The Maze Runner (The Maze Runner #1) (57)

Penulis : James Dashner

57

Sekelebat rasa dingin mengiris kulit Thomas saat dia memasuki Lubang Griever, mulai dari ibu jari kaki hingga ke seluruh tubuhnya, seolah dia melompati sebidang lapisan es. Dunia berubah lebih gelap di sekelilingnya ketika kakinya terbentur mendarat di permukaan yang licin, kemudian terdengar pekikan di bawahnya; dia telah jatuh di atas kedua lengan Teresa. Gadis itu dan Chuck membantunya berdiri. Sungguh sebuah keajaiban Thomas tidak sampai menikam mata seseorang dengan tombaknya.

Lubang Griever itu akan gelap gulita jika tak ada penerangan dari senter Teresa yang membelah kegelapan. Setelah Thomas membiasakan diri, dia menyadari mereka sedang berdiri di dalam sebuah terowongan batu setinggi kira-kira tiga meter. Tempat itu lembap, tampak kotor berselimut minyak yang berkilat, dan membentang ke hadapan mereka belasan meter sebelum akhirnya menghilang di kegelapan. Thomas mendongak ke arah Lubang tempat mereka masuk—yang tampak seperti jendela persegi di angkasa yang pekat dan tak berbintang.

“Komputernya ada di sana,” kata Teresa, mengalihkan perhatiannya.

Beberapa meter ke dalam terowongan, Teresa menyorotkan senternya ke sebuah layar kaca berbentuk persegi yang sangat berdebu dan memancarkan sinar suram hijau. Di bawahnya, sebuah papan tombol melekat di dinding, agak menonjol sehingga mudah digunakan untuk mengetik jika seseorang berdiri di depannya. Itulah mesin yang mereka cari, siap menerima kodenya. Thomas tak bisa mencegah pikiran bahwa ini tampaknya terlalu mudah, terlalu hebat untuk jadi kenyataan,

“Masukkan kata-katanya!” teriak Chuck, menepuk pundak Thomas. “Cepat!”

Thomas memberi isyarat kepada Teresa untuk melakukannya. “Chuck dan aku akan berjaga-jaga, memastikan tidak ada Griever yang masuk melewati Lubang.” Dia sangat berharap para Glader mengalihkan perhatian mereka dari membuka jalan di lorong Maze menjadi menjauhkan makhluk-makhluk itu dari Tebing.

“Oke,” sahut Teresa—Thomas tahu gadis itu sangat pintar untuk memahami maksudnya. Teresa mendekati papan tombol dan layar itu, kemudian mengetik.

Tunggu! Seru Thomas kepada gadis itu dalam pikirannya. Kau yakin sudah hafal semua kata-kata itu?

Gadis itu menoleh dan memberengut. “Aku bukan anak bodoh, Tom. Ya, aku sangat mampu mengingat—”

Bunyi dentuman keras dari atas menghentikan perkataan gadis itu, membuat Thomas terlonjak. Dia membalikkan tubuh dan melihat sebuah Griever mendadak masuk melalui Lubang Griever, seolah muncul dengan gaib dari kotak persegi hitam. Makhluk itu telah menarik semua paku dan lengannya untuk masuk—ketika ia mendarat dengan bunyi benturan yang berair, semua persenjataan tajam dan mengerikan itu mencuat kembali, lebih mematikan dari sebelumnya.

Thomas mendorong Chuck ke belakangnya dan menghadap makhluk itu, mengacungkan tombaknya seolah senjata itu dapat menangkisnya. “Coba terus, Teresa!” teriaknya.

Sebuah tangan logam langsing menyambar dari kulit basah Griever itu, membuka menjadi lebih panjang dengan tiga pisau yang berputar-putar, bergerak langsung menuju wajah Thomas.

Anak itu memegang ujung tombak dengan kedua tangannya, mencengkeramnya erat-erat sambil mengarahkan ujungnya yang berpisau ke tanah di depannya. Tangan Griever yang berpisau itu bergerak sekitar satu meter sekali maju, siap mengiris-iris wajahnya. Ketika posisinya tinggal satu meter, Thomas mengencangkan otot-ototnya dan mengayunkan tombak ke atas, memutarnya, dan menyentakkannya ke arah langit-langit sekuat tenaga. Tombak itu menghantam tangan besi Griever dan memelintir benda itu ke atas, terlontar hingga jatuh lagi ke tubuh makhluk itu. Monster itu mendengking marah dan mundur beberapa meter, paku-pakunya kembalik masuk ke tubuh. Thomas terengah-engah.

Mungkin aku bisa menahannya, katanya tergesa-gesa kepada Teresa. Cepat lakukan!

Aku hampir selesai, sahut gadis itu.

Paku-paku Griever itu kembali mencuat, menggelinding maju dan sebuah tangan keluar dari kulitnya, langsung menyerang, kali ini dengan capit raksasa, berusaha menyambar tombak. Thomas menangkisnya, kali ini di atas kepala, mengerahkan seluruh tenaganya. Tombak itu membentur bagian bawah cakar. Dengan suara berdentang keras, kemudian bunyi benda berair ditekan, seluruh tangan besi itu tercabut dari sumbernya, jatuh ke lantai. Kemudian, dari sejenis mulut yang tak bisa dilihat Thomas, Griever itu melolong panjang memekakkan telinga dan kembali mundur; paku-pakunya lenyap.

“Makhluk-makhluk itu bisa dikalahkan!” teriak Thomas.

Aku tak bisa memasukkan kata terakhir! Seru Teresa dalam pikirannya.

