Penulis: James Dashner
38
SEBAGIAN besar dari mereka biasa tidur di luar rumah sebelum
ini sehingga memasukkan semua anak ke dalam Wisma saat ini membuat kepadatan di
sana meningkat. Para Pengawas telah mengatur dan membagi para Glader di semua
penjuru ruangan, bersama dengan selimut-selimut dan bantal-bantal. Meskipun
jumlah orang bertambah dan terjadi kesemrawutan karena perubahan ini,
keheningan yang mengganggu seakan menggantung di atas segala aktivitas mereka,
seolah tak seorang pun ingin menarik perhatian terhadap mereka sendiri.
Ketika semua anak telah mendapat tempat, Thomas naik ke
lantai atas bersama Newt, Alby, dan Minho, dan mereka akhirnya berhasil
menyelesaikan diskusi mereka sebelumnya di lapangan. Alby dan Newt duduk di
atas satu-satunya tempat tidur di ruangan itu, sementara Thomas dan Minho duduk
di kursi sebelah mereka. Satu lagi perabot di sana adalah sebuah lemari kayu
berlaci dan sebuah meja, yang di atasnya terdapat lampu yang memancarkan cahaya
saat itu. Kegelapan kelabu di luar seolah menekan jendela dari luar,
menjanjikan hal-hal buruk akan segera tiba.
“Kau tak lama lagi,” kata Newt, “saatnya bertahan. Kita
semua maju dan memberi ucapan selamat malam pada para Griever itu. Penghentian
kiriman perbekalan, langit yang kelabu, pintu-pintu yang tak menutup. Tapi,
kita tak boleh menyerah, dan kita tahu itu. Orang-orang yang mengirim kita ke
sini menginginkan kita mati atau memberi kita petunjuk. Yang mana pun
tujuannya, kita harus maju berjuang sampai kita mati atau selamat.”
Thomas mengangguk, tetapi tak berkata apa-apa. Dia setuju
sepenuhnya tetapi tak memiliki ide nyata tentang tindakan yang harus dilakukan.
Jika dia bisa bertahan hingga besok pagi, mungkin dia dan Teresa dapat
menemukan sesuatu yang dapat menolong.
Thomas melirik ke arah Alby, yang menatap lantai, tampak
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya masih terlihat cemas dan tertekan,
kantong matanya cekung dan gelap. Perubahan benar-benar istilah yang tepat,
berdasarkan yang telah terjadi kepadanya.
“Alby?” tanya Newt. “Kau setuju?”
Alby mendongak, wajahnya tampak terkejut seolah dia tidak
tahu ada orang lain di kamar itu. “Eh? Oh. Ya. Bagus. Tapi, kau sudah melihat
apa yang terjadi pada malam hari. Meskipun Anak-Bawang si bocah super ini
berhasil melakukannya, bukan berarti kita juga sanggup.”
Thomas memutar bola matanya tak kentara kepada Minho—merasa
sangat lelah dengan sikap Alby.
Jika Minho merasakan hal yang sama, dia sangat pintar
menyembunyikannya. “Aku sepakat dengan Thomas dan Newt. Kami akan berhenti
mencemooh dan mengasihani diri sendiri.” Dia mengusap-usapkan kedua telapak
tangannya dan memajukan duduknya di kursi. “Besok, pagi-pagi sekali, kalian
dapat menugaskan para Pelari pergi keluar. Kami akan mengepak barang-barang
kami cukup banyak sehingga kami dapat tinggal di sana selama beberapa hari.”
“Apa?” tanya Alby, suaranya akhirnya menunjukkan emosi. “Apa
maksudmu dengan beberapa hari?”
“Maksudku, ya, beberapa hari. Dengan Pintu-Pintu yang
terbuka dan tiadanya matahari terbenam, sepertinya tidak ada gunanya pulang ke
sini. Saatnya tetap tinggal di luar dan melihat apakah ada tempat yang terbuka ketika tembok-tembok bergerak. Jika tembok-tembok itu masih bergerak.”
“Tidak bisa,” ujar Alby. “Kita mempunyai Wisma untuk tempat
bersembunyi—dan jika itu tidak berhasil, masih ada Ruang Peta dan Tahanan. Kita
tidak bisa menyuruh orang pergi ke luar sana dan mati, Minho! Siapa yang akan
dengan sukarela melakukannya?”
