Penulis : Veronica Roth
“... bingung dengan waktu penyerangan ini,” kata Johanna.
“Apakah itu berarti Jeanine akhirnya sudah selesai menyusun rencana, lalu
bertindak? Atau apakah ada insiden pemicu atau semacamnya?”
Dari batang pohon yang bercabang, aku bisa melihat wajah
Marcus. Ia mengatupkan bibirnya dan berkata, “Hmmm.”
“Kurasa kita tak akan pernah tahu.” Johanna mengangkat
alisnya yang utuh. “Iya, kan?”
“Tidak, mungkin tidak.”
Johanna meletakkan tangannnya di lengan Marcus dan memandang
pria itu. Aku mematung, takut Johanna melihatku, tapi ia hanya memandang
Marcus. Aku berjongkok dan merangkak menuju salah satu pohon dan bersembunyi di
balik batangnya. Batang itu menggelitik punggungku, tapi aku tak bergerak.
“Tapi kau tahu,”
ujar Johanna. “Kau tahu alasan Jeanine menyerang. Aku mungkin bukan seorang
Candor lagi, tapi aku masih mampu mengetahui kapan seseorang merahasiakan
sesuatu dariku.”
“Rasa ingin tahu itu egois, Johanna.”
Andai aku ini Johanna, aku pasti akan membentak Marcus
karena berkomentar seperti itu. Namun, Johanna hanya berkata dengan lembut.
“Faksiku memerlukanku untuk menasihati mereka. Jika kau mengetahui informasi
yang begitu penting seperti ini, aku juga harus mengetahuinya agar bisa
membagikan informasi itu kepada mereka. Aku yakin kau bisa memahami itu,
Marcus.”
“Ada alasannya mengapa kau tidak mengetahui semua yang
kuketahui. Dulu sekali, sebuah informasi sensitif dipercayakan kepada faksi
Abnegation,” jelas Marcus. “Jeanine menyerang kami untuk mencuri informasi itu.
Jika aku tidak hati-hati, ia akan menghancurkannya. Hanya itu yang bisa
kukatakan kepadamu.”
“Tapi tentunya—”
“Tidak,” Marcus memotong kata-kata Johanna. “Informasi ini
jauh lebih penting daripada apa yang kau bayangkan. Para pemimpin kota ini
kehilangan nyawa demi melindungi informasi ini dari Jeanine. Aku tak akan
mengacaukan itu hanya demi memuaskan rasa ingin tahumu yang egois.”
Johanna terdian selama beberapa detik. Langit semakin gelap
sehingga aku nyaris tak bisa melihat tanganku sendiri. Udara berbau seperti
tanah dan apel, dan aku berusaha untuk tidak bernapas terlalu keras.
“Maaf,” kata Johanna. “Aku pasti telah melakukan sesuatu
yang membuatmu merasa bahwa aku ini tak dapat dipercaya.”
“Terakhir kalinya aku memercayakan informasi ini kepada
seorang perwakilan faksi, seluruh temanku dibunuh,” jawab Marcus. “Sekarang,
aku tak percaya siapa pun.”
Karena tak mampu menahan rasa penasaran, aku memajukan tubuh
agar bisa melihat dari balik batang pohon. Marcus maupun Johanna terlalu
tenggelam dalam percakapan mereka sehingga tidak menyadari adanya gerakan.
Mereka berdekatan, tapi tidak bersentuhan. Aku tak pernah melihat Marcus
selelah itu atau Johanna semarah itu. Namun kemudian, wajah Johanna melunak,
dan ia menyentuh lengan Marcus lagi, kali ini sambil membelainya lembut.
“Untuk mencapai kedamaian, pertama-tama kita harus percaya,”
ujar Johanna. “Jadi kuharap kau berubah pikiran. Ingatlah aku ini selalu
menjadi temanmu, Marcus, bahkan saat kau tak punya banyak teman untuk diajak
bicara.”
Johanna mendekat dan mengecup pipi Marcus, lalu berjalan ke
ujung kebun. Marcus berdiri selama beberapa detik, tampak terkesima, lalu mulai
bergerak menuju kompleks hunian.
Kejadian setengah jam terakhir itu berdengung di benakku.
Kukira Jeanine menyerang faksi Abnegation demi kekuasaan, tapi ternyata ia
menyerang untuk mencuri informasi—indormasi yang hanya diketahui oleh faksi
Abnegation.
Lalu, dengungan itu berhenti saat aku teringat kata-kata
Marcus yang lain: Para pemimpin kota ini
mempertaruhkan nyawa mereka demi melindungi informasi ini. apakah ayahku
salah satunya?
