Penulis : Veronica Roth
“Yah, penjaga tesnya harus mengubah tesku,” aku menjelaskan.
“Ia memaksa tesku masuk ke situasi di bus agar bisa membuang kemungkinan
Erudite—tapi ternyata Erudite justru tidak tereliminasi.”
Caleb menyandarkan dagunya ke tangan. “Mengakali program,”
katanya. “Aku penasaran kenapa penjaga tes-mu bisa tahu cara melakukannya.
Mereka tidak diajari untuk itu.”
Aku mengerutkan kening. Tori adalah seorang seniman tato dan
relawan Tes Kecakapan—bagaimana ia bisa tahu cara mengubah program tes? Jika ia
pintar menggunakan komputer, pastilah itu sekadar hobi. Tapi, aku tak yakin
hobi komputer menyebabkan seseorang mampu mengutak-ngatik simulasi Erudite.
Lalu, aku teringat sesuatu dari salah satu obrolanku dengan
Tori. Aku dan saudara laki-lakiku
pindahan dari Erudite.
“Ia dulunya Erudite,” kataku. “Seorang pindahan. Mungkin itu
sebabnya.”
“Mungkin,” Caleb merenung sambil mengetuk-ngetukkan
jarinya—dari kiri ke kanan—di pipi. Sarapan kami, yang hampir terlupakan, masih
ada di antara kami. “Apa artinya ini dengan kimia otakmu? Atau anatomi?”
Aku terkekeh. “Aku tak tahu. Yang aku tahu hanyalah aku
selalu sadar pada saat simulasi, dan kadang-kadang bisa membuat diriku bangun.
Sesekali simulasinya tak berfungsi, seperti simulasi penyerangan itu.”
“Bagaimana caramu bangun dari simulasi itu? Apa yang kau
lakukan?”
“Aku ...” aku berusaha mengingat. Aku merasa seolah sudah
lama sekali sejak terakhir kali aku berada dalam simulasi, padahal sebenarnya
baru beberapa minggu lalu. “Sulit dijelaskan karena simulasi Dauntless memang
akan berakhir begitu kami tennag. Tapi di salah satu simulasiku ... simulasi
yang menyebabkan Tobias tahu apa diriku ini ... aku melakukan sesuatu yang
mustahil. Aku memecahkan kaca hanya dengan menyentuhnya menggunakan tanganku.”
Ekspresi Caleb tampak kosong, seolah ia memandang ke tempat
yang jauh. Aku tahu semua yang kujelaskan tadi tidak pernah terjadi pada
dirinya saat menjalani simulasi tes kecakapan. Jadi, mungkin ia bertanya-tanya
seperti apa rasanya, atau mengapa itu bisa terjadi. Pipiku memanas—ia
menganalisis otakku seakan-akan sedang menganalisis komputer atau mesin.
“Hei,” aku memanggil. “Pikiranmu ke mana?”
“Maaf,” ujar Caleb sambil memandangku lagi. “Itu ....”
“Mengagumkan. Yah, aku tahu. Kau selalu tampak seperti ada
yang menyedot nyawamu ketika sesuatu membuatmu kagum.”
Caleb tertawa.
“Bisakah kita bicara yang lain saja?” pintaku. “Mungkin di
sini memang tak ada Erudite atau Dauntless pengkhianat, tapi tetap saja
membicarakan itu di tempat umum seperti ini rasanya aneh.”
“Oke.”
Sebelum Caleb sempat melanjutkan, pintu kafetaria terbuka
dan sekelompok Abnegation masuk. Mereka mengenakan pakaian Amity, sepertiku.
Namun sepertiku juga, sikap mereka menunjukkan faksi mereka dengan jelas.
Mereka diam, tapi tidak muram—mereka tersenyum pada orang Amity yang mereka
lewati, menundukkan kepala, dan beberapa dari mereka berhenti untuk
berbasa-basi.
Susan duduk di samping Caleb sambil tersenyum kecil.
Rambutnya digelung di belakang seperti biasa, tapi rambut [irangnya bergilau
bagai emas. Ia dan Caleb duduk agak lebih dekat daripada teman, tapi tidak
bersentuhan. Susan mengangguk untuk menyapaku.
“Maaf,” katanya. “Apakah aku mengganggu?”
“Tidak,” jawab Caleb. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja. Kau?”
Saat aku akan beranjak dari ruang makan ini agar tidak
terlihat dalam percakapan yang sopan dan santun khas Abnegation, Tobias masuk
dengan wajah kesal. Ia pasti bekerja di dapur sepanjang pagi ini, sebagai
bagian dari kesepakatan kami dengan faksi Amity. Aku harus bekerja di ruang
cuci besok.
