Insurgent (Divergent #2) (5)

Penulis : Veronica Roth

“... bingung dengan waktu penyerangan ini,” kata Johanna. “Apakah itu berarti Jeanine akhirnya sudah selesai menyusun rencana, lalu bertindak? Atau apakah ada insiden pemicu atau semacamnya?”

Dari batang pohon yang bercabang, aku bisa melihat wajah Marcus. Ia mengatupkan bibirnya dan berkata, “Hmmm.”

“Kurasa kita tak akan pernah tahu.” Johanna mengangkat alisnya yang utuh. “Iya, kan?”

“Tidak, mungkin tidak.”

Johanna meletakkan tangannnya di lengan Marcus dan memandang pria itu. Aku mematung, takut Johanna melihatku, tapi ia hanya memandang Marcus. Aku berjongkok dan merangkak menuju salah satu pohon dan bersembunyi di balik batangnya. Batang itu menggelitik punggungku, tapi aku tak bergerak.

“Tapi kau tahu,” ujar Johanna. “Kau tahu alasan Jeanine menyerang. Aku mungkin bukan seorang Candor lagi, tapi aku masih mampu mengetahui kapan seseorang merahasiakan sesuatu dariku.”

“Rasa ingin tahu itu egois, Johanna.”

Andai aku ini Johanna, aku pasti akan membentak Marcus karena berkomentar seperti itu. Namun, Johanna hanya berkata dengan lembut. “Faksiku memerlukanku untuk menasihati mereka. Jika kau mengetahui informasi yang begitu penting seperti ini, aku juga harus mengetahuinya agar bisa membagikan informasi itu kepada mereka. Aku yakin kau bisa memahami itu, Marcus.”

“Ada alasannya mengapa kau tidak mengetahui semua yang kuketahui. Dulu sekali, sebuah informasi sensitif dipercayakan kepada faksi Abnegation,” jelas Marcus. “Jeanine menyerang kami untuk mencuri informasi itu. Jika aku tidak hati-hati, ia akan menghancurkannya. Hanya itu yang bisa kukatakan kepadamu.”

“Tapi tentunya—”

“Tidak,” Marcus memotong kata-kata Johanna. “Informasi ini jauh lebih penting daripada apa yang kau bayangkan. Para pemimpin kota ini kehilangan nyawa demi melindungi informasi ini dari Jeanine. Aku tak akan mengacaukan itu hanya demi memuaskan rasa ingin tahumu yang egois.”

Johanna terdian selama beberapa detik. Langit semakin gelap sehingga aku nyaris tak bisa melihat tanganku sendiri. Udara berbau seperti tanah dan apel, dan aku berusaha untuk tidak bernapas terlalu keras.

“Maaf,” kata Johanna. “Aku pasti telah melakukan sesuatu yang membuatmu merasa bahwa aku ini tak dapat dipercaya.”

“Terakhir kalinya aku memercayakan informasi ini kepada seorang perwakilan faksi, seluruh temanku dibunuh,” jawab Marcus. “Sekarang, aku tak percaya siapa pun.”

Karena tak mampu menahan rasa penasaran, aku memajukan tubuh agar bisa melihat dari balik batang pohon. Marcus maupun Johanna terlalu tenggelam dalam percakapan mereka sehingga tidak menyadari adanya gerakan. Mereka berdekatan, tapi tidak bersentuhan. Aku tak pernah melihat Marcus selelah itu atau Johanna semarah itu. Namun kemudian, wajah Johanna melunak, dan ia menyentuh lengan Marcus lagi, kali ini sambil membelainya lembut.

“Untuk mencapai kedamaian, pertama-tama kita harus percaya,” ujar Johanna. “Jadi kuharap kau berubah pikiran. Ingatlah aku ini selalu menjadi temanmu, Marcus, bahkan saat kau tak punya banyak teman untuk diajak bicara.”

Johanna mendekat dan mengecup pipi Marcus, lalu berjalan ke ujung kebun. Marcus berdiri selama beberapa detik, tampak terkesima, lalu mulai bergerak menuju kompleks hunian.

Kejadian setengah jam terakhir itu berdengung di benakku. Kukira Jeanine menyerang faksi Abnegation demi kekuasaan, tapi ternyata ia menyerang untuk mencuri informasi—indormasi yang hanya diketahui oleh faksi Abnegation.

Lalu, dengungan itu berhenti saat aku teringat kata-kata Marcus yang lain: Para pemimpin kota ini mempertaruhkan nyawa mereka demi melindungi informasi ini. apakah ayahku salah satunya?