Tidak terlalu jelas mendengarnya, dan kurang mengerti, Thomas meraung dan menyerbu memanfaatkan kesempatan saat Griever itu sedang lemah. Mengayunkan tombaknya membabi buta, dia melompat ke atas tubuh bulat makhluk itu, menangkis dengan keras dua tangan logam dengan bunyi berderak nyaring. Dia mengangkat tombak ke atas kepalanya, kedua kakinya memasang kuda-kuda—merasakannya melesak ke dalam lapisan lemak yang menjijikkan—kemudian menghunjamkan tombaknya ke bawah sedalam mungkin ke tubuh makhluk itu. Kemudian, dia melepas pucuk senjata itu dan melompat menjauh, berlari kembali ke arah Chuck dan Teresa.

Thomas mengawasi dengan rasa puas dan muak saat Griever itu tersentak-sentak tak terkendali, menyemburkan minyak berwarna kuning ke segala arah. Paku-paku di sekujur tubuhnya masuk dan keluar; tangan-tangan logam yang tersisa terayun tak tentu arah, beberapa kali menusuk tubuhnya sendiri. Tak lama kemudian gerakan Griever itu melambat, kehilangan energi dari setiap darah—atau bahan bakar—yang tumpah.

Beberapa detik kemudian, makhluk itu berhenti bergerak sama sekali. Thomas tak memercayainya. Dia sangat sulit memercayainya. Dia baru saja mengalahkan sebuah Griever, salah satu monster yang telah meneror para Glader selama lebih dari dua tahun.

Anak itu menoleh kepada Chuck di belakangnya, yang berdiri terbelalak.

“Kau membunuhnya,” kata anak laki-laki itu. Dia tertawa, seolah satu aksi itu telah menyelesaikan seluruh masalah mereka.

“Tidak terlalu susah,” gumam Thomas, kemudian berbalik memandang Teresa yang mengetik dengan kebingungan di atas papan tombol. Thomas langusng tahu bahwa ada masalah.

“Ada apa?” tanyanya, nyaris berteriak. Anak itu melongkok dari balik bahu Teresa dan melihat gadis itu mengetikkan kata TEKAN berkali-kali, tetapi tak ada yang muncul di layar.

Gadis itu menuding ke layar yang berdebu, tampak kosong kecuali memancarkan cahaya jihau suram. “Aku memasukkan semua kata dan satu per satu kata-kata itu muncul di layar; lalu ada dungungan dan semua kata itu menghilang. Tapi, aku tak bisa memasukkan kata terakhir. Tidak ada yang terjadi!”

Tubuh Thomas menggigil ketika meresapi kata-kata Teresa. “Oh ... kenapa?”

“Aku tak tahu!” Gadis itu mencoba lagi, dan lagi. Layar tetap kosong.

Thomas!” Chuck berteriak di belakang mereka. Thomas berbalik dan melihat anak itu menuding ke Lubang Griever—satu makhluk lagi menembus masuk. Thomas melihatnya menjatuhkan diri ke atas saudaranya yang mati dan satu Griever lagi mulai memasuki Lubang.

“Kenapa lama sekali?” pekik Chuck panik. “Kalian bilang mereka akan mati kalau kalian memasukkan kode itu!”

Kedua Griever itu bersiap-siap dan mengeluarkan paku-paku mereka, dan mulai bergerak ke arah anak-anak.

“Makhluk itu tidak akan membiarkan kita memasukkan kata TEKAN,” kata Thomas nyaris tak terdengar, tak bermaksud berbicara kepada Chuck, tetapi mencoba menjadi jalan keluar ....

Aku tak mengerti, kata Teresa.

Kedua Griever semakin dekat, hanya beberapa meter. Merasa harapannya perlahan menguap, Thomas berdiri dengan tegang dan mengepalkan tangannya dengan bimbang. Ini seharusnya berhasil. Kode itu seharusnya—

“Mungkin kau harus menekan tombol itu,” kata Chuck.

Thomas sangat terkejut mendengar pernyataan spontan itu hingga mengalihkan perhatiannya dari para Griever, lalu memandang anak itu. Chuck menunjuk ke dekat lantai, tepat di bagian bawah layar dan papan tombol.

Sebelum Thomas bergerak, Teresa telah membungkuk dan berlutut di sana. Diselimuti perasaan ingin tahu, dan sedikit harapan, Thomas menjajari gadis itu, tiarap di lantai untuk melihat lebih jelas. Dia mendengar erangan dan raungan Griever di belakangnya, merasakan cakar yang tajam menyambar bajunya, dan semburat rasa sakit. Namun, dia menatap tertegun.

Sebuah tombol kecil berwarna merah tertanam di dinding hanya beberapa sentimeter di atas lantai. Dua kata tertulis di sana, tampak sangat jelas hingga anak itu tak percaya bahwa dia tak melihatnya sejak tadi.

Matikan Maze.

Serangan rasa sakit sekali lagi menyadarkan Thomas dari ketertegunannya. Griever itu sudah menyambarnya dengan dua alat, mulai menariknya mundur. Griever yang lain mengejar Chuck dan hendak menebas anak itu dengan pisau panjang. Sebuah tombol.

Tekan!” teriak Thomas, melengking di luar kemampuan yang sanggup dipikirkannya.

Dan, Teresa melakukannya.


Dia menekan tombol itu dan seketika segalanya menjadi hening total. Kemudian, dari kegelapan terowongan, terdengar suara pintu bergeser terbuka.[]

No comments:

Post a Comment