Penulis : James Dashner
46
Thomas menolak berbicara dengan siapa pun sepanjang sisa
hari itu.
Teresa mencobanya beberapa kali. Namun, anak laki-laki itu
terus mengatakan bahwa dia sedang merasa kurang enak badan, bahwa dia hanya
ingin sendiri dan tidur di tempatnya di hutan, mungkin melewatkan beberapa
waktu untuk berpikir. Mencoba menemukan rahasia tersembunyi dalam pikirannya
yang akan menolong mereka melakukan langkah selanjutnya.
Akan tetapi, sebenarnya, Thomas sedang menguatkan hatinya
untuk rencana malam itu, meyakinkan dirinya sendiri bahwa tiu adalah yang benar
untuk dilakukan. Satu-satunya hal
yang bisa dilakukan. Lagi pula, dia merasa sangat ketakutan dan tak ingin
anak-anak lain mengetahuinya.
Tak lama kemudian, saat jam di tangannya menunjukkan bahwa
malam telah tiba, dia pergi ke Wisma dengan Glader yang lain. Dia hampir tak
menyadari dirinya kelaparan hingga mulai menyantap biskuit dan sup tomat Frypan
yang dimasak dengan tergesa-gesa.
Dan, tibalah waktu tidur.
Para Pembangun telah menambal dengan papan lubang-lubang
yang ditinggalkan para monster yang membawa Gally dan Adam. Bagi Thomas hasilnya
tampak seperti dikerjakan oleh sekumpulan tentara mabuk, tetapi cukup kokoh.
Newt dan Alby, yang akhirnya merasa cukup pulih untuk berkeliling lagi,
kepalanya dibebat perban tebal, mendesak rencana agar semua orang berganti
posisi tempat tidur setiap malam.
Thomas mendapat di ruang tamu yang luas di lantai dasar
Wisma bersama para Glader yang sama dengan yang tidur bersamanya dua malam
sebelumnya. Keheningan dengan segera menyelimuti ruangan itu, meskipun dia
tidak tahu apakah itu karena semua orang sudah mengantuk atau ketakutan,
diam-diam berharap para Griever itu tidak datang lagi. Tidak seperti dua malam
yang lalu, Teresa diizinkan tinggal di dalam rumah itu dengan semua Glader.
Gadis itu kini berada di dekatnya, meringkuk di balik dua lapis selimut. Entah
bagaimana, Thomas dapat merasakan bahwa anak perempuan itu sedang tidur.
Benar-benar tidur.
Thomas sudah pasti tidak dapat tidur meskipun dia tahu
tubuhnya sangat membutuhkannya. Anak itu merasa sangat lelah—dia mencoba sekuat
tenaga memejamkan mata, memaksa dirinya untuk relaks. Namun, tak berhasil.
Malam kian larut, ketegangan semakin membebani dadanya.
Kemudian, seperti yang diperkirakan semua orang, terdengar
suara mesin mengerikan para Griever dari luar. Waktunya sudah tiba.
Semua orang berkerumun di depan dinding terjauh dari jendel-jendela,
berusaha keras tidak bersuara. Thomas membungkuk di sudut di sebelah Teresa,
memeluk kedua lututnya, menatap ke jendela. Kenyataan tentang keputusan
mengerikan yang dibuatnya tadi seperti meremas jantungnya. Namun, dia tahu
segalanya mungkin bergantung pada hal itu. Ketegangan di ruangan itu semakin
meningkat. Semua Glader membisu, tak seorang pun bergerak. Suara logam merobek
kayu terdengar hingga ke dalam rumah; Thomas menduga sebuah Grieber sedang
memanjat bagian belakang Wisma, berlawanan dari posisi mereka sekarang.
Suara-suara yang lebih gaduh terdengar beberapa detik berikutnya, datang dari
segala arah, yang terdekat berasal dari bagian luar jendela mereka. Udara di
ruangan itu seolah membeku, dan Thomas mengepalkan kedua tangannya di wajah,
bersiap-siap jika serangan mematikan datang kepadanya.
Bunyi ledakan besar kayu yang tercabik dan kaca pecah
menggelegar dari lantai atas, mengguncang seisi rumah. Thomas mengepalkan kedua
tangannya di wajah, bersiap-siap jika serangan mematikan datang kepadanya.
Bunyi ledakan besar kayu yang tercabik dan kaca pecah
menggelegar dari lantai atas, mengguncang seisi rumah. Thomas merasa tuli saat
terdengar jeritan-jeritan, diikuti suara langkah-langkah kaki berlari. Bunyi
berderak keras dan raungan menandakan bahwa seluruh Glader sedang berlari ke
lantai pertama.
“Ia membawa Dave!” teriak seseorang, suaranya nyaring
ketakutan.
Tak seorang pun di ruangan Thomas bergerak; dia tahu setiap
anak mungkin merasa bersalah karena kelegaan mereka—bahwa akhirnya bukan mereka
yang diambil. Bahwa mungkin mereka telah semalat untuk semalam lagi. Dua malam
berturut-turut hanya satu anak yang diambil setiap malam; dan orang-orang mulai
percaya bahwa kata-kata Gally benar.
