Penulis : Veronica Roth
Dan aku tak peduli.
Aku mengalungkan lenganku yang tidak cedera di tubuhnya,
menariknya mendekat. Jemariku merentang lebar di punggungnya. Lalu Tobias
menarik diri, hanya beberapa senti.
“Kau datang bukan untuk ini,” katanya.
“Bukan.”
“Jadi kau ke sini untuk apa?”
“Siapa yang peduli?”
Aku menyusupkan jariku di rambutnya dan merangkulnya
mendekat. Tobias tidak menolak, tapi beberapa detik kemudian ia bergumam,
“Tris,” di pipiku.
“Oke, oke.” Aku menutup mata. Aku ke sini karena sesuatu
yang penting: memberi tahu Tobias tentang percakapan yang kudengar.
Kami duduk berdampingan di tempat tidur Tobias. Lalu, aku
bercerita dari awal. Aku memberitahunya tentang membuntuti Marcus dan Johanna
ke kebun. Kukatakan padanya tentang pertanyaan Johanna mengenai waktu serangan
simulasi, dan jawaban Marcu, kemudian perdebatan yang mengiringinya. Aku
mengamati raut wajah Tobias sambil bercerita. Ia tidak tampak kaget atau
penasaran. Bibirnya justru semakin berkerut masam setiap kali mendengarku
menyebut-nyebut Marcus.
“Nah, menurutmu bagaimana?” tanyaku setelah selesai.
“Aku pikir,” ujar Tobias dengan hati-hati. “Marcus berusaha
tampil lebih penting daripada yang sebenarnya.”
Itu bukan jawaban yang kuharapkan.
“Jadi ... apa? Kau pikir yang dikatakannya itu omong
kosong?”
“Kupikir mungkin memang ada infomasi yang diketahui faksi
Abnegation dan ingin Jeanine ketahui. Tapi, kupikir Marcus membesar-besarkan
nilainya. Berusaha meninggikan egonya dengan membuat Johanna berpikir Marcus
memiliki sesuatu yang Jeanine inginkan dan ia tak akan memberikannya kepada
wanita itu.”
“Aku tidak ...” aku mengernyit. “Kurasa kau salah. Marcus
kedengarannya tidak seperti sedang berbohong.”
“Kau tidak mengenalnya seperti aku. Marcus itu pembohong
yang hebat.”
Tobias benar—aku tidak kenal Marcus, dan jelas tidak
mengenalnya sebaik Tobias. Tapi, firasatku mengatakan untuk memercayai Marcus,
dan biasanya aku memercayai naluriku.
“Mungkin kau benar,” kataku, “tapi bukankah sebaiknya kita
menyelidiki apa yang terjadi? Untuk memastikan?”
“Kurasa sebaiknya kita menghadapi situasi yang ada di depan
kita,” kata Tobias. “Kembali ke kota. Menyelidiki apa yang terjadi di sana.
Mencari cara untuk mengalahkan faksi Erudite. Lalu, mungkin kita bisa
menyelidiki apa yang Marcus bicarakan, setelah semua ini selesai. Oke?”
Aku mengangguk. Kedengarannya itu rencana yang bagus—rencana
yang cerdas. Tapi, aku tidak memercayai Tobias—aku tidak percaya bahwa bergerak
maju lebih baik daripada mencari kebenaran. Begitu tahu bahwa aku ini Divergent
... saat aku tahu faksi Erudite akan menyerang faksi Abnegation ... semua itu
mengubah segalanya. Kebenaran bisa mengubah rencana seseorang.
Namun, sulit membujuk Tobias melakukan sesuatu yang tidak
ingin dilakukannya. Selain itu, membenarkan perasaanku hanya berdasarkan
firasat akan lebih sulit lagi.
Jadi aku setuju. Tapi, aku tidak mengubah pikiranku.[]
4
“Bioteknologi sudah lama dikenal, tapi tidak selalu sangat
efektif,” Caleb menuturkan. Ia memakan pinggiran rotinya—bagian tengah roti itu
sudah dimakannya duluan, seperti kebiasaannya waktu kami masih kecil.
Caleb duduk di hadapanku di kafetaria, di meja yang paling
dekat dengan jendela. Di tepi meja kayu
ini ada ukiran huruf “D” dan “T” yang dihubungkan oleh hati. Ukurannya begitu
kecil sehingga aku nyaris tak melihatnya. Aku menelusuri ukiran itu dengan jari
saat Caleb bicara.
“Tapi beberapa waktu lalu, ilmuwan Erudite membuat larutan
mineral yang sangan efektif dan juga lebih bagus bagi tumbuhan dibandingkan
tanah,” lanjutnya. “Lanjutan tersebut merupakan versi awal dari salep yang
dioleskan di bahumu itu—yang berfungsi mempercepat pembentukan sel baru.”