“Ada apa?” aku bertanya saat Tobias duduk di sampingku.
“Dalam antusiasme mereka untuk menyelesaikan konflik, Amity
tampaknya lupa bahwa ikut campur itu justru menyebabkan semakin banyak konflik,” gerutu Tobias. “Jika kita tinggal di sini
lebih lama lagi, aku bakal menonjok seseorang, dan itu tak bagus.”
Caleb maupun Susan menatap Tobias sambil mengangkat alis.
Beberapa orang Amity di meja sebelah bahkan berhenti bicara untuk memandang ke
arah kami.
“Kalian dengan aku, kan? Aku bisa menonjok seseorang,” kata
Tobias kepada mereka. Mereka semua mengalihkan pandangan.
“Seperti yang kubilang tadi,” aku mengulangi sambil menutupi
mulut untuk menyembunyikan senyuman, “ada apa?”
“Nanti kuceritakan.”
Pasti ada hubungannya dengan Marcus. Tobias tidak menyukai
tatapan heran Abnegation ketika ia menyebutkan mengenai kekejaman Marcus dulu.
Dan sekarang, Susan duduk tepat di depannya.
Para Abnegation duduk di meja kami, tapi tidak tepat di
samping kami—dengan jarak sopan sejauh dua kursi, walaupun sebagian besar dari
mereka masih mengangguk ke arah kami. Mereka itu dulunya teman, tetangga, dan
rekan kerja keluarga kami. Dulu keberadaan mereka akan mendorongku untuk diam
dan tidak menonjolkan diri. Sekarang, mereka justru membuatku ingin bicara
lebih keras, agar aku jauh dari identitas lama dan rasa sakit yang
mengiringinya.
Tobias langsung diam seribu bahasa saat sebuah tangan
mendarat di pundak kananku dan menyebarkan tikaman rasa sakit ke lengan
kananku. Aku mengatupkan gigi agar tidak mengerang.
“Bahunya yang itu tertembak,” ujar Tobias tanpa memandang
pria yang berdiri di belakangku.
“Maaf.” Marcus mengangkat tangannya dan duduk di sebelah
kiriku. “Halo.”
“Kau mau apa?”
tanyaku.
“Beatrice,” Susan menegur dengan pelan. “Tak perlu—”
“Susan, tolong,” ujar Caleb pelan. Susan mengatupkan
bibirnya, lalu mengalihkan pandang.
Aku mengerutkan kening ke arah Marcus. “Aku bertanya
padamu.”
“Aku ingin membahas sesuatu dengan kalian,” jawab Marcus.
Raut wajahnya tenang, tapi ia marah—nadanya yang ketus menunjukkan itu. “Aku
dan para Abnegation lainnya sudah membahasnya dan memutuskan kami tak bisa
tinggal di sini. Mengingat konflik lebih lanjut pasti bakal terjadi di kota
kita, kami merasa bahwa egois sekali jika kami tinggal di sini sementara
anggota faksi kami yang lain berada di dalam pagar perbatasan. Kami ingin
meminta kalian mengawal kami.”
Aku tidak menduga ini. Mengapa Marcus ingin kembali ke kota?
Apakah benar ini keputusan yang khas faksi Abnegation? Atau apakah ia ingin
melakukan sesuatu di sana—sesuatu yang ada kaitannya dengan informasi apa pun
yang dimiliki faksi Abnegation?
Aku menatap Marcus selama beberapa saat, lalu memandang
Tobias. Ia sudah agak tenang, tapi matanya terus menatap meja. Aku tak tahu
mengapa Tobias bersikap seperti ini ketika ayahnya ada di dekatnya. Tak seorang
pun, termasuk Jeanine, yang mampu membuat Tobias ketakutan.
“Bagaimana menurutmua?” tanyaku.
“Kurasa kita harus berangkat lusa,” jawab Tobias.
“Oke. Terima kasih,” kata Marcus. Ia berdiri, lalu duduk di
ujung meja bersama para Abnegation yang lain.
Aku beringsut ke dekat Tobias, tak tahu bagaimana cara
menenangkannya tanpa membuat keadaan semakin runyam. Aku mengambil apel dengan
tangan kiriku dan meraih tangan Tobias di bawah meja dengan tangan kananku.
Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari Marcus. Aku ingin
tahu lebih banyak tentang apa yang dikatakannya kepada Johanna. Dan
kadang-kadang, kalau kita menginginkan kebenaran, kita harus menuntutnya.[]
No comments:
Post a Comment