The Maze Runner (The Maze Runner #1) (35)

Penulis: James Dashner

35


“SESUATU telah mengambilnya,” kata Minho.

Thomas berdiri di sebelahnya di tepi Tebing, memandang ke kehampaan kelabu di hadapan mereka. Tak ada tanda-tanda apa pun, di kiri, kanan, bawah, atau atas, sejauh mata memandang. Tiada apa pun kecuali kekosongan.

“Apa yang mengambilnya?” tanya Thomas.

“Kita sudah melihatnya tiga kali sekarang. Sesuatu di atas sana.”

“Ya.” Thomas mengerti maksudnya, tetapi menunggu Minho menjelaskan lebih lanjut.

“Griever mati yang kutemukan—ia berlari ke arah ini, dan kami tak pernah melihatnya kembali atau masuk lebih dalam ke Maze. Lalu, monster-monster yang kita kelabui hingga melompat melewati kita.”

“Kelabui?” kata Thomas. “Tidak terlalu menipu sebenarnya.”

Minho memandangnya, termenung. “Hmmm. Selain itu, ini.” Dia menunjuk ke jurang yang tak berujung. “Tak diragukan lagi—entah bagaimana para Griever itu dapat meninggalkan Maze melalui ini. Sepertinya sihir, tapi begitu pula dengan matahari yang menghilang.”

“Jika mereka bisa pergi melalui ini,” Thomas menambahkan, meneruskan kata-kata Minho, “berarti kita juga bisa.” Getaran semangat mengalir dalam dirinya.

Minho tertawa. “Lagi-lagi kau ingin mati. Kau ingin berjalan-jalan dengan para Griever, butuh bekal sandwich, mungkin?”

Thomas merasa harapannya surut. “Ada ide yang lebih baik?”

“Satu per satu, Anak-Baru. Ayo kita cari beberapa batu dan menguji tempat ini. Pasti ada semacam pintu tersembunyi.”

Thomas membantu Minho mengais-ngais semua sudut dan celah-celah Maze, mengambil sebanyak mungkin batu. Mereka mendapatkan lebih banyak dari usaha mengorek tembok yang retak, membuat serpihan batu runtuh bertebaran di tanah. Ketika akhirnya mendapatkan tumpukan batu yang cukup, mereka mendorongnya hingga tepat di tepi Tebing dan duduk, dengan kaki menggantung melewati bibir jurang. Thomas menengok ke bawah dan tak melihat apa pun kecuali warna kelabu yang tak berujung.

Minho mengeluarkan buku catatan dan pensil, meletakkannya ke tanah di sampingnya. “Baiklah, kita akan membuat catatan yang bagus. Dan, rekam juga dalam ingatanmu. Jika ada semacam ilusi penglihatan yang menyembunyikan pintu keluar dari tempat ini, aku tidak ingin jadi orang yang kali pertama mengacau ketika ada anak yang mencoba melompat memasukinya.”

“Anak itu pasti seorang Pengawas dari para Pelari,” sahut Thomas, mencoba bergurau untuk menutupi rasa gugupnya. Berada sedekat ini dengan sebuah tempat di mana para Griever bisa muncul kapan saja membuatnya berkeringat dingin. “Kau pasti ingin berpegangan pada seutas tali.”

“Ya. Oke, ayo bergantian melempari mereka, dengan arah zig-zag di sana dan di sini. Jika ada semacam pintu sihir, kuharap itu berfungsi pula terhadap batu-batu ini—membuatnya lenyap.”

Thomas mengambil sebongkah batu dan dengan hati-hati melemparnya ke arah kiri mereka, tepat di depan tembok kiri lorong yang berbatasan dengan tepi Tebing. Pecahan batu itu jatuh. Dan, jatuh. Kemudian, lenyap ke kekosongan yang kelabu.

Minho giliran berikutnya. Dia melontarkan batu setengah meter lebih jauh dari batu yang dilempar Thomas. Batu itu juga melambung jauh ke bawah. Thomas kembali melempar satu batu, setengah meter lebih jauh. Kemudian, Minho. Setiap batu yang dilempar jatuh ke kedalaman. Thomas terus mengikuti perintah Minho—mereka melakukannya hingga akhirnya mencapai jarak lempar sekitar lima meter dari Tebing, kemudian mereka mengalihkan sasaran setengah meter ke kanan dan mulai kembali ke arah Maze.

Semua batu itu berjatuhan. Membentuk garis dari Tebing ke arah luar. Batu-batu itu terus melambung ke bawah. Mereka melemparkan cukup banyak batu untuk memenuhi seluruh bagian kiri dari area di hadapan mereka, mencapai jarak yang dimungkinkan seseorang—atau sesuatu—melompatnya. Semangat Thomas semakin mengendur di setiap lemparan, hingga meluap menjadi kekesalan.

