Penulis : James Dashner
58
Kedua Griever itu mati pada waktu hampir bersamaan,
alat-alat mereka terkulai jatuh ke tubuh bulat mereka sendiri, lampu-lampunya
padam, mesin di dalamnya mati. Dan, pintu itu ....
Thomas terjatuh ke lantai setelah terlepas dari cakar
penawannya, dan meskipun rasa sakit berdenyut dari punggung dan bahunya yang
terkoyak, rasa sukacitanya meluap-luap hingga dia tak bisa mengucapkan
kata-kata. Thomas terengah-engah, kemudian tertawa, lalu terisak-isak sebelum
akhirnya kembali tergelak.
Chuck berlari menjauhi para Griever dan menghambur ke Teresa—gadis
itu memeluknya erat-erat.
“Kau berhasil, Chuck,” kata Teresa. “Kami sangat cemas
dengan kata-kata kode bodoh itu, kami tidak terpikir untuk mencari sesuatu yang
dapat ditekan—kata yang terakhir,
bagian penutup dari teka-teki ini.”
Thomas tertawa lagi, merasa tak percaya hal ini berlangsung
demikian cepat setelah semua yang mereka alami. “Dia benar, Chuck—kau menyelamatkan
kita, Sobat! Sudah kubilang kalau
kami membutuhkanmu!” Thomas bergegas bergabung dan berpelukan dengan kedua
temannya, nyaris bersorak. “Chuck memang pahlawan!”
“Bagaimana dengan yang lain?” tanya Teresa, mengangguk kecil
ke arah Lubang Griever. Kegembiraan Thomas langsung surut, dia mundur dan berbalik
menuju Lubang.
Seolah menjawab pertanyaannya, seseorang jaruh melewati
lubang persegi gelap itu—dia Minho, yang tubuhnya sembilan puluh persen penuh
goresan dan tikaman.
“Minho!” teriak Thomas, sangat lega. “Kau baik-baik saja?
Bagaimana dengan yang lain?”
Minho terhuyung-huyung ke dinding melengkung terowongan,
kemudian bersandar di sana, terengah-engah. “Kita kehilangan banyak sekali anak
... benar-benar pertumpahan darah mengerikan ... kemudian makhluk-makhluk itu
mati begitu saja.” Dia terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya. “Kalian berhasil. Aku tak percaya kode itu berhasil.”
Newt menyusul masuk, diikuti Frypan. Kemudian, Winstron dan
yang lain. Tak lama kemudian, delapan belas anak sudah bergabung dengan Thomas
dan teman-temannya di terowongan, seluruhnya 21 Glader. Sisa anak yang tadi
bertempur itu diselimuti cairan Griever dan darah manusia, pakaian mereka
terkoyak-koya.
“Yang lain?” tanya Thomas, ngeri menunggu jawabannya.
“Setengah dari kita,” kata Newt, suaranya lemah. “Mati.”
Tak ada yang berbicara setelah itu. Tak seorang pun membuka
mulut selama beberapa lama.
“Tahu, tidak?” kata Minho, menegakkan diri. “Separuh dari
kita mungkin telah tewas, tapi separuhnya lagi masih hidup. Dan, tak seorang
pun yang tersengat, seperti yang diperkirakan Thomas. Kita harus keluar dari
sini.”
Terlalu banyak,
pikir Thomas. Terlalu banyak korban
hingga sejauh ini. Kegembiraannya menguap pergi, menjadi rasa duka mendalam
untuk dua puluh anak yang kehilangan nyawa. Meskipun pilihan lainnya, yaitu
jika mereka tak mencoba meloloskan diri, mereka semua tetap akan mati, hati Thomas tetap nyeri walaupun dia tak
terlalu mengenal anak-anak itu. Kematian mereka terpampang di depan mata—bagaimana
mungkin hal itu disebut sebuah kemenangan?
“Ayo kita keluar dari sini,” kata Newt. “Sekarang juga.”
“Ke mana kita akan pergi?” tanya Minho.
Thomas menunjuk ke terowongan yang panjang. “Aku tadi
mendengar ada pintu terbuka di sana.” Dia mencoba mengusir rasa sakit di
dadanya—kengerian pertempuran yang baru saja mereka menangkan. Para korbannya.
Dia mengenyahkannya, menyadari bahwa mereka pun belum selamat sepenuhnya.
“Kalau begitu—ayo pergi,” sahut Minho. Lalu, anak yang lebih
tua berbalik dan berjalan menyusuri terowongan tanpa menunggu jawaban.
Newt mengangguk, memberi tanda kepada Glader yang lain
melewatinya untuk mengikuti Minho. Satu per sat mereka pergi hingga tinggal
Newt bersama Thomas dan Teresa.
“Aku paling belakang,” kata Thomas.
Tak seorang pun membantah. Newt berangkat, kemudian Chuck,
lalu Teresa, memasuki terowongan yang gelap. Bahkan, cahaya lampu-lampu senter
seolah tertelan kegelapan. Thomas mengikuti, tidak menoleh sedikit pun untuk
melihat para Griever yang mati.
Setelah berjalan kira-kira selama satu menit, dia mendengar
pekikan dari depan, diikuti jeritan berikutnya, dan selanjutnya. Jeritan mereka
perlahan menghilang, seolah mereka terjatuh ....
Gumaman mengiringi langkah mereka menyusuri terowongan, dan
akhirnya Teresa berbalik kepada Thomas. “Sepertinya ini berujung di tempat
meluncur, menukik ke bawah.”
