Penulis : Veronica Roth
Johanna Reyes berdiri di atas gundukan akar dengan rambut
menjuntai menutuip sebagian berkas luka di wajahnya. Aku sudah belajar dari
Sejarah Faksi bahwa faksi Amitu tidak memiliki pemimpin resmi—mereka mengadakan
pemungutan suara dalam segala hal, dan biasanya hasilnya nyaris bulat. Faksi
Amity itu bagaikan banyak bagian dengan satu pikiran, dan Johanna adalah juru
bicara mereka.
Para Amity duduk di lantai, kebanyakan bersila, di atas
bonggol kayu atau akar pohon. Faksi Abnegation duduk berbaris dengan rapat
beberapa meter di sebelah kiriku. Mataku mencari-cari di kerumunan itu selama
beberapa detik sebelum aku menyadari apa yang kucari: orangtuaku.
Aku menelan ludah dan berusaha melupakannya. Tobias
menyentuh punggungku, menuntunku ke pinggir area rapat, di belakang faksi
Abnegation. Sebelum kami duduk, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan
berkata, “Aku suka rambutmu.”
Aku tersenyum kecil dan bersandar padanya saat duduk, lengan
kami bersentuhan.
Johanna mengangkat tangan dan menunduk. Semua percakapan di
ruangan itu reda sebelum aku sempat menarik napas lagi. Para Amity di
sekelilingku duduk tanpa bicara, sebagian dengan mata tertutup, sebagian dengan
bibir bergerak mengucapkan kata-kata yang tak dapat kudengar, dan sebagian
memandang ke satu titik yang jauh.
Setiap detik terasa begitu lama. Saat Johanna mengangkat
kepalanya, aku merasa lemas hingga ke tulang-tulang.
“Hari ini kita dihadapkan pada satu pertanyaan penting,”
kata Johanna, “yaitu: Sebagai masyarakat yang menjunjung kedamaian, apa yang
harus kita lakukan pada masa konflik ini?”
Setiap Amity di ruangan ini memandang orang yang duduk di
sampingnya dan mulai bicara.
“Bagaimana cara mereka menyelesaikan sesuatu?” tanyaku saat
suara-suara percakapan semakin menghangat.
“Mereka tidak peduli dengan efisiensi,” jawab Tobias. “Yang
mereka pedulikan hanya kesepakatan. Lihat.”
Dua wanita berbaju kuning yang berada beberapa langkah
dariku berdiri dan bergabung dengan tiga orang pria. Seorang pemuda bergeser
sehingga lingkarannya yang kecil menjadi lebih besar karena bergabung dengan
kelompok yang ada di sebelahnya. Di segala penjuru ruangan, kelompok-kelompok
kecil membesar dan melebar, dan suara-suara yang memenuhi ruangan semakin
sedikit, hingga hanya ada tiga atau empat kelompok besar sekarang. aku hanya
bisa mendengar potongan-potongan kata-kata mereka:
“Kedamaian—Dauntless—Erudite—rumah perlindungan—keterlibatan—”
“Ini aneh,” kataku.
“Kupikir ini indah,” ujar Tobias.
Aku memandangnya heran.
“Apa?” Ia terkekeh. “Setiap orang Amitu memiliki peran yang
sama dalam pemerintahan. Mereka semua merasakan tanggung jawab yang sama. Dan
itu membuat mereka peduli. Itu membuat mereka baik hati. Aku rasa ini indah.”
“Menurutku ini tidak stabil,” kataku. “Tentu saja, yang seperti
ini berfungsi bagi faksi Amity. Tapi, apa yang terjadi jika tak semua orang
ingin memetik banjo dan bercocok tanam? Apa yang terjadi saat seseorang
melakukan sesuatu yang buruk dan mendiskusikannya pun tak dapat memecahkan
masalah?”
Tobias mengangkat bahu. “Kurasa kita akan mengetahuinya.”
Akhirnya, seseorang dari setiap kelompok besar berdiri dan
berjalan dengan hati-hati menghampiri Johanna. Aku berharap mereka menegur
kami, tapi mereka justru berdiri di lingkaran bersama Johanna dan juru bicara
lainnya serta berbicara dengan pelan. Aku mulai merasa tak akan pernah tahu apa
yang mereka katakan.
“Mereka tak akan membiarkan kita membantah mereka, ya?”
tanyaku.
Habislah kami.
