Penulis : Veronica
Roth
“Four!” aku memanggil. Kenapa aku memanggil angka? Oh, ya.
Karena itu namanya. Aku berseru lagi, “Four! Di mana kau?”
“Tris?” balas suara dari pepohonan di kananku, seolah-lah
pohon itu yang bicara kepadaku. Aku terkikik. Tentu saja itu Tobias yang
merunduk di bawah dahan.
Aku berlari ke arahnya, tapi tanah seakan-akan mendadak
bergerak ke samping sehingga aku nyaris terjatuh. Tangan Tobias menyentuh
pinggangku, menahanku. Sentuhan itu menghantarkan aliran listrik ke seluruh tubuhku,
dan bagian dalam tubuhku terbakar seakan jari-jarinya menyalakannya. Aku
mendekat ke Tobias, menempelkan tubuhnya, lalu mendongak untuk menciumnya.
“Apa yang mereka—” kata Tobias, tapi aku membungkamnya. Ia
balas menciumku, tapi tidak terlalu antusias, jadi aku mendesah keras.
“Membosankan,” kataku. “Oke, memang tidak, tapi ....”
Aku berjinjit untuk menciumnya lagi, tapi Tobias
menghentikanku.
“Tris,” katanya. “Apa yang mereka lakukan kepadamu?
Tingkahmu seperti orang gila.”
“Jahat sekali kau berkata begitu,” aku merajut. “Mereka
membuat suasana hatiku jadi bagus, cuma itu. Dan sekarang, aku sangat ingin
menciummu, jadi kalau kau bisa tenang—”
“Aku tak akan menciummu. Aku akan menyelidiki apa yang
terjadi,” ujarnya.
Aku mencebik sebentar, tapi kemudian tersenyum lebar saat
kepingan menyatu di benakku.
“Itu sebabnya kau
suka aku!” aku berseru. “Karena kau juga bukan orang yang berrangai baik!
Sekarang aku mengerti.”
“Ayo,” Tobias mengajakku. “Kita temui Johanna.”
“Aku juga menyukaimu.”
“Baguslah,” jawabnya datar. “Ayolah. Demi Tuhan. Biar aku gendong.”
Tobias mengayunkan tubuhku ke gendongannya, satu lengan di
bawah lutut dan satu lagi di punggungku. Aku mengalungkan lenganku di lehernya
dan menyematkan kecupan di pipinya. Lalu, karena merasakan udara begitu enak di
kakiku saat menendang, aku menggerakkan kakiku ke atas dan ke bawah saat Tobias
berjalan menuju gedung tempat Johanna bekerja.
Ketika kami tiba di kantor Johanna, wanita itu sedang duduk
di balik meja di hadapan setumpuk kertas sambil menggigiti penghapus pensil. Ia
mendongak dan menatap kami, mulutnya perlah-lahan terbuka. Sejuntai rambut
berwarna gelap menutupi sisi kiri wajahnya.
“Kau tak perlu menutupi bekas lukamu,” kataku. “Kau lebih
cantik kalau rambut itu tidak menghalangi wajahmu.”
Tobias menurunkanku dengan agak kasar sehingga benturannya
menyebabkan bahuku sedikit sakit. Namun, aku suka bunyi yang terdengar saat
kakiku mengenai lantai. Aku tertawa, tapi Johanna maupun Tobias tidak ikut
tertawa. Aneh.
“Apa yang kalian lakukan kepadanya?” tanya Tobias, dengan
tajam. “Demi Tuhan, apa yang kalian lakukan?”
“Aku ...” Johanna mengernyit memandangku. “Sepertinya mereka
memberinya terlalu banyak. Tubuhnya sangat kecil. Mungkin mereka tidak
memperhitungkan tinggi dan berat badannya.”
“Sepertinya mereka memberinya terlalu banyak apa?” desak Tobias.
“Suaramu bagus,” aku memuji.
“Tris,” pinta Tobias, “tolong diam.”
“Serum kedamaian,” jawab Johanna. “Dalam dosis kecil, serum
ini memiliki efek yang ringan, menenangkan dan memperbaiki suasana hati.
Satu-satunya efek samping serum itu adalah rasa agak pusing. Kami memberikannya
kepada anggota komunitas kami yang kesulitan menjaga kedamaian.”