Thomas mual memikirkan kemungkinan itu. Sepertinya ini semua
adalah sebuah permainan—setidaknya bagi
entah siapa yang telah membangun tempat ini.
Dia mendengar satu per satu teriakan dan jeritan para Glader
perlahan menghilang dari arah depan. Kemudian, giliran Newt, lalu Chuck. Teresa
menyorotkan cahaya senternya ke lantai menyinari sebuah tempat meluncur
berlapis logam licin yang menukik ke bawah.
Sepertinya kita tak
punya pilihan, kata gadis itu dalam pikiran Thomas.
Sepertinya begitu.
Thomas memiliki firasat kuat bahwa ini bukan jalan keluar dari mimpi buruk
mereka; dia hanya bisa berharap jalan ini tak menuju gerombolan Griever yang
lain.
Teresa meluncur turun dengan jeritan yang nyaris terdengar
gembira, dan Thomas mengikutinya sebelum dia sempat mengatakan kepada dirinya
sendiri—apa pun lebih baik daripada Maze.
Tubuh Thomas memelesat turun dengan curam, licin karena
cairan berminyak yang berbau menjijikkan—seperti bau plastik terbakar dan mesin
yang dinyalakan melebihi kemampuannya. Dia memutar tubuh hingga posisi kakinya
berada di depan, kemudian mencoba merentangkan tangan dan menahan laju
tubuhnya. Tak ada gunanya—bahan berminyak melapisi semua bagian dinding batu;
dia tak bisa mencengkeram apa pun.
Jeritan dari Glader lainnya bergema di dinding-dinding
terowongan saat mereka meluncur turun di lantai yang licin. Kepanikan menguasai
Thomas. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan bahwa saat ini mereka sedang
ditelan oleh beberapa makhluk buas raksasa dan dalam kerongkongannya, hendak
mendarat di lambungnya sebentar lagi. Dan, seolah khayalannya terwujud, bau di
sekitarnya berubah—menjadi apak dan busuk. Anak itu mulai mual. Dia berusaha
keras menahan diri agar tak memuntahi dirinya sendiri.
Terowongan mulai berputar, berkelak-kelok tajam, membuat
laju mereka melambat, dan kaki Thomas membentur kepala Teresa; anak laki-laki
itu terlonjak dan merasa bersalah. Mereka masih meluncur turun. Waktu seolah
sangat panjang, tiada akhir.
Mereka terus berputar menuruni pipa terowongan itu.
Lambungnya terasa panas—karena cairan berminyak yang bergesekan dengan
tubuhnya, bau dan gerakan berputarnya. Anak itu baru saja hendak memalingkan
wajahnya ke sebelah untuk muntah ketika Teresa menjerit nyaring—kali ini tak
bergema. Sedetik kemudian, Thomas meluncur keluar dari terowongan dan mendarat
di atas gadis itu.
Tubuh-tubuh bertebaran di segala tempat, tumpang-tindih,
mereka mengerang dan menggeliat kebingungan saat berusaha membebaskan diri satu
sama lain. Thomas menggerak-gerakkan kaki dan tangannya menjauh dari Teresa,
kemudian merangkak beberapa meter dan muntah, mengeluarkan isi lambungnya.
Masih gemetar karena kejadian barusan, Thomas mengusap
mulutnya dengan tangan, merasakannya berlepotan kotoran berlendir. Dia berdiri,
menggosokkan kedua tangannya ke lantai, dan akhirnya dapat melihat dengan jelas
tempat mereka tiba. Di tengah keterpanaannya, dia melihat Glader lain juga
bangkit dan merapat membentuk kelompok, memandang ke tempat baru di sekeliling
mereka. Thomas pernah melihat tempat ini sekilas selama proses Perubahan,
tetapi dia tak terlalu ingat hingga saat ini.
Mereka berada dalam sebuah ruangan raksasa yang cukup untuk
menampung sembilan atau sepuluh Wisma. Dari langit-langit ke lantai, sisi ke
sisi, tempat ini dilapisi segala jenis mesin, kabel, pipa, dan komputer. Di
salah satu sisi ruangan—di sebelah kanan Thomas—terdapat sederet peti putih
besar berjumlah sekitar empat puluh yang seperti peti jenazah berukuran besar.
Di sisi lain ruangan berdiri pintu-pintu kaca besar meskipun pencahayaannya
membuat mereka tak bisa melihat ke balik kaca tersebut.
“Lihat!” seseorang berseru, tetapi Thomas sudah melihatnya,
napasnya tersentak. Bulu kuduknya meremang, kengerian merambati punggungnya
seperti seekor laba-laba.
Tepat di depan mereka, sederet jendela buram berjumlah
sekitar dua puluhan berjajar di sepanjang ruangan. Di belakang tiap jendela—beberapa
pria, sebagian lainnya wanita, semua terlihat pucat dan langsing—duduk mengamati
para Glader, memandang dari balik kaca dengan mata menyipit. Thomas gemetar,
ketakutan—mereka terlihat seperti hantu. Sosok-sosok gaib yang marah, ganas,
sinis, tak pernah bahagia saat masih hidup, apalagi ketika mati.
Akan tetapi, tentu saja Thomas tahu mereka bukan hantu.
Mereka adalah orang-orang yang telah mengirim mereka ke Glade. Orang-orang yang
telah merampas hidup mereka.
Para Kreator.[]
No comments:
Post a Comment