Penulis : Veronica
Roth
Ia membalas. Tangan Tobias bergerak dari pipiku, memeluk
pinggangku. Aku mendekatkan diri padanya.
Tobias menciumku, dan aku memeluknya. Semuanya terlupakan
untuk sesaat.
Lalu, jarinya tak sengaja menyentuh perban di bahuku
sehingga rasa nyeri mengaliri tubuhku. Rasanya tidak terlalu sakit, tapi itu
membuatku sadar. Aku tak bisa bersama Tobias seperti ini jika alasanku menginginkannya adalah untuk melupakan rasa
sedih.
Aku menjauh, melepaskan pelukannya. Selama sesaat, kami
hanya berbaring di sana, dengan napas berat. Aku tak ingin menangis—sekarang
bukan waktu yang baik untuk menangis, jangan, berhenti—tapi berapa kali pun aku
berkedip, air mataku tak bisa hilang.
“Maaf,” kataku.
Tobias menjawab nyaris dengan tegas, “Jangan minta maaf.” Ia
mengusap air mata dari pipiku.
Aku tahu aku seperti burung, kecil dan kurus seolah dibuat
untuk terbang, dengan pinggang lurus dan rapuh. Tapi saat Tobias menyentuhku,
ia seperti tak bisa berhenti melakukan itu sehingga aku tidak ingin menjadi
orang lain.
“Aku tak bermaksud jadi kacau begini,” kataku dengan suara
parau. “Tapi aku merasa ....” Aku menggeleng.
“Itu salah,” kata Tobias. “Walaupun orangtuamu sekarang ada
di tempat yang lebih baik—mereka tidak di sini bersamamu. Dan itu salah, Tris. Itu tak seharusnya terjadi.
Itu tak seharusnya terjadi padamu. Dan yang bilang padamu bahwa itu tidak
apa-apa adalah pembohong.”
Isakan mengguncang tubuhku lagi. Tobias mengalungkan
tangannya di sekelilingku dengan begitu erat sehingga aku susah bernapas. Tapi
tidak apa. Tangisku yang mulanya bermartabat berubah jadi sangat buruk. Mulutku
terbuka, wajahku berkerut, dan suara seperti hewan sekarat keluar dari
kerongkonganku. Jika ini berlanjut, aku akan hancur. Tapi mungkin itu lebih
baik. Mungkin lebih baik hancur berkeping-keping dan tak menanggung apa pun.
Tobias tidak bicara untuk waktu yang lama, sampai aku diam
lagi.
“Tidurlah,” katanya. “Aku akan menghalau mimpi burukmu jika
mereka datang lagi.”
“Dengan apa?”
“Dengan tangan kosong, tentunya.”
Aku memeluk pinggangnya dan menarik napas dalam di bahunya.
Tobias berbau seperti keringat, udara segar, dan mint, dari salep yang terkadang digunakannya untuk mengendurkan
ototnya yang kaku. Ia juga berbau aman, seperti jalanan di kebun yang tertimpa
sinar matahari dan sarapan tanpa bicara di ruang makan. Sebelum tertidur, aku
hampir melupakan kota kami yang dilanda perang dan semua konflik yang akan
melanda, jika kami tidak menghadapinya duluan.
Di saat-saat sebelum tertidur, aku mendengar Tobias
berbisik, “Aku mencintaimu, Tris.”
Mungkin aku akan membalas kata-kata itu, tapi aku sudah
terlalu lelap.[]
6
Pagi itu aku dibangunkan suara dengung alat cukur listrik.
Tobias berdiri di depan cermin sambil memiringkan kepala agar bisa melihat
sudut rahangnya.
Aku memeluk lututku yang tertutup selimut dan memandangnya.
“Pagi,” sapa Tobias. “Tidurmu enak?”
“Lumayan.” Aku bangkit. Saat Tobias memiringkan kepala lagi
untuk mencukur dagunya, aku memeluk dan menempelkan keningku ke punggungnya,
tempat tato Dauntless mengintip dari balik kausnya.
Ia meletakkan alau cukur itu dan memegang tanganku. Kami
sama-sama tidak memecahkan keheningan. Aku mendengarkan napasnya sementara
Tobias membelai jari-jariku dengan pelan, lupa dengan kegiatannya yang tadi.
“Aku harus pergi dan siap-siap,” kataku setelah beberapa
saat. Aku enggan pergi, tapi aku harus bekerja di ruang cuci. Aku juga tak mau
faksi Amity berkata aku tak mematuhi persyaratan yang mereka berikan kepada
kami.
“Akan kucarikan pakaian untukmu,” kata Tobias.
Beberapa menit kemudian, aku sudah berjalan telanjang kaki
di koridor dengan kaus yang kupakai tidur dan celana pendek yang Tobias pinjam
dari Amity. Saat tiba di kamarku, Peter sedang berdiri di samping tempat
tidurku.
