Penulis : Veronica
Roth
5
Setelah sarapan, aku mengatakan pada Tobias bahwa aku mau
jalan-jalan, padahal yang kulakukan justru membuntuti Marcus. Aku mengira
Marcus akan berjalan ke asrama tamu, tapi ia malah melintasi lapangan di
belakang ruang makan dan berjalan menuju bangunan penyaringan-air. Aku ragu
saat tiba di dasar tangga. Apakah aku benar-benar ingin melakukan ini?
Aku menaiki tangga dan melewati pintu yang baru saja ditutup
Marcus.
Bangunan penyaringan itu kecil, hanya sebuah ruangan berisi
sejumlah mesin besar. Sepengetahuanku, sebagian mesin itu menyedot air kotor
dari kompleks, sebagian lagi memurnikannya, sebagian mengujinya, dan sebagian
yang terakhir memompa iar bersih ke kompleks. Sistem perpipaannya ditanam,
kecuali satu yang melintang di tanah dan berfungsi untuk mengirimkan air ke
pembangkit listrik di dekat pagar perbatasan. Pembangkit itu memasok listrik
untuk seluruh kota dengan menggunakan kombinasi energi angin, air, dan solar.
Marcus berdiri di dekat mesin penyaring air. Pipa-pipa di
sana transparan. Aku bisa melihat air berwarna cokelat mengalir melalui satu
pipa, lenyap ke dalam mesin, lalu muncul lagi dalam keadaan bersih. Kami berdua
mengamati proses permunian air. Aku bertanya-tanya apakah Marcus memikirkan hal
yang sama denganku: betapa indahnya jika hidup seperti ini, melenyapkan kotoran
dari kehidupan kita dan mengeluarkan kita ke dunia dalam keadaan bersih. Tapi,
ada kotoran yang ditakdirkan untuk terus menempel.
Aku menatao belakang kepala Marcus. Aku harus melakukan ini
sekarang.
Sekarang.
“Aku mendengarmu tempo hari,” semburku.
Marcus menoleh dengan cepat. “Apa yang kau lakukan,
Beatrice?”
“Aku mengikutimu kemari.” Aku melipat tangan di depan dada.
“Aku mendengar pembicaraanmu dengan Johanna mengenai apa yang menyebabkan
Jeanine menyerang faksi Abnegation.”
“Apakah faksi Dauntless mengajarimu bahwa melanggar privasi
orang lain itu sah-sah saja, atau apakah kau yang mengajarkan itu pada dirimu
sendiri?”
“Pada dasarnya aku ini orang yang ingin tahu. Jangan mengalihkan
pembicaraan.”
Dahi Marcus berkerut, terutama di antara alisnya, dan ada
garis-garis dalam di samping mulutnya. Ia tampak seperti pria yang menghabiskan
hidupnya dengan mengerutkan kening. Marcus mungkin tampan saat masih muda—dan
mungkin masih tampan bagi wanita seusianya, seperti Johanna—tapi yang kulihat
saat memandang pria itu hanyalah mata hitam legam yang ada di ruang ketakutan
Tobias.
“Kalau kau mendengarku bicara dengan Johanna, kau pasti tahu
aku tidak memberi tahu tentang ini kepadanya.
Jadi, kenapa kau mengira aku bakal memberitahukan informasi itu kepadamu?”
Awalnya aku tak punya jawaban, tapi kemudian jawaban itu
muncul.
“Ayahku,” kataku. “Ayahku meninggal.” Aku mengucapkan itu
untuk pertama kalinya sejak memberi tahu Tobias bahwa orangtuaku meninggal
karena aku, setelah turun dari kereta. Waktu itu “meninggal” hanyalah sebuah
fakta yang tidak ada kaitannya dengan perasaan. Namun, kata “meninggal” yang
berbaur dengan bunyi berpusar dan bergelagak di ruangan ini menghantam dadaku bagai
godam. Lalu, monster kesedihan itu bangun, mencakar mata dan kerongkonganku.
Aku memaksa diriku untuk melanjutkan.
“Ayahku mungkin meninggal bukan demi informasi apa pun yang
kau maksud itu,” kataku. “Tapi, aku ingin tahu apakah informasi itu yang membuatnya
rela mempertaruhkan nyawa.”
Bibir Marcus berkedut.
“Ya,” ia menjawab. “Memang begitu.”
Mataku digenangi air mata. Aku berkedip untuk
menyingkirkannya.
“Yah,” aku meneruskan, nyaris tersedak, “jadi apa itu?
Apakah itu sesuatu yang akan kau lindungi? Atau curi? Atau apa?”
“Itu ...” Marcus menggeleng. “Aku tak akan memberitahumu.”
