Penulis: Suzanne Collins
Bab 1
Saat aku terbangun, bagian ranjang sebelahku ternyata dingin.
Jemariku terulur, mencari kehangatan Prim tapi hanya menemukan kain kanvas
kasar yang menutupi kasur. Dia pasti mengalami mimpi buruk dan naik ke ranjang
ibu kami. Tentu saja, dia pasti mimpi buruk.
Hari ini hari pemungutan. Aku bertumpu pada sikuku. Ada cukup
cahaya di kamar tidur sehingga aku bisa melihat mereka. Adik perempuanku, Prim,
bergelung menyamping, menyelusup menempel pada tubuh ibuku, pipi mereka
bersentuhan. Dalam tidurnya, ibuku tampak lebih muda, masih kelihatan capek
tapi tidak tampak kelelahan setengah mati. Wajah Prim sesegar tetesan hujan,
semanis bunga primrose, seperti namanya. Ibuku dulu juga sangat cantik.
Begitulah yang mereka ceritakan.
Duduk di lutut Prim, menjaganya, adalah kucing paling jelek di
dunia. Hidungnya pesek, setengah dari satu telinganya hilang, warna matanya
seperti ketela busuk. Prim menamainya Buttercup, berkeras menyatakan bahwa
warna bulunya yang berwarna kuning lumpur mirip seperti warna bunga yang cerah.
Kucing itu membenciku. Atau paling tidak dia tidak percaya
padaku. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, kurasa dia masih ingat bagaimana
aku berusaha menenggelamkannya di dalam ember ketika Prim membawa pulang.
Kucing kudisan, dengan perut penuh cacing dan digerogoti kutu.
Hal terakhir yang kubutuhkan adalah mahkluk lain yang harus
kuberi makan. Tapi Prim memohon dengan amat sangat, bahkan sampai menangis,
sehingga aku harus mengizinkan kucing itu tinggal. Hasilnya ternyata lumayan.
Ibuku berhasil menyingkirkan kuman dari tubuhnya dan kucing itu pandai
menangkap tikus. Bahkan kadang-kadang bisa menangkap tikus-tikus besar.
Kadang-kadang sehabis berburu, kuberikan isi perut binatang buruanku Buttercup.
Dia sudah tidak lagi mendesis marah setiap kali melihatku. Isi perut binatang.
Tidak ada desisan. Inilah hubungan termesra yang bisa kami jalani.
Aku mengayunkan kedua kakiku turun dari ranjang dan memakai
sepatu bot berburuku. Sepatu itu berbahan kulit lentur yang sudah tercetak
dengan kakiku. Kupakai celana panjang, kemeja, dan kuselipkan kepang rambut
panjangku yang berwarna gelap kedalam topi, lalu kuambil tas berburuku. Di atas
meja, di bawah mangkuk kayu, untuk melindunginya dari tikus dan kucing
kelaparan, tersembunyi sepotong kecil keju kambing yang terbungkus daun basil.
Hadiah Prim untukku pada hari pemungutan. Kusimpan keju itu dengan hati-hati ke
dalam sakuku ketika aku menyelinap keluar.
Bagian wilayah kami di Distrik 12 ini dijuluki Seam, pada jam
sepagi ini biasanya disesaki para penambang batu bara yang sedang menuju tempat
kerja memulai shift pagi. Pria dan wanita dengan bahu-bahu bungkuk, buku-buku
tangan yang bengkak, sudah lama berhenti berusaha mencungkil sisa-sisa lapisan
arang batu bara yang terselip di antara kuku mereka yang patah, atau di
garis-garis wajah mereka yang cekung.
Tapi hari ini jalan-jalan yang hitam karena sisa arang tampak
kosong. Daun-daun jendela di rumah-rumah kelabu kecil tampak kosong. Daun-daun
jendela di rumahrumah kelabu kecil tampak tertutup. Pemungutan berlangsung jam
dua siang. Lebih baik tidur saja lagi. Seandainya kau masih bisa tidur.
Rumah kami nyaris berada di ujung Seam. Aku hanya perlu melewati
beberapa pagar untuk tiba dilapangan tak terurus yang disebut Padang Rumput.
Memisahkan Padang Rumput dari hutan, dan yang melingkungi seluruh Distrik 12,
adalah rangkaian pagar besi tinggi dan puncaknya dipasangi kawat berduri.
Secara teori, seharusnya pagar itu dialiri arus listrik selama 24 jam sehari
untuk menghalau binatang-binatang pemangsa yang hidup dihutan -kawanan anjing
liar, macan kumbang yang berburu sendirian, dan beruang- yang dulu mengancam
jalananjalanan kota kami. Tapi sejak kami bisa dibilang cukup beruntung jika
mendapat listrik selama dua atau tiga jam pada malam hari, pagar ini biasanya
jadi aman untuk dipegang. Meskipun begitu, aku selalu menunggu sejenak seraya
mendengarkan apakah ada dengungan yang berarti pagar ini dialiri listrik.
Sekarang, pagar ini setenang batu. Kukempiskan perutku dan
kusorongkan tubuhku ke bawah bagian pagar yang longgar sekitar setengah meter.
