Insurgent (Divergent #2) (9)

Penulis : Veronica Roth

Ia membalas. Tangan Tobias bergerak dari pipiku, memeluk pinggangku. Aku mendekatkan diri padanya.

Tobias menciumku, dan aku memeluknya. Semuanya terlupakan untuk sesaat.

Lalu, jarinya tak sengaja menyentuh perban di bahuku sehingga rasa nyeri mengaliri tubuhku. Rasanya tidak terlalu sakit, tapi itu membuatku sadar. Aku tak bisa bersama Tobias seperti ini jika alasanku menginginkannya adalah untuk melupakan rasa sedih.

Aku menjauh, melepaskan pelukannya. Selama sesaat, kami hanya berbaring di sana, dengan napas berat. Aku tak ingin menangis—sekarang bukan waktu yang baik untuk menangis, jangan, berhenti—tapi berapa kali pun aku berkedip, air mataku tak bisa hilang.

“Maaf,” kataku.

Tobias menjawab nyaris dengan tegas, “Jangan minta maaf.” Ia mengusap air mata dari pipiku.

Aku tahu aku seperti burung, kecil dan kurus seolah dibuat untuk terbang, dengan pinggang lurus dan rapuh. Tapi saat Tobias menyentuhku, ia seperti tak bisa berhenti melakukan itu sehingga aku tidak ingin menjadi orang lain.

“Aku tak bermaksud jadi kacau begini,” kataku dengan suara parau. “Tapi aku merasa ....” Aku menggeleng.

“Itu salah,” kata Tobias. “Walaupun orangtuamu sekarang ada di tempat yang lebih baik—mereka tidak di sini bersamamu. Dan itu salah, Tris. Itu tak seharusnya terjadi. Itu tak seharusnya terjadi padamu. Dan yang bilang padamu bahwa itu tidak apa-apa adalah pembohong.”

Isakan mengguncang tubuhku lagi. Tobias mengalungkan tangannya di sekelilingku dengan begitu erat sehingga aku susah bernapas. Tapi tidak apa. Tangisku yang mulanya bermartabat berubah jadi sangat buruk. Mulutku terbuka, wajahku berkerut, dan suara seperti hewan sekarat keluar dari kerongkonganku. Jika ini berlanjut, aku akan hancur. Tapi mungkin itu lebih baik. Mungkin lebih baik hancur berkeping-keping dan tak menanggung apa pun.

Tobias tidak bicara untuk waktu yang lama, sampai aku diam lagi.

“Tidurlah,” katanya. “Aku akan menghalau mimpi burukmu jika mereka datang lagi.”

“Dengan apa?”

“Dengan tangan kosong, tentunya.”

Aku memeluk pinggangnya dan menarik napas dalam di bahunya. Tobias berbau seperti keringat, udara segar, dan mint, dari salep yang terkadang digunakannya untuk mengendurkan ototnya yang kaku. Ia juga berbau aman, seperti jalanan di kebun yang tertimpa sinar matahari dan sarapan tanpa bicara di ruang makan. Sebelum tertidur, aku hampir melupakan kota kami yang dilanda perang dan semua konflik yang akan melanda, jika kami tidak menghadapinya duluan.

Di saat-saat sebelum tertidur, aku mendengar Tobias berbisik, “Aku mencintaimu, Tris.”
Mungkin aku akan membalas kata-kata itu, tapi aku sudah terlalu lelap.[]

6

Pagi itu aku dibangunkan suara dengung alat cukur listrik. Tobias berdiri di depan cermin sambil memiringkan kepala agar bisa melihat sudut rahangnya.

Aku memeluk lututku yang tertutup selimut dan memandangnya.

“Pagi,” sapa Tobias. “Tidurmu enak?”

“Lumayan.” Aku bangkit. Saat Tobias memiringkan kepala lagi untuk mencukur dagunya, aku memeluk dan menempelkan keningku ke punggungnya, tempat tato Dauntless mengintip dari balik kausnya.

Ia meletakkan alau cukur itu dan memegang tanganku. Kami sama-sama tidak memecahkan keheningan. Aku mendengarkan napasnya sementara Tobias membelai jari-jariku dengan pelan, lupa dengan kegiatannya yang tadi.

“Aku harus pergi dan siap-siap,” kataku setelah beberapa saat. Aku enggan pergi, tapi aku harus bekerja di ruang cuci. Aku juga tak mau faksi Amity berkata aku tak mematuhi persyaratan yang mereka berikan kepada kami.

“Akan kucarikan pakaian untukmu,” kata Tobias.