Thomas mencela dirinya sendiri—ini ide yang bodoh.

Sampai kemudian batu lemparan Minho berikutnya menghilang.

Itu hal aneh yang paling sulit dipercaya yang pernah dilihat Thomas.

Minho telah melempar sebongkah batu yang cukup besar, yang berasal dari serpihan tembok yang retak. Thomas telah mengawasi, memperhatikan sungguh-sungguh setiap batu dan lemparannya. Batu yang ini meluncur dari tangan Minho, melambung ke depan, hampir tepat di garis tengah Tebing, mulai turun ke daratan tak terlihat nun jauh di bawah. Kemudian, batu itu menghilang, seolah jatuh di tengah air atau kabut.

Pada detik pertama, betu itu jatuh. Detik kedua, batu itu menghilang.

Thomas tak mampu berkata-kata.

“Kami sudah pernah melempar beberapa benda dari Tebing sebelumnya,” kata Minho. “Bagaimana mungkin kami melewatkan hal ini? Aku tak pernah melihat ada yang menghilang, tak pernah.”

Thomas terbatuk; tenggorokannya terasa kering. “Lakukan lagi—mungkin kita salah lihat.”

Minho melakukannya, melempar ke titik yang sama. Dan, sekali lagi, benda itu lenyap.

“Barangkali dulu kalian tidak melihat dengan cermat sewaktu melempar benda-benda itu,” ujar Thomas. “Maksudku, ini seharusnya mustahil—kadang-kadang kau tidak mengamati sungguh-sungguh hal-hal yang tak kau percaya akan atau bisa terjadi.”

Mereka melemparkan sisa-sisa batu, mengarah ke titik itu dan sekitarnya. Thomas tercengang, tempat batu-batu itu menghilang membentuk seperti persegi berukuran tak sampai beberapa meter.

“Tak heran kami tak menyadarinya,” ujar Minho, menulis cepat-cepat keterangan dan ukurannya, menuangkannya dalam diagram. “Ukurannya agak kecil.”

“Para Griever pasti pas sekali melewati bagian itu.” Thomas terus memandangi garis imajiner yang mengelilingi kotak melayang tak terlihat itu, mencoba mengingat jarak dan lokasinya dalam pikirannya, mengingat dengan tepat tempatnya. “Dan, ketika keluar, mereka pasti mengambil ancang-ancang dari tepi lubang dan melompat di udara kosong menuju tepi Tebing—ini tak terlalu jauh. Jika aku bisa melompatinya, aku yakin itu mudah bagi mereka.”

Minho selesai menggambar, kemudian mengangkat wajah melihat titik khusus itu lagi. “Bagaimana itu bisa terjadi, Sobat? Apa yang sedang kita lihat sekarang?”

“Seperti kau bilang, ini bukan sihir. Ini pasti sesuatu seperti langit kita yang berubah kelabu. Semacam ilusi penglihatan atau hologram, menyembunyikan sebuah pintu. Tempat ini sepenuhnya telah diatur.” Dan, ini, Thomas mengakui, cukup mengesankan. Pikirannya terpaku tentang jenis teknologi yang berada di balik semua ini.

“Ya, sepertinya telah diatur. Ayo.” Minho mendengus bangkit dan mencangklong ranselnya. “Sebaiknya, kita berlari sejauh mungkin Maze. Dengan langit yang berubah, mungkin ada hal-hal aneh lainnya yang terjadi di sini. Kita akan memberi tahu Newt dan Alby tentang ini nanti malam. Entahlah apakah informasi ini membantu, tapi setidaknya kita tahu ke mana perginya para Griever itu.”

“Dan, mungkin juga asal mereka datang,” kata Thomas seraya menoleh sekali lagi ke pintu tersembunyi itu. “Lubang Griever.”

“Ya, nama yang bagus. Ayo pergi.”

Thomas duduk dan memandangnya, menunggu Minho bergerak. Beberapa menit berlalu dalam kebisuan dan Thomas sadar temannya pasti juga merasa terkesan seperti dirinya. Akhirnya, tanpa mengatakan apa pun, Minho berbalik pergi. Thomas dengan enggan mengikutinya dan mereka berlari ke dalam Maze yang gelap kelabu.


Thomas dan Minho hanya menjumpai tembok-tembok baru dan tanaman ivy.

Thomas yang memotong sulur-sulur tanaman dan membuat catatan. Sulit baginya melihat perubahan-perubahan dari hari sebelumnya, tetapi Minho mampu menunjukkan tanpa berpikir tentang lokasi tembok-tembok itu bergerak. Ketika mereka tiba di jalan buntu terakhit dan sudah waktunya kembali pulang, Thomas merasakan dorongan yang hampir tak tertahankan untuk mengambil risiko dan tetap tinggal di sini semalaman, melihat apa yang akan terjadi.

