Insurgent (Divergent #2) (7)

Penulis : Veronica Roth

“Yah, penjaga tesnya harus mengubah tesku,” aku menjelaskan. “Ia memaksa tesku masuk ke situasi di bus agar bisa membuang kemungkinan Erudite—tapi ternyata Erudite justru tidak tereliminasi.”

Caleb menyandarkan dagunya ke tangan. “Mengakali program,” katanya. “Aku penasaran kenapa penjaga tes-mu bisa tahu cara melakukannya. Mereka tidak diajari untuk itu.”

Aku mengerutkan kening. Tori adalah seorang seniman tato dan relawan Tes Kecakapan—bagaimana ia bisa tahu cara mengubah program tes? Jika ia pintar menggunakan komputer, pastilah itu sekadar hobi. Tapi, aku tak yakin hobi komputer menyebabkan seseorang mampu mengutak-ngatik simulasi Erudite.

Lalu, aku teringat sesuatu dari salah satu obrolanku dengan Tori. Aku dan saudara laki-lakiku pindahan dari Erudite.

“Ia dulunya Erudite,” kataku. “Seorang pindahan. Mungkin itu sebabnya.”

“Mungkin,” Caleb merenung sambil mengetuk-ngetukkan jarinya—dari kiri ke kanan—di pipi. Sarapan kami, yang hampir terlupakan, masih ada di antara kami. “Apa artinya ini dengan kimia otakmu? Atau anatomi?”

Aku terkekeh. “Aku tak tahu. Yang aku tahu hanyalah aku selalu sadar pada saat simulasi, dan kadang-kadang bisa membuat diriku bangun. Sesekali simulasinya tak berfungsi, seperti simulasi penyerangan itu.”

“Bagaimana caramu bangun dari simulasi itu? Apa yang kau lakukan?”

“Aku ...” aku berusaha mengingat. Aku merasa seolah sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berada dalam simulasi, padahal sebenarnya baru beberapa minggu lalu. “Sulit dijelaskan karena simulasi Dauntless memang akan berakhir begitu kami tennag. Tapi di salah satu simulasiku ... simulasi yang menyebabkan Tobias tahu apa diriku ini ... aku melakukan sesuatu yang mustahil. Aku memecahkan kaca hanya dengan menyentuhnya menggunakan tanganku.”

Ekspresi Caleb tampak kosong, seolah ia memandang ke tempat yang jauh. Aku tahu semua yang kujelaskan tadi tidak pernah terjadi pada dirinya saat menjalani simulasi tes kecakapan. Jadi, mungkin ia bertanya-tanya seperti apa rasanya, atau mengapa itu bisa terjadi. Pipiku memanas—ia menganalisis otakku seakan-akan sedang menganalisis komputer atau mesin.

“Hei,” aku memanggil. “Pikiranmu ke mana?”

“Maaf,” ujar Caleb sambil memandangku lagi. “Itu ....”

“Mengagumkan. Yah, aku tahu. Kau selalu tampak seperti ada yang menyedot nyawamu ketika sesuatu membuatmu kagum.”

Caleb tertawa.

“Bisakah kita bicara yang lain saja?” pintaku. “Mungkin di sini memang tak ada Erudite atau Dauntless pengkhianat, tapi tetap saja membicarakan itu di tempat umum seperti ini rasanya aneh.”

“Oke.”

Sebelum Caleb sempat melanjutkan, pintu kafetaria terbuka dan sekelompok Abnegation masuk. Mereka mengenakan pakaian Amity, sepertiku. Namun sepertiku juga, sikap mereka menunjukkan faksi mereka dengan jelas. Mereka diam, tapi tidak muram—mereka tersenyum pada orang Amity yang mereka lewati, menundukkan kepala, dan beberapa dari mereka berhenti untuk berbasa-basi.

Susan duduk di samping Caleb sambil tersenyum kecil. Rambutnya digelung di belakang seperti biasa, tapi rambut [irangnya bergilau bagai emas. Ia dan Caleb duduk agak lebih dekat daripada teman, tapi tidak bersentuhan. Susan mengangguk untuk menyapaku.

“Maaf,” katanya. “Apakah aku mengganggu?”

“Tidak,” jawab Caleb. “Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik-baik saja. Kau?”

Saat aku akan beranjak dari ruang makan ini agar tidak terlihat dalam percakapan yang sopan dan santun khas Abnegation, Tobias masuk dengan wajah kesal. Ia pasti bekerja di dapur sepanjang pagi ini, sebagai bagian dari kesepakatan kami dengan faksi Amity. Aku harus bekerja di ruang cuci besok.