Celah itu sudah ada selama bertahun-tahun, namun tertutup dibawah sesemakan.
Masih ada beberapa bagian longgar di pagar ini, tapi celah yang satu ini paling
dekat dengan rumah sehingga aku hampir selalu masuk ke hutan lewat bagian ini.
Ketika aku berada di antara pepohonan, aku langsung mengambil
busur dan anakanak panah dari batang kayu yang berongga. Entah dialiri listrik
atau tidak, pagar itu berhasil menjaga binatang pemakan daging agar tetap
berada diluar Distrik 12. Di dalam hutan, mereka berkeliaran bebas, dan masih
ada pula tambahan kekuatiran lain seperti ular-ular berbisa, anjing-anjing
gila, dan tak ada jejak yang bisa diikuti. Tapi ada juga makanan jika kau tahu
bagaimana menemukannya.
Ayahku tahu dan dia mengajariku sebagian caranya sebelum dia
meledak berkeping-keping dalam ledakan tambang. Bahkan jasadnya nyaris tak
tersisa untuk bisa dikuburkan. Umurku sebelas waktu itu. Lima tahun kemudian,
aku masih terbangun sambil berteriak pada ayahku agar lari dari tambang.
Walaupun melanggar batas dan memasuki hutan dianggap perbuatan ilegal dan
berburu tanpa izin bisa dihukum berat, tapi banyak orang berani mengambil
risiko itu jika mereka memiliki senjata. Tapi kebanyakan orang tidak punya
cukup nyali untuk keluar hanya bermodalkan pisau.
Panahku adalah benda langka, dibuat oleh ayahku bersama
sejumlah benda lain yang kusembunyikan dengan baik di hutan, kubungkus dengan
hati-hati dengan pembungkus tahan air. Ayahku bisa mendapat uang banyak jika
dia mau menjualnya, tapi jika pihak yang berwenang mengetahuinya dia bisa
dieksekusi di depan umum karena menghasut pemberontakan.
Sebagian besar Penjaga Perdamaian menutup mata pada segilintir
kami yang berburu karena mereka juga lapar daging sama seperti semua orang.
Sesungguhnya, mereka pelanggan-pelanggan terbaik kami. Tapi gagasan bahwa ada orang
yang mungkin saja bisa mempersenjatai Seam selamanya takkan pernah
diperbolehkan.
Pada musim gugur, beberapa orang yang memiliki jiwa pemberani
menyelinap ke hutan untuk memanen apel. Tapi masih dalam jarak pandang bisa
melihat Padang Rumput. Selalu cukup dekat untuk bisa berlari melesat dalam
lindungan keamanan Distrik 12 jika timbul masalah.
"Distrik Dua Belas. Di sana kau bisa mati kelaparan dalam
keadaan aman," gumamku.
Kemudian aku menoleh cepat kebelakang. Bahkan disini, ditengah
antah berantah, kau merasa kuatir ada orang yang bisa mendengarmu. Ketika
umurku masih muda, aku membuat ibuku benar-benar ketakutan dengan kata-kata
yang kuocehkan tentang Distrik 12, tentang orang-orang yang menguasai kami,
Panem, dari kota nun jauh di sana bernama Capitol. Pada akhirnya aku paham
bahwa ocehan semacam itu hanya akan membuat kami semakin dalam tertimpa
masalah.
Jadi aku menggigit lidahku lalu menampilkan wajah cuek dan tak
pedulian sehingga tak seorang pun bisa mendengar pikiranku. Melakukan
pekerjaanku dengan tenang disekolah. Hanya bicara basa-basi sedikit demi
kesopanan di pasar umum. Mendiskusikan sedikit lebih banyak tentang hal di luar
perdagangan di Hob, yaitu pasar gelap tempatku banyak menghasilkan uang. Bahkan
di rumah, di tempat yang tidak terlalu menyenangkan buatku, aku menghindari
obrolan tentang topik-topik yang rumit, seperti pemungutan, atau kekurangan
makanan, atau Hunger Games. Prim mungkin saja mengulangi katakata yang
kuucapkan dan bagaimana nasib kami jika itu terjadi?
Di dalam hutan sudah menunggu satu-satunya orang yang bisa
membuatku menjadi diriku sendiri. Gale. Aku bisa merasakan otot-otot wajahku
mulai santai, langkahku semakin cepat ketika aku mendaki perbukitan menuju
birai batu, tempat pertemuan kami yang dari sana memperlihatkan pemandangan di
bawah bukit. Semak-semak berry yang tebal melindunginya dari mata-mata
orang-orang yang tidak di inginkan. Melihatnya berdiri menunggu di sana
membuatku tersenyum. Gale bilang aku tak pernah tersenyum kecuali saat aku
berada di hutan.
"Hei, Catnip," panggil Gale.
Nama asliku Katniss, tapi ketika pertama kali aku menyebutkan
namaku padanya, suaraku tidak lebih keras daripada bisikan. Jadi dia pikir aku
bilang namaku Catnip. Kemudian ada lynx-kucing liar besar ukuran sedang-yang
sinting dan mulai mengikutiku selama di hutan menunggu sisa buruanku, maka nama
Catnip resmi jadi nama julukanku. Aku akhirnya terpaksa membunuh lynx itu
karena dia menakuti buruanku. Aku nyaris menyesalinya karena binatang itu teman
yang lumayan. Tapi aku memperoleh harga yang memadai atas kulit bulunya.
