Insurgent (Divergent #2) (10)

Penulis : Veronica Roth

Orang-orang bergegas memasuki koridor, dengan pakaian berwarna kelabu, hitam, kuning, dan merah. Peter menerjang ke arahku sambil setengah berjongkok dan meninju perutku. Aku membungkuk, tapi rasa sakit itu tidak menghentikanku—aku mengeluarkan suara antara erangan dan jeritan. Lalu, aku melontarkan tubuhku ke arahnya sambil menahan siku kiriku di dekat mulut agar bisa menghantamkannya ke wajah Peter.

Seorang Amity merengut lenganku sambil menarik sekaligus mengangkat tubuhku menjauhi Peter. Bekas luka di bahuku berdenyut, tapi aku nyaris tak merasakannya akibat arus adrenalin. Aku berusaha menggapai Peter dan mengabaikan wajah-wajah terkejut Amity dan Abnegation—juga Tobias—di sekelilingku. Seorang wanita berlutut di samping Peter sambil berbisik lembut. Aku berusaha mengabaikan erangan kesakitan Peter dan rasa bersalah yang menghunjam perutku. Aku benci dia. Aku tak peduli. Aku benci dia.

“Tris, tenanglah!” pinta Tobias.

Harddisk-nya diambil Peter!” aku berteriak. “Ia mencurinya! Ia mengambilnya!”

Tobias menghampiri Peter, mengabaikan wanita uang berjongkok di sampingnya, dan menginjak tulang rusuk Peter untuk menahan tubuhnya. Ia meraih ke saku Peter dan mengeluarkan harddisk itu.

Lalu, Tobias berkata pada Peter—dengan sangat palan—“Kita tak akan aman tinggal di sini selamanya dan ini bukan tindakan yang cerdas.” Kemudian, ia memandangku dan berkata, “Yang kau lakukan juga tidak cerdas. Kau mau kita diusir?”

Aku merengut. Pria Amity yang memegangiku mulai menarikku menjauhi koridor. Aku berusaha melepaskan diriku dari cengkeramannya.

“Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!”

“Kau melanggar kesepakatan  damai,” ujarnya dengan lembut. “Kami harus mengikuti protokol.”

“Pergilah,” kata Tobias. “Kau perlu mendinginkan kepala.”

Aku memandang wajah orang-orang yang berkerumun. Tak ada yang membantah Tobias. Mata mereka menghindari mataku. Jadi, aku membiarkan dua pria Amity mengawalku menjauhi koridor itu.

“Hati-hati langkahmu,” salah satunya memperingatkan. “Lantai di sini tidak rata.”

Kepalaku berdenyut, pertanda aku mulai tenang. Pria Amity yang mulai berusaha membuka pintu di sebelah kiri. Label di pintunya bertuliskan RUANG KONFLIK.

“Kalian memasukkanku ke sini agar aku menenangkan diri atau semacam itu?” aku merengut. Itu sesuatu yang akan dilakukan faksi Amity: menyuruhku menenangkan diri, lalu mengajariku olah napas pembersihan atau memikirkan hal-hal positif.

Ruangan itu sangan terang sehingga aku harus menyipitkan mata agar bisa melihat. Pada dinding di depanku ada jendela besar yang menghadap ke kebun. Selain itu, ruangan ini terasa kecil, mungkin karena langit-langitnya yang jugah ditutupi papan kayu seperti dinding serta lantainya.

“Duduklah,” ujar pria yang lebih tua sambil memberi isyarat ke arah bangku di tengah ruangan.

Seperti semua perabotan di kompleks Amity, bangku itu juga dibuat dari kayu kasar dan tampak kokoh, seolah-olah masih menancap di tanah. Aku tidak duduk.

“Perkelahiannya sudah selesai,” kataku. “Aku tak akan melakukannya lagi. Tidak di sini.”

“Kita harus mengikuti protokol,” kata pria yang lebih muda. “Duduklah. Kita akan membahas apa yang terjadi dan setelah itu kami akan membiarkanmu pergi.”

Suara mereka begitu lembut. Tidak lirih seperti cara bicara Abnegation, dan seperti sedang menginjak tanah kudus serta berusaha tidak mengganggu. Lembut, menenagkan, pelan—aku bertanya-tanya apakah para peserta inisiasi mereka di sini diajarkan melakukan itu. Bagaimana bicara, bergerak, dan tersenyum yang paling baik demi terciptanya perdamaian.

