Penulis: Suzanne
Collins
7
Pengaruh serum itu hilang lima jam kemudian, saat matahari
akan terbenam. Tobias mengurungku di kamar selama sisa hari itu dan mengecek
setiap jam. Saat ia masuk kali ini, aku sedang duduk di tempat tidur sambil
menatap dinding.
"Syukurlah," katanya sambil menyandarkan kening ke
pintu. "Aku mulai berpikir pengaruh serum itu tak akn hilang dan aku harus
meninggalkanmu di sini untuk ... mencium bunga, atau apa pun yang ingin kau
lakukan di bawah pengaruh serum itu."
"Kubunuh mereka," aku merutuk. "Akan kubunuh mereka.”
“Tak usah repot-repot. Toh sebentar lagi kita pergi,” ujar
Tobias sambil menutup pintu. Ia mengeluarkan harddisk dari saku belakangnya. “Kurasa kita bisa menyembunyikan
ini dibelakang lemarimu.”
“Tadinya memang kusembunyikan di situ.”
“Yeah, karena
itulah Peter tak akan mencarinya di sana lagi.” Tobias menarik lemari dari
dinding dengan satu tangan, lalu menjejalkan harddisk itu ke belakang lemari dengan tangan yang lain.
“Kenapa aku tak bisa melawan pengaruh serum kedamaian?”
tanyaku. “Kalau otakku cukup aneh sehingga bisa melawan serum simulasi, kenapa
yang ini tidak?”
“Aku tak tahu, sungguh,” Tobias menjawab. Ia mengempaskan
dirinya ke sampingku di tempat tidur, membuat kasur melesak. “Mungkin untuk
melawan serum itu kau harus punya keinginan untuk melawannya.”
“Yah, tentu saja aku mau,”
kataku, frustrasi tapi tidak meyakinkan. Apa benar? Atau apakah menyenangkan
bisa melupakan rasa marah, melupakan sakit, melupakan segalanya selama beberapa
jam?
“Terkadang,” ujar Tobias sambil menggerakkan tangannya untuk
merangkul bahuku, “orang hanya ingin bahagia walaupun tidak nyata.”
Ia benar. Bahkan, saat ini kedamaian di antara kami terwujud
karena kami tidak membicarakan berbagai hal—tentang Will, orangtuaku, aku yang
hampir menembak kepala Tobias, atau Marcus. Aku tak berani mengusik ketenangan
itu dengan kebenaran karena terlalu sibuk bersandar padanya.
“Mungkin kau benar,” kataku pelan.
“Jadi kau mengakuinya?”
Tobias ternganga dan pura-pura kaget. “Tampaknya serum itu ada bagusnya buatmu
...."
Aku mendorongnya sekuat mungkin. “Tarik kembali kata-katamu
itu. Tarik kembali sekarang.”
“Oke, oke!” Ia mengangkat tangan. “Hanya saja .... Aku juga
bukan orang yang perangainya baik. Karena itulah aku sangat menyukaimu—”
“Keluar!” aku membentak sambil menunjuk pintu.
Tobias tertawa, mengecup pipiku, lalu pergi meninggalkan
kamar.
***
Malam itu, aku tidak pergi makan malam karena merasa terlalu
malu dengan kejadian tadi dan menghabiskan waktu di dahan pohon apel di ujung
terjauh kebun sambil memetik apel yang sudah ranum. Aku memanjat setinggi yang
berani kulakukan untuk mendapatkan apel-apel itu. Otot-ototku terasa panas.
Karena ternyata duduk diam menyebabkan ada ruang kosong kecil yang bisa
dimasuki kesedihan, aku menyibukkan diri.
Saat sedang berdiri di dahan pohon sambil menyeka dahi
dengan tepi kaus, aku mendengar suara, awalnya lemah dan berbaur dengan bunyi
tonggeret. Aku berdiri diam untuk mendengarkan dan setelah beberapa saat
menyadari suara apa itu: mobil.
Faksi Amity memiliki sekitar selusin truk yang digunakan
untuk mengirim barang, tapi mereka hanya melakukannya pada akhir pekan.
Tengkukku merinding. Kalau itu bukan faksi Amity, mungkin itu faksi Erudite.
Tapi, aku harus memastikannya.
Aku meraih dahan di atasku dengan kedua tangan, lalu menarik
tubuhku ke atas dengan menggunakan tangan kiri. Aku kaget karena ternyata masih
bisa melakukannya. Aku berdiri sambil membungkuk, ranting dan daun menyusup ke
rambutku. Beberapa buah apel jatuh ke tanah saat aku memindahkan berat badan.
