Insurgent (Divergent #2) (8)

Penulis : Veronica Roth

5

Setelah sarapan, aku mengatakan pada Tobias bahwa aku mau jalan-jalan, padahal yang kulakukan justru membuntuti Marcus. Aku mengira Marcus akan berjalan ke asrama tamu, tapi ia malah melintasi lapangan di belakang ruang makan dan berjalan menuju bangunan penyaringan-air. Aku ragu saat tiba di dasar tangga. Apakah aku benar-benar ingin melakukan ini?

Aku menaiki tangga dan melewati pintu yang baru saja ditutup Marcus.

Bangunan penyaringan itu kecil, hanya sebuah ruangan berisi sejumlah mesin besar. Sepengetahuanku, sebagian mesin itu menyedot air kotor dari kompleks, sebagian lagi memurnikannya, sebagian mengujinya, dan sebagian yang terakhir memompa iar bersih ke kompleks. Sistem perpipaannya ditanam, kecuali satu yang melintang di tanah dan berfungsi untuk mengirimkan air ke pembangkit listrik di dekat pagar perbatasan. Pembangkit itu memasok listrik untuk seluruh kota dengan menggunakan kombinasi energi angin, air, dan solar.

Marcus berdiri di dekat mesin penyaring air. Pipa-pipa di sana transparan. Aku bisa melihat air berwarna cokelat mengalir melalui satu pipa, lenyap ke dalam mesin, lalu muncul lagi dalam keadaan bersih. Kami berdua mengamati proses permunian air. Aku bertanya-tanya apakah Marcus memikirkan hal yang sama denganku: betapa indahnya jika hidup seperti ini, melenyapkan kotoran dari kehidupan kita dan mengeluarkan kita ke dunia dalam keadaan bersih. Tapi, ada kotoran yang ditakdirkan untuk terus menempel.

Aku menatao belakang kepala Marcus. Aku harus melakukan ini sekarang.

Sekarang.

“Aku mendengarmu tempo hari,” semburku.

Marcus menoleh dengan cepat. “Apa yang kau lakukan, Beatrice?”

“Aku mengikutimu kemari.” Aku melipat tangan di depan dada. “Aku mendengar pembicaraanmu dengan Johanna mengenai apa yang menyebabkan Jeanine menyerang faksi Abnegation.”

“Apakah faksi Dauntless mengajarimu bahwa melanggar privasi orang lain itu sah-sah saja, atau apakah kau yang mengajarkan itu pada dirimu sendiri?”

“Pada dasarnya aku ini orang yang ingin tahu. Jangan mengalihkan pembicaraan.”

Dahi Marcus berkerut, terutama di antara alisnya, dan ada garis-garis dalam di samping mulutnya. Ia tampak seperti pria yang menghabiskan hidupnya dengan mengerutkan kening. Marcus mungkin tampan saat masih muda—dan mungkin masih tampan bagi wanita seusianya, seperti Johanna—tapi yang kulihat saat memandang pria itu hanyalah mata hitam legam yang ada di ruang ketakutan Tobias.

“Kalau kau mendengarku bicara dengan Johanna, kau pasti tahu aku tidak memberi tahu tentang ini kepadanya. Jadi, kenapa kau mengira aku bakal memberitahukan informasi itu kepadamu?”

Awalnya aku tak punya jawaban, tapi kemudian jawaban itu muncul.

“Ayahku,” kataku. “Ayahku meninggal.” Aku mengucapkan itu untuk pertama kalinya sejak memberi tahu Tobias bahwa orangtuaku meninggal karena aku, setelah turun dari kereta. Waktu itu “meninggal” hanyalah sebuah fakta yang tidak ada kaitannya dengan perasaan. Namun, kata “meninggal” yang berbaur dengan bunyi berpusar dan bergelagak di ruangan ini menghantam dadaku bagai godam. Lalu, monster kesedihan itu bangun, mencakar mata dan kerongkonganku.

Aku memaksa diriku untuk melanjutkan.

“Ayahku mungkin meninggal bukan demi informasi apa pun yang kau maksud itu,” kataku. “Tapi, aku ingin tahu apakah informasi itu yang membuatnya rela mempertaruhkan nyawa.”

Bibir Marcus berkedut.

“Ya,” ia menjawab. “Memang begitu.”

Mataku digenangi air mata. Aku berkedip untuk menyingkirkannya.

“Yah,” aku meneruskan, nyaris tersedak, “jadi apa itu? Apakah itu sesuatu yang akan kau lindungi? Atau curi? Atau apa?”