“Aku,” sahut Minho. “Dan, Thomas.”
Semua orang memandang Thomas; anak itu mengangguk singkat.
Meskipun ketakutan setengah mati, menjelajahi Maze—benar-benar menjelajahinya—adalah sesuatu yang telah
diinginkannya sejak kali pertama mengetahuinya.
“Aku akan ikut jika diperlukan,” kata Newt, mengejutkan
Thomas. Meskipun dia t ak pernah membicarakan tentang itu, sikap gamang Newt
selalu menjadi pengingat bahwa sesuatu yang mengerikan telah terjadi kepadanya
di dalam Maze. “Dan, aku yakin semua
Pelari bersedia melakukannya.”
“Dengan kakimu yang timpang?” tanya Alby, tertawa sinis.
Newt mengerutkan dahi, menunduk. “Ya, aku merasa tidak
pantas meminta para Glader melakukan sesuatu jika diriku sendiri tidak berani
melakukannya.”
Alby kembali mengenyakkan diri ke tempat tidur dan bersila.
“Terserahlah. Lakukan apa yang kau mau.”
“Lakukan yang kumau?” ulang Newt, berdiri. “He, ada apa,
sih, denganmu? Menurutmu, kita punya pilihan? Apakah kita harus tetap duduk di
sini dan menunggu diendur-endus oleh para Griever itu?”
Thomas ingin berdiri dan bersorak, merasa yakin Alby akan
tertampar karena sikapnya yang lembek.
Akan tetapi, pemimpin mereka itu tidak tampak sedikit pun
terhina atau menyesal. “Ya, kedengarannya lebih mending daripada berlari menuju mereka.”
Newt kembali duduk. “Alby. Sebaiknya, kau mulai bicara
dengan waras.”
Meskipun terpaksa, Thomas harus mengakui bahwa mereka
membutuhkan Alby jika ingin mengerjakan semuanya. Para Glader menganggapnya.
Alby akhirnya menarik napas panjang, kemudian memandang
mereka satu per satu. “Kalian semua tahu aku sangat kacau. Sungguh, aku ...
minta maaf. Aku seharusnya tidak lagi menjadi pemimpin yang bodoh.”
Thomas menahan napas. Dia tak percaya pada kata-kata Alby
barusan.
“Oh—” Newt memulai.
“Tidak!” tukas Alby, wajahnya menampakkan sikap mengalah dan
kepasrahan. “Bukan itu maksudku. Dengarkan aku. Aku tak bilang kita akan
melakukan pergantian atau semacamnya. Maksudku adalah ... kurasa aku sebaiknya
membiarkan kalian semua yang mengambil semua keputusan. Aku tak memercayai
diriku sendiri. Jadi ... ya, aku akan melakukan yang lain.”
Thomas dapat melihat bahwa Minho dan Newt juga sama kagetnya
dengan dirinya.
“Eh ... baiklah,” kata Newt perlahan. Seakan dia kurang
yakin. “Kami akan berusaha, aku janji. Kau akan lihat nanti.”
“Ya,” gumam Alby. Setelah keheningan yang lama, dia
berbicara lagi, dengan nada bersemangat yang agak ganjil. “Hai, aku punya usul.
Tempatkan aku di bagian Peta-Peta. Aku akan menyuruh para Glader bekerja
habis-habisan memperlajari peta-peta itu.”
“Aku setuju,” ujar Minho. Thomas juga ingin mengungkapkan
persetujuannya, tetapi urung karena belum tepat saatnya.
Alby kembali menjejakkan kedua kakinya ke lantai, menegakkan
punggung. “Kau tahu, sungguh bodoh jika kita semua tidur di sini malam ini.
Kita seharusnya berada di Ruang Peta, bekerja.”
Thomas merasa itu adalah kata-kata paling cerdas yang pernah
didengarnya dari Alby sejauh ini.
Minho mengangkat bahu. “Mungkin kau benar.”
“Ya ... aku pergi dulu,” kata Alby dengan anggukan mantap.
“Sekarang juga.”
Newt menggelengkan kepala. “Lupakan itu, Alby. Kita sudah
dengar suara para Griever di luar. Kita bisa menunggu hingga waktu bangun-tidur
tiba.”
Alby mencