Penulis: Suzanne Collins
Bab 16
Rue telah memutuskan untuk mempercayaiku sepenuh hati. Aku
tahu karena ketika lagu kebangsaan selesai diputar, Rue bergelung di dekatku
lalu langsung tertidur. Aku juga tidak punya perasaan waswas terhadapnya,
hingga aku tidak merasa perlu berjaga-jaga. Kalau dia mau aku mati, dia hanya
perlu menghilang dari pohon itu tanpa menunjukkan sarang tawon penjejak itu
padaku. Ada hal yang mengusik benakku terus-menerus, suatu hal yang sudah
jelas. Kami berdua tidak bisa sama-sama jadi pemenang Hunger Games. Tapi karena
kemungkinan untuk kami bisa bertahan hidup tidak berpihak pada kami, aku
berhasil mengabaikan pikiran tersebut.
Selain itu pikiranku teralih dengan gagasan terbaruku tentang
kawanan Karier dan persediaan makanan mereka. Aku yakin mereka pasti akan sulit
mencari makanan untuk diri mereka sendiri. Biasanya, peserta-peserta Karier
membuat strategi untuk menguasai makanan sejak awal, lalu baru membuat
perencanaan dari sana. Tahun-tahun ketika mereka tidak menjaga makanan mereka
dengan baik-sekali ketika kawanan reptil mengerikan menghabiskannya, sekali
lagi ketika banjir buatan Juri Pertarungan menghancurkannya-dan biasanya pada
tahun-tahun itulah peserta dari distrik lain jadi pemenangnya.
Para peserta Karier yang biasanya mendapat makanan dengan baik
justru tidak menguntungkan buat mereka, karena mereka tidak tahu bagaimana
rasanya lapar. Mereka tidak kenal lapar seperti yang dikenal aku dan Rue. Tapi
aku terlalu lelah untuk menjelaskan rencana kami malam ini. Luka-lukaku mulai
sembuh, pikiranku masih agak berkabut karena bisa tawon, dan kehangatan tubuh
Rue di sampingku, dengan kepalanya disandarkan ke bahuku membuatku merasa aman.
Untuk pertama kalinya, aku sadar betapa kesepiannya aku di arena pertarungan
ini. Betapa nyamannya arti kehadiran manusia lain di dekatku. Aku menyerah pada
rasa kantukku, bertekad akan mengubah keadaan besok. Besok, para Karier-lah
yang harus waspada.
Tembakan meriam membuatku terlompat bangun. Di langit ada
kilatan cahaya, burung-burung sudah bernyanyi. Rue berjongkok di dahan pohon
seberangku, kedua tangannya menutupi sesuatu. Kami menunggu, mendengarkan
adanya tembakan lain, tapi ternyata tak ada lagi.
"Menurutmu siapa yang tewas?" Mau tidak mau aku
teringat pada Peeta.
"Aku tidak tahu. Bisa saja selain mereka," jawab
Rue. "Kurasa kita tidak bakal tahu jawabannya malam ini."
"Siapa saja yang tersisa?" tanyaku lagi.
"Anak lelaki dari Distrik Satu. Dua peserta dari Distrik
Dua. Anak lelaki dari Distrik Tiga. Aku dan Thresh. Kau dan Peeta." jawab
Rue. "Sudah delapan. Tunggu, ada anak lelaki dari Distrik Sepuluh, yang
kakinya luka. Sudah sembilan."
Masih ada seorang lagi, tapi kami berdua tidak bisa
mengingatnya. "Aku penasaran bagaimana yang tadi itu tewas ya?" tanya
Rue.
"Entahlah. Tapi bagus buat kita. Ada yang tewas membuat
penonton jadi menaruh perhatian. Mungkin kita bisa punya waktu melakukan
sesuatu sebelum Juri Pertarungan memutuskan bahwa pertarungan berjalan terlalu
lambat," kataku.
"Apa yang ada di tanganmu?"
"Sarapan," jawab Rue. Dia mengulurkan tangannya dan
memperlihatkan dua buah telur besar.
"Telur apa itu?" tanyaku.
