Penulis : Veronica Roth
1
Aku terbangun sambil menyebut namanya.
Will.
Sebelum mataku terbuka, aku melihatnya roboh ke trotoar
lagi. Mati.
Karena aku.
Tobias berjongkok di depanku, tangannya memegang bahu
kiriku. Gerbong terlonjak di rel. Marcus, Peter, serta Caleb berdiri di ambang
pintu. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menahannya untuk meredakan tekanan
yang semakin kuat di dadaku.
Satu jam lalu, semua yang terjadi serasa tak nyata bagiku.
Sekarang semuanya terasa nyata.
Aku mengembuskan napas, tapi tekanan itu masih ada.
“Tris, ayo,” panggil Tobias, matanya mencari-cari mataku.
“Kita harus lompat.”
Terlalu gelap untuk melihat di mana kami berada, tapi karena
kami harus turun, tampaknya kami sudah di dekat perbatasan. Tobias membantuku
berdiri, lalu menuntunku ke pintu.
Yang lain melompat satu demi satu: pertama Peter, lalu
Marcus, dan disusul oleh Caleb. Aku memegang tangan Tobias. Angkin semakin
kencang saat kami berdiri di tepi pintu gerbong, bagaikan tangan yang
mendorongku ke belakang, ke tempat yang aman.
Kami melompat ke dalam kegelapan dan mendarat dengan keras
di tanah. Benturannya membuat luka tembak di bahuku sakit. Aku menggigit bibir
agar tidak menjerit, dan mencari kakakku.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku saat melihat Caleb duduk di
rumput sambil menggosok lututnya, beberapa langkah dariku.
Ia mengangguk. Saat mendengarnya menghela napas seolah
menahan tangis, aku berpaling.
Kami mendarat di rumput dekat pagar perbatasan, beberapa
meter dari jalan yang biasa dilewati truk Amity saat mengirimkan makanan ke
kota, dan gerbang tempat truk itu keluar—gerbang yang saat ini tertutup,
mengurung kami di dalam. Menara perbatasan menjulang di atas kami, terlalu
tinggi dan lentur untuk dipanjat, terlalu kokoh untuk dirobohkan.
“Seharusnya ada Dauntless yang berjaga di sini,” kata
Marcus. “Di mana mereka?”
“Mungkin tadi mereka berada di bawah pengaruh simulasi,”
komentar Tobias, “tapi sekarang ...” Ia berhenti sejenak. “Entah di mana dan
entah sedang apa.”
Kami telah menghentikan simulasi itu, bobot harddisk di saku belakangku membuatku
yakin akan itu. Tetapi, kami tidak berhenti untuk melihat akibatnya. Apa yang
terjadi dengan teman, kawan sebaya, para pemimpin, maupun faksi-faksi kami? Tak
ada cara untuk mengetahuinya.
Tobias mendekati kotak logam kecil di sisi kanan gerbang,
lalu membukanya sehingga papan tombol terlihat.
“Mari berdoa semoga kaum Erudite tidak berpikir untuk
mengubah kombinasinya,” katanya sambil mengetikkan serangkaian angka. Ia
berhenti pada angka kedelapan, lalu gerbang itu terbuka diiringi bunyi klik.
“Dari mana kau tahu?” tanya Caleb. Suaranya penuh emosi,
begitu saratnya sehingga aku heran ia tidak tersedak.
“Aku bekerja di ruang kendali Dauntless, mengawasi sistem
keamanan. Kami hanya mengganti kode-kode dua kali dalam setahun,” jawab Tobias.
“Untung sekali,” komentar Caleb. Ia memandangi Tobias dengan
waspada.
“Keberuntungan tak ada hubungannya dengan ini,” jawab
Tobias. “Aku kerja di sana karena ingin memastikan aku bisa keluar.”
Aku bergidik. Cara Tobias bicara tentang keluar—ia
seakan-akan berpikir kami terperangkap. Aku tak pernah berpikir seperti itu,
dan sekarang itu rasanya konyol.
Kami berjalan dalam kelompok kecil. Peter mendekap lengannya
yang berdarah di dada—lengan yang kutembak—dan Marcus memegangi bahu Peter,
menjaganya agar tetap seimbang. Caleb mengusap pipinya setiap beberapa detik.
Aku tahu kakakku itu menangis, tapi aku tak tahu bagaimana menenangkannya, atau
kenapa aku sendiri tidak menangis.