Minho sepertinya bisa merasakan itu dan menepuk pundaknya. “Belum saatnya, Sobat. Belum saatnya.”

Dan, mereka pun kembali.

Suasana muram menyelimuti Glade, hal yang mudah terjadi jika semuanya berwarna kelabu. Cahaya yang suram belum berubah sedikit pun sejak mereka bangun tadi pagi, dan Thomas ingin tahu apakah akan ada perubahan saat “matahari terbenam” nanti.

Minho langsung menuju Ruang Peta ketika mereka masuk dari Pintu Barat.

Thomas terkejut. Dia mengira ini adalah hal terakhit yang harus mereka lakukan. “Bukankah kau sudah tak sabar lagi ingin memberi tahu Newt dan Alby tentang Lubang Griever?”

“Hai, kita ini masih Pelari.” Sahut Minho, ‘dan kita masih punya pekerjaan.” Thomas mengikutinya menuju pintu baja bangunan beton itu dan Minho berbalik serta tersenyum lemah kepadanya. “Tapi ya, kita akn bekerja dengan cepat agar bisa segera memberi tahu mereka.”

Sudah ada beberapa Pelari yang hilir mudik di sana, menggambar Peta-Peta mereka ketika memasuki ruangan. Tak seorang pun berkata-kata, seolah semua spekulasi tentang langit baru telah begitu melelahkan. Hanya keputusasaan di ruangan itu membuat Thomas merasa seolah dia sedang berjalan melewati air berlumpur dalam. Dia seharusnya merasa lelah, tetapi dia terlalu bersemangat hingga tak merasakannya—dia tak sabar lagi melihat reaksi Newt dan Alby tentang berita mengenai Tebing.

Dia duduk di meja dan menggambar Peta hari itu mengandalkan ingatannya dan catatan, Minho terus mengawasi dari balik bahunya, memberi petunjuk-petunjuk. “Kurasa lorong itu terputus di sini, bukan di sana,” dan “Perhatikan perbandingannya,” dan “Gambar lebih lurus lagi, Bocah.” Meskipun banyak omong, dia cukup membantu, dan lima belas menit setelah memasuki ruangan, Thomas meemeriksa hasil pekerjaannya. Dia merasa cukup bangga—peta ini sebaik Peta lain yang pernah dilihatnya.

“Lumayan,” komentar Minho. “Untuk seorang Anak-Bawang.”

Minho beranjak ke peti Sektor Dua dan membukanya. Thomas berlutut di depannya dan mengambil Peta hari kemarin lalu menjajarkannya dengan peta yang baru saja digambarnya.

“Apa yang harus kuamati?” tanyanya.

“Pola-pola. Tapi, hanya melihat hasil dua hari belum memberikan banyak petunjuk untukmu. Kau perlu mempelajari selama beberapa minggu, mencari pola-polanya, atau apa pun. Aku tahu ada sesuatu di sana, sesuatu yang akan menolong kita. Hanya belum ketemu. Seperti kubilang, ini menjengkelkan.”

Thomas merasakan sesuatu menggelitik di belakang pikirannya, sama seperti yang dirasakannya ketika kali pertama berada di ruangan ini. Tembok-tembok Maze yang bergerak. Pola-pola. Garis-garis lurus itu—apakah semua itu menggambarkan jenis peta yang berbeda? Mengarah pada sesuatu? Thomas mempunyai firasat kuat bahwa dia melewatkan gambaran atau petunjuk yang jelas.

Minho menepuk pundaknya. “Kau bisa kembali ke sini setiap saat dan mempelajari bagianmu sehabis makan malam, setelah kita bicara dengan Newt dan Alby. Ayo.”

Thomas meletakkan kertas-kertas itu ke dalam peti dan menutupnya, tidak menyukai kegelisahan yang dirasakannya. Seperti menusuk-nusuknya. Tembok-tembok bergerak, garis-garis lurus, pola-pola .... Pasti ada sebuah jawaban. “Oke, ayo pergi.”

Mereka baru saja melangkah keluar dari Ruang Peta, pintu yang berat terayun menutup di belakang mereka, ketika Newt dan Alby menghampiri, tak seorang pun tampak gembira. Semangat Thomas seketika berubah menjadi cemas.

“Hai,” kata Minho. “Kami baru saja akan—”

“Langsung saja,” potong Alby. “Jangan buang waktu. Kalian temukan sesuatu? Apa pun itu?”

