The Maze Runner (The Maze Runner #1) (51)

Penulis : James Dashner

51

Alby berdiri dengan sangat cepat hingga kursinya terbanting ke belakang. Matanya menatap tajam di bawah balutan perban di dahinya. Dia maju dua langkah dan berhenti, seolah hendak menuduh dan menyerang Thomas.

“Sekarang kau bertingkah seperti orang bodoh,” katanya, menatap Thomas. “Atau seperti pengkhianat. Bagaimana bisa kami memercayai setiap kata-katamu jika kau membantu merancang tempat ini, menempatkan kami di sini! Kita tak bisa mengatasi satu Griever di tempat ini, apalagi bertempur dengan seluruh gerombolan mereka di lubang kecil itu. Apa tujuanmu sebenarnya?”

Thomas meradang. “Apa tujuanku? Tidak ada! Untuk apa aku harus mengarang semua ini?”

Kedua lengan Albu mengencang, tangannya mengepal. “Karena setahu kami kau dikirim ke tempat ini untuk membuat kami semua terbunuh! Mengapa kami harus memercayaimu?”

Thomas memandangnya tak percaya. “Alby, kau ini punya masalah ingatan jangka pendek? Aku mempertaruhkan hidupku untuk menyelamatkanmu keluar dari Maze—kau mungkin sudah mati jika bukan karena aku!”

“Mungkin itu muslihat untuk mendapatkan kepercayaan kami. Jika kau termasuk komplotan berengsek yang mengirimkan kami kemari, kau tidak perlu mengkhawatirkan Griever akan menyakitimu—mungkin itu semua hanya pura-pura.”

Kemarahan Thomas mereda ketika dia mendengarnya, berganti menjadi kasihan. Ada sesuatu yang aneh—mencurigakan.

“Alby,” akhirnya Minho menyela, membuat Thomas lega. “Itu adalah teori paling bodoh yang pernah kudengar. Dia hampir saja tercabik-cabik tiga malam yang lalu. Kau pikir itu bagian dari pura-pura?”

Alby mengangguk satu kali, dengan mantap. “Mungkin.”

“Aku melakukannya,” kata Thomas, dengan nada sejengkel mungkin, “demi kesempatan mendapatkan memori-memoriku lagi, menolong kita semua keluar dari sini. Apakah aku perlu menunjukkan bekas-bekas sayatan dan memar di sekujur tubuhku?”

Alby tak mengatakan apa pun, wajahnya masih gemetar menahan marah. Kedua matanya berair dan pembuluh darahnya menonjol di lehernya. “Kita tidak bisa kembali!” akhirnya dia berteriak, memandang semua orang di ruangan itu. “Aku sudah pernah melihat kehidupan kita sebelumnya—kita tak bisa kembali!”

“Jadi, itu sebenarnya maksudmu?” tanya Newt. “Kau tak serius, kan?”

Alby berbalik menghadapnya dengan berang, bahkan telah mengepalkan tangan. Namun, dia tak meneruskannya, menurunkan tangannya, kemudian berbalik dan mengempaskan diri ke kursi. Thomas benar-benar terkejut. Sang pemimpin para Glader yang tak kenal takut itu menangis.

“Alby, bicaralah kepada kami,” desak Newt, tak ingin membiarkannya menggantung. “Apa yang terjadi?”

“Aku yang melakukannya,” kata Alby di antara isak tangis. “Aku yang melakukannya.”

“Melakukan apa?” tanya Newt. Dia sama bingungnya dengan Thomas.

Alby mendongak, bercucuran air mata. “Aku membakar Peta-Peta itu. Aku yang melakukannya. Aku membenturkan kepalaku ke meja agar kalian mengira orang lain yang berbuat, aku berbohong, aku meembakar semuanya. Aku yang melakukannya!”

Para Pengawas saling berpandangan, rasa terpukul tampak jelas di mata mereka yang terbelalak dan alis yang terangkat. Meskipun demikian, bagi Thomas segalanya kini masuk akal. Alby teringat bahwa hidupnya sangat mengerikan sebelum dia tiba di sini dan dia tak ingin kembali.

“Ya, ungtunglah kita menyelamatkan Peta-peta itu,” kata Minho, wajahnya sangat datar, nyaris mencemooh. “Terima kasih untuk saran darimu setelah melewati Perubahan—untuk melindungi Peta-Peta itu.”

Thomas memandang ingin tahu reaksi Alby terhadap sindiran Minho yang tajam dan nyaris kejam itu, tetapi dia seolah tak mendengarnya.

Newt, alih-alih marah, justru meminta penjelasan Alby. Thomas mengerti mengapa Newt tidak marah—Peta-Peta asli masih terselamatkan, kode telah terpecahkan. Tak lagi menjadi masalah.

“Kuberi tahu kalian,” suara Alby terdengar memohon—nyaris histeris. “Kita tak bisa kembali ke tempat asal kita. Aku sudah pernah melihatnya, mengingat hal-hal yang sangr-sangat mengerikan. Dataran yang sangat panas, sebuah penyakit—sesuatu yang disebut sebagai Flare. Itu mengerikan—jauh lebih buruk daripada yang kita alami di sini.”