Walau tak ingin, aku duduk, bertengger di ujung kursi itu sehingga bisa bangkit dengan cepat, kalau perlu. Pria yang lebih muda berdiri di depanku. Aku mendengar bunyi ensel berderit di belakang dan menoleh—pria yang lebih tua sedang sibuk dengan sesuatu di konter di belakangku.

“Kau sedang apa?”

“Membuat teh,” ia menjawab.

“Kupikir teh bukan solusinya.”

“Jadi katakanlah,” ujar pria yang lebih muda, menarik perhatianku kembali ke jendel. Ia tersenyum. “Menurutmu solusinya apa?”

“Mendepak Peter dari kompleks ini.”

“Yang aku lihat,” kata pria itu dengan lembut, “kaulah yang menyerangnya—dan dudlu kau juga yang menembak lengannya.”

“Kau tak tahu betapa Peter pantas mendapatkan itu.” Pipiku jadi panas lagi dan menyerupai detak jantungku. “Ia berusaha membunuhku. Dan orang lain—ia menusuk mata orang lain ... dengan pisau mentega. Peter itu jahat. Aku sangat berhak untuk—”

Aku merasakan nyeri tajam di leherku. Bintik-bintik gelap menutupi pria di depanku, menghalangi pandanganku ke wajahnya.

“Maaf,” katanya. “Kami hanya mengikuti protokol.”

Pria yang lebih tua memegang alat suntik. Beberapa tetes cairan apa pun yang disuntikkannya kepadaku masih ada di sana. Warnyanya hijau cerah, seperti rumput. Aku mengedipkan mata dengan cepat dan bintik-bintik gelap itu hilang, tapi dunia masih berenang di hadapanku, aku seakan-akan sedang berayun di kursi goyang.

“Bagaimana perasaaanmu?” tanya pria yang lebih muda.

“Aku merasa ....” Marah, itulah yang ingin kukatakan. Marah terhadap Peter. Marah terhadap faksi Amity. Tapi itu tidak benar, kan? Aku tersenyum. “Aku merasa baik. Aku merasa seperti ... seperti melayang. Atau berayun . Bagaimana perasaan-mu?

“Pusing itu efek samping serum ini. Kau mungkin ingin istirahat sore ini. Dan aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya,” jawabnya. “Kau boleh pergi sekarang, kalau mau.”

“Bisakah kau mengatakan di mana aku dapat menemukan Tobias?” tanyaku. Saat membayangkan wajah Tobias, rasa sukaku kepadanya semakin besar, dan yang ingin kulakukan adalh menciumnya. “Four, maksudku. Ia tampan, bukang? Aku benar-benar tak mengerti kenapa ia menyukaiku. Aku ini bukan orang yang berperangai baik, ya?”

“Tidak, seringnya sih tidak,” ujar pria itu. “Tapi kurasa kau bisa kalau berusaha.”

“terima kasih,” kataku. “Kau baik sekali karena berkata begitu.”

“Kurasa kau bisa menemukannya di kebun,” kata pria itu. “Aku melihatnya keluar setelah perkelahian tadi.”

Aku terkekeh. “Perkelahian tadi. Konyol sekali ....”

Dan, menghantamkan tinju ke tubuh orang lain itu rasanya memang konyol. Seperti membelai, tapi terlalu kasar. Belaian jauh lebih bagus. Mungkin seharusnya aku membelai lengan Peter. Rasannya pasti lebih enak buat kami berdua. Buku-buku jariku tak akan sakit seperti sekarang.

Aku bangkin dan mengarahkan tubuhku ke pintu. Aku harus bersandar ke dinding agar tidak limbung, tapi dindingnya kokoh jadi aku tak keberatan. Aku tersandung di koridor sambil terkikik karena tak bisa berjalan dengan seimbang. Aku jadi kikuk lagi, seperti waktu masih kecil. Ibuku biasanya tersenyum kepadaku dan berkata. “Hati-hati meletakkan kakimu, Beatrice. Aku tak mau kau menyakiti dirimu.”


Aku berjalan keluar dan warna hijau pepohonan tampak lebih hijau dan begitu kuat sehingga aku nyaris bisa merasakannya di lidahku. Mungkin aku dapat merasakannya. Seperti rumput yang waktu kecil dulu kuputuskan untuk kukunyah karena ingin tahu rasanya seperti apa. Aku nyaris jatuh dari tangga karena limbung dan tergelak saat rumput menggelitik kakiku yang tak beralas kaki. Aku mengeluyur ke kebun.

No comments:

Post a Comment