Penulis : Veronica Roth
Aku sadar menyimpan salah satu senjata kami adalah tindakan
yang cerdas. Namun, akan melegakan jika kami menyerahkannya.
“Namaku Johanna Reyes,” ujarnya sambil mengulurkan tangan ke
arahku, lalu ke Tobias. Salam ala Dauntless. Sikap perhatiannya terhadap
kebiasaan faksi-faksi lain membuatku terkesan. Aku selalu lupa Amity begitu
perhatian sampai aku menyaksikannya sendiri.
“Ini T—” Marcus mengawali, tapi Tobias menyelanya.
“Namaku Four,” ia memperkenalkan diri. “Ini Tris, Caleb, dan
Peter.”
Beberapa hari yang lalu, “Tobias” adalah nama yang diketahui
hanya olehku. Tak ada Dauntless lain yang mengetahui nama asli Four. Itu adalah
bagian diri Tobias yang diberikannya kepadaku. Aku ingat mengapa ia
menyembunyikan nama itu dari dunia di luar markas besar Dauntless. Karena nama
itu membuatnya terikat pada Marcus.
“Selamat datang di kompleks Amity.” Johanna menatap lekat
wajahku, lalu tersenyum miring. “Kami akan mengurus kalian.”
***
Kami membiarkan mereka mengurus kami. Seorang perawat Amitu
memberiku salep—yang dibuat oleh faksi Erudite untuk mempercepat
penyembuhan—untuk luka di bahuku. Setelah itu, ia mengawal Peter ke bangsal
rumah sakit untuk mengobati lengannya. Johanna membawa kami ke kafetaria. Di
sana kami bertemu dengan sebagian Abnegation yang ikut mengungsi bersama Caleb
dan ayahku. Susan ada di sana, juga sebagian tetangga lama kami. Ruangan itu
dipenuhi jajaran meja kayu sepanjang ruangan. Mereka menyambut kami—terutama
Marcus—dengan air mata dan senyum sopan.
Aku memelik lengan Tobias. Aku tak sanggup menghadapi
anggota faksi keluargaku, hidup mereka, air mata mereka.
Seorang Abnegation menyodorkan secangkir air mengepul ke
bawah hidungku dan berkata, “Minumlah. Ini akan membantumu tidur seperti yang
lain. Tanpa mimpi.”
Cairan di dalamnya berwarna kemerahan, seperti stroberi. Aku
meraih cangkir itu dan meminum isinya. Selama beberapa detik, panas dari cairan
itu membuatku merasa utuh kembali. Lalu, ketika menghabiskan tetes terakhir di
cangkir, aku merasa tubuhku rileks. Seseorang menuntunku menyusuri koridor,
menuju kamar tidur.[]
2
Aku membuka mata, ketakutan, tanganku mencengkeram seprai.
Namun, ternyata aku tidak sedang berlari menyusuri jalanan kota atau koridor di
markas besr Dauntless. Saat ini aku ada di tempat tidur markas besar Amity.
Aroma serbuk kayu memenuhi udara.
Aku beringsut, dan berjengit saat sesuatu menyakiri
punggungku. Ketika meraih ke belakang, jari-jariku memegang pistol.
Sesaat aku melihat Will berdiri di hadapanku, pistol
teracung di antara kami—tangannya, aku
bisa menembak tangannya, tapi kenapa aku tidak melakukan itu, kenapa?—dan
aku nyaris meneriakkan namanya.
Lalu Will lenyap.
Aku turun dari tempat tidur, lalu mengangkat kasur dengan
satu tangan dan menyisipkan pistol itu ke bawah kasur. Begitu pistol itu hilang
dari pandangan dan tak lagi menekan kulitku, otakku terasa lebih jernih.
Sekarang, setelah aliran adrenalin kemarin lenyap dan
khasiat cairan yang membuatku tidur memudar, bahuku terasa semakin sakit dan
nyeri. Aku masih mengenakan pakaian yang kupakai semalam. Ujung harddisk menyembul dari bawah bantal,
tempatku menyembunyikannya sebelum tertidur. Di dalamnya ada data simulasi yang
mengontrol para Dauntless, dan rekaman mengenai apa yang Erudite lakukan. Benda
itu terasa begitu penting sehingga aku tak berani menyentuhnya. Meskipun
begitu, aku juga tak mungkin meninggalkannya di sini. Kuraih harddisk itu, lalu menjejalkannya di
antara lemari pakaian dan dinding. Sebagian diriku berpikir lebih baik benda
itu dihancurkan. Namun, karena tahu di dalam harddisk itu ada satu-satunya rekaman kematian orangtuaku, aku
hanya menyembunyikannya.
Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku duduk di tepi tempat
tidur dan berusaha merapikan rambutku.
“Masuk,” aku berseru.
Pintu terbuka dan Tobias melongok dari ambang pintu. Ia
mengenakan jins yang kemarin, tetapi kaus hitamnya sudah berganti mejadi kaus
merah gelap yang mungkin dipinjam dari salah satu Amity. Warna itu tampak aneh
pada dirinya, terlalu terang. Namun, saat Tobias menyandarkan kepalanya ke
kosen, aku melihat warna merah membuat matanya yang biru tampak lebih cerah.
“Faksi Amity akan rapat setengah jam lagi.” Ia menaikkan
alis lalu menambahkan, dengan sentuhan melodrama, “Untuk memutuskan nasib kita.”
Aku menggeleng. “Tak pernah mengira nasibku bakal berada di
tangan sekelompok Amity.”
“Sama. Oh, aku bawa sesuatu untukmu.” Ia membuka tutup
sebuah botol kecil dan mengacungkan pipet berisi cairan bening. “Pereda nyeri.
Satu pipet penuh setiap jam.”
“Trims.” Aku menuangkan isi pipet itu ke dalam tenggorokan.
Rasanya seperti lemon basi.
Tobias menyangkutkan salah satu ibu jarinya ke lubang sabuk
lalu bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Beatrice?”
“Kau memanggilku Beatrice?”
“Kupikir aku ingin mencobanya.” Ia tersenyum. “Tak suka?”
“Mungkin hanya pada peristiwa khusus. Hari inisiasi, Hari
Pemilihan ...” aku berhenti. Aku hendak mengocehkan sejumlah hari besar lain,
tapi hanya faksi Abnegation yang merayakannya. Kurasa faksi Dauntless memiliki
hari besar sendiri, tapi aku tak tahu apa saja. Lagi pula, pemikiran bahwa kami
bisa merayakan apa saja saat ini rasanya begitu konyol sehingga aku tidak
melanjutkan.
“Oke.” Senyum Tobias memudar. “Bagaimana keadaanmu, Tris?”
Itu bukan pertanyaan yang aneh, mengingat apa yang telah
kami alami, tapi aku jadi tegang saat Tobias bertanya, khawatir kalau-kalau ia
bisa membaca pikiranku. Aku belum bercerita tentang Will. Aku ingin, tapi tak
tahu caranya. Membayangkan menceritakannya pada orang lain saja membuatku
merasa begitu berat sehingga bisa melesai ke lantai papan.
“Aku ...” aku menggeleng beberapa kali. “Entahlah, Four. Aku
sudah bangun. Aku ...” aku masih menggeleng. Tobias membelai pipiku, satu
jarinya berdiam di belakang telingaku. Lalu, ia memiringkan kepalanya dan
menunduk menciumku, mengirimkan rasa sakit yang hangat ke seluruh tubuhku. Aku
memeluk Tobias, menahannya selama yang kubisa. Saat ia menyentuhku, perasaan
hampa di dalam diriku tak terlalu terasa.
Aku tak perlu menceritakannya. Aku bisa berusaha
melupakan—Tobias bisa membantuku melupakan.
“Aku mengerti,” ujar Tobias. “Maaf. Seharusnya aku tak
bertanya.”
Sesaat yang bisa kupikirkan hanyalah, Bagaimana mungkin kau bisa mengerti? Tapi, sesuatu di raut wajahnya
membuatku ingat Tobias memang mengerti tentang kehilangan. Ia kehilangan ibunya
ketika masih kecil. Aku tak ingat mengapa ibunya meninggal, yang kuingat hanya
kami menghadiri pemakamannya.
Tiba-tiba aku ingat saat Tobias mencengkeram tirai di ruang
duduk rumahnya, usianya sekitar sembilan tahun, mengenakan baju kelabu, memejamkan
mata. Bayangan itu segera menghilang, dan mungkin imajinasiku saja, bukan
kenangan.
Ia melepaskanku. “Aku akan membantumu siap-siap.”
***
Kamar mandi wanita jaraknya dua pintu dari kamarku.
Lantainya dari keramik cokelat gelap, dan di setiap pancuran ada dinding kayu
dan tirai plastik sebagai penyekat dari lorong tengah. Tanda di dinding
belakang berbunyi INGAT: UNTUK MENGHEMAT SUMBER DAYA ALAM, PANCURAN HANYA
MENYALA SELAMA LIMA MENIT.
No comments:
Post a Comment