"Lihat apa yang kupanah." Gale mengangkat sebongkah
roti dengan panah di tengahnya, dan aku tertawa. Itu roti sungguhan buatan
tukang roti, bukan roti tawar bantat dan keras yang kami buat dari gandum hasil
ransum kami.
Kuambil roti itu, kutarik lepas panahnya, dan kutempelkan
hidungku pada bagian roti yang berlubang, kuhirup aroma yang membuat mulutku
dibanjiri liur. Roti enak seperti ini untuk acara khusus.
"Mm, masih hangat," kataku. Gale pasti sudah ada di
toko roti subuh dini hari untuk membarternya. "Apa yang kautukar untuk
mendapatkannya?"
"Hanya seekor tupai. Kurasa lelaki tua itu agak
sentimental pagi ini," kata Gale. "Bahkan mengucapkan semoga
beruntung padaku."
"Yah, kita semua merasa nyaris habis keberuntungan hari
ini, ya kan?" kataku, bahkan tanpa perlu repot untuk memutar bola mataku.
"Prim menyisakan keju untuk kita."
Aku mengeluarkan kejuku.
Wajah Gale langsung cerah melihat hadiah dari Prim
"Terima kasih, Prim. Kita akan pesta sungguhan."
Mendadak aksen Gale berubah jadi aksen ala Capitol ketika dia
meniru Effie Trinket, wanita heboh penuh semangat yang datang setahun sekali
untuk membacakan nama-nama saat pemungutan "Aku hampir lupa Selamat Hunger
Games."
Gale memetik beberapa buah blackberry dari semak-semak di
sekitar kami, "Dan semoga keburuntungan—" Dia melempar sebutir berry
dalam lemparan melengkung yang sangat tinggi kearahku. Kutangkap buah itu
dengan mulutku dan kuremukkan kulit buah yang tipis itu dengan gigiku. Rasa
pahit-manis yang tajam meledak di lidahku. "—selalu berpihak padamu".
Kuselesaikan kalimatnya dengan semangat yang sama. Kami harus
bisa bercanda tentang hal ini karena pilihan lain selain bercanda adalah merasa
ketakutan setengah mati. Selain itu, aksen Capitol sangat penuh kepura-puraan,
sehingga nyaris setiap kata yang diucapkan terdengar lucu.
Aku memperhatikan Gale mengeluarkan pisaunya dan memotong
roti. Dia bisa saja menjadi kakak lelakiku. Rambutnya hitam lurus dengan kulit
putih kuning pucat, kami bahkan sama-sama memiliki warna mata kelabu. Tapi kami
bukan bersaudara, paling tidak bukan bertalian darah. Kebanyakan keluarga yang
bekerja di tambang mirip satu sama lain seperti ini. Itulah sebabnya mengapa
ibuku dan Prim, dengan rambut mereka yang berwarna pirang dan bermata biru,
selalu tampak salah tempat. Karena sesungguhnya mereka memang salah tempat.
Orangtua ibuku merupakan kelas pedagang kecil yang melayani
pejabat, Penjaga Perdamaian, dan kadang-kadang pelanggan dari Seam. Mereka
memiliki toko obat-obatan di wilayah yang lebih bagus dari Distrik 12. Karena
nyaris tak seorangpun sanggup membayar dokter, ahli obat-obatan ini menjadi
dokter kami.
Ayahku mengenal ibuku karena dalam perburuannya kadang-kadang
dia menemukan tumbuh-tumbuhan obat dan dia menjualnya di toko ibuku agar bisa
diramu jadi obat. Ibuku pasti sangat mencintai ayahku hingga rela meninggalkan
rumahnya untuk tinggal di Seam.
Aku berusaha mengingat semua itu ketika aku hanya bisa melihat
wanita yang duduk diam, kosong, dan tak terjangkau, sementara anak-anaknya
kelaparan hingga tinggal tulang berbalut kulit. Aku berusaha memaafkannya demi
ayahku. Tapi sejujurnya, aku bukan tipe orang yang pemaaf.
Gale mengoleskan keju kambing yang halus di atas
potongan-potongan roti, dengan hati-hati menaruh daun basil di atas setiap roti
sementara aku mengobrakabrik sesemakan untuk mencari buah berry. Kami duduk
santai di celah di antara bebatuan. Dari tempat ini, kami tidak kelihatan tapi
bisa mendapat sudut pandang yang jelas ke arah lembah, penuh dengan kehidupan
musim panas, ikan berwarnawarni di bawah sinar matahari. Hari tampak cemerlang,
dengan langit biru dan embusan angin sepoi-sepoi. Makanannya lezat, dengan keju
yang meresap ke dalam roti yang hangat dan buah-buah berry yang meletup didalam
mulut kami.
Segalanya akan sempurna jika ini benar-benar liburan, jika
sepanjang hari libur ini berarti menjelajahi pegunungan bersama Gale, berburu
untuk makan malam. Tapi kami harus berdiri di alun-alun pada jam dua siang
menantikan nama-nama yang akan disebutkan.