Thomas terlompat ketika suara dentuman mengerikan terdengar
tepat di luar pintu ruangan mereka, ditingkahi jeritan-jeritan dan serpihan
yang berhamburan, seperti seekor monster berahang-besi yang sedang memakan
seluruh bagian tangga. Sedetik berikutnya terdengar ledakan kayu lagi, pintu
depan. Griever itu telah selesai melintasi rumah dan kini hendak pergi.
Semburan rasa takut menyelimuti Thomas. Sekarang atau tidak
sama sekali.
Dia melompat dan berlari ke pintu ruangan, men-jeblak-nya terbuka. Dia mendengar Newt
berteriak, tetapi dia mengabaikannya dan terus berlari melalui lorong,
menyisiri dan melompati ratusan serpihan kayu di lantai. Dia bisa melihat bahwa
tempat pintu depan dahulu berada kini telah menjadi sebuah lubang bergerigi
yang menuju malam yang kelabu. Dia langsung menuju sana dan berlari keluar ke
Glade.
Tom! Teresa
menjerit di kepalanya. Apa yang kau
lakukan!
Thomas tak memedulikannya. Dia terus berlari.
Griever yang memegang Dave—anak yang belum pernah berbicara
dengan Thomas—menggelinding di atas paku-pakunya ket Pintu Barat, bergemuruh
dan berdesing. Glader yang lain telah berkumpul di lapangan dan mengikuti teman
mereka menuju Maze. Tanpa berhenti,
dan menyadari bahwa Glader lain mungkin mengira dirinya akan melakukan bunuh
diri, Thomas memelesat hingga sampai di tengah-tengah kumpulan makhluk aneh
itu. Terkejut, para Griever itu berhenti menggelinding.
Thomas melompat ke monster yang memegang Dave, mencoba
menarik anak itu agar bebas, berharap makhluk itu akan membalasnya. Jeritan
nyaring Teresa memenuhi kepalanya seakan sebilah belati menembus tengkoraknya.
Ketiga Griever itu langsung mengerubunginya,
penjepit-penjepit dan jarum-jarum mereka terayun dari segala arah. Thomas
mengibaskan kedua tangan dan kakinya, menjauhkan tangan-tangan besi mengerikan
ketika dia menendang lapisan lunak menggelambir tubuh para Griever itu—dia hanya
ingin disengat, bukan dibawa seperti Dave. Serangan bertubi-tubi mereka semakin
mengganas, dan mendadak sekujur tubuh Thomas tersengat rasa sakit—tusukan jarum-jarum
menandakan dia telah berhasil. Menjerit, dia menendang, mendorong, dan
menampik, melompat bergulung, berusaha menjauh dari mereka. Berusaha keras,
dipenuhi ketegangan, dia akhirnya menemukan tempat terbuka untuk menjejakkan
kaki dan berlari sekuat tenaga.
Segera setelah dia berhasil lari di luar jangkauan
senjata-senjata para Griever, mereka berhenti dan mundur, menghilang ke dalam Maze. Thomas roboh ke tanah, mengerang
kesakitan.
Newt sampai di sisinya detik berikutnya, diikuti segera oleh
Chuck, Teresa, dan yang lainnya. Newt menyambar pundak Thomas dan mengangkat
tubuhnya, memeganginya di bawah kedua lengannya. “Pegangi kakinya!” teriaknya.
Thomas merasa dunia seperti berputar di sekelilingnya,
pusing dan mual. Seseorang, dia tak mengenalnya, mematuhi perintah Newt; dia
dibawa menyeberangi lapangan, masuk lewat pintu depan Wisma, menyusuri lorong
yang hancur berantakan, memasuki sebuah kamar, diletakkan di atas pembaringan.
Dunia masih berputar dan gagal.
“Apa yang telah kau lakukan!”
teriak Newt di depan wajahnya. “Bagaimana mungkin kau sebodoh ini!”
Thomas harus bicara sebelum tak sadarkan diri. “Tidak ...
Newt ... kau tak mengerti ....”
“Diam!” bentak Newt. “Jangan buang energimu!”
Thomas merasa ada seseorang yang memeriksa kedua tangan dan
kakinya, melucuti bajunya, memeriksa adanya lubang luka. Dia mendengar suara
Chuck, tak mampu menahan kelegaan bahwa temannya itu baik-baik saja. Seorang
Anak-medis mengatakan bahwa dirinya tersengat belasan kali.
Teresa ada di dekat kakinya, meremas pergelangan kaki
kanannya. Kenapa, Tom? Kenapa kau
melakukannya?
Karena .... Thomas
tak punya kekuatan untuk memusatkan pikiran.
Newt berteriak meminta Serum Duka; semenit kemudian Thomas
merasakan jarum suntik menembus tangannya. Kehangatan menyebar dari titik
suntikan itu ke seluruh tubuhnya, menenangkannya, mengurangi rasa sakitnya. Namun,
dunianya masih terlihat jungkir balik dan dia tahu sebentar lagi segalanya akan
menghilang dalam beebrapa detik.
Kamar itu berputar, beraneka warna saling membaur, bergulung
semakin cepat. Dia berusaha sekeras mungkin mengucapkan satu hal sebelum
kegelapan benar-benar menyelimutinya.
“Jangan khawatir,” bisiknya, berharap semua anak dapat
mendengarnya. “Aku melakukannya dengan tujuan tertentu ....”[]
No comments:
Post a Comment