"Tidak tahu. Ada daerah rawa di dekat sana. Mungkin
semacam burung air," jawabnya.
Pasti enak bisa memasak telur-telur ini, tapi kami berdua tak
ada yang berani mengambil risiko untuk menyalakan api. Perkiraanku adalah
peserta yang tewas hari ini adalah korban dari peserta Karier, dan itu berarti
mereka sudah pulih sepenuhnya untuk kembali bertarung. Kami masing-masing
menyedot isi telur, menyantap daging paha kelinci, dan buah-buah berry. Sarapan
yang menyenangkan.
"Sudah siap?" tanyaku, sambil memakai ranselku.
"Siap untuk apa?" tanya Rue, tapi melihat caranya
melompat aku tahu dia siap melakukan apa pun usulanku.
"Hari ini kita akan menghabisi makanan peserta
Karier," kataku.
"Sungguh? Bagaimana caranya?" Aku bisa melihat binar
semangat di matanya.
Dalam hal ini, dia berbeda jauh dari Prim yang menganggap
petualangan adalah siksaan.
"Belum tahu. Ayo, kita akan pikirkan rencananya sambil
berburu," kataku.
Namun, kami tidak bisa berburu banyak karena aku terlalu sibuk
mengumpulkan semua informasi yang bisa kuperoleh dari Rue tentang markas
peserta-peserta Karier. Rue hanya sebentar memata-matai mereka, tapi
pengamatannya jeli. Mereka membuat kemah di samping danau. Persediaan makanan
mereka jaraknya hanya sekitar tiga puluh meter. Pada siang hari, mereka
meninggalkan anak lelaki dari Distrik 3 untuk mengawasi persediaan.
"Anak lelaki dari Distrik Tiga?" tanyaku. "Dia
bekerja bersama mereka?"
"Ya, dia berjaga di kemah terus-menerus. Dia juga kena
sengatan tawon saat mereka dikejar tawon penjejak sampai ke danau," kata
Rue. "Kurasa mereka membiarkannya hidup jika dia kau jadi penjaga kemah.
Tapi tubuhnya tidak terlalu besar."
"Senjata apa yang dimilikinya?" tanyaku.
"Tidak banyak yang bisa kulihat. Ada tombak. Dia mungkin
bisa menahan beberapa orang dari kita dengan tombak itu, tapi Thresh bisa
membunuhnya dengan mudah," ujar Rue.
"Dan makanan itu ada di tempat terbuka?" tanyaku.
Rue mengangguk.
"Ada yang tidak beres dengan seluruh pengaturan
ini."
"Aku tahu. Tapi aku juga tidak tahu apa tepatnya,"
kata Rue. "Katniss, seandainya kau bisa menguasai makanan mereka,
bagaimana kau menghabiskannya?"
"Bakar. Buang ke danau. Siram dengan minyak."
Kucolek perut Rue, seperti yang sering kulakukan pada Prim. "Dimakan"
Rue terkikik. "Jangan kuatir, akan kupikirkan caraya.
Menghancurkan lebih mudah daripada membuatnya."
***
Selama beberapa saat, kami menggali umbi-umbian, mengumpulkan
buah-buah berry dan sayuran hijau, dan menyusun rencana dengan suara berbisik-bisik.
Dan aku jadi mengenal Rue, anak pertama dari enam bersaudara, mati-matian
melindungi adik-adiknya, memberikan jatah makanannya pada anak-anak yang lebih
kecil, berkelana mencari makanan di padang rumput di distrik dengan tentara
Penjaga Perdamaian yang tidak sepatuh di distrik kami. Saat aku menanyakan pada
Rue apa yang paling disukainya di dunia ini, dia menjawab, "Musik."
"Musik?" tanyaku. Dalam dunia kami, aku menempatkan
kegunaan musik antara pita rambut dan pelangi. Paling tidak, pelangi bisa
memberikan petunjuk tentang cuaca. "Kau punya banyak waktu untuk
melakukannya?"
"Kami bernyanyi di rumah. Saat bekerja juga. Itu sebabnya
aku suka pinmu," kata Rue, menunjuk pin mockingjay yang nyaris tidak
kuingat lagi.