"Kau tahu, kita bisa melakukannya," kata Gale pelan.
"Apa?" tanyaku
"Meninggalkan distrik. Lari. Tinggal di hutan. Kau dan
aku, kita bisa berhasil," sahut Gale.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Gagasan ini terlalu
sinting.
"Jika saja kita tidak punya begitu banyak anak,"
imbuh Gale cepat.
Tentu saja, mereka bukan anak-anak kandung kami. Tapi bisa
kami anggap seperti itu. Dua adik lelaki dan satu adik perempuan Gale. Prim.
Dan sekalian juga tambahkan ibu-ibu kami, karena bagaimana mungkin mereka bisa
bertahan hidup tanpa kami? Siapa yang bisa mengisi perut mereka yang selalu
minta tambah? Meskipun kamu berburu setiap hari, masih saja ada malam-malam
ketika hasil buruan kami harus ditukar dengan minyak, tali sepatu, atau kain
wol, masih ada malam-malam ketika kami tidur dengan perut berkeruyuk.
"Aku tidak kepingin punya anak," kataku.
"Aku mungkin saja kepingin. Jika aku tidak tinggal di
sini," ujar Gale.
"Tapi kau tinggal disini," tukasku kesal.
"Lupakan saja," sahutnya.
Rasanya seluruh percakapan ini terdengar salah. Pergi?
Bagaimana aku bisa pergi meninggalkan Prim, yang merupakan satu-satunya orang
di dunia yang tanpa keraguan sedikitpun kucintai setengah mati? Dan Gale
berbakti pada keluarganya. Kami tidak bisa pergi, jadi kenapa repot-repot
membicarakannya? Bahkan jika kami bisa pergi... bahkan jika kami pergi... dari
mana asal omongan tentang kepingin punya anak ini? Antara aku dan Gale tak
pernah ada hibungan romantis.
Saat kami pertama kali bertemu, aku hanyalah anak kurus
berusia dua belas tahun, dan walaupun Gale hanya dua tahun lebih tua
daripadaku, dia sudah tampak seperti lelaki dewasa. Butuh waktu lama bagi kami
untuk bisa berteman, untuk berhenti saling menawar atas setiap pertukaran dan
mulai saling membantu. Lagi pula, kalau dia kepingin punya anak, Gale tidak
akan kesulitan mencari istri. Dia tampan, cukup kuat untuk bekerja di tambang,
dan bisa berburu. Kau bisa melihat bagaimana gadis-gadis bergosip tentang Gale
ketika melihatnya berjalan di sekolah dan betapa mereka menginginkannya. Hal
itu membuatku cemburu tapi bukan dengan alasan yang dipikirkan orang-orang.
Pasangan berburu yang baik sukar ditemukan.
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku. Kami bisa
berburu menangkap ikan, atau mengumpulkan makanan.
"Ayo kita menangkap ikan di danau. Kita tinggalkan galah
kita dan mengumpulkan makanan di hutan. Mencari sesuatu yang enak untuk nanti
malam," kata Gale.
Malam ini. Setelah hari pemungutan, semua orang seharusnya merayakan
hari ini. Dan banyak orang yang memang melakukannya, karena lega anak mereka
lolos dari maut selama setahun lagi. Tapi paling tidak ada dua keluarga yang
akan menutup daun jendela mereka, mengunci pintu, dan berusaha mencari tahu
bagaimana mereka bisa melewati minggu-minggu menyakitkan yang akan datang.
Hasil kami lumayan bagus. Binatang pemangsa mengabaikan kami
pada hari ketika mangsa yang lebih mudah dan lebih nikmat berlimpah. Menjelang
siang, kami berhasil mengumpulkan selusin ikan, sekantong sayuran hijau, dan
yang terbaik di antara segalanya, segalon stroberi. Aku menemukan sebidang
tanah beberapa tahun lalu, tapi Gale yang punya ide untuk mengikat mata jala di
sekelilingnya untuk menjaga binatang agar tidak masuk.
Dalam perjalanan pulang, kami mampir di Hob, pasar gelap yang
terdapat di gudang terbengkalai yang dulu jadi tempat penyimpanan batu bara.
Ketika mereka menemukan sistem yang lebih efisien untuk mengangkut batu bara
langsung dari tambang ke kereta api, gudang itu perlahan-lahan menjadi Hob.
Sebagian besar toko tutup pada hari pemungutan, tapi pasar gelap masihlah
sibuk.
Dengan mudah kami menukar enam ekor ikan dengan roti lezat,
dan dua ekor lainnya dengan garam. Greasy Sae, wanita tua bertubuh kurus yang
menyediakan sup panas dalam ceret besar dan menjualnya dalam mangkuk-mangkuk,
mau menerima setengah sayuran hijau kami dan menukarnya dengan
bongkahan-bongkahan lilin. Di tempat lain kami mungkin bisa melakukan
pertukaran dengan lebih baik, tapi kami berusaha untuk menjaga hubungan baik
dengan Greasy Sae. Dia satu-satunya orang yang bisa diharapkan untuk membeli
anjing liar. Kami tidak melukainya secara sengaja, tapi kalau kau diserang dan
kau membunuh satu atau dua ekor anjing, daging tetaplah daging.