Minho sebenarnya tersinggung dengan sikap lugas itu, tetapi wajahnya bagi Thomas lebih terlihat kebingungan alih-alih sakit hati atau marah. “Senang juga bertemu denganmu. Ya, kami memang menemukan sesuatu, sesungguhnya.”

Anehnya, Alby justru terlihat kecewa. “Karena seluruh tempat ini bakal hancur lebur.” Dia melempar tatapan kemarahan kepada Thomas seakan semuanya adalah salah anak laki-laki itu.

Ada apa, sih, dengannya? Batin Thomas, kemarahannya juga mulai tersulut. Dia dan Minho telah berusaha keras sepanjang hari dan inikah bentuk terima kasih mereka?

“Apa maksudmu?” tanya Minho. “Apa lagi yang telah terjadi?”

Newt menjawab sambil mengangguk ke arah Kotak. “Tidak ada perbekalan yang datang hari ini. Selama dua tahun perbekalan selalu datang setiap minggu, pada waktu dan hari yang sama. Tapi, hari ini tidak.”

Mereka berempat memandang pintu baja yang mendatar di atas tanah. Bagi Thomas, seolah ada bayangan yang lebih gelap menggantung di atasnya ketimbang udara kelabu yang menyelubungi segalanya.

“Oh, kita benar-benar celaka sekarang,” bisik Minho, reaksinya menandakan bagi Thomas gawatnya keadaan saat itu.

“Tidak ada matahari untuk tanaman,” ujar Newt, “tak ada perbekalan dari Kotak—ya, menurutku kita memang celaka, itu benar.”

Alby melipat kedua tangannya, masih memandang ke Kotak seolah hendak membukanya dengan kekuatan pikiran. Thomas berharap pemimpin mereka itu tidak bersikap seperti yang dilihatnya ketika mengalami Perubahan—atau apa pun yang berhubungan dengan Thomas, dalam hal ini. Terutama saat ini.

“Ya, omong-omong,” Minho meneruskan. “Kami menemukan sesuatu yang aneh.”

Thomas menunggu, berharap Newt atau Alby akan menunjukkan reaksi positif terhadap berita yang mereka bawa, atau bahkan mungkin memiliki informasi tambahan untuk memecahkan misteri ini.

Newt menaikkan alisnya. “Apa?”

Minho menjelaskannya selama tiga menit penuh, dimulai dari Griever yang mereka ikuti dan diakhiri dengan hasil percobaan melempar batu mereka.

“Pasti itu menuju ... kau tahu ... tempat asal para Griever itu,” katanya mengakhiri cerita.

“Lubang Griever,” Thomas menambahkan. Tiga anak yang lain memandangnya, merasa terganggu, seolah dia tak punya hak berbicara. Namun untuk kali pertama, diperlakukan sebagai anak bawang tidak lagi mengganggunya.

“Aku harus melihatnya sendiri,” ujar Newt. Kemudian, bergumam. “Sulit dipercaya.” Thomas sepakat dengannya.

“Aku tak tahu apa yang bisa kita lakukan,” kata Minho. “Mungkin kita bisa membangun sesuatu untuk menutup lorong itu.”

“Tidak,” sahut Newt. “Makhluk-makhluk itu bisa memanjat tembok-tembok di sana, ingat? Kita tak bisa membangun apa pun yang akan menahan mereka.”

Akan tetapi, kegaduhan di luar Wisma mengalihkan perhatian mereka dari percakapan itu. Sekelompok Glader berdiri di dekat pintu rumah, berteriak satu sama lain. Chuck ada di antaranya, dan ketika dia melihat Thomas dan yang lain dia berlari menghampiri, wajahnya tampak bersemangat. Thomas bertanya-tanya hal gila apa yang kini terjadi.

“Ada apa?” tanya Newt.

“Dia sadar!” teriak Chuck. “Anak perempuan itu sudah sadar!”

Lambung Thomas bergolak; dia bersandar di dinding beton Ruang Peta. Anak perempuan itu. Gadis yang berbicara di dalam kepalanya. Dia ingin berlari sebelum hal itu terjadi lagi, sebelum dia berbicara kepadanya di dalam pikirannya.

Akan tetapi, terlambat.

Tom, aku tak mengenal orang-orang ini. Datanglah dan jemput aku! Semuanya kabur ... Aku lupa segalanya kecuali kau ... Aku harus memberitahumu banyak hal! Tapi, semuanya mulai tak jelas ...

Thomas tak mengerti bagaimana anak perempuan itu melakukannya, bagaimana dia bisa berada dalam kepalanya.

Teresa terdiam, lalu mengatakan sesuatu yang tak masuk akal.


Maze itu adalah sebuah kode, Tom. Maze itu sebuah kode.[]


No comments:

Post a Comment