Insurgent (Divergent #2) (4)

Penulis : Veronica Roth

Johanna Reyes berdiri di atas gundukan akar dengan rambut menjuntai menutuip sebagian berkas luka di wajahnya. Aku sudah belajar dari Sejarah Faksi bahwa faksi Amitu tidak memiliki pemimpin resmi—mereka mengadakan pemungutan suara dalam segala hal, dan biasanya hasilnya nyaris bulat. Faksi Amity itu bagaikan banyak bagian dengan satu pikiran, dan Johanna adalah juru bicara mereka.

Para Amity duduk di lantai, kebanyakan bersila, di atas bonggol kayu atau akar pohon. Faksi Abnegation duduk berbaris dengan rapat beberapa meter di sebelah kiriku. Mataku mencari-cari di kerumunan itu selama beberapa detik sebelum aku menyadari apa yang kucari: orangtuaku.

Aku menelan ludah dan berusaha melupakannya. Tobias menyentuh punggungku, menuntunku ke pinggir area rapat, di belakang faksi Abnegation. Sebelum kami duduk, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berkata, “Aku suka rambutmu.”

Aku tersenyum kecil dan bersandar padanya saat duduk, lengan kami bersentuhan.

Johanna mengangkat tangan dan menunduk. Semua percakapan di ruangan itu reda sebelum aku sempat menarik napas lagi. Para Amity di sekelilingku duduk tanpa bicara, sebagian dengan mata tertutup, sebagian dengan bibir bergerak mengucapkan kata-kata yang tak dapat kudengar, dan sebagian memandang ke satu titik yang jauh.

Setiap detik terasa begitu lama. Saat Johanna mengangkat kepalanya, aku merasa lemas hingga ke tulang-tulang.

“Hari ini kita dihadapkan pada satu pertanyaan penting,” kata Johanna, “yaitu: Sebagai masyarakat yang menjunjung kedamaian, apa yang harus kita lakukan pada masa konflik ini?”

Setiap Amity di ruangan ini memandang orang yang duduk di sampingnya dan mulai bicara.

“Bagaimana cara mereka menyelesaikan sesuatu?” tanyaku saat suara-suara percakapan semakin menghangat.

“Mereka tidak peduli dengan efisiensi,” jawab Tobias. “Yang mereka pedulikan hanya kesepakatan. Lihat.”

Dua wanita berbaju kuning yang berada beberapa langkah dariku berdiri dan bergabung dengan tiga orang pria. Seorang pemuda bergeser sehingga lingkarannya yang kecil menjadi lebih besar karena bergabung dengan kelompok yang ada di sebelahnya. Di segala penjuru ruangan, kelompok-kelompok kecil membesar dan melebar, dan suara-suara yang memenuhi ruangan semakin sedikit, hingga hanya ada tiga atau empat kelompok besar sekarang. aku hanya bisa mendengar potongan-potongan kata-kata mereka: “Kedamaian—Dauntless—Erudite—rumah perlindungan—keterlibatan—”

“Ini aneh,” kataku.

“Kupikir ini indah,” ujar Tobias.

Aku memandangnya heran.

“Apa?” Ia terkekeh. “Setiap orang Amitu memiliki peran yang sama dalam pemerintahan. Mereka semua merasakan tanggung jawab yang sama. Dan itu membuat mereka peduli. Itu membuat mereka baik hati. Aku rasa ini indah.”

“Menurutku ini tidak stabil,” kataku. “Tentu saja, yang seperti ini berfungsi bagi faksi Amity. Tapi, apa yang terjadi jika tak semua orang ingin memetik banjo dan bercocok tanam? Apa yang terjadi saat seseorang melakukan sesuatu yang buruk dan mendiskusikannya pun tak dapat memecahkan masalah?”

Tobias mengangkat bahu. “Kurasa kita akan mengetahuinya.”

Akhirnya, seseorang dari setiap kelompok besar berdiri dan berjalan dengan hati-hati menghampiri Johanna. Aku berharap mereka menegur kami, tapi mereka justru berdiri di lingkaran bersama Johanna dan juru bicara lainnya serta berbicara dengan pelan. Aku mulai merasa tak akan pernah tahu apa yang mereka katakan.

“Mereka tak akan membiarkan kita membantah mereka, ya?” tanyaku.

Habislah kami.