Ketika semua orang sudah mengutarakan isi hatinya, mereka
duduk kembali, meninggalkan Johanna sendirian di tengah ruangan. Ia memutar
tubuhnya ke arah kami dan melipat tangannya di dada. Kami harus ke mana jika
mereka menyuruh kami pergi? Kembali ke kota, yang tidak memiliki tempat aman?
“Faksi Amity memiliki hubungan erat dengan faksi Erudite
sejak lama, sepanjang yang bisa diingat. Kami saling membutuhkan untuk bertahan
hidup, dan selalu bekerja sama,” kata Johanna. “Tapi, di masa lalu kami juga
memiliki hubungan erat dengan faksi Abnegation, dan kami pikir memutuskan
persahabatan yang sudah begitu lama terjalin tidaklah benar apabila diputuskan
begitu saja.”
Suaranya semanis madu, dan gerakannya juga mirip madu, palan
dan hati-hati. Aku mengusap keringat dari garis rambutku dengan punggung
tangan.
“Kami rasa satu-satunya cara untuk mempertahankan hubungan
kami dengan kedua faksi tersebut adalah dengan tetap tidak memihak dan tidak
terlibat,” lanjut Johanna. “Meskipun kami menyambut kedatangan kalian,
kehadiran kalian di sini memperumitnya.”
Ini dia, pikirku.
“Kami memutuskan untuk menjadikan markas besar faksi kami
sebagai rumah perlindungan yang ama bagi setiap anggota dari semua faksi,”
jelasnya, “dengan sejumlah ketentuan. Pertama,
tidak ada senjata apa pun diizinkan di kompleks ini. Yang kedua adalah jika ada suatu konflik serius yang muncul, baik lisan
maupun fisik, semua pihak yang terlibat akan diminta pergi. Ketiga, konflik itu tak boleh dibahas,
bahkan secara pribadi, di dalam kompleks ini. dan yang keempat, semua orang yang tinggal di sini harus berkontribusi pada
kesejahteraan lingkungan di kompleks ini dengan bekerja. Kami akan segera
melaporkan ini ke faksi Erudite, Candor, dan Dauntless.”
Tatapan Johanna beralih ke Tobias dan aku.
“Kalian boleh tinggal di sini jika dan hanya jika kalian
bisa mematuhi aturan kami,” katanya. “Begitulah keputusan kami.”
Aku teringat pistol yang kusembunyikan di bawah kasurku,
juga ketegangan antara aku dan Peter, serta Tobias dan Marcus. Mulutku terasa
kering. Aku tidak pintar menghindari konflik.
“Kita tak bakal bisa tinggal lama-lama di sini,” bisikku
kepada Tobias.
Sesaat lalu, Tobias masih tersenyum samar. Sekarang, ujung
bibirnya turun dan ia mengerutkan kening. “Tidak, kita tak akan bisa.”[]
3
Malam itu aku kembali ke kamarku dan menyelipkan tangan ke
bawah kasur untuk memastikan pistol itu masih di sana. Jari-jariku menyentuh
pelatuknya, dan kerongkonganku tersekat seakan-akan aku mengalami reaksi
alergi. Aku menarik tanganku dan berlutut di tepi tempat tidur, menarik napas
dengan susah payah hingga perasaan itu hilang.
Ada apa denganmu?
Kugelengkan kepala kuat-kuat. Kuatkan
dirimu.
Jadi begitulah, aku seolah mengumpulkan bagian-bagian diriku
dan mengikatnya jadi satu seperti mengikat sepatu. Aku merasa sesak napas, tapi
setidaknya aku merasa kuat.
Kilasan gerakan tampak di sudut mataku sehingga aku
memandang ke luar jendela yang menghadap kebun apel. Johanna Reyes dan Marcus
Eaton berjalan berdampingan dan berhenti sejenak di kebun rempah untuk memetik
daun mint. Aku keluar kamat sebelum
sempat memikirkan mengapa aku ingin membuntuti mereka.
Aku berlari melintasi bangunan agar tidak kehilangan mereka.
Begitu tiba di luar, aku harus lebih berhati-hati. Aku berjalan mengitari sisi
jauh rumah kaca. Setelah melihat Johanna dan Marcus menghilang di balik salah
satu deretan pohon, aku berjalan sambil merunduk di bawah deretan pohon di
sebelahnya, berharap cabang-cabang akan menyembunyikanku jika salah satu dari
mereka menengok ke belakang.
No comments:
Post a Comment