Beberapa menit kemudian, aku sudah berjalan telanjang kaki di koridor dengan kaus yang kupakai tidur dan celana pendek yang Tobias pinjam dari Amity. Saat tiba di kamarku, Peter sedang berdiri di samping tempat tidurku.

Secara naluriah, aku langsung siaga dan mencari-cari benda tumpul.

“Keluar,” perintahku dengan semantap mungkin. Tapi, sulit menjaga agar suaraku tidak bergetar. Mau tak mau aku teringat tatapan matanya saat Peter memegang leherku di atas jurang atau mengempaskanku ke dinding di kompleks Dauntless.

Ia berbalik dan memandangku. Akhir-akhir ini, Peter memandangku bukan dengan kekejaman yang biasa—ia justru tampak lelah, tubuhnya membungkuk dan lengannya yang terluka disangga kain gendongan. Namun, aku tidak terkecoh.

“Apa yang kau lakukan di kamarku?”

Peter berjalan mendekatiku. “Buat apa kau membuntuti Marcus? Aku melihatmu kemarin, setelah sarapan.”

Aku membalas tatapannya. “Bukan urusanmu. Keluar.”

“Aku di sini karena tak mengerti kenapa kau yang harus menjaga harddisk itu,” katanya. “Lagi pula, akhir-akhir ini kau tampak tidak stabil.”

“Aku tidak stabil?” Aku tertawa. “Lucu sekali, apalagi karena kau yang bilang.”

Peter mengatupkan kedua bibirnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Aku menyipitkan mata. “Lagi pula, kenapa kau tertarik dengan harddisk itu?”

“Aku bukan orang bodoh,” jawabnya. “Aku tahu bukan cuma data simulasi yang ada di dalamnya.”

“Yah, kau memang tidak bodoh, kan?” tanyaku. “Kau pikir jika bisa mengantarkannya ke Erudite, mereka akan mengampuni kecerobohanmu dan menyambutmu kembali ke pelukan mereka.”

“Aku tak mau kembali ke pelukan mereka,” Peter membantah seraya kembali mejauh. “Kalau iya, aku tak akan menolongmu di kompleks Dauntless waktu itu.”

Aku menusuk tulang dadanya dengan jari telunjukku, menghujamkan kukuku ke sana. “Kau menolongku karena tak mau aku tembak lagi.”

“Aku mungkin bukan pengkhianat pencinta faksi Abnegation.” Ia meraih jariku. “Tapi, tak seorang pun yang bisa mengontrolku, terutama Erudite.”

Aku menyentakkan tanganku kembali sambil memutarnya sehingga Peter tak bisa memegangnya. Tanganku berkeringat.

“Aku tak berharap kau mengerti.” Aku mengusapkan tanganku ke tepi kaus sambil beringsut ke lemari. “Aku yakin jika yang diserang itu faksi Candor dan bukan faksi Abnegation, kau akan membiarkannya dan tak bakal protes saat anggota keluargamu ditembak, tepat di antara kedua matanya. Tapi, aku tidak seperti itu.”

“Hati-hati dengan yang kau katakan tentang keluargaku, Kaku.” Peter bergerak bersamaku, ke arah lemari, tapi aku bergeser dengan hati-hati sehingga berdiri di antara Peter dan laci-laci. Aku tak akan mengungkapkan tempat harddisk itu dengan mengeluarkannya saat Peter di sini, tapi aku juga tak mau membiarkan tempat persembunyiannya tak terjaga.

Peter melirik ke lemari di belakangku, ke kiri, tempat harddisk itu kusembunyikan. Aku mengernyit memandang Peter, lalu melihat sesuatu yang tak tadi tak kusadari: tonkolan persegi di salah satu sakunya.

“Kembalikan,” kataku. “Sekarang.”

“Tidak.”

“Kembalikan, kalau tidak kau bakal kubunuh saat tidur.”

Peter meringis. “Andai kau bisa melihat betapa konyolnya tampangmu saat mengancam orang. Seperti anak kecil yang mengancam untuk mencekikku dengan tali lompat talinya.”

Aku berjalan ke arahnya tapi ia mundur, ke koridor.

“Jangan sebut aku ‘anak kecil’.”

“Aku akan memanggilmu sesukaku.”


Aku sontak bergetar, mengarahkan tinju kiriku ke tempat yang kutahu paling menyakitkan: ke luka tembakan di lengannya. Peter mengelak tinju itu. Namun, aku tidak berusaha meninjunya lagi dan justru merengut lengannya sekuat mungkin dan memutarnya ke samping. Peter menjerit keras. Saat perhatiannya teralih akibat rasa sakit, aku menendang lututnya kuat-kuat dan ia roboh ke lantai.

No comments:

Post a Comment