“Jika tetap tinggal di sini, kita semua akan mati!” bentak Minho. “Ingatanmu lebih buruk daripada itu?”

Alby menatap Minho lama sebelum menjawab. Thomas hanya memikirkan kata-kata yang baru saja dikatakan Alby. Flare. Ada sesuatu yang tak asing lagi dengan kata itu, di ujung ingatannya. Namun, dia merasa yakin tak mengingat sedikit pun tentang hal itu saat melewati proses Perubahan.

“Ya,” kata Alby akhirnya. “Itu lebih buruk. Lebih baik mati daripada pulang.”

Minho tertawa sinis dan bersandar ke kursi. “Bung, kau ini berlebihan. Aku setuju dengan Thomas. Aku sepakat dengannya seratus persen. Jika harus mati, kita akan melakukannya dengan perlawanan.

“Baik di dalam maupun di luar Maze,” Thomas menambahkan, lega karena Minho mantap berada di pihaknya. Dia menoleh ke arah Alby dan menatapnya dingin. “Kita masih hidup di dalam dunia yang kau ingat.”

Alby berdiri lagi, wajahnya menunjukkan kekalahan. “Lakukan saja sesuai keinginanmu.” Dia mendesah. “Tak masalah. Bagaimanapun, kita nantinya akan mati.” Setelah mengucapkan itu dia berjalan ke pintu dan keluar ruangan.

Newt mendesah panjang dan menggelengkan kepala. “Dia tak pernah sama lagi sejak disengat—pasti ingatannya yang kembali mengerikan. Apa pula itu Flare?”

“Aku tak peduli,” sahut Minho. “Apa pun akan lebih baik daripada mati di sini. Kita bisa membuat perhitungan dengan para Kreator segera setelah keluar dari sini. Tapi, saat ini kita harus melakukan yang telah mereka rencanakan. Pergi melewati Lubang Griever dan meloloskan diri. Jika sebagian dari kita mati, ya, sudah.”

Frypan mendengus. “Kalian membuatku gila. Tidak bisa keluar dari Maze, dan ide tentang menghabiskan waktu dengan para Griever di kediaman mereka adalah hal paling bodoh yang pernah kudengar. Seperti mengiris pergelangan tangan kita sendiri.”

Para Pengawas yang lain langsung beradu pendapat, saling menimpali. Newt akhirnya berseru untuk menenangkan mereka.

Thomas kembali berbicara setelah semua tenang. “Aku akan berhasil melewati Lubang itu atau aku akan tewas saat mencoba menuju sana. Sepertinya Minho juga akan melakukannya. Dan, aku yakin Teresa juga ikut. Jika kita bisa melawan Griever cukup lama hingga seseorang bisa memasukkan kode itu dan mematikan mereka, kita dapat memasuki pintu tempat mereka lewat. Kita sudah menyelesaikan tes-tes itu. Kemudian, kita bisa menghadap para Kreator sendiri.”

Newt menyeringai mendengar lelucon tak lucu itu. “Dan, kau kira kita bisa menyingkirkan para Griever? Bahkan, meskipun tidak mati, kita semua mungkin akan tersengat. Makhluk paling terakhir mungkin menanti kita saat tiba di Tebing—semua Serangga-mesin terus ada di sekitar sana. Para Kreator akan tahu ketika kita mencoba cara itu.”

Thomas juga mencemaskan hal itu, tetapi dia tahu ini saatnya memberi tahu teman-temannya bagian terakhir rencananya. “Kurasa mereka tidak akan menyengat kita—proses Perubahan adalah sebuah Variabel yang ditujukan untuk kita selama tinggal di sini. Tapi, bagian itu akan berakhir. Ditambah, ada satu hal lagi yang menguntungkan kita.”

“Ya?” tanya Newt, memutar bola matanya. “Aku tak sabar lagi mendengarnya.”

“Para Kreator tidak diuntungkan jika kita semua mati—semua ini dimaksudkan agar berat dilalui, bukannya tidak mungkin. Kurasa kita akhirnya yakin bahwa para Griever telah diprogram hanya membunuh satu anak per hari. Jadi, seseorang bisa mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan yang lain sementara kita berlari ke Lubang. Kurasa inilah tindakan yang diharapkan terjadi.”

Ruangan itu senyap hingga Pengawas Rumah Darah tertawa terbahak-bahak. “Maaf?” tanya Winston. “Jadi, saranmu adalah kita melemparkan seorang bocah malang ke mulut serigala-serigala sehingga sisanya dapat meloloskan diri? Inikah saranmu yang luar biasa?”

Thomas menolah mengakui bahwa ide itu terdengar buruk, tetapi sebuah gagasan muncul di benaknya. “Ya, Winston, aku senang kau memperhatikan dengan sangat baik.” Dia mengabaikan tatapan tajam ke arahnya. “Dan, sepertinya sudah jelas siapa bocah malang itu.”

“Oh, ya?” sahut Winston. “Siapa?”


Thomas melipat kedua tangannya. “Aku.”[]

No comments:

Post a Comment