalu dia menjerit. Mulanya aku
terlalu terpana, tak sanggup mencerna apa yang terjadi. Apakah Peeta yang entah
bagaimana datang menyelamatkanku? Apakah para Juri Pertarungan mengirim hewan liar
untuk menambah seru pertarungan? Apakah pesawat ringan tanpa sengaja menariknya
ke udara?
Tapi ketika aku berhasil bangun dengan dua tangan yang kebas,
ternyata semua dugaanku salah. Clove meronta-ronta dengan kaki di atas tanah,
terperangkap dalam jepitan lengan Thresh. Aku terkesiap melihat Thresh seperti
itu, menjulang di hadapanku, memegang Clove seperti memegang boneka kain. Aku
ingat tubuh Thresh memang besar, tapi dia tampak semakin meraksasa, lebih kuat
daripada yang kuingat. Berat badannya seakan bertambah di arena pertarungan.
Dia memutar tubuh Clove lalu membantingnya ke tanah.
Ketika Thresh berteriak, aku terlonjak, karena tak pernah
mendengarnya bicara lebih dari sekedar gumaman. "Apa yang kaulakukan
terhadap gadis kecil itu? Kau membunuhnya?"
Clove merangkak mundur dengan posisi duduk, seperti serangga
yang panik, bahkan terlalu kaget untuk memanggil Cato. "Tidak Bukan, bukan
aku."
"Kau menyebut namanya. Aku mendengarmu. Kaubunuh
dia?" Sebuah pemikiranterlintas dalam benaknya, mengguratkan kemarahan di
wajah Thresh. "Kaupotong dia seperti kau akan potong gadis ini?"
"Tidak Tidak, aku..." Clove melihat batu, yang di
tangan Thresh seukuran roti tawar, lalu langsung panik.
"Cato," pekiknya. "Cato."
"Clove." Aku mendengar jawaban Cato, tapi aku tahu
dia terlalu jauh untuk bisa membantu Clove. Apa yang sedang dilakukan Cato?
Berusaha mengejar si Muka Rubah atau Peeta? Atau dia menunggu Thresh dan salah
memperkirakan lokasinya?
Thresh menghantamkan batu itu dengan keras ke pelipis Clove.
Tidak ada darah yang keluar, tapi dari tengkorak Clove yang penyok aku tahu dia
bakal tewas. Masih ada sisa-sisa kehidupan dalam diri Clove, dadanya yang
naik-turun dengan cepat, erangan lemah yang keluar dari bibirnya.
Ketika Thresh berputar ke arahku, batu di tangannya terangkat,
aku tahu tak ada gunanya bagiku untuk lari. Dan busurku kosong, tadi sudah
kutembakkan ke arah Clove. Aku terperangkap dalam sorot mata cokelat
keemasannya yang aneh. "Apa maksud dia? Tentang Rue jadi sekutumu?"
"Aku-aku-kami bergabung. Meledakkan persediaan mereka.
Aku berusaha menyelamatkannya, sungguh. Tapi dia lebih dulu berada di sana.
Anak lelaki Distrik Satu," kataku. Mungkin jika dia tahu aku membantu Rue,
dia takkan membuatku mati perlahan dan sengsara.
"Dan kau membunuh anak lelaki itu?" tanyanya.
"Ya. Aku membunuhnya. Dan memakamkan Rue dengan
bunga-bungaan," kataku. "Lalu aku bernyanyi untuknya sampai dia
terlelap." Air mata mengambang di mataku. Ketegangan pertarungan itu
keluar dari kenanganku. Aku merasa dipenuhi sosok Rue, rasa sakit di kepalaku,
rasa takutku terhadap Thresh, dan erangan gadis yang sekarat tak jauh dariku.
"Sampai terlelap?" tanya Thresh serak.
"Sampai meninggal. Aku bernyanyi untuknya sampai dia
meninggal," kataku. "Distrikmu... mereka mengirimiku roti."