Aku melangkah ke arahnya. “Tapi, kau ingin informasi itu
kembali. Dan Jeanine memilikinya.”
Marcus memang
seorang pembohong yang hebat—atau setidaknya, seseorang yang pandai
merahasiakan sesuatu. Ia tidak beraksi. Aku berharap bisa melihat seperti
Johanna, seperti Candor—aku berharap bisa membaca ekspresinya. Marcus mungkin
nyaris mengungkapkan kebenaran kepadaku. Jika aku mendesak dengan kuat, mungkin
ia akan bicara.
“Aku bisa membantumu,” kataku.
Bibir atas Marcus melengkung. “Andai kau tahu betapa
konyolnya itu terdengar.” Ia meludahkan kata-kata itu ke arahku. “Kau mungkin
mampu mematikan simulasi penyerangan, Nak, tapi itu sekadar keberuntungan,
bukan karena keahlian. Aku akan mati terkejut kalau kau berhasil melakukan
sesuatu yang berguna lagi untuk waktu yang lama.”
Inilah Marcus yang Tobias kenal. Orang yang benar-benar tahu
di mana harus menghantam dengan telah.
Tubuhku bergetar karena marah. “Tobias benar tentang
dirimu,” kataku. “Kau ini cuma sepotong sampah yang sombong.”
“Tobias bilang begitu, ya?” tanya Marcus sambil mengangkat
alis.
“Tidak,” tukasku. “Ia tidak cukup sering bercerita tentangmu
sehingga bisa mengatakan sesuatu yang seperti tadi. Aku melakukannya sendiri.”
Aku mengatupkan gigiku. “Kau itu nyaris tak berarti baginya. Dan seiring
berjalannya waktu, kau akan semakin tak berarti.”
Marcus tidak menjawabku. Ia berbalik ke mesin pemurni air.
Aku berdiri sebentar untuk menikmati kemenanganku, telingaku dipenuhi bunyi air
mengalir bercampur degup jantung. Lalu, aku meninggalkan bangunan itu. Namun,
sebelum melintasi setengah lapangan, aku sadar bukan aku yang menang. Marcuslah
yang menang.
Apa pun kebenaran itu, aku harus mendapatkannya dari tempat
lain, karena aku tak akan bertanya lagi kepadanya.
***
Malam itu aku mimpi berada di suatu lapangan dan melihat
sekawanan gagak berkerumun di tanah. Saat mengusir sejumlah gagak, aku melihat
ternyata mereka bertengger di atas seorang pria, mematuki pakaiannya yang
kelabu khas Abnegation. Lalu, tiba-tiba gagak-gagak itu terbang. Pria itu
ternyata Will.
Kemudian, aku terbangun.
Aku membenamkan wajahku ke bantal dan malah terisak hingga
tubuhku terguncang di kasur. Sekali lagi aku merasakan monster kesedihan itu,
menggeliat di ruang kosong tempat jantung dan perutku biasanya berada.
Aku menarik napas dan menekankan kedua tanganku ke dada.
Sekarang, cakar monster itu melingkari leherku, mencekik dan membuatku sesak.
Aku berbalik dan meletakkan kepalaku di antara lutut, bernapas hingga perasaan
tercekik itu hilang.
Walaupun udaranya hangat, aku menggigil. Aku turun dari
tempat tidur dan merayap melintasi koridor menuju kamar Tobias. Pintu kamar
Tobias berderit saat aku menariknya sampai terbuka, cukup keras sehingga
membuatnya terbangun. Ia memandangku sebentar.
“Sini,” panggilnya dengan pelan karena mengantuk. Ia
beringsut di tempat tidur supaya aku dapat tempat. Aku berbaring menghadap
Tobias.
“Mimpi buruk?”
Aku mengangguk.
“Apa yang terjadi?”
Aku menggeleng. Aku tak bisa memberitahunya bahwa mimpi
burukku tentang Will, karena nanti aku harus menjelaskan alasannya. Apa yang
akan Tobias pikirkan tentangku jika ia tahu apa yang telah kulakukan? Bagaimana
ia akan memandangku?
Tobias memegang pipiku, mengelus tulang pipiku dengan pelan.
“Kita baik-baik saja,” ia menenangkan. “Kau dan aku. Oke?”
Dadaku sakit dan aku mengangguk.
“Yang lain tidak baik-baik saja.” Bisikannya menggelitik
pipiku. “Tapi kita baik-baik saja.”
“Tobias,” kataku. Tapi, aku lupa apa yang ingin kukatakan.
Aku menciumnya untuk mengalihkan pikiranku dari segalanya.
No comments:
Post a Comment