Aku harus tahu. Aku harus mencari tahu hal apa yang begitu
penting itu sehingga Abnegation rela mempertaruhkan nyawa mereka—dan faksi
Erudite rela membunuh.
***
Aku diam sejenak sebelum mengetuk pintu kamar Tobias dan
mendengarkan suara-suara di dalam sana.
“Bukan, bukan begitu,”
kata Tobias disela tawa.
“Apa maksudmu, ‘bukan begitu’? Aku menirumu dengan
sempurna.” Suara kedua itu milik Caleb.
“Tidak.”
“Yah, kalau begitu coba lakukan lagi.”
Aku mendorong pintu hingga terbuka saat Tobias, yang duduk
di lantai dengan satu tungkai terjulur, melemparkan pisau mentega ke dinding
seberang. Pisau itu menancap, dengan gagang di luar, pada sepotong keju yang
mereka letakkan di atas lemari pendek. Caleb, yang berdiri di samping Tobias,
menatap tak percaya, pertama ke keju itu lalu ke arahku.
“Tolong bilang bahwa ia ini semacam anak ajaib Dauntless,”
pinta Caleb. “Apakah kau juga bisa melakukannya?”
Caleb tampak lebih baik dibandingkan tadi—matanya tidak
merah lagi dan ada binar rasa ingin tahu di sana, seolah ia kembali tertarik
terhadap dunia. Rambut cokelatnya berantakan dan kancing kemejanya terpasang di
lubang yang salah. Kakakku ini tampan dengan caranya yang ceroboh, seakan-akan
ia memang selalu tak tahu seperti apa tampangnya.
“Dengan tangan kanan, mungkin,” aku menenangkannya. “Tapi
ya, Four memang semacam anak ajaib
Dauntless. Boleh aku tahu kenapa kalian
melemparkan pisau ke keju?”
Tobias menatap mataku saat mendengar kata “Four”. Caleb tidak
tahu Tobias tampil sempurna sepanjang waktu saat menggunakan nama julukannya
ini.
“Caleb mampir untuk membahas sesuatu,” kata Tobias
menyandarkan kepalanya di dinding seraya memandangku. “Lalu, entah bagaimana
kami membahas soal lempar pisau.”
“Seperti yang sering kali terjadi,” kataku, senyum simpul
berkembang di wajahku.
Tobias tampak begitu santai, dengan kepala bersandar dan
lengan bertengger di lututnya. Kami saling bertatapan sedikit lebih lama. Caleb
berdeham.
“Omong-omong, aku harus kembali ke kamarku,” kata Caleb
sambil memandang Tobias, aku, lalu ke Tobias lagi. “Aku sedang membaca buku
tentang sistem penyaringan air. Anak yang memberikan buku itu kepadaku
memandangku seakan-akan aku gila karena ingin membacanya. Kurasa buku itu buku
manual reparasi, tapi menarik.” Ia berhenti sejenak. “Maaf. Mungkin kalian juga
berpikir aku ini gila.”
“Sama sekali tidak,” ujar Tobias berpura-pura tulus.
“Mungkin sebaiknya kau juga membaca
buku manual itu, Tris. Tampaknya kau bakal suka.”
“Aku bisa meminjamkannya kepadamu,” Caleb menanggapi.
“Mungkin nanti,” aku berkilah. Saat Caleb menutup pintu, aku
memandang Tobias dengan jengkel.
“Terima kasih,” kataku. “Sekarang, ia bakal mengoceh
mengenai penyaringan air dan cara kerjanya. Walaupun kurasa mungkin aku akan
lebih menyukai itu dibandingkan apa yang ingin dibicarakannya denganku.”
“Oh? Apa itu?” Tobias mengangkat alisnya. “Aquaponics?”
“Aqua-apa?”
“Itu salah satu cara mereka menumbuhkan makanan di sini. Kau
tak ingin mengetahuinya.”
“Kau benar, aku memang tak mau tahu,” aku menjawab. “Jadi,
Caleb ke sini untuk bicara padamu tentang apa?”
“Kau,” sahut Tobias. “Kurasa semacam petuah dari seorang
kakak. ‘Jangan main-main dengan adikku’ dan sejenisnya.”
Ia bangkit.
“Lalu kau bilang apa?”
Tobias mendekatiku.
“Aku bercerita apa yang menyebabkan kita jadi dekat—di
situlah lempar pisau muncul,” jelasnya, “dan aku bilang aku tidak main-main.”
Aku merasa sekujur tubuhku hangat. Tobias memegang
merangkulku, lalu menekan tubuhku pelan ke pintu. Menciumku.
Aku tak ingat mengapa aku datang ke sini.
No comments:
Post a Comment