Insurgent (Divergent #2) (3)

Penulis : Veronica Roth

Airnya dingin sehingga aku tak menginginkan waktu tambahan andaipun bisa mendapatkannya. Aku mandi dengan cepat menggunakan tangan kiri, membiarkan lengan kananku tergantung di samping. Obat pereda nyeri yang Tobias berikan kepadaku bekerja dengan cepat—rasa sakit di bahuku sudah memudar menjadi denyut tumpul.

Saat keluar dari pancuran, setumpuk pakaian telah menanti di tempat tidurku. Ada yang berwarna kuning dan merah, dari Amity, dan ada yang berwarna kelabu, dari faksi Abnegation. Aku jarang melihat warna-warna itu berdampingan. Jika harus menebak, kurasa salah seorang Abnegation meletakkan pakaian itu di sana untukku. Mereka pasti bakal melakukan itu.

Aku mengambil celana jins merah gelap yang begitu panjang sehingga harus kugulung tiga kali—dan kaus Abnegation abu-abu yang terlalu besar untukku. Lengan bajunya mencapai ujung jariku sehingga aku harus menggulungnya juga. Tangan kananku sakit jika digerakkan, jadi aku berusaha bergerak sedikit-sedikit dan pelan-pelan.

Seseorang mengetuk pintu. “Beatrice?” Suara lembut itu milik Susan.

Aku membukakan pintu. Susan membawa nampan berisi makanan yang diletakkan di atas tempat tidur. Aku mencari-cari tanda kehilangan di wajahnya—ayahnya, pemimpin Abnegation, tidak selamat dari serangan—tapi yang kutemukan hanyalah ketenangan yang mantap, khas faksi lamaku.

“Maaf pakaiannya tidak pas,” katanya. “Aku yakin kami bisa menemukan yang lebih baik untukmu jika faksi Amity mengizinkan kita tinggal.”

“Ini bagus, kok,” kataku. “Terima kasih.”

“Aku dengar kau tertembak. Apakah kau memerlukan bantuanku untuk menata rambut? Atau sepatumu?”

Aku hendak menolak, tapi aku benar-benar memerlukan pertolongan.

“Ya, terima kasih.”

Aku duduk di bangku di depan cermin dan Susan berdiri di belakangku. Matanya hanya menatap apa yang ia lakukan tanpa memandang bayangannya. Saat menyisir rambutku, kedua matanya tidak terangkat. Bahkan sekejap pun. Ia juga tidak bertanya tentang bahuku, mengapa aku tertembak, dan apa yang terjadi setelah aku meninggalkan rumah aman Abengation untuk menghentikan simulasi. Aku merasa jika bisa mengupasnya sampai ke inti, setiap lapisa diri Susan pastilah menunjukkan ia itu seorang Abnegation.

“Sudah bertemu Robert?” tanyaku. Kakak Susan, Robert, memilih Amity ketika aku memilih Dauntless, jadi ia pasti ada di suatu tempat di kompleks ini. aku penasaran apakah pertemuan mereka seperti pertemuanku dan Caleb.

“Sebentar, tadi malam,” jawan Susan. “Aku meninggalkannya untuk bersedih bersama faksinya sementara aku berduka bersama faksiku. Aku senang ebrtemu Robert lagi.”

Aku menangkap ketegasan dalam suaranya yang menyiratkan topik ditutup.

“Sayang sekali kejadiannya seperti ini,” lanjut Susan. “Padahal, pemimpin kita bakal melakukan sesuatu yang luar biasa.”

“Oh, ya? Apa?”

“Aku tak tahu.” Susan merona. “Yang kutahu cuma sesuatu sedang terjadi. Bukannya curiga, tapi aku memperhatikan ada sesuatu yang terjadi.”

“Aku tak akan menyalahkan kalaupun kau curiga.”

Susan mengangguk dan terus menyisir. Aku penasaran apa yang seang dilakukan oleh para pemimpin Abnegation—temasuk ayahku. Dan aku benar-benar mengagumi asumsi Susan bahwa apa pun yan gmereka lakukan itu luar biasa. Andai saja aku bisa memercayai tindakan orang lagi.

Andai dulu juga begitu.

“Rambut Dauntless digerai, kan?” tanyanya.

“Kadang-kadang,” jawabku. “Kau tahu cara mengepang?”

Jari-jari Susan yang cekatan menata rambutku menjadi satu kepangan seraya membuat bagian tengah tulang punggungku terasa geli. Aku menatap bayanganku lekat-lekat hingga Susan selesai. Sesudah itu, aku mengucapkan terima kasih dan Susan pun pergi sambil tersenyum dan menutup pintu.