"Kalau sudah di dalam sup, aku menamainya daging
sapi," kata Greasy Sae sambil mengedipkan mata. Tak ada seorang pun di
Seam yang jijik makan daging paha anjing liar, tapi para Penjaga Perdamaian
yang datang ke Hob punya uang lebih untuk memilih makanan lain.
Ketika urusan kami dipasar telah selesai, kami berjalan menuju
pintu belakang rumah Wali Kota untuk menjual setengah buah stroberi kami,
karena kami tahu dia menggemarinya dan sanggup membayar harga yang kami minta.
Putri Wali Kota, Madge, membuka pintu untuk kami. Dia berada
di angkatan yang sama denganku di sekolah. Dengan menjadi putri Wali Kota,
orang-orang pasti mengira dia bakalan sombong, tapi dia ternyata menyenangkan.
Dia penyendiri dan tidak suka ikut campur urusan orang. Seperti aku.
Karena tak satupun dari kami benar-benar memiliki kelompok
teman, tampaknya kami jadi sering bersama-sama di sekolah. Makan siang, duduk
berdampingan di ruang pertemuan, berpasangan untuk kegiatan olahraga. Kami
jarang bicara, dan itu cocok buat kami.
Hari ini seragam sekolahnya yang membosankan sudah diganti
dengan gaun putih mahal, dan rambut pirangnya di gelung ke atas dengan pita
pink. Pakaian hari pemungutan.
"Gaun yang cantik," kata Gale.
Madge melotot memandangnya, berusaha mencari tahu apakah
pujian tadi tulus atau Gale hanya menyindir. Gaun itu memang cantik, tapi dia
takkan memakainya pada hari biasa. Madge mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat
kemudian tersenyum. "Yah, jika aku akhirnya harus pergi ke Capitol, aku
ingin kelihatan cantik, kan?"
Sekarang giliran Gale yang kebingungan. Apakah Madge serius
dengan perkataannya? Atau Madge hanya menggodanya. Kurasa gadis itu hanya
mengejek.
"Kau takkan pergi ke Capitol," kata Gale tenang.
Matanya tertuju pada pin bundar kecil yang menghiasi gaun Madge. Emas
sungguhan. Perhiasan yang terukir indah. Benda itu bisa membeli roti untuk
sebuah keluarga selama berbulan-bulan.
"Kau memasukkan berapa nama? Lima? Aku memasukkan enam
nama saat umurku baru dua belas."
"Itu bukan salahnya," kataku.
"Ya, itu bukan salah siapa pun. Karena memang aturannya
begitu," tukas Gale.
Wajah Madge tampak gusar. Dia menaruh uang untuk membayar
stoberi ke tanganku. "Semoga beruntung, Katniss."
"Kau juga," kataku, lalu menutup pintu.
Kami berjalan menuju Seam tanpa bicara. Aku tidak suka Gale
menusuk Madge seperti tadi, tapi dia benar. Sistem pemungutan ini tidak adil,
karena orang miskin mendapat kemungkinan terburuk dari pemungutan ini. Namamu
disertakan dalam pemilihan pada saat kau berulang tahun kedua belas. Pada tahun
itu, namamu dimasukkan satu kali. Pada umur tiga belas, namamu dimasukkan dua
kali. Dan begitu seterusnya sampai umurmu delapan belas, tahun terakhir kau
bisa ikut pemungutan, saat namamu tujuh kali masuk ke undian. Itulah yang
terjadi pada semua warga di dua belas distrik dalam seantero negara Panem.
Tapi ada udang dibalik batu. Misalkan kau miskin dan kelaparan
seperti kami, kau bisa memasukkan namamu lebih banyak untuk ditukar dengan
tessera. Setiap tessera bisa ditukar dengan persediaan setahun gandum dan
minyak untuk satu orang. Kau juga bisa melakukan ini untuk anggota keluargamu
yang lain. Jadi pada usia dua belas tahun, namaku dimasukkan empat kali. Satu,
karena memang diharuskan, dan tiga nama lagi untuk tessera untuk gandum dan
minyak bagiku, Prim, dan ibuku. Sesungguhnya, setiap tahun aku harus melakukan
hal ini. Dan setiap tahun nama yang dimasukkan bersifat kumulatif. Jadi kali
ini, pada usia enam belas tahun, namaku dimasukkan dua puluh kali dalam
pemungutan. Gale, yang berusia delapan belas dan membantu atau bisa dibilang
seorang diri menafkahi keluarganya yang terdiri atas lima orang selama tujuh
tahun, tahun ini akan memasukkan namanya 42 kali.
Yah, jadi bisa dimaklumi kenapa orang seperti Madge, yang tak
pernah membutuhkan tessera, bisa membuat Gale naik darah. Kemungkinan nama
Madge terambil dalam pemungutan sangat kecil dibanding dengan kami yang tinggal
di Seam. Bukannya tidak mungkin, tapi kecil sekali. Walaupun peraturan tersebut
diterapkan oleh Capitol, bukannya oleh distrik masing-masing dan jelas bukan
oleh keluarga Madge, sulit rasanya untuk tidak kesal pada mereka yang tidak
perlu mendaftar untuk tessera.
