Insurgent (Divergent #2) (6)

Penulis : Veronica Roth

Dan aku tak peduli.

Aku mengalungkan lenganku yang tidak cedera di tubuhnya, menariknya mendekat. Jemariku merentang lebar di punggungnya. Lalu Tobias menarik diri, hanya beberapa senti.

“Kau datang bukan untuk ini,” katanya.

“Bukan.”

“Jadi kau ke sini untuk apa?”

“Siapa yang peduli?”

Aku menyusupkan jariku di rambutnya dan merangkulnya mendekat. Tobias tidak menolak, tapi beberapa detik kemudian ia bergumam, “Tris,” di pipiku.

“Oke, oke.” Aku menutup mata. Aku ke sini karena sesuatu yang penting: memberi tahu Tobias tentang percakapan yang kudengar.

Kami duduk berdampingan di tempat tidur Tobias. Lalu, aku bercerita dari awal. Aku memberitahunya tentang membuntuti Marcus dan Johanna ke kebun. Kukatakan padanya tentang pertanyaan Johanna mengenai waktu serangan simulasi, dan jawaban Marcu, kemudian perdebatan yang mengiringinya. Aku mengamati raut wajah Tobias sambil bercerita. Ia tidak tampak kaget atau penasaran. Bibirnya justru semakin berkerut masam setiap kali mendengarku menyebut-nyebut Marcus.

“Nah, menurutmu bagaimana?” tanyaku setelah selesai.

“Aku pikir,” ujar Tobias dengan hati-hati. “Marcus berusaha tampil lebih penting daripada yang sebenarnya.”

Itu bukan jawaban yang kuharapkan.

“Jadi ... apa? Kau pikir yang dikatakannya itu omong kosong?”

“Kupikir mungkin memang ada infomasi yang diketahui faksi Abnegation dan ingin Jeanine ketahui. Tapi, kupikir Marcus membesar-besarkan nilainya. Berusaha meninggikan egonya dengan membuat Johanna berpikir Marcus memiliki sesuatu yang Jeanine inginkan dan ia tak akan memberikannya kepada wanita itu.”

“Aku tidak ...” aku mengernyit. “Kurasa kau salah. Marcus kedengarannya tidak seperti sedang berbohong.”

“Kau tidak mengenalnya seperti aku. Marcus itu pembohong yang hebat.”

Tobias benar—aku tidak kenal Marcus, dan jelas tidak mengenalnya sebaik Tobias. Tapi, firasatku mengatakan untuk memercayai Marcus, dan biasanya aku memercayai naluriku.

“Mungkin kau benar,” kataku, “tapi bukankah sebaiknya kita menyelidiki apa yang terjadi? Untuk memastikan?”

“Kurasa sebaiknya kita menghadapi situasi yang ada di depan kita,” kata Tobias. “Kembali ke kota. Menyelidiki apa yang terjadi di sana. Mencari cara untuk mengalahkan faksi Erudite. Lalu, mungkin kita bisa menyelidiki apa yang Marcus bicarakan, setelah semua ini selesai. Oke?”

Aku mengangguk. Kedengarannya itu rencana yang bagus—rencana yang cerdas. Tapi, aku tidak memercayai Tobias—aku tidak percaya bahwa bergerak maju lebih baik daripada mencari kebenaran. Begitu tahu bahwa aku ini Divergent ... saat aku tahu faksi Erudite akan menyerang faksi Abnegation ... semua itu mengubah segalanya. Kebenaran bisa mengubah rencana seseorang.

Namun, sulit membujuk Tobias melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Selain itu, membenarkan perasaanku hanya berdasarkan firasat akan lebih sulit lagi.

Jadi aku setuju. Tapi, aku tidak mengubah pikiranku.[]

4

“Bioteknologi sudah lama dikenal, tapi tidak selalu sangat efektif,” Caleb menuturkan. Ia memakan pinggiran rotinya—bagian tengah roti itu sudah dimakannya duluan, seperti kebiasaannya waktu kami masih kecil.

Caleb duduk di hadapanku di kafetaria, di meja yang paling dekat dengan jendela. Di tepi meja  kayu ini ada ukiran huruf “D” dan “T” yang dihubungkan oleh hati. Ukurannya begitu kecil sehingga aku nyaris tak melihatnya. Aku menelusuri ukiran itu dengan jari saat Caleb bicara.

“Tapi beberapa waktu lalu, ilmuwan Erudite membuat larutan mineral yang sangan efektif dan juga lebih bagus bagi tumbuhan dibandingkan tanah,” lanjutnya. “Lanjutan tersebut merupakan versi awal dari salep yang dioleskan di bahumu itu—yang berfungsi mempercepat pembentukan sel baru.”

