Insurgent (Divergent #2) (2)

Penulis : Veronica Roth

Aku sadar menyimpan salah satu senjata kami adalah tindakan yang cerdas. Namun, akan melegakan jika kami menyerahkannya.

“Namaku Johanna Reyes,” ujarnya sambil mengulurkan tangan ke arahku, lalu ke Tobias. Salam ala Dauntless. Sikap perhatiannya terhadap kebiasaan faksi-faksi lain membuatku terkesan. Aku selalu lupa Amity begitu perhatian sampai aku menyaksikannya sendiri.

“Ini T—” Marcus mengawali, tapi Tobias menyelanya.

“Namaku Four,” ia memperkenalkan diri. “Ini Tris, Caleb, dan Peter.”

Beberapa hari yang lalu, “Tobias” adalah nama yang diketahui hanya olehku. Tak ada Dauntless lain yang mengetahui nama asli Four. Itu adalah bagian diri Tobias yang diberikannya kepadaku. Aku ingat mengapa ia menyembunyikan nama itu dari dunia di luar markas besar Dauntless. Karena nama itu membuatnya terikat pada Marcus.

“Selamat datang di kompleks Amity.” Johanna menatap lekat wajahku, lalu tersenyum miring. “Kami akan mengurus kalian.”

***

Kami membiarkan mereka mengurus kami. Seorang perawat Amitu memberiku salep—yang dibuat oleh faksi Erudite untuk mempercepat penyembuhan—untuk luka di bahuku. Setelah itu, ia mengawal Peter ke bangsal rumah sakit untuk mengobati lengannya. Johanna membawa kami ke kafetaria. Di sana kami bertemu dengan sebagian Abnegation yang ikut mengungsi bersama Caleb dan ayahku. Susan ada di sana, juga sebagian tetangga lama kami. Ruangan itu dipenuhi jajaran meja kayu sepanjang ruangan. Mereka menyambut kami—terutama Marcus—dengan air mata dan senyum sopan.

Aku memelik lengan Tobias. Aku tak sanggup menghadapi anggota faksi keluargaku, hidup mereka, air mata mereka.

Seorang Abnegation menyodorkan secangkir air mengepul ke bawah hidungku dan berkata, “Minumlah. Ini akan membantumu tidur seperti yang lain. Tanpa mimpi.”

Cairan di dalamnya berwarna kemerahan, seperti stroberi. Aku meraih cangkir itu dan meminum isinya. Selama beberapa detik, panas dari cairan itu membuatku merasa utuh kembali. Lalu, ketika menghabiskan tetes terakhir di cangkir, aku merasa tubuhku rileks. Seseorang menuntunku menyusuri koridor, menuju kamar tidur.[]

2

Aku membuka mata, ketakutan, tanganku mencengkeram seprai. Namun, ternyata aku tidak sedang berlari menyusuri jalanan kota atau koridor di markas besr Dauntless. Saat ini aku ada di tempat tidur markas besar Amity. Aroma serbuk kayu memenuhi udara.

Aku beringsut, dan berjengit saat sesuatu menyakiri punggungku. Ketika meraih ke belakang, jari-jariku memegang pistol.

Sesaat aku melihat Will berdiri di hadapanku, pistol teracung di antara kami—tangannya, aku bisa menembak tangannya, tapi kenapa aku tidak melakukan itu, kenapa?—dan aku nyaris meneriakkan namanya.

Lalu Will lenyap.

Aku turun dari tempat tidur, lalu mengangkat kasur dengan satu tangan dan menyisipkan pistol itu ke bawah kasur. Begitu pistol itu hilang dari pandangan dan tak lagi menekan kulitku, otakku terasa lebih jernih.

Sekarang, setelah aliran adrenalin kemarin lenyap dan khasiat cairan yang membuatku tidur memudar, bahuku terasa semakin sakit dan nyeri. Aku masih mengenakan pakaian yang kupakai semalam. Ujung harddisk menyembul dari bawah bantal, tempatku menyembunyikannya sebelum tertidur. Di dalamnya ada data simulasi yang mengontrol para Dauntless, dan rekaman mengenai apa yang Erudite lakukan. Benda itu terasa begitu penting sehingga aku tak berani menyentuhnya. Meskipun begitu, aku juga tak mungkin meninggalkannya di sini. Kuraih harddisk itu, lalu menjejalkannya di antara lemari pakaian dan dinding. Sebagian diriku berpikir lebih baik benda itu dihancurkan. Namun, karena tahu di dalam harddisk itu ada satu-satunya rekaman kematian orangtuaku, aku hanya menyembunyikannya.

Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku duduk di tepi tempat tidur dan berusaha merapikan rambutku.

“Masuk,” aku berseru.

Pintu terbuka dan Tobias melongok dari ambang pintu. Ia mengenakan jins yang kemarin, tetapi kaus hitamnya sudah berganti mejadi kaus merah gelap yang mungkin dipinjam dari salah satu Amity. Warna itu tampak aneh pada dirinya, terlalu terang. Namun, saat Tobias menyandarkan kepalanya ke kosen, aku melihat warna merah membuat matanya yang biru tampak lebih cerah.

“Faksi Amity akan rapat setengah jam lagi.” Ia menaikkan alis lalu menambahkan, dengan sentuhan melodrama, “Untuk memutuskan nasib kita.

Aku menggeleng. “Tak pernah mengira nasibku bakal berada di tangan sekelompok Amity.”

“Sama. Oh, aku bawa sesuatu untukmu.” Ia membuka tutup sebuah botol kecil dan mengacungkan pipet berisi cairan bening. “Pereda nyeri. Satu pipet penuh setiap jam.”

“Trims.” Aku menuangkan isi pipet itu ke dalam tenggorokan. Rasanya seperti lemon basi.

Tobias menyangkutkan salah satu ibu jarinya ke lubang sabuk lalu bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Beatrice?”

“Kau memanggilku Beatrice?”

“Kupikir aku ingin mencobanya.” Ia tersenyum. “Tak suka?”

“Mungkin hanya pada peristiwa khusus. Hari inisiasi, Hari Pemilihan ...” aku berhenti. Aku hendak mengocehkan sejumlah hari besar lain, tapi hanya faksi Abnegation yang merayakannya. Kurasa faksi Dauntless memiliki hari besar sendiri, tapi aku tak tahu apa saja. Lagi pula, pemikiran bahwa kami bisa merayakan apa saja saat ini rasanya begitu konyol sehingga aku tidak melanjutkan.

“Oke.” Senyum Tobias memudar. “Bagaimana keadaanmu, Tris?”

Itu bukan pertanyaan yang aneh, mengingat apa yang telah kami alami, tapi aku jadi tegang saat Tobias bertanya, khawatir kalau-kalau ia bisa membaca pikiranku. Aku belum bercerita tentang Will. Aku ingin, tapi tak tahu caranya. Membayangkan menceritakannya pada orang lain saja membuatku merasa begitu berat sehingga bisa melesai ke lantai papan.

“Aku ...” aku menggeleng beberapa kali. “Entahlah, Four. Aku sudah bangun. Aku ...” aku masih menggeleng. Tobias membelai pipiku, satu jarinya berdiam di belakang telingaku. Lalu, ia memiringkan kepalanya dan menunduk menciumku, mengirimkan rasa sakit yang hangat ke seluruh tubuhku. Aku memeluk Tobias, menahannya selama yang kubisa. Saat ia menyentuhku, perasaan hampa di dalam diriku tak terlalu terasa.

Aku tak perlu menceritakannya. Aku bisa berusaha melupakan—Tobias bisa membantuku melupakan.

“Aku mengerti,” ujar Tobias. “Maaf. Seharusnya aku tak bertanya.”

Sesaat yang bisa kupikirkan hanyalah, Bagaimana mungkin kau bisa mengerti? Tapi, sesuatu di raut wajahnya membuatku ingat Tobias memang mengerti tentang kehilangan. Ia kehilangan ibunya ketika masih kecil. Aku tak ingat mengapa ibunya meninggal, yang kuingat hanya kami menghadiri pemakamannya.

Tiba-tiba aku ingat saat Tobias mencengkeram tirai di ruang duduk rumahnya, usianya sekitar sembilan tahun, mengenakan baju kelabu, memejamkan mata. Bayangan itu segera menghilang, dan mungkin imajinasiku saja, bukan kenangan.

Ia melepaskanku. “Aku akan membantumu siap-siap.”

***


Kamar mandi wanita jaraknya dua pintu dari kamarku. Lantainya dari keramik cokelat gelap, dan di setiap pancuran ada dinding kayu dan tirai plastik sebagai penyekat dari lorong tengah. Tanda di dinding belakang berbunyi INGAT: UNTUK MENGHEMAT SUMBER DAYA ALAM, PANCURAN HANYA MENYALA SELAMA LIMA MENIT.

No comments:

Post a Comment