Gale tahu kemarahannya pada Madge salah alamat. Pernah dulu,
jauh di dalam hutan, aku mendengarnya mengoceh tentang tessera sebagai cara
lain untuk menimbulkan penderitaan di distrik kami. Suatu cara untuk menanamkan
kebencian antara para pekerja yang kelaparan di Seam dengan mereka yang tiap
malam bisa makan dan pada akhirnya membuat kami takkan bisa saling percaya.
"Memecah belah kita adalah demi keuntungan Capitol,"
katanya hanya kepadaku, itu pun setelah memastikan tak ada telinga lain yang
mendengarkan.
Jika saja hari ini bukan hari pemungutan. Jika saja gadis
dengan pin emas dan tidak perlu mendaftar untuk tessera tidak perlu mengatakan
apa yang kuyakini sebagai komentar tanpa maksud jahat.
Saat kami berjalan, aku menoleh memandang wajah Gale yang
tampak masih membara dengan kejengkelan di balik ekspresinya yang tegar.
Kemarahannya tampak tak ada gunanya bagiku, meskipun aku tak pernah
mengatakannya. Bukannya aku tak sependapat dengannya. Aku setuju dengannya.
Tapi apa gunanya berteriak tentang Capitol di tengah hutan. Itu takkan mengubah
apa pun. Itu juga tidak membuat keadaan jadi adil. Itu tidak membuat perut kami
kenyang. Nyatanya, teriakan itu membuat takut buruan kami. Tapi kubiarkan saja
dia berteriak. Lebih baik dia berteriak di hutan dari pada di distrik.
Aku dan Gale membagi hasil buruan kami, sisa dua ekor ikan,
beberapa potong roti bagus, sayuran, seperempat bagian stroberi, garam,
parafin, dan sedikit uang kami bagi dua.
"Sampai bertemu di alun-alun," kataku
"Pakai baju yang cantik," sahut Gale datar.
***
Di rumah, aku melihat ibuku dan adikku sudah siap berangkat.
Ibuku mengenakan gaun indah bekas peninggalan masa ketika dia bekerja di toko
obat. Prim mengenakan pakaian hari pemungutan yang pertama, rok dan blus
berkerut-kerut. Pakaian itu agak terlalu besar untuknya, tapi ibuku membuatnya
pas dengan peniti. Meski begitu, bagian belakang blus Prim masih tampak
longgar.
Seember air hangat sudah disiapkan untukku. Aku menyeka debu
dan keringat sehabis dari hutan, bahkan sempat mencuci rambut. Yang membuatku
terkejut, ibuku sudah mengeluarkan salah satu gaun indahnya untukku. Gaun biru
yang halus lengkap dengan sepatu yang serasi.
"Ibu yakin?" aku bertanya. Aku berusaha melewati
keingiman untuk menolak tawaran bantuan dari ibuku. Sesaat, aku merasa sangat marah,
aku tidak membiarkan ibuku melakukan apapun untukku. Dan gaun ini merupakan
benda istimewa. Pakaian-pakaian ibuku dari masa lalu sangat berharga untuknya.
"Tentu saja. Ayo kita gelung rambutmu juga," kata
ibuku.
Kubiarkan ibuku mengeringkan rambutku dengan handuk,
mengepangnya, lalu menggelungnya ke atas. Aku nyaris tidak mengenali diriku
sendiri saat memandang bayanganku di cermin retak yang disandarkan di dinding.
"Kau tampak cantik," ujar Prim dengan suara
berbisik.
"Dan sama sekali tidak mirip diriku," jawabku.
Kupeluk Prim, karena kutahu beberapa jam berikutnya akan sangat sulit dan berat.
Hari pemungutan pertamanya. Dia bisa dibilang aman, karena namanya hanya
dimasukkan satu kali. Aku tidak mengizinkannya menukar tessera. Tapi Prim
menguatirkanku. Dan membayangkan kejadian terburuk yang mungkin saja terjadi.
Aku melindungi Prim dengan segala cara yang bisa kulakukan, tapi aku tak
berdaya melawan pemungutan. Kemarahan yang selalu kurasakan saat Prim menderita
membuncah dalam dadaku dan sebentar lagi akan tampak di wajahku.
Kuperhatikan bahwa bagian belakang blusnya keluar dari roknya
dan kutahan diriku agar tetap tenang. "Masukkan ekormu, bebek kecil,"
kataku, seraya meluruskan blusnya ke dalam rok.
Prim tergelak dan berkata pelan, "Kwek."
"Kwek sendiri sana," sahutku sambil tertawa kecil.
Jenis tawa yang hanya bisa dihasilkan Prim pada diriku.
"Ayo kita makan," kataku dan kucium puncak kepalanya
dengan cepat.
Ikan dan sayuran sudah direbus, tapi itu disimpan untuk makan
malam. Kami memutuskan untuk menyimpan stroberi dan roti tukang roti untuk
makanan malam nanti, supaya makan malam jadi istimewa. Kami minum susu Lady,
kambing milik Prim, dan makan roti kasar yang dibuat dari gandum tessera,
meskipun tak satupun dari kami masih punya nafsu makan.