"Kau punya mockingjay?" tanyaku.
"Oh, ya, bahkan ada yang jadi teman-teman istimewaku.
Kami bisa bernyanyi bersama selama berjam-jam. Mereka menyampaikan pesan-pesan
untukku," katanya.
"Apa maksudmu?" aku bertanya.
"Aku biasanya berada di puncak tertinggi, jadi aku yang
pertama kali melihat bendera yang menandakan waktu bekerja usai. Ada lagu
spesial yang kunyanyikan," kata Rue.
Dia membuka mulut dan terdengar suara bening dan manis
melantunkan empat not singkat.
"Lalu burung-burung mockingjay menyebarkan lagunya di
taman buah. Itulah cara semua orang tahu kapan saatnya berhenti bekerja,"
lanjutnya. "Tapi burung-burung itu bisa juga berbahaya, kalau kita berada
terlalu dekat dengan sarang mereka. Tapi kau tidak bisa menyalahkan mereka
karena itu."
Aku melepaskan pin dan mengulurkannya pada Rue. "Ini,
ambil saja. Pin ini punya arti lebih untukmu daripada untukku."
"Oh, jangan," tukas Rue, mengatupkan lagi jemariku
agar mengambil pin itu kembali. "Aku senang melihat pin itu kau pakai.
Itulah caraku memutuskan bahwa aku bisa memercayaimu. Lagi pula, aku punya
ini." Rue mengeluarkan kalung berbahan semacam anyaman rumput dari balik
bajunya. Dikalung itu tergantung bandul berbentuk bintang kayu yang diukir
kasar. Atau mungkin juga bentuknya bunga. "Ini jimat keberuntungan."
"Yah, sejauh ini jimatnya bekerja," kataku, sambil
menjepitkan pin mockingjay ke bajuku. "Mungkin baiknya kau tetap memakai
jimatmu."
Pada saat makan siang, kami sudah punya rencana. Selewat
tengah hari, kami bersiap melaksanakannya. Aku membantu Rue mengumpulkan dan
menaruh kayu bakar untuk salah satu dari dua api unggun yang harus kubuat, dan
api unggun yang ketiga dibuat oleh Rue sendiri. Kami memutuskan untuk bertemu
sesudahnya di tempat kami makan bersama pertama kali. Aliran air akan
menuntunku ke sana.
Sebelum pergi, kupastikan Rue memiliki cukup makanan dan korek
api. Aku bahkan memaksanya mengambil kantong tidurku, berjaga-jaga seandainya
kami tidak bisa bertemu saat malam tiba.
"Bagaimana denganmu? Kau bakal kedinginan," katanya.
"Tidak bakal, kalau aku bisa mengambil kantong tidur lain
di dekat danau," jawabku. "Kau tahu kan, di sini mencuri bukan
perbuatan ilegal," kataku sambil nyengir.
Di saat terakhir, Rue memutuskan untuk mengajariku sinyal
mockingjay-nya. Sinyal yang menandakan hari kerja berakhir. "Mungkin tidak
berguna. Tapi kalau kau mendengar mockingjay menyanyikannya, itu artinya aku
baik-baik saja, tapi aku tidak bisa langsung menemuimu."
"Memangnya banyak burung mockingjay di hutan ini?"
tanyaku.
"Kau tidak pernah melihatnya? Sarang mereka ada di
mana-mana," jawabnya.
Aku terpaksa mengakui bahwa aku tidak memperhatikannya.
"Oke, kalau begitu. Jika semua berjalan sesuai rencana, kita akan bertemu
pada saat makan malam," kataku.
Tanpa kuduga, Rue merangkulkan kedua lengannya memelukku. Aku
hanya ragu sejenak sebelum balas memeluknya.
"Hati-hati ya," kata Rue padaku.
"Kau juga," balasku. Aku berbalik dan berjalan
menuju sungai, entah kenapa merasa agak cemas. Aku mencemaskan Rue bakal tewas,
mencemaskan Rue tidak terbunuh dan hanya kami berdua yang tersisa. Aku
memikirkan meninggalkan Rue seorang diri, memikirkan meninggalkan Prim seorang
diri di rumah. Tidak juga, Prim punya ibuku dan Gale serta tukanh roti yang
sudah berjanji takkan membiarkannya kelaparan. Rue hanya punya aku.