Aku justru memimpin jalan, didampingi Tobias yang berjalan
tanpa bicara. Ia membuatku tabah walaupun tidak menyentuhku.
***
Berkas-berkas cahaya memberi tanda bahwa kami mendekati
markas besar Amity. Lalu, petak-petak cahaya itu berubah menjadi
jendela-jendela terang. Sekelompok bangunan dari kayu dan kaca.
Sebelum mencapai tempat itu, kami harus melintasi sebuah
kebun buah. Kakiku melesak ke tanah. Di atasku, dahan-dahan pohon saling
melilit, membentuk semacam lorong. Buah-buahan berwarna gelap tergantung di
antara dedaunan, dan bisa jatuh kapan saja. Hidungku mencium aroma tajam dan
manis dari apel-apel yang membusuk sekaligus bau tanah basah.
Saat kami sudah dekat, Marcus beranjak dari samping Peter
dan berjalan di depan. “Aku tahu jalannya,” katanya.
Ia memimpin kami melewati bangunan pertama menuju bangunan
kedua di kiri. Kecuali rumah-rumah kaca, semua bangunan di sini terbuat dari
kayu gelap yang tak dicat secara kasar. Aku mendengar gelak tawa dari sebuah
jendela yang terbuka. Gelap tawa itu begitu bertolak belakang dengan keheningan
dingin di dalam diriku.
Marcus membuka salah satu pintu. Aku bakal terkejut dengan
keamanan yang begitu minim ini seandainya kami bukan di markas besar Amity.
Mereka sering kali menunjukkan betapa tipisnya batasan antara sikap percaya
dan kebodohan.
Hanya decit sepatu kami yang terdengar di gedung ini. aku
tak mendengar Caleb menangis lagi, tapi sejak tadi ia memang tak bersuara.
Marcus berhenti di depan sebuah ruangan terbuka, tempat
Johanna Reyes, wakil dari faksi Amity duduk sambil menatap ke luar jendela. Aku
mengenalinya karena wajah Johanna sulit dilupakan, baik jika hanya melihatnya
satu kali ataupun ribuan kali. Segurat bekas luka tebal memandang dari atas
alis kanannya hingga ke bibir, membutakan satu matanya dan menyebabkan ia
cadel. Walau hanya pernah mendengarnya bicara satu kali, aku ingat. Johanna
pastilah cantik andai bekas luka itu tidak ada.
“Oh, syukurlah,” ucap Johanna saat melihat Marcus. Ia
menghampiri Marcus dengan lengan terentang. Namun, wanita itu hanya menyentuh
bahu Marcus dan tidak memeluknya. Tampaknya ia ingat faksi Abnegation tidak
suka disentuh.
“Anggota faksimu yang lain tiba di sini beberapa jam lalu,
tapi mereka tak yakin kalian akan berhasil,” katanya. Yang Johanna maksud
adalah anggota faksi Abnegation yang sebelumnya ada di rumah perlindungan
bersama ayahku dan Marcus. Aku lupa tentang mereka.
Johanna memandang melewati bahu Marcusm pertama ke Tobias
dan Caleb, lalu ke aku, kemudian Peter.
“Ya ampun,” katanya, menatap darah yang membasahi baju
Peter. “Aku akan memanggil dokter. Aku bisa mengizinkan kalian untuk menginap
malam ini, tapi besok kaum kami harus memutuskannya bersama-sama. Dan”—ia
memandang aku dan Tobias—“kemungkinan besar mereka tak suka ada Dauntless di
kompleks kami. Aku juga harus meminta kalian menyerahkan senjata yang kalian
bawa.”
Aku bertanya dalam hati mengapa Johanna tahu aku ini seorang
Dauntless, padahal aku masih menggunakan kau kelabu. Kaus ayahku.
Seketika itu juga, aroma ayahku, yang merupakan campuran
antara sabun dan keringat, membubung dan memenuhi hidungku, mengisi seluruh
kepalaku dengan dirinya. Aku mengepalkan tangan hingga kuku-kukuku menghunjam
kulitku. Jangan di sini. Jangan di sini.
Tobias menyerahkan pistolnya. Namun, saat aku meraih ke
belakang untuk mengeluarkan senjataku yang tersembunyi, ia menarik tanganku dan
menjauhkannya dari punggungku. Kemudian, ia menautkan jari-jarinya ke
jari-jariku untuk menutupi perbuatannya.
No comments:
Post a Comment