“Itu ...” Marcus menggeleng. “Aku tak akan memberitahumu.”

Aku melangkah ke arahnya. “Tapi, kau ingin informasi itu kembali. Dan Jeanine memilikinya.”

Marcus memang seorang pembohong yang hebat—atau setidaknya, seseorang yang pandai merahasiakan sesuatu. Ia tidak beraksi. Aku berharap bisa melihat seperti Johanna, seperti Candor—aku berharap bisa membaca ekspresinya. Marcus mungkin nyaris mengungkapkan kebenaran kepadaku. Jika aku mendesak dengan kuat, mungkin ia akan bicara.

“Aku bisa membantumu,” kataku.

Bibir atas Marcus melengkung. “Andai kau tahu betapa konyolnya itu terdengar.” Ia meludahkan kata-kata itu ke arahku. “Kau mungkin mampu mematikan simulasi penyerangan, Nak, tapi itu sekadar keberuntungan, bukan karena keahlian. Aku akan mati terkejut kalau kau berhasil melakukan sesuatu yang berguna lagi untuk waktu yang lama.”

Inilah Marcus yang Tobias kenal. Orang yang benar-benar tahu di mana harus menghantam dengan telah.

Tubuhku bergetar karena marah. “Tobias benar tentang dirimu,” kataku. “Kau ini cuma sepotong sampah yang sombong.”

“Tobias bilang begitu, ya?” tanya Marcus sambil mengangkat alis.

“Tidak,” tukasku. “Ia tidak cukup sering bercerita tentangmu sehingga bisa mengatakan sesuatu yang seperti tadi. Aku melakukannya sendiri.” Aku mengatupkan gigiku. “Kau itu nyaris tak berarti baginya. Dan seiring berjalannya waktu, kau akan semakin tak berarti.”

Marcus tidak menjawabku. Ia berbalik ke mesin pemurni air. Aku berdiri sebentar untuk menikmati kemenanganku, telingaku dipenuhi bunyi air mengalir bercampur degup jantung. Lalu, aku meninggalkan bangunan itu. Namun, sebelum melintasi setengah lapangan, aku sadar bukan aku yang menang. Marcuslah yang menang.

Apa pun kebenaran itu, aku harus mendapatkannya dari tempat lain, karena aku tak akan bertanya lagi kepadanya.

***

Malam itu aku mimpi berada di suatu lapangan dan melihat sekawanan gagak berkerumun di tanah. Saat mengusir sejumlah gagak, aku melihat ternyata mereka bertengger di atas seorang pria, mematuki pakaiannya yang kelabu khas Abnegation. Lalu, tiba-tiba gagak-gagak itu terbang. Pria itu ternyata Will.

Kemudian, aku terbangun.

Aku membenamkan wajahku ke bantal dan malah terisak hingga tubuhku terguncang di kasur. Sekali lagi aku merasakan monster kesedihan itu, menggeliat di ruang kosong tempat jantung dan perutku biasanya berada.

Aku menarik napas dan menekankan kedua tanganku ke dada. Sekarang, cakar monster itu melingkari leherku, mencekik dan membuatku sesak. Aku berbalik dan meletakkan kepalaku di antara lutut, bernapas hingga perasaan tercekik itu hilang.

Walaupun udaranya hangat, aku menggigil. Aku turun dari tempat tidur dan merayap melintasi koridor menuju kamar Tobias. Pintu kamar Tobias berderit saat aku menariknya sampai terbuka, cukup keras sehingga membuatnya terbangun. Ia memandangku sebentar.

“Sini,” panggilnya dengan pelan karena mengantuk. Ia beringsut di tempat tidur supaya aku dapat tempat. Aku berbaring menghadap Tobias.

“Mimpi buruk?”

Aku mengangguk.

“Apa yang terjadi?”

Aku menggeleng. Aku tak bisa memberitahunya bahwa mimpi burukku tentang Will, karena nanti aku harus menjelaskan alasannya. Apa yang akan Tobias pikirkan tentangku jika ia tahu apa yang telah kulakukan? Bagaimana ia akan memandangku?

Tobias memegang pipiku, mengelus tulang pipiku dengan pelan.

“Kita baik-baik saja,” ia menenangkan. “Kau dan aku. Oke?”

Dadaku sakit dan aku mengangguk.

“Yang lain tidak baik-baik saja.” Bisikannya menggelitik pipiku. “Tapi kita baik-baik saja.”


“Tobias,” kataku. Tapi, aku lupa apa yang ingin kukatakan. Aku menciumnya untuk mengalihkan pikiranku dari segalanya.

No comments:

Post a Comment