Pada pukul satu, kami menuju alun-alun. Kehadiran kami di sini
wajib hukumnya kecuali kau dalam keadaan sekarat. Nanti malam, para petugas
akan datang memeriksa apakah kau hadir atau tidak. Jika tidak, kau akan
dipenjara. Sungguh sayang mereka mengadakan pemungutan di alun-alun-satu dari
sedikit tempat di distrik 12 yang bisa jadi tempat menyenangkan. Alun-alun
dikelilingi banyak toko, dan pada hari pasar, terutama saat cuaca cerah,
suasananya terasa seperti liburan.
Tapi hari ini, walaupun banyak umbul-umbul cerah yang
digantung di gedung-gedung, ada nuansa suram di udara. Kru-kru kamera yang
nangkring di atap-atap seperti elang menambah efek suram yang ada. Orang-orang
mendaftar dan masuk tanpa bicara. Hari pemungutan juga kesempatan yang baik
bagi Capitol untuk mengetahui jumlah penduduk. Pemudapemudi berusia dua belas
hingga delaban belas tahun digiring menuju area yang sudah dibatasi berdasarkan
usia, mereka yang paling tua berada di depan, sementara yang muda, seperti
Prim, berbaris di belakang. Anggota-anggota keluarga berkerumun di dekat garis
batas, berpegangan tangan dengan orang-orang disebelah mereka. Tapi ada juga
orang-orang yang tidak memiliki orang yang mereka cintai dalam undian
pemungutan itu, atau mereka yang tidak lagi peduli, yang berada di antara
kerumunan, bertaruh pada nama dua anak yang akan diambil dalam pemungutan.
Kemungkinan selalu lebih besar pada mereka yang usianya lebih
tua, tidak peduli mereka warga Seam atau pedagang, apakah mereka luluh dan
menangis. Banyak orang yang menolak berurusan dengan pemeras tapi mereka juga
harus hati-hati dan waspada. Orang-orang ini biasanya juga informan, dan siapa
yang tak pernah melanggar hukum tinggal di tempat ini? Aku bisa ditebak setiap
hari karena berburu, tapi nafsu makan mereka berusaha melindungiku. Tidak semua
orang bisa mendapat perlakuan yang sama.
Aku dan Gale sependapat bahwa jika kami harus memilih antara
mati kelaparan dan mati karena peluru di kepala, peluru akan jadi kematian yang
jauh lebih cepat. Tempat ini jadi seolah makin sempit, semakin banyak orang
yang datang membuatnya sesak. Alun-alun ini lumayan luas, tapi tidak cukup
untuk menampung sekitar delapan ribuan warga Distrik 12. Orang-orang yang
datang belakangan diarahkan menuju jalan-jalan di dekat alun-alun, di sana
mereka bisa menonton peristiwa yang berlangsung di layar-layar televisi karena
acara ini disiarkan secara langsung oleh negara.
Aku berdiri di antara gerombolan remaja berusia enam belas
tahun dari Seam. Kami saling mengangguk cepat lalu memusatkan perhatian kami
pada panggung non-permanen yang dibangun di depan gedung pengadilan. Di sana
ada tiga kursi, podium, dan bola kaca ukuran besar, satu bola untuk nama lelaki
dan satu lagi untuk anak perempuan. Ku perhatikan baik-baik kertas-kertas nama
dalam bola anak perempuan. Dua puluh diantaranya bertuliskan nama Katniss
Everdeen dengan tulisan tangan yang indah.
Dua dari tiga kursi itu diisi oleh ayah Madge, Wali Kota
Undersee-yang bertubuh jangkung dan mulai botak, dan Effie Trinket, pengiring
Distrik 12, dikirim langsung dari Capitol lengkap dengan seringainya yang putih
menakutkan, rambut berwarna merah jambu, dan pakaian berwarna hijau cerah.
Mereka bergumam pada satu sama lain kemudian memandang kursi kosong yang
tersisa dengan pandangan cemas.
Ketika jam kota menunjukkan tepat pukul dua, sang wali kota
melangkah ke podium dan mulai membaca. Kisah yang sama setiap tahunnya. Dia
menceritakan sejarah Panem, negara yang muncul dari sisa-sisa tempat yang
dulunya bernama Amerika Utara. Dia mengurutkan daftar malapetaka, kekeringan,
badai, kebakaran, perang brutal demi memperebutkan sedikit makanan yang tersisa.
Hasilnya adalah Panem, Capitol yang bersinar dikelilingi tiga belas distrik,
yang membawa perdamaian dan kemakmuran pada warga negaranya. Kemudian tiba Masa
Kegelapan, gejolak kebangkitan perlawanan distrik terhadap Capitol. Dua belas
distrik dikalahkan, dan distrik ketiga belas dimusnahkan. Perjanjian
Pengkhianatan memberi kami undang-undang baru untuk menjamin perdamaian, dan
sebagai pengingat setiap tahunnya agar Masa Kegelapan itu tak terulang lagi,
Capitol memberi kami Hunger Games.