Aku terus menatap, tapi tak melihat diriku sendiri. Aku masih bisa merasakan jari-jari Susan menyapu tengkukku, begitu mirip dengan jari-jari ibuku pada pagi terakhirku bersamanya. Dengan mata berlinang, aku berayun ke depan dan ke belakang di bangku, berusaha mengenyahkan kenangan itu dari benakku. Aku takut jika mulai menangis, maka tangisanku tak akan berhenti hingga tubuhku mengerut seperti kismis.

Aku melihat alat jahit-menjahit di lemari. Di dalamnya ada dua benang berwarna, merah dan kuning, serta gunting.

Aku merasa tenang saat menggerai kepanganku dan menyisirnya lagi. Lalu, rambutku kubagi tepat di tengah serta memastikannya lurus dan rata. Aku mengatupkan gunting di rambutku di dekat dagu.

Bisakah aku tetap tampak sama, padahal ibuku telah tiada dan segalanya berubah? Tidak.

Aku menggunting selurus mungkin, menggunakan rahanku sebagai panduan. Bagian paling sulit adalah bagian belakang, yang tak bisa kulihat dengan baik, hadi aku melakukan sebisaku dengan mengandalkan sentuhan dan bukan penglihatan. Helaian rambut pirang mengelilingiku di lantai, membentuk setengah lingkaran.

Lalu, aku meninggalkan kamar tanpa memandang bayanganku lagi.

***
 Saat Tobias dan Caleb menjemputku, mereka menatap seolah-olah aku bukan orang mereka lihat kemarin.

“Kau memotong rambutmu,” komentar Caleb, dengan alis terangkat. Memperlihatkan fakta sepele walaupun sedang kaget, sangat khas Erudite. Rambut Caleb melekat di satu sisi yang ditidurinya dan matanya merah.

“Ya,” kataku. “Rambut panjang ... panas.”

“Oh.”

Kami bersama-sama menyusuri koridor. Lantai kayunya berderak di bawah kaki kami. Aku merindukan gema langkahku di kompleks Dauntless. Aku merindukan udara bawah tanah yang dingin. Tapi yang paling kurindukan adalah rasa takut pada minggu-minggu terakhir pelatihan Dauntless, yang tampak kecil dibandingkan rasa takutku saat ini.

Kami keluar dari bangunan itu. Udara luar menekanku seakan-akan ada bantal yang dibekapkan di hidungku. Aromanya hijau, seperti daun yang disobek.

“Apakah semua orang tahu kau anak Marcus?” tanya Caleb. “Faksi Abnegation, maksudku?”

“Setahuku sih tidak,” jawab Tobias sambil melirik Caleb. “Dan aku akan senang kalau kau tidak menyebut-nyebutnya.”

“Aku tak perlu menyebutnya. Semua orang yang punya mata bisa melihat sendiri.” Caleb mengernyit memandang Tobias. “Omong-omong, umurmu berapa?”

“Delapan belas.”

“Apakah menurutmu kau tidak terlalu tua untuk adik kecilku?”

Tobias terkekeh singkat. “Ia bukan apa pun kecilmu.”

“Hentikan. Kalian berdua,” kataku. Serombongan orang berbaju kuning berjalan di depan kami menuju bangunan besar pendek yang seluruhnya terbuat dari kaca. Cahaya matahari yang terpantul dari jendela-jendelanya membuatku silau. Aku memayungi wajah dengan tangan dan terus berjalan.

Pintu-pintu menuju bangunan itu terbuka lebar. Di pinggiran rumah kaca yang bundar itu, tumbuhan dan pepohonan tumbuh di palung-palung air atau kolam-kolam kecil. Lusinan kipas angin yang dipasang di segala penjuru ruangan hanya berfungsi untuk meniupkan udara panas, jadi aku langsung berkeringat. Tapi, rasa panas lenyap dari benakku saat kerumunan di sekitarku menipis sehingga aku bisa melihat bagian lain ruangan ini.

Di bagian tengah ruangan tumbuhlah sebuah pohon raksasa. Cabang-cabangnya menyebar hampir ke segala penjuru rumah kaca itu dan akar-akarnya menonjol dari tanah, membentuk jalinan kulit kayu yang rapat. Di celah antara akar-akar, aku melihat air dan bukannya tanah serta batang-batang logam yang menahan akar itu di tempat. Seharusnya aku tidak kaget. Faksi Amity menghabiskan hidup mereka untuk mencapai prestasi agrikultur seperti ini, dengan bantuan teknologi faksi Erudite.



No comments:

Post a Comment