Ketika semua orang sudah mengutarakan isi hatinya, mereka duduk kembali, meninggalkan Johanna sendirian di tengah ruangan. Ia memutar tubuhnya ke arah kami dan melipat tangannya di dada. Kami harus ke mana jika mereka menyuruh kami pergi? Kembali ke kota, yang tidak memiliki tempat aman?

“Faksi Amity memiliki hubungan erat dengan faksi Erudite sejak lama, sepanjang yang bisa diingat. Kami saling membutuhkan untuk bertahan hidup, dan selalu bekerja sama,” kata Johanna. “Tapi, di masa lalu kami juga memiliki hubungan erat dengan faksi Abnegation, dan kami pikir memutuskan persahabatan yang sudah begitu lama terjalin tidaklah benar apabila diputuskan begitu saja.”

Suaranya semanis madu, dan gerakannya juga mirip madu, palan dan hati-hati. Aku mengusap keringat dari garis rambutku dengan punggung tangan.

“Kami rasa satu-satunya cara untuk mempertahankan hubungan kami dengan kedua faksi tersebut adalah dengan tetap tidak memihak dan tidak terlibat,” lanjut Johanna. “Meskipun kami menyambut kedatangan kalian, kehadiran kalian di sini memperumitnya.”

Ini dia, pikirku.

“Kami memutuskan untuk menjadikan markas besar faksi kami sebagai rumah perlindungan yang ama bagi setiap anggota dari semua faksi,” jelasnya, “dengan sejumlah ketentuan. Pertama, tidak ada senjata apa pun diizinkan di kompleks ini. Yang kedua adalah jika ada suatu konflik serius yang muncul, baik lisan maupun fisik, semua pihak yang terlibat akan diminta pergi. Ketiga, konflik itu tak boleh dibahas, bahkan secara pribadi, di dalam kompleks ini. dan yang keempat, semua orang yang tinggal di sini harus berkontribusi pada kesejahteraan lingkungan di kompleks ini dengan bekerja. Kami akan segera melaporkan ini ke faksi Erudite, Candor, dan Dauntless.”

Tatapan Johanna beralih ke Tobias dan aku.

“Kalian boleh tinggal di sini jika dan hanya jika kalian bisa mematuhi aturan kami,” katanya. “Begitulah keputusan kami.”

Aku teringat pistol yang kusembunyikan di bawah kasurku, juga ketegangan antara aku dan Peter, serta Tobias dan Marcus. Mulutku terasa kering. Aku tidak pintar menghindari konflik.

“Kita tak bakal bisa tinggal lama-lama di sini,” bisikku kepada Tobias.

Sesaat lalu, Tobias masih tersenyum samar. Sekarang, ujung bibirnya turun dan ia mengerutkan kening. “Tidak, kita tak akan bisa.”[]

3

Malam itu aku kembali ke kamarku dan menyelipkan tangan ke bawah kasur untuk memastikan pistol itu masih di sana. Jari-jariku menyentuh pelatuknya, dan kerongkonganku tersekat seakan-akan aku mengalami reaksi alergi. Aku menarik tanganku dan berlutut di tepi tempat tidur, menarik napas dengan susah payah hingga perasaan itu hilang.

Ada apa denganmu? Kugelengkan kepala kuat-kuat. Kuatkan dirimu.

Jadi begitulah, aku seolah mengumpulkan bagian-bagian diriku dan mengikatnya jadi satu seperti mengikat sepatu. Aku merasa sesak napas, tapi setidaknya aku merasa kuat.

Kilasan gerakan tampak di sudut mataku sehingga aku memandang ke luar jendela yang menghadap kebun apel. Johanna Reyes dan Marcus Eaton berjalan berdampingan dan berhenti sejenak di kebun rempah untuk memetik daun mint. Aku keluar kamat sebelum sempat memikirkan mengapa aku ingin membuntuti mereka.


Aku berlari melintasi bangunan agar tidak kehilangan mereka. Begitu tiba di luar, aku harus lebih berhati-hati. Aku berjalan mengitari sisi jauh rumah kaca. Setelah melihat Johanna dan Marcus menghilang di balik salah satu deretan pohon, aku berjalan sambil merunduk di bawah deretan pohon di sebelahnya, berharap cabang-cabang akan menyembunyikanku jika salah satu dari mereka menengok ke belakang.

No comments:

Post a Comment