Secara naluriah, aku langsung siaga dan mencari-cari benda
tumpul.
“Keluar,” perintahku dengan semantap mungkin. Tapi, sulit
menjaga agar suaraku tidak bergetar. Mau tak mau aku teringat tatapan matanya
saat Peter memegang leherku di atas jurang atau mengempaskanku ke dinding di
kompleks Dauntless.
Ia berbalik dan memandangku. Akhir-akhir ini, Peter
memandangku bukan dengan kekejaman yang biasa—ia justru tampak lelah, tubuhnya
membungkuk dan lengannya yang terluka disangga kain gendongan. Namun, aku tidak
terkecoh.
“Apa yang kau lakukan di kamarku?”
Peter berjalan mendekatiku. “Buat apa kau membuntuti Marcus?
Aku melihatmu kemarin, setelah sarapan.”
Aku membalas tatapannya. “Bukan urusanmu. Keluar.”
“Aku di sini karena tak mengerti kenapa kau yang harus menjaga harddisk
itu,” katanya. “Lagi pula, akhir-akhir ini kau tampak tidak stabil.”
“Aku tidak stabil?” Aku tertawa. “Lucu sekali, apalagi
karena kau yang bilang.”
Peter mengatupkan kedua bibirnya dan tidak mengucapkan
sepatah kata pun.
Aku menyipitkan mata. “Lagi pula, kenapa kau tertarik dengan
harddisk itu?”
“Aku bukan orang bodoh,” jawabnya. “Aku tahu bukan cuma data
simulasi yang ada di dalamnya.”
“Yah, kau memang tidak bodoh, kan?” tanyaku. “Kau pikir jika
bisa mengantarkannya ke Erudite, mereka akan mengampuni kecerobohanmu dan
menyambutmu kembali ke pelukan mereka.”
“Aku tak mau kembali ke pelukan mereka,” Peter membantah
seraya kembali mejauh. “Kalau iya, aku tak akan menolongmu di kompleks
Dauntless waktu itu.”
Aku menusuk tulang dadanya dengan jari telunjukku,
menghujamkan kukuku ke sana. “Kau menolongku karena tak mau aku tembak lagi.”
“Aku mungkin bukan pengkhianat pencinta faksi Abnegation.”
Ia meraih jariku. “Tapi, tak seorang pun yang bisa mengontrolku, terutama
Erudite.”
Aku menyentakkan tanganku kembali sambil memutarnya sehingga
Peter tak bisa memegangnya. Tanganku berkeringat.
“Aku tak berharap kau mengerti.” Aku mengusapkan tanganku ke
tepi kaus sambil beringsut ke lemari. “Aku yakin jika yang diserang itu faksi
Candor dan bukan faksi Abnegation, kau akan membiarkannya dan tak bakal protes
saat anggota keluargamu ditembak, tepat di antara kedua matanya. Tapi, aku
tidak seperti itu.”
“Hati-hati dengan yang kau katakan tentang keluargaku,
Kaku.” Peter bergerak bersamaku, ke arah lemari, tapi aku bergeser dengan
hati-hati sehingga berdiri di antara Peter dan laci-laci. Aku tak akan
mengungkapkan tempat harddisk itu
dengan mengeluarkannya saat Peter di sini, tapi aku juga tak mau membiarkan
tempat persembunyiannya tak terjaga.
Peter melirik ke lemari di belakangku, ke kiri, tempat harddisk itu kusembunyikan. Aku
mengernyit memandang Peter, lalu melihat sesuatu yang tak tadi tak kusadari: tonkolan
persegi di salah satu sakunya.
“Kembalikan,” kataku. “Sekarang.”
“Tidak.”
“Kembalikan, kalau tidak kau bakal kubunuh saat tidur.”
Peter meringis. “Andai kau bisa melihat betapa konyolnya
tampangmu saat mengancam orang. Seperti anak kecil yang mengancam untuk
mencekikku dengan tali lompat talinya.”
Aku berjalan ke arahnya tapi ia mundur, ke koridor.
“Jangan sebut aku ‘anak kecil’.”
“Aku akan memanggilmu sesukaku.”
Aku sontak bergetar, mengarahkan tinju kiriku ke tempat yang
kutahu paling menyakitkan: ke luka tembakan di lengannya. Peter mengelak tinju
itu. Namun, aku tidak berusaha meninjunya lagi dan justru merengut lengannya
sekuat mungkin dan memutarnya ke samping. Peter menjerit keras. Saat
perhatiannya teralih akibat rasa sakit, aku menendang lututnya kuat-kuat dan ia
roboh ke lantai.
No comments:
Post a Comment