Mata Caleb berbinar akibat informasi baru ini. Tidak semua
orang Erudite haus kekuasaan dan tak memiliki hati nurani seperti pemimpin
mereka, Jeanine Matthews. Sebagian dari mereka seperti Caleb: takjub dengan
segala hal dan merasa tak puas sebelum memahami cara kerja sesuatu.
Aku menopang dagu dengan tangan dan tersenyum sedikit ke
arah Caleb. Tadi pagi ia tampak muram. Aku senang ia sudah menemukan sesuatu
yang bisa mengalihkan pikirannya dari kesedihan.
“Jadi, faksi Erudite dan faksi Amity bekerja sama?” aku
bertanya.
“Lebih erat dibandingkan antara faksi Erudite dan faksi
lain,” sahut Caleb. “Kau tak ingat apa yang ada dalam buku Sejarah Faksi? Buku
itu menyatakan bahwa kedua faksi itu merupakan ‘faksi-faksi penting’—tanpa
keduanya, kita tak akan sanggup bertahan hidup. Sebagian naskah di Erudite
menyebut kedua faksi itu sebagai ‘faksi-faksi yang bernilai’. Salah satu misi faksi
Erudite suatu faksi adalah menjadi keduanya—penting dan bernilai.”
Aku tak terlalu menyukai betapa kami memerlukan faksi
Erudite untuk hidup. Tapi, mereka memang
penting—tanpa Erudite, pertanian pastilah tak akan efisien, perawatan medis tak
akan cukup, dan kemajuan teknologi tak bakal ada.
Aku menggigit apelku.
“Roti bakarmu itu tak kau makan?” tanya Caleb.
“Rasanya aneh,” aku menjawab. “Ambil saja kalau kau mau.”
“Aku takjub dengan cara hidup mereka di sini,” ujar Caleb
sambil mengambil roti bakar dari piringku. “Mereka benar-benar mandiri. Mereka
memiliki sumber daya sendiri, pompa air sendiri, penyaringan air sendiri,
sumber makanan sendiri .... Mereka merdeka.”
“Merdeka,” aku mengulangi, “dan tak terlibat. Pasti enak.”
Dan memang enak,
dari yang kurasakan. Jendela-jendela besar di samping meja kami memungkinkan
banyak sinar matahari yang masuk sehingga aku merasa seperti duduk di luar.
Kelompok-kelompok Amity duduk di meja lain, baju mereka tampak cerah di atas
kulit mereka yang kecokelatan. Di kulitku yang pucat, warna kuningnya tampak
pudar.
“Jadi, kurasa Amity itu bukan salah satu faksi yang termasuk
dalam kecakapanmu,” lanjut Caleb sambil tersenyum lebar.
“Bukan.” Ledakan tawa terdengar dari sekelompok Amity yang
berjarak beberapa kursi dari kami. Mereka tidak melirik ke arah kami sejak kami
duduk untuk makan. “Jangan keras-keras,” tegurku ke Caleb. “Itu bukan sesuatu
yang ingin kuumumkan.”
“Maaf,” katanya sambil memajukan tubuh di meja agar bisa
bicara lebih palan. “Jadi apa saja?”
Aku menegang dan tubuhku menegak. “Kenapa kau mau tahu?”
“Tris,” ujar Caleb, “aku ini kakakmu. Kau bisa mengatakan
apa pun kepadaku.”
Mata hijaunya menatap tanpa goyah. Caleb tidak lagi
mengenakan kacamata dipakainya sebagai anggota Erudite karena tidak sesuai
dengan kaus kelabu dan rambut pendek yang khas faksi Abnegation. Ia tampak
seperti dirinya beberapa bulan yang lalu, saat kamar kami masih berseberangan,
ketika kami berdua masih menimbang-nimbang untuk pindah ke faksi lain, tapi tak
cukup berani untuk mengungkapkannya. Tidak memercayai Caleb adalah kesalahan
yang tak ingin kuulangi.
“Abnegation, Dauntless,” aku menjawab, “dan Erudite.”
“Tiga faksi?”
Alisnya terangkat.
“Ya. Kenapa?”
“Tidak, cuma rasanya banyak sekali,” katanya. “Pada masa
inisiasi Erudite, kami masing-masing harus memilih satu fokus penelitian. Aku
memilih simulasi tes kecakapan, jadi aku tahu banyak tentang cara merancangnya.
Sulit untuk mendapatkan dua hasil—sebenarnya malah programnya tidak
memungkinkan itu. Tapi mendapat tiga
... aku bahkan tak tahu mengapa itu bisa terjadi.”
No comments:
Post a Comment