Tanganku terulur ke atas, tapi bukan untuk mengambil anak
panah yang kutahu takkan pernah bisa kuraih. Aku hanya ingin menyeka hidungku.
"Lakukan dengan cepat, oke, Thresh?"
Beragam emosi yang bertentang melintas di wajah Thresh. Dia
menurunkan batunya dan menunjukku, nyaris seperti menuduh. "Hanya untuk
kali ini, aku melepasmu. Untuk gadis kecil itu. Kau dan aku impas. Kita tak ada
utang lagi. Kau paham?"
Aku mengangguk karena aku memang paham. Tentang utang. Tentang
membenci utang. Aku paham jika Thresh menang, dia harus pulang menghadapi
distrik yang sudah melanggar semua peraturan untuk berterima kasih padaku, dan
Thresh melanggar peraturan juga untuk berterima kasih padaku. Dan aku paham
bahwa saat itu Thresh takkan menghantam tengkorakku.
"Clove," suara Cato makin dekat sekarang. Dari
suaranya yang penuh kepedihan aku tahu Cato sudah melihat Clove di tanah.
"Lebih baik kau lari sekarang, Gadis Api," kata
Thresh.
Aku tidak perlu diberitahu dua kali. Aku bersalto lalu kakiku
menjejak tanah yang keras ketika berlari menjauh dari Thresh dan Clove serta
suara Cato. Baru ketika sampai ke hutan aku menoleh sejenak ke belakang. Thresh
dan dua ransel besar menghilang di ujung tanah lapang menuju wilayah yang tak
pernah kulihat. Cato berlutut di samping, tombak di tangan, sambil memohon pada
Clove agar tetap bertahan. Sebentar lagi Cato akan sadar bahwa usahanya
sia-sia, Clove tak bisa diselamatkan. Aku melesat di antara pepohonan,
berkali-kali menyeka darah yang menetes ke mataku, terbang laksana angin,
bagaikan binatang terluka yang kabur.
Setelah beberapa menit terdengar suara dentuman meriam dan aku
tahu Clove sudah tewas, dan Cato akan mengejar salah satu dari kami. Kalau
tidak mengejar Thresh, dia akan mengejarku. Aku merasa ngeri, lemas akibat luka
di kepalaku, terguncang. Aku memasang anak panah, tapi Cato bisa melempar
tombak hampir sama jauhnya dengan jarak aku bisa memanah.
Hanya satu hal yang membuatku lebih tenang. Thresh mengambil
ransel Cato yang berisi benda yang amat sangat dibutuhkannya. Kalau aku harus
bertaruh, Cato akan mengejar Thresh, bukan aku. Tapi aku tetap tidak
melambatkan lariku ketika tiba di sungai. Aku langsung mencemplungkan kakiku ke
sungai, masih memakai sepatu, menggelepar menuju hilir. Kulepaskan kaus kaki
Rue yang kugunakan sebagai sarung tangan dan kutekankan kaus kaki itu ke
dahiku, berusaha menyumbat aliran darahku, tapi hanya dalam hitungan menit kaus
kaki itu sudah basah dengan darah.
Entah bagaimana aku berhasil sampai ke gua. Aku mengimpitkan
tubuhku di antara celah batu. Dalam sorotan bintik-bintik cahaya, kulepaskan
ransel mungil itu dari tanganku, kubuka tutupnya dan kutumpahkan semua isinya
ke tanah. Satu kotak kecil yang berisi jarum suntik. Tanpa ragu, kusuntikkan
jarum ke lengan Peeta dan perlahan-lahan kuinjeksikan isinya.
Tanganku memegang kepalaku lalu turun ke paha, tanganku licin
dengan darah. Hal terakhir yang kuingat adalah betapa indahnya warna
hijau-perak ngengat yang mendarat di lekuk lenganku.[]
No comments:
Post a Comment