Penulis : Veronica Roth
Airnya dingin sehingga aku tak menginginkan waktu tambahan
andaipun bisa mendapatkannya. Aku mandi dengan cepat menggunakan tangan kiri,
membiarkan lengan kananku tergantung di samping. Obat pereda nyeri yang Tobias
berikan kepadaku bekerja dengan cepat—rasa sakit di bahuku sudah memudar
menjadi denyut tumpul.
Saat keluar dari pancuran, setumpuk pakaian telah menanti di
tempat tidurku. Ada yang berwarna kuning dan merah, dari Amity, dan ada yang
berwarna kelabu, dari faksi Abnegation. Aku jarang melihat warna-warna itu
berdampingan. Jika harus menebak, kurasa salah seorang Abnegation meletakkan
pakaian itu di sana untukku. Mereka pasti bakal melakukan itu.
Aku mengambil celana jins merah gelap yang begitu panjang
sehingga harus kugulung tiga kali—dan kaus Abnegation abu-abu yang terlalu
besar untukku. Lengan bajunya mencapai ujung jariku sehingga aku harus
menggulungnya juga. Tangan kananku sakit jika digerakkan, jadi aku berusaha
bergerak sedikit-sedikit dan pelan-pelan.
Seseorang mengetuk pintu. “Beatrice?” Suara lembut itu milik
Susan.
Aku membukakan pintu. Susan membawa nampan berisi makanan
yang diletakkan di atas tempat tidur. Aku mencari-cari tanda kehilangan di
wajahnya—ayahnya, pemimpin Abnegation, tidak selamat dari serangan—tapi yang
kutemukan hanyalah ketenangan yang mantap, khas faksi lamaku.
“Maaf pakaiannya tidak pas,” katanya. “Aku yakin kami bisa
menemukan yang lebih baik untukmu jika faksi Amity mengizinkan kita tinggal.”
“Ini bagus, kok,” kataku. “Terima kasih.”
“Aku dengar kau tertembak. Apakah kau memerlukan bantuanku
untuk menata rambut? Atau sepatumu?”
Aku hendak menolak, tapi aku benar-benar memerlukan
pertolongan.
“Ya, terima kasih.”
Aku duduk di bangku di depan cermin dan Susan berdiri di
belakangku. Matanya hanya menatap apa yang ia lakukan tanpa memandang
bayangannya. Saat menyisir rambutku, kedua matanya tidak terangkat. Bahkan
sekejap pun. Ia juga tidak bertanya tentang bahuku, mengapa aku tertembak, dan
apa yang terjadi setelah aku meninggalkan rumah aman Abengation untuk
menghentikan simulasi. Aku merasa jika bisa mengupasnya sampai ke inti, setiap
lapisa diri Susan pastilah menunjukkan ia itu seorang Abnegation.
“Sudah bertemu Robert?” tanyaku. Kakak Susan, Robert,
memilih Amity ketika aku memilih Dauntless, jadi ia pasti ada di suatu tempat
di kompleks ini. aku penasaran apakah pertemuan mereka seperti pertemuanku dan
Caleb.
“Sebentar, tadi malam,” jawan Susan. “Aku meninggalkannya
untuk bersedih bersama faksinya sementara aku berduka bersama faksiku. Aku
senang ebrtemu Robert lagi.”
Aku menangkap ketegasan dalam suaranya yang menyiratkan
topik ditutup.
“Sayang sekali kejadiannya seperti ini,” lanjut Susan.
“Padahal, pemimpin kita bakal melakukan sesuatu yang luar biasa.”
“Oh, ya? Apa?”
“Aku tak tahu.” Susan merona. “Yang kutahu cuma sesuatu
sedang terjadi. Bukannya curiga, tapi aku memperhatikan ada sesuatu yang
terjadi.”
“Aku tak akan menyalahkan kalaupun kau curiga.”
Susan mengangguk dan terus menyisir. Aku penasaran apa yang
seang dilakukan oleh para pemimpin Abnegation—temasuk ayahku. Dan aku
benar-benar mengagumi asumsi Susan bahwa apa pun yan gmereka lakukan itu luar
biasa. Andai saja aku bisa memercayai tindakan orang lagi.
Andai dulu juga begitu.
“Rambut Dauntless digerai, kan?” tanyanya.
“Kadang-kadang,” jawabku. “Kau tahu cara mengepang?”
Jari-jari Susan yang cekatan menata rambutku menjadi satu
kepangan seraya membuat bagian tengah tulang punggungku terasa geli. Aku
menatap bayanganku lekat-lekat hingga Susan selesai. Sesudah itu, aku
mengucapkan terima kasih dan Susan pun pergi sambil tersenyum dan menutup
pintu.