***
Saat tiba di sungai, aku hanya perlu menyusurinya hingga
sampai ketempat aku pertama kali menemukan sungai setelah diserang tawon
penjejak. Aku harus berhati-hati sepanjang perjalananku, karena otakku penuh
dengan banyak pertanyaan tak terjawab, yang kebanyakan tentang Peeta. Meriam
yang ditembakkan pagi-pagi tadi, apakah itu menandakan kematiannya? Jika benar
begitu, bagaimana dia bisa tewas? Apakah dia dibunuh oleh para peserta Karier?
Dan apakah dia tewas karena mereka ingin membalas dendam karena Peeta membiarkanku
hidup?
Aku berusaha lagi mengingat saat aku berada di dekat mayat
Glimmer, ketika Peeta melesat keluar dari pepohonan. Tapi melihat kenyataan
bahwa dia berkilauan air membuatku meragukan segala yang telah terjadi. Aku
pasti berjalan amat pelan kemarin karena aku tiba di bagian sungai yang dangkal
tempatku mandi hanya dalam waktu beberapa jam. Aku berhenti untuk mengisi airku
dan menambahkan selapis lumpur di ranselku. Rasanya berapa kalipun aku menutupi
tetap saja ransel itu menunjukkan warna oranyenya.
Kedekatanku dengan kamp para peserta Karier mempertajam
indra-indraku, dan semakin dekat aku dengan tempat mereka, semakin tinggi
kewaspadaanku. Aku sering berhenti untuk mendengarkan suara-suara yang tak
lazim, sebatang anak panah sudah dipaskan ke busurku. Aku tidak melihat peserta
lain, tapi aku memperhatikan beberapa hal yang disebutkan Rue. Gerumbulan buah
berry manis. Semak dengan dedaunan yang menyembuhkan luka sengatanku. Kerumunan
sarang tawon penjejak di dekat pohon tempat aku terjebak. Dan di sana-sini, ada
kilasan hitam-putih sayap mockingjay di dahan-dahan tinggi di atas kepalaku.
Saat aku tiba di pohon dengan sarang yang terbengkalai di
bawahnya, aku berhenti sejenak untuk mengumpulkan keberanianku. Rue sudah
memberikan instruksi-instruksi khusus agar bisa sampai ke tempat terbaik untuk
memata-matai di dekat danau dari tempat ini. Jangan lupa, aku mengingatkan
diriku. Kaulah pemburunya sekarang, bukan mereka. Kugenggam busurku makin erat
lalu terus berjalan. Aku akhirnya sampai ke sesemakan dengan pohon-pohon kecil
yang diberitahukan Rue padaku dan sekali lagi aku harus mengagumi
kecerdasannya. Sesemakan itu ada di tepi hutan, tapi semak sangat tebal hingga
dengan mudah aku bisa mengamati kamp peserta Karier tanpa ketahuan. Di antara
kami terbentang tanah lapang luas tempat Hunger Games dimulai.
Ada empat peserta. Anak lelaki dari Distrik 1, Cato dan anak
perempuan dari Distrik 2, dan bocah lekaki kurus kering berkulit pucat yang
pasti dari Distrik 3. Anak lelaki itu nyaris tidak meninggalkan kesan padaku
selama kami di Capitol. Aku nyaris tidak ingat apa pun tentang dia, kostumnya,
atau nilai latihannya, bahkan wawancaranya. Bahkan saat ini, ketika dia berada
di sana memegang semacam kotak plastik, keberadaannya di sana dengan mudah
diabaikan oleh teman-temannya yang lebih besar dan dominan. Tapi anak lelaki
itu pasti memiliki kemampuan, kalau tidak buat apa mereka repot-repot
membiarkannya tetap hidup. Namun, melihatnya aku malah jadi tambah gelisah
kenapa peserta Karier bisa menjadikannya sebagai penjaga, dan belum membunuhnya
hingga sejauh ini.