“Ada apa?” aku bertanya saat Tobias duduk di sampingku.

“Dalam antusiasme mereka untuk menyelesaikan konflik, Amity tampaknya lupa bahwa ikut campur itu justru menyebabkan semakin banyak konflik,” gerutu Tobias. “Jika kita tinggal di sini lebih lama lagi, aku bakal menonjok seseorang, dan itu tak bagus.”

Caleb maupun Susan menatap Tobias sambil mengangkat alis. Beberapa orang Amity di meja sebelah bahkan berhenti bicara untuk memandang ke arah kami.

“Kalian dengan aku, kan? Aku bisa menonjok seseorang,” kata Tobias kepada mereka. Mereka semua mengalihkan pandangan.

“Seperti yang kubilang tadi,” aku mengulangi sambil menutupi mulut untuk menyembunyikan senyuman, “ada apa?”

“Nanti kuceritakan.”

Pasti ada hubungannya dengan Marcus. Tobias tidak menyukai tatapan heran Abnegation ketika ia menyebutkan mengenai kekejaman Marcus dulu. Dan sekarang, Susan duduk tepat di depannya.

Para Abnegation duduk di meja kami, tapi tidak tepat di samping kami—dengan jarak sopan sejauh dua kursi, walaupun sebagian besar dari mereka masih mengangguk ke arah kami. Mereka itu dulunya teman, tetangga, dan rekan kerja keluarga kami. Dulu keberadaan mereka akan mendorongku untuk diam dan tidak menonjolkan diri. Sekarang, mereka justru membuatku ingin bicara lebih keras, agar aku jauh dari identitas lama dan rasa sakit yang mengiringinya.

Tobias langsung diam seribu bahasa saat sebuah tangan mendarat di pundak kananku dan menyebarkan tikaman rasa sakit ke lengan kananku. Aku mengatupkan gigi agar tidak mengerang.

“Bahunya yang itu tertembak,” ujar Tobias tanpa memandang pria yang berdiri di belakangku.

“Maaf.” Marcus mengangkat tangannya dan duduk di sebelah kiriku. “Halo.”

Kau mau apa?” tanyaku.

“Beatrice,” Susan menegur dengan pelan. “Tak perlu—”

“Susan, tolong,” ujar Caleb pelan. Susan mengatupkan bibirnya, lalu mengalihkan pandang.

Aku mengerutkan kening ke arah Marcus. “Aku bertanya padamu.”

“Aku ingin membahas sesuatu dengan kalian,” jawab Marcus. Raut wajahnya tenang, tapi ia marah—nadanya yang ketus menunjukkan itu. “Aku dan para Abnegation lainnya sudah membahasnya dan memutuskan kami tak bisa tinggal di sini. Mengingat konflik lebih lanjut pasti bakal terjadi di kota kita, kami merasa bahwa egois sekali jika kami tinggal di sini sementara anggota faksi kami yang lain berada di dalam pagar perbatasan. Kami ingin meminta kalian mengawal kami.”

Aku tidak menduga ini. Mengapa Marcus ingin kembali ke kota? Apakah benar ini keputusan yang khas faksi Abnegation? Atau apakah ia ingin melakukan sesuatu di sana—sesuatu yang ada kaitannya dengan informasi apa pun yang dimiliki faksi Abnegation?

Aku menatap Marcus selama beberapa saat, lalu memandang Tobias. Ia sudah agak tenang, tapi matanya terus menatap meja. Aku tak tahu mengapa Tobias bersikap seperti ini ketika ayahnya ada di dekatnya. Tak seorang pun, termasuk Jeanine, yang mampu membuat Tobias ketakutan.

“Bagaimana menurutmua?” tanyaku.

“Kurasa kita harus berangkat lusa,” jawab Tobias.

“Oke. Terima kasih,” kata Marcus. Ia berdiri, lalu duduk di ujung meja bersama para Abnegation yang lain.

Aku beringsut ke dekat Tobias, tak tahu bagaimana cara menenangkannya tanpa membuat keadaan semakin runyam. Aku mengambil apel dengan tangan kiriku dan meraih tangan Tobias di bawah meja dengan tangan kananku.


Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari Marcus. Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang dikatakannya kepada Johanna. Dan kadang-kadang, kalau kita menginginkan kebenaran, kita harus menuntutnya.[]

No comments:

Post a Comment