Peraturan Hunger Games sebenarnya sederhana. Sebagai hukuman
atas perlawanan kami, masing-masing distrik harus menyediakan satu anak lelaki
dan satu anak perempuan, yang dinamakan sebagai para peserta, untuk
berpatisipasi. Dua puluh empat peserta akan dipersenjatai di arena luar yang
luas, yang berupa padang pasir tandus yang panas menyengat hingga tanah
pembuangan yang dingin membeku. Selama beberapa minggu, mereka harus bersaing
dalam pertarungan sampai mati. Peserta terakhir yang masih hidup adalah
pemenangnya.
Mengambil anak-anak dari distrik kami, memaksa mereka untuk
saling membunuh sementara kami menontonnya- ini adalah cara Capitol untuk
mengingatkan kami betapa sesungguhnya kami berada di bawah belas kasihan
mereka. Betapa kecil kemungkinan kami bisa selamat jika timbul pemberontakan
lain. Apapun kata-kata yang mereka gunakan pesan yang mereka sampaikan jelas.
"Lihat bagaimana kami mengambil anak-anakmu dan
mengorbankan mereka, dan tak ada yang bisa kau lakukan untuk menghalanginya.
Kalau kau sampai berani mengangkat satu jari saja, kami akan menghancurkan
semuanya. Sebagaimana yang kami lakukan di Distrik Tiga Belas."
Untuk membuatnya lebih memalukan dan menyiksa, Capitol memaksa
kami memperlakukan Hunger Games sebagai perayaan, peristiwa olahraga yang
membuat satu distrik berkompetisi dengan distrik lainnya. Peserta terakhir yang
hidup akan menikmati hidup enak saat pulang nanti, dan distrik mereka akan
dilimpahi berbagai hadiah, yang kebanyakan berupa makanan. Sepanjang tahun,
Capitol akan menunjukkan bagaimana distrik yang jadi pemenang menerima hadiah
gandum, minyak, bahkan makanan lezat seperti gula sementara distrikdistrik lain
harus berjuang agar tidak mati kelaparan.
"Waktunya untuk penyesalan dan berterima kasih,"
kata Wali Kota dengan nada mendayu.
Kemudian dia membacakan daftar pemenang tahun sebelumnya dari
Distrik 12. Dalam 74 tahun, distrik kami hanya pernah dua kali menang. Hanya
tinggal satu yang masih hidup. Haymitch Abernathy, lelaki gendut setengah baya,
yang pada saat ini sedang mengoceh tidak jelas, terhuyung-huyung naik ke
panggung, dan jatuh terduduk di kursi ketiga. Dia mabuk. Teler berat. Kerumunan
orang menyambutnya dengan tepuk tangan, tapi dia kebingungan dan berusaha
memeluk Effie Trinket erat-erat, sementara wanita itu berusaha mengenyahkannya.
Effie Trinket yang selalu cerah ceria menjejakkan kaki ke
podium dan menyampaikan salamnya yang terkenal, "Selamat mengikuti Hunger
Games. Semoga keberuntungan menyertaimu selalu" Rambutnya yang berwarna
merah jambu pasti cuma wig karena ikalnya agak berubah letak sejak dia ditabrak
Haymitch. Dia masih berceloteh tentang betapa terhormatnya dia bisa berada di
sini, meskipun semua orang tahu bahwa Effie sebenarnya sudah tidak sabar untuk
bisa pindah ke distrik lain dengan pemenang-pemenang yang layak tampil sebagai
pemenang, bukan pemabuk-pemabuk yang melecehkannya di depan sepenjuru negeri.
Di antara kerumunan massa, aku melihat Gale memandangku dengan
senyum samar. Sepanjang berlangsungnya pemungutan, ada sedikit hiburan dalam
pemungutan kali ini. Tapi mendadak aku memikirkan Gale dan 42 namanya yang
terdapat dalam bola kaca besar itu dan betapa probabilitas tidak berpihak
padanya, apalagi jika dibandingkan dengan banyak anak lelaki lain. Mungkin dia
juga memikirkan hal yang sama tentang diriku karena wajahnya berubah muram dan
dia memalingkan wajah.
"Tapi masih ada ribuan kertas disana." Aku berharap
bisa membisikkan kata-kata itu di telinganya.
Waktunya menarik undian. Effie Trinket mengucapkan kalimat
yang selalu diucapkannya, "Anak perempuan lebih dulu" dan berjalan
menuju bola kaca yang berisi nama anak perempuan. Dia mengulurkan tangan,
mengaduk-aduk ke dalam bola kaca, dan menarik selembar kertas. Kerumunan massa
sama-sama menahan napas dan heningnya bisa membuat kau mendengar suara peniti
jatuh, dan aku merasa mual saat mati-matian berharap semoga bukan namaku, bukan
namaku, bukan namaku.
Effie Trinket kembali ke podium, meluruskan kertas itu, dan
membacakan nama yang tertera di sana dengan lantang. Dan memang bukan namaku.
Tapi
Primrose Everdeen.[]
Baca LightNovel dan WebNovel Gratis Disini!!!
ReplyDelete