Aku terus menatap, tapi tak melihat diriku sendiri. Aku
masih bisa merasakan jari-jari Susan menyapu tengkukku, begitu mirip dengan
jari-jari ibuku pada pagi terakhirku bersamanya. Dengan mata berlinang, aku
berayun ke depan dan ke belakang di bangku, berusaha mengenyahkan kenangan itu
dari benakku. Aku takut jika mulai menangis, maka tangisanku tak akan berhenti
hingga tubuhku mengerut seperti kismis.
Aku melihat alat jahit-menjahit di lemari. Di dalamnya ada
dua benang berwarna, merah dan kuning, serta gunting.
Aku merasa tenang saat menggerai kepanganku dan menyisirnya
lagi. Lalu, rambutku kubagi tepat di tengah serta memastikannya lurus dan rata.
Aku mengatupkan gunting di rambutku di dekat dagu.
Bisakah aku tetap tampak sama, padahal ibuku telah tiada dan
segalanya berubah? Tidak.
Aku menggunting selurus mungkin, menggunakan rahanku sebagai
panduan. Bagian paling sulit adalah bagian belakang, yang tak bisa kulihat
dengan baik, hadi aku melakukan sebisaku dengan mengandalkan sentuhan dan bukan
penglihatan. Helaian rambut pirang mengelilingiku di lantai, membentuk setengah
lingkaran.
Lalu, aku meninggalkan kamar tanpa memandang bayanganku
lagi.
***
Saat Tobias dan Caleb
menjemputku, mereka menatap seolah-olah aku bukan orang mereka lihat kemarin.
“Kau memotong rambutmu,” komentar Caleb, dengan alis
terangkat. Memperlihatkan fakta sepele walaupun sedang kaget, sangat khas
Erudite. Rambut Caleb melekat di satu sisi yang ditidurinya dan matanya merah.
“Ya,” kataku. “Rambut panjang ... panas.”
“Oh.”
Kami bersama-sama menyusuri koridor. Lantai kayunya berderak
di bawah kaki kami. Aku merindukan gema langkahku di kompleks Dauntless. Aku
merindukan udara bawah tanah yang dingin. Tapi yang paling kurindukan adalah
rasa takut pada minggu-minggu terakhir pelatihan Dauntless, yang tampak kecil
dibandingkan rasa takutku saat ini.
Kami keluar dari bangunan itu. Udara luar menekanku
seakan-akan ada bantal yang dibekapkan di hidungku. Aromanya hijau, seperti
daun yang disobek.
“Apakah semua orang tahu kau anak Marcus?” tanya Caleb.
“Faksi Abnegation, maksudku?”
“Setahuku sih tidak,” jawab Tobias sambil melirik Caleb.
“Dan aku akan senang kalau kau tidak menyebut-nyebutnya.”
“Aku tak perlu menyebutnya. Semua orang yang punya mata bisa
melihat sendiri.” Caleb mengernyit memandang Tobias. “Omong-omong, umurmu
berapa?”
“Delapan belas.”
“Apakah menurutmu kau tidak terlalu tua untuk adik kecilku?”
Tobias terkekeh singkat. “Ia bukan apa pun kecilmu.”
“Hentikan. Kalian berdua,” kataku. Serombongan orang berbaju
kuning berjalan di depan kami menuju bangunan besar pendek yang seluruhnya
terbuat dari kaca. Cahaya matahari yang terpantul dari jendela-jendelanya
membuatku silau. Aku memayungi wajah dengan tangan dan terus berjalan.
Pintu-pintu menuju bangunan itu terbuka lebar. Di pinggiran
rumah kaca yang bundar itu, tumbuhan dan pepohonan tumbuh di palung-palung air
atau kolam-kolam kecil. Lusinan kipas angin yang dipasang di segala penjuru
ruangan hanya berfungsi untuk meniupkan udara panas, jadi aku langsung
berkeringat. Tapi, rasa panas lenyap dari benakku saat kerumunan di sekitarku
menipis sehingga aku bisa melihat bagian lain ruangan ini.
Di bagian tengah ruangan tumbuhlah sebuah pohon raksasa.
Cabang-cabangnya menyebar hampir ke segala penjuru rumah kaca itu dan
akar-akarnya menonjol dari tanah, membentuk jalinan kulit kayu yang rapat. Di
celah antara akar-akar, aku melihat air dan bukannya tanah serta batang-batang
logam yang menahan akar itu di tempat. Seharusnya aku tidak kaget. Faksi Amity
menghabiskan hidup mereka untuk mencapai prestasi agrikultur seperti ini,
dengan bantuan teknologi faksi Erudite.
No comments:
Post a Comment