Pohon apel tidak tinggi, aku mungkin tak bisa melihat cukup jauh.
Dengan menggunakan dahan terdekat sebagai pijakan dan tangan
untuk menahan keseimbangan, aku meliuk dan memiringkan tubuh menembus labirin
pohon itu. Aku teringat ketika memanjat Bianglala di dermaga, otot-ototku
bergetar, tanganku berdenyut-denyut. Sekarang aku terluka, tapi lebih kuat dari
itu dan memanjat pohon ini rasanya lebih mudah.
Dahan pohon semakin kecil, semakin lemah. Aku menjilat bibir
dan memandang dahan berikutnya. Aku harus memanjat setinggi mungkin, tapi dahan
yang akan kutuju pendek dan tampak lentur. Aku menjejakkan kakiku di sana,
menguji kekuatannya. Dahan itu melengkung tapi tidak patah. Aku mulai
mengangkat tubuhku, untuk menjejakkan satu kaki lagi, tapi dahan itu patah.
Aku terkesiap saat tubuhku jatuh ke belakang dan meraih
batang pohon pada detik terakhir. Ini sudah cukup tinggi. Aku berjingkat dan
menyipitkan mata ke arah suara-suara itu.
Mulanya aku tak melihat apa pun selain bentangan lahan
pertanian, sebaris lahan kosong, pagar perbatasan, dan ladang serta
bangunan-bangunan pertama yang ada di baliknya. Namun kemudian, aku melihat
sejumlah bintik bergerak mendekati pagar perbatasan—warnanya perak saat
tertimpa cahaya. Mobil dengan atap hitam—panel surya. Itu artinya cuma satu.
Erudite.
Udara berdesis melalui gigi-gigiku. Tanpa sempat berpikir,
aku menurunkan satu kaki, kemudian kaki yang lain dengan begitu cepat sehingga
kulit dahan pohon itu terkelupas dan menghujan ke tanah. Begitu kakiku tiba di
tanah, aku lari.
Aku menghitung deretan pohon saat melewatinya. Tujuh, delapan. Dahan-dahan pohon itu
menggantung rendah dan aku lewat tepat di bawahnya. Sembilan, sepuluh. Aku menempelkan lengan kananku di dada sambil
berlari lebih cepat. Luka bekas tembakan di bahuku berdenyut seiring langkahku.
Sebelas, dua belas.
Saat tiba di deretan ketiga belas, aku melemparkan diriku ke
kanan, ke salah satu lorong. Pepohonan di deretan ketiga belas lebih
berdekatan. Dahan-dahannya saling menyilang, menciptakan labirin daun, ranting,
dan apel.
Paru-paruku sakit karena butuh oksigen, tapi aku sudah tak
jauh dari ujung kebun. Keringat mengalir ke alisku. Aku tiba di ruang makan dan
mendorong pintu hingga menjeblak terbuka, mendesak melewati sekelompok pria
Amity, dan di sanalah Tobias berada. Ia duduk di salah satu ujung kafetaria
bersama Peter, Caleb, dan Susan. Aku nyaris tak bisa melihat mereka dari balik
bintik-bintik yang menghalangi pandanganku, tapi Tobias menyentuh bahuku.
“Erudite,” hanya itu yang sanggup kuucapkan.
“Ke sini?” tanya Tobias.
Aku mengangguk.
“Apa kita sempat lari?”
Aku tak yakin soal itu.
Saat ini para Abnegation di ujung lain meja ikut
memperhatikan. Mereka mengerumuni kami.
“Kenapa kita harus lari?” tanya Susan. “Faksi Amity
menjadikan tempat ini sebagai rumah aman. Di sini konflik dilarang.”
“Faksi Amity akan kesulitan menegakkan kebijakan itu,” ujar
Marcus. “Bagaimana caramu menghentikan konflik tanpa konflik?”
Susan mengangguk.
“Tapi kita tak bisa pergi,” Peter protes. “Tak sempat.
Mereka akan melihat kita.”
“Tris punya pistol,” jawab Tobias. “Kita bisa mencoba
keluar.”
Tobias berjalan ke arah asrama.
“Tunggu,” panggilku. “Aku punya ide.” Aku memandang
kerumunan Abnegation. “Menyamar. Orang-orang Erudite tak akan tahu apakah kita
masih di sini. Kita bisa berpura-pura jadi Amity.”
No comments:
Post a Comment