Mata Caleb berbinar akibat informasi baru ini. Tidak semua orang Erudite haus kekuasaan dan tak memiliki hati nurani seperti pemimpin mereka, Jeanine Matthews. Sebagian dari mereka seperti Caleb: takjub dengan segala hal dan merasa tak puas sebelum memahami cara kerja sesuatu.

Aku menopang dagu dengan tangan dan tersenyum sedikit ke arah Caleb. Tadi pagi ia tampak muram. Aku senang ia sudah menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari kesedihan.

“Jadi, faksi Erudite dan faksi Amity bekerja sama?” aku bertanya.

“Lebih erat dibandingkan antara faksi Erudite dan faksi lain,” sahut Caleb. “Kau tak ingat apa yang ada dalam buku Sejarah Faksi? Buku itu menyatakan bahwa kedua faksi itu merupakan ‘faksi-faksi penting’—tanpa keduanya, kita tak akan sanggup bertahan hidup. Sebagian naskah di Erudite menyebut kedua faksi itu sebagai ‘faksi-faksi yang bernilai’. Salah satu misi faksi Erudite suatu faksi adalah menjadi keduanya—penting dan bernilai.”

Aku tak terlalu menyukai betapa kami memerlukan faksi Erudite untuk hidup. Tapi, mereka memang penting—tanpa Erudite, pertanian pastilah tak akan efisien, perawatan medis tak akan cukup, dan kemajuan teknologi tak bakal ada.

Aku menggigit apelku.

“Roti bakarmu itu tak kau makan?” tanya Caleb.

“Rasanya aneh,” aku menjawab. “Ambil saja kalau kau mau.”

“Aku takjub dengan cara hidup mereka di sini,” ujar Caleb sambil mengambil roti bakar dari piringku. “Mereka benar-benar mandiri. Mereka memiliki sumber daya sendiri, pompa air sendiri, penyaringan air sendiri, sumber makanan sendiri .... Mereka merdeka.”

“Merdeka,” aku mengulangi, “dan tak terlibat. Pasti enak.”

Dan memang enak, dari yang kurasakan. Jendela-jendela besar di samping meja kami memungkinkan banyak sinar matahari yang masuk sehingga aku merasa seperti duduk di luar. Kelompok-kelompok Amity duduk di meja lain, baju mereka tampak cerah di atas kulit mereka yang kecokelatan. Di kulitku yang pucat, warna kuningnya tampak pudar.

“Jadi, kurasa Amity itu bukan salah satu faksi yang termasuk dalam kecakapanmu,” lanjut Caleb sambil tersenyum lebar.

“Bukan.” Ledakan tawa terdengar dari sekelompok Amity yang berjarak beberapa kursi dari kami. Mereka tidak melirik ke arah kami sejak kami duduk untuk makan. “Jangan keras-keras,” tegurku ke Caleb. “Itu bukan sesuatu yang ingin kuumumkan.”

“Maaf,” katanya sambil memajukan tubuh di meja agar bisa bicara lebih palan. “Jadi apa saja?”

Aku menegang dan tubuhku menegak. “Kenapa kau mau tahu?”

“Tris,” ujar Caleb, “aku ini kakakmu. Kau bisa mengatakan apa pun kepadaku.”

Mata hijaunya menatap tanpa goyah. Caleb tidak lagi mengenakan kacamata dipakainya sebagai anggota Erudite karena tidak sesuai dengan kaus kelabu dan rambut pendek yang khas faksi Abnegation. Ia tampak seperti dirinya beberapa bulan yang lalu, saat kamar kami masih berseberangan, ketika kami berdua masih menimbang-nimbang untuk pindah ke faksi lain, tapi tak cukup berani untuk mengungkapkannya. Tidak memercayai Caleb adalah kesalahan yang tak ingin kuulangi.

“Abnegation, Dauntless,” aku menjawab, “dan Erudite.”

Tiga faksi?” Alisnya terangkat.

“Ya. Kenapa?”


“Tidak, cuma rasanya banyak sekali,” katanya. “Pada masa inisiasi Erudite, kami masing-masing harus memilih satu fokus penelitian. Aku memilih simulasi tes kecakapan, jadi aku tahu banyak tentang cara merancangnya. Sulit untuk mendapatkan dua hasil—sebenarnya malah programnya tidak memungkinkan itu. Tapi mendapat tiga ... aku bahkan tak tahu mengapa itu bisa terjadi.”

No comments:

Post a Comment