Tobias mendengus. “Aku ini bukan orang bodoh. Setiap anggota masyarakatmu mengalami kesulitan
menjaga kedamaian karena mereka semua itu manusia. Kau mungkin memasukkannya ke
pasokan air.”
Selama beberapa saat, Johanna tidak menjawab. Ia melipat
tangannya di depan dada.
“Kau jelas-jelas tahu bukan itu masalahnya, kalau iya
konflik ini tak akan terjadi,” katanya. “Tapi tindakan apa pun yang kami
sepakati di sini, kami melakukannya bersama, sebagai satu faksi. Andai bisa
memberikan serum itu ke semua orang di kota, aku akan melakukannya. Kalau aku
melakukan itu, pasti kau tak akan terjerumus dalam situasi yang kau alami saat
ini.”
“Oh, tentu saja,” jawab Tobias. “Memberi serum kepada
seluruh populasi adalah solusi terbaik untuk masalah kita. Rencana yang hebat.”
“Bersikap kasar itu tidak baik, Four,” ujar Johanna dengan
lembut. “Nah, aku minta maaf atas kesalahan yang memberikan terlalu banyak
serum kepada Tris. Sungguh. Tapi, ia melanggar syarat kesepakatan kita, dan
sebagai akibatnya kalian tak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Konflik
antara Tris dan anak itu—Peter—bukanlah sesuatu yang bisa kami lupakan.”
“Jangan khawatir,” kata Tobias. “Kami berniat untuk pergi
secepat mungkin.”
“Bagus,” sahut Johanna sambil tersenyum kecil. “Kedamaian
antara faksi Amity dan faksi Dauntless hanya bisa terjadi jika kita saling
menjaga jarak.”
“Itu menjelaskan banyak hal.”
“Maaf?” kata Johanna. “Apa maksudmu?”
“Itu menjelaskan,” kata Tobias sambil menggertakkan gigi,
“kenapa, di balik kepura-puraan bersikap
netral—seolah-olah itu dapat
terjadi!—kalian membiarkan kami mati di tangan kaum Erudite.”
Johanna mendesah pelan dan memandang ke luar jendela. Di
balik jendela itu ada taman kecil dengan tumbuhan rambat. Tumbuhan itu merambat
ke sudut jendela, seolah-olah mencoba masuk dan ikut mengobrol.
“Faksi Amity tak akan melakukan yang seperti itu,” kataku.
“Itu jahat.”
“Kami tetap tidak terlibat demi kedamaian—” Johanna berkata.
“Kedamaian.” Tobias nyaris meludah saat mengucapkan itu.
“Ya, aku yakin keadaan akan sangat damai jika kita semua mati atau tunduk
pasrah di bawah ancaman kontrol pikiran atau terjebak dalam simulasi tak
berkesudahan.”
Wjah Johanna berubah, dan aku menirunya, untuk mengetahui
seperti apa rasanya jika wajahku seperti itu. Tidak enak. Aku tak mengerti
mengapa ia melakukan itu.
Johanna berkata dengan lambat, “Keputusan itu bukan
keputusanku. Kalau iya, mungkin saat ini kita membicarakan hal yang lain.”
“Jadi, maksudmu kau tidak setuju dengan mereka?”
“Maksudku,” Johanna menjelaskan, “aku tak bisa tidak setuju
terhadap faksiku secara terang-terangan, tapi aku bisa tidak setuju di dalam
hatiku sendiri.”
“Aku dan Tris akan pergi dalam dua hari,” kata Tobias.
“Kuharap faksimu tidak mengubah keputusan mereka untuk menjadikan kompleks ini
sebagai rumah aman.”
“Keputusan kami tidak dapat diubah dengan semudah itu. Peter
bagaimana?”
“Kau harus mengurusnya secara terpisah,” jawab Tobias.
“Karena ia tak akan ikut bersama kami.”
Tobias meraih tanganku. Kulitnya terasa enak di kulitku
walaupun tidak mulus ataupun lembut. Aku tersenyum penuh sesal ke arah Johanna,
tapi air mukanya tetap tak berubah.
“Four,” katanya. “Kalau kau dan teman-temanmu ingin tetap
... tak tersentuh serum kami, sebaiknya kalian menghindari roti.”
Tobias menoleh dan mengucapkan terima kasih saat kami
menyusuri koridor bersama-sama, dengan aku yang berjalan sambil
melompat-lompat.[]
No comments:
Post a Comment