Keempat peserta tampaknya sudah pulih dari serangan tawon
penjejak. Bahkan dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat bengkak-bengkak di
tubuh mereka. Mereka pasti tidak terpikir untuk melepaskan sengat-sengat itu,
atau jika mereka melepaskannya, mereka tidak tahu jenis daun apa yang bisa
menyembuhkan mereka. Tampaknya, obat-obatan apa pun yang mereka temukan di
Cornucopia tidak efektif.
Cornucopia berada di posisi asalnya, tapi segala isinya sudah
disapu bersih. Sebagian besar persediaan, yang ditaruh di kotak-kotak, karung
goni, dan wadah plastik, ditumpuk rapi dalam bentuk piramida dalam jarak yang
tak wajar dari kamp. Barang-barang lain disebarkan begitu saja di sekitar
piramida, hampir mirip dengan susunan sebaran persediaan di sekitar Cornucopia
sewaktu dimulainya pertarungan ini. Kanopi berjaring, segala untuk
menjauhkannya dari burung, tampak tidak ada gunanya untuk melindungi piramida.
Semua pengaturan ini membingungkan. Jaraknya, jaring, dan
keberadaan anak lelaki dari Distrik 3. Satu hal yang pasti, menghancurkan
persediaan mereka tidak semudah kelihatannya. Ada faktor lain yang bermain di
sini, dan lebih baik aku berjaga-jaga sampai aku tahu apa jebakannya. Tebakanku
adalah piramida itu dipasangi perangkap entah bagaimana caranya. Aku
membayangkan lubang perangkap, jaring yang bisa jatuh dan mengurung korbannya,
benang yang bila putus akan menembakkan panah beracun ke jantungnya. Ragam
kemungkinannya tak terbatas.
Ketika aku sedang mempertimbangkan pilihan-pilihanku, aku
mendengar Cato berteriak. Dia menunjuk ke hutan, jauh di belakangku, dan tanpa
menoleh aku tahu Rue pasti sudah menyalakan api unggun. Kami memastikan agar
daun-daun yang dibakar cukup banyak agar asapnya bisa kelihatan jelas. Para
peserta Karier bergegas mempesenjatai diri.
Mendadak terdengar pertengkaran. Suara mereka cukup keras
hingga bisa kudengar, mereka berdebat apakah anak lelaki dari Distrik 3
sebaiknya ikut atau tinggal.
"Dia ikut kita. Kita butuh dia di hutan, lagi pula
pekerjaannya di sini sudah selesai. Tak ada seorang pun yang bisa menyentuh
persediaan kita." kata Cato.
"Bagaimana dengan Lover Boy?" tanya anak lelaki dari
Distrik 1.
"Sudah kubilang berkali-kali, lupakan dia. Aku tahu di
bagian mana kutusuk dia. Ajaib juga, dia belum mati kehabisan darah sampai
sekarang. Dan dalam kondisinya sekarang dia tak bakal sanggup menjarah
persediaan kita," sahut Cato.
Jadi Peeta ada di hutan, terluka parah. Tapi aku masih tidak
memahami motivasinya mengkhianati para peserta Karier.
"Ayo," kata Cato. Dia menyodorkan tombak ke tangan
anak lelaki dari Distrik 3, dan mereka berjalan menuju arah api. Kata-kata
terakhir yang kudengar ketika mereka memasuki hutan adalah ucapan Cato,
"Saat kita menemukannya, aku akan membunuhnya dengan caraku sendiri, dan
tak ada seorang pun yang boleh ikut campur."
Entah bagaimana, aku merasa dia tidak bicara tentang Rue. Lagi
pula, bukan dia yang menjatuhkan sarang tawon penjejak ke kepalanya. Aku masih
berdiam di posisiku selama sekitar setengah jam, berusaha mencari tahu apa yang
harus kulakukan dengan persediaan mereka. Jarak adalah satu keuntungan yang
kumiliki dengan busur dan panah. Dengan mudah aku bisa mengirimkan panah berapi
ke piramida persediaan mereka-aku cukup hebat untuk bisa menembakkan panah
masuk ke celah antara jaring-tapi tak ada jaminan tembakanku akan berhasil
membakar persediaan mereka. Kemungkinan besar api di panah akan padam sendiri,
lalu apa? Aku gagal dan memberi mereka terlalu banyak informasi tentang diriku.