Aku harus tahu. Aku harus mencari tahu hal apa yang begitu penting itu sehingga Abnegation rela mempertaruhkan nyawa mereka—dan faksi Erudite rela membunuh.

***

Aku diam sejenak sebelum mengetuk pintu kamar Tobias dan mendengarkan suara-suara di dalam sana.

“Bukan, bukan begitu,” kata Tobias disela tawa.

“Apa maksudmu, ‘bukan begitu’? Aku menirumu dengan sempurna.” Suara kedua itu milik Caleb.

“Tidak.”

“Yah, kalau begitu coba lakukan lagi.”

Aku mendorong pintu hingga terbuka saat Tobias, yang duduk di lantai dengan satu tungkai terjulur, melemparkan pisau mentega ke dinding seberang. Pisau itu menancap, dengan gagang di luar, pada sepotong keju yang mereka letakkan di atas lemari pendek. Caleb, yang berdiri di samping Tobias, menatap tak percaya, pertama ke keju itu lalu ke arahku.

“Tolong bilang bahwa ia ini semacam anak ajaib Dauntless,” pinta Caleb. “Apakah kau juga bisa melakukannya?”

Caleb tampak lebih baik dibandingkan tadi—matanya tidak merah lagi dan ada binar rasa ingin tahu di sana, seolah ia kembali tertarik terhadap dunia. Rambut cokelatnya berantakan dan kancing kemejanya terpasang di lubang yang salah. Kakakku ini tampan dengan caranya yang ceroboh, seakan-akan ia memang selalu tak tahu seperti apa tampangnya.

“Dengan tangan kanan, mungkin,” aku menenangkannya. “Tapi ya, Four memang semacam anak ajaib Dauntless. Boleh aku tahu kenapa kalian melemparkan pisau ke keju?”

Tobias menatap mataku saat mendengar kata “Four”. Caleb tidak tahu Tobias tampil sempurna sepanjang waktu saat menggunakan nama julukannya ini.

“Caleb mampir untuk membahas sesuatu,” kata Tobias menyandarkan kepalanya di dinding seraya memandangku. “Lalu, entah bagaimana kami membahas soal lempar pisau.”

“Seperti yang sering kali terjadi,” kataku, senyum simpul berkembang di wajahku.

Tobias tampak begitu santai, dengan kepala bersandar dan lengan bertengger di lututnya. Kami saling bertatapan sedikit lebih lama. Caleb berdeham.

“Omong-omong, aku harus kembali ke kamarku,” kata Caleb sambil memandang Tobias, aku, lalu ke Tobias lagi. “Aku sedang membaca buku tentang sistem penyaringan air. Anak yang memberikan buku itu kepadaku memandangku seakan-akan aku gila karena ingin membacanya. Kurasa buku itu buku manual reparasi, tapi menarik.” Ia berhenti sejenak. “Maaf. Mungkin kalian juga berpikir aku ini gila.”

“Sama sekali tidak,” ujar Tobias berpura-pura tulus. “Mungkin sebaiknya kau juga membaca buku manual itu, Tris. Tampaknya kau bakal suka.”

“Aku bisa meminjamkannya kepadamu,” Caleb menanggapi.

“Mungkin nanti,” aku berkilah. Saat Caleb menutup pintu, aku memandang Tobias dengan jengkel.

“Terima kasih,” kataku. “Sekarang, ia bakal mengoceh mengenai penyaringan air dan cara kerjanya. Walaupun kurasa mungkin aku akan lebih menyukai itu dibandingkan apa yang ingin dibicarakannya denganku.”

“Oh? Apa itu?” Tobias mengangkat alisnya. “Aquaponics?”

Aqua-apa?”

“Itu salah satu cara mereka menumbuhkan makanan di sini. Kau tak ingin mengetahuinya.”

“Kau benar, aku memang tak mau tahu,” aku menjawab. “Jadi, Caleb ke sini untuk bicara padamu tentang apa?”

“Kau,” sahut Tobias. “Kurasa semacam petuah dari seorang kakak. ‘Jangan main-main dengan adikku’ dan sejenisnya.”

Ia bangkit.

“Lalu kau bilang apa?”

Tobias mendekatiku.

“Aku bercerita apa yang menyebabkan kita jadi dekat—di situlah lempar pisau muncul,” jelasnya, “dan aku bilang aku tidak main-main.”

Aku merasa sekujur tubuhku hangat. Tobias memegang merangkulku, lalu menekan tubuhku pelan ke pintu. Menciumku.


Aku tak ingat mengapa aku datang ke sini.

No comments:

Post a Comment