Bahwa aku ada di sini, punya kaki-tangan, dan aku pandai menggunakan busur
panah.
Tidak ada jalan lain. Aku harus mendekat dan melihat apakah
aku tidak dapat menemukan apa yang sebenarnya melindungi persediaan itu. Aku
baru saja hendak keluar dari sesemakan ketika mataku menangkap gerakan.
Beberapa ratus meter di sebelah kananku, aku melihat ada orang muncul dari
dalam hutan. Sedetik kukira gadis itu Rue, tapi kemudian aku mengenali si Muka
Rubah-dialah yang tidak bisa kami ingat tadi pagi-mengendap-endap ke tanah
lapang. Ketika dia menganggap situasi sudah aman, dia berlari menuju piramida
dengan langkah-langkah pendek dan cepat. Sebelum sampai ke lingkaran dengan
persediaan yang berserakan di sekitar piramida, dia berhenti, melihat-lihat
tanah, dan dengan hati-hati melangkah di suatu titik.
Kemudian gadis itu mulai mendekati piramida sambil
melompat-lompat aneh, kadang-kadang bahkan hanya berdiri dengan satu kaki,
sesekali menyeimbangkan dirinya, terkadang dia melayang ke udara, melompati
tong kecil dan mendarat dengan anggun dalam posisi berjinjit. Tapi lompatannya
agak terlalu jauh. Aku mendengarnya memekik nyaring saat kedua tangannya
menyentuh tanah, tapi tak terjadi apa-apa. Seketika, dia berdiri dan meluruskan
langkahnya hingga dia tiba di timbunan persediaan.
Jadi, aku benar tentang adanya perangkap, tapi perangkap itu
jauh lebih rumit daripada yang kubayangkan. Aku juga benar tentang gadis itu.
Betapa cerdas dirinya bisa menemukan jalan menuju persediaan makanan dan mampu
melewati perangkap dengan rapi. Dia mengisi ranselnya, mengambil beberapa
barang dari berbagai tempat penyimpanan, biskuit dari kotak kayu, segenggam
apel dari karung goni yang tergantung dengan tali di sebelah tempat makanan.
Tapi dia hanya mengambil sedikit dari masing-masing barang yang dicurinya, jadi
tidak menimbulkan kecurigaan bahwa makanan mereka dicuri. Selanjutnya dia
membuat gerakan-gerakan aneh untuk bisa keluar dari lingkaran dan mengambil
langkah seribu lari ke hutan dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa pun.
***
Aku sadar aku menggertakan gigiku karena frustasi. Si Muka
Rubah sudah memastikan apa yang sudah kuduga. Tapi perangkap seperti apa yang
membutuhkan ketangkasan semacam itu, dan memiliki banyak titik pemicu? Kenapa
anak perempuan itu memekik ketika dua tangannya menyentuh tanah? Kau pasti
berpikir... dan perlahan-lahan aku tahu jawabannya... kaupikir tanah itu akan
meledak.
"Dipasangi ranjau," bisikku.
Itu menjelaskan segalanya. Kerelaan kawanan Karier untuk
meninggalkan persediaan mereka, reaksi si Muka Rubah, keterlibatan anak lelaki
dari Distrik 3, di sana ada banyak pabrik, tempat mereka membuat televisi,
mobil, dan bahan peledak. Tapi di mana mereka memperoleh ranjau? Di antara
persediaan? Itu bukan jenis senjata yang biasanya disediakan para juri,
mengingat mereka senang melihat para peserta saling menumpahkan darah. Aku
menyelinap keluar dari sesemakan dan melintasi piringan logam bundar yang
mengangkut para peserta ke arena. Tanah di sekitarnya telah digali dan ditutup
lagi. Ranjau darat dimatikan setelah kami berdiri di atas piringan itu selama
enam puluh detik, tapi anak lelaki dari Distrik 3 pasti berhasil
mengaktifkannya lagi. Aku tidak pernah melihat siapa pun dalam Hunger Games
yang pernah melakukannya. Aku yakin pasti keahliannya ini juga membuat para juri
terkejut.
Well, aku bersorak untuk anak lelaki dari Distrik 3 itu karena
berhasil membuat juri terperangah, tapi apa yang harus kulakukan sekarang?
Tentu saja, aku tidak bisa berjalan-jalan diantara barang-barang yang
berserakan itu tanpa meledakkan diriku. Ide untuk menembakkan panah berapi jadi
makin konyol sekarang. Ranjau itu dipicu dengan tekanan. Tidak perlu tekanan
berat. Pernah, seorang anak perempuan menjatuhkan tanda matanya-sebuah bola
kayu kecil-saat dia masih berdiri di piringan logam, dan secara harfiah mereka
bisa dibilang harus mengeruk sisa-sisa tubuhnya di tanah.
Kedua lenganku lumayan kuat, aku bisa melemparkan batu-batu
kesana dan memicu apa? Mungkin meledakkan satu ranjau? Bisa saja ledakan itu
memulai reaksi berantai. Bisa tidak ya? Apakah anak lelaki dari Distrik 3 itu
menempatkan ranjau-ranjau dengan posisi yang diatur agar ledakan satu ranjau
tidak mengganggu ranjau-ranjau lain? Jadi dia bisa tetap melindungi persediaan
tapi memastikan penyusupnya tewas. Bahkan seandainya aku hanya meledakkan satu
ranjau, aku pasti akan menarik kawanan Karier untuk kembali kemari.
Uh, apa sih yang kupikirkan? Ada jaring, yang jelas dibuat
untuk menghalau serangan semacam itu. Selain itu, aku perlu melempar tiga puluh
batu ke sana secara bersamaan, dan memicu reaksi berantai yang besar,
meluluhlantakan semua tempat itu.
Aku menoleh ke hutan di belakangku. Asap dari api kedua Rue
membubung di angkasa. Pada saat ini, kawanan Karier mungkin sudah menduga
adanya semacam jebakan. Waktuku hampir habis.
Ada jalan keluar untuk semua ini. Aku tahu pasti ada, jika
saja aku bisa memusatkan perhatian cukup keras. Aku melotot memandangi
piramida, kotak-kotak penyimpanan, kotak-kotak kayu, yang terlalu berat untuk
dijatuhkan dengan panah. Mungkin salah satunya berisi minyak goreng, dan ide
untuk menembakkan panah berapi muncul lagi ketika aku sadar aku bisa
menghabiskan dua belas anak panah yang kumiliki dan tetap tidak mengenai
sasaran ke tempat penyimpanan minyak, karena aku cuma menebak-nebak.
Aku mulai berpikir untuk berjalan mengikuti langkah si Muka
Rubah menuju piramida, berharap bisa menemukan cara baru untuk menghancurkan
tempat ini ketika mataku tertuju pada karung goni berisi apel. Aku bisa
memutuskan tali yang mengikatnya hanya dengan satu tembakan, bukankah itu yang
kulakukan di Pusat Latihan? Karung itu akan jatuh bergedebuk, tapi paling hanya
akan menimbulkan satu ledakan. Seandainya aku bisa melepaskan semua apel dari
dalam karung....
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku bergerak di dalam jarak
lingkaran dan menggunakan tiga anak panah untuk membereskan masalahku. Aku
memasang kuda-kuda, memusatkan perhatian sepenuhnya ketika aku membidik dengan
teliti.
Panah pertama merobek bagian samping atas karung, membuat
robekan di karung itu. Panah kedua memperlebar robekan itu. Aku bisa melihat
apel pertama mengintip hendak keluar ketika aku melepaskan anak panah ketiga,
menembus celah robek di karung, dan mengoyak karung tersebut hingga lepas.
Selama beberapa saat, waktu seakan berhenti berputar.
Apel-apel itu berjatuhan ke tanah dan aku terlempar ke belakang, melayang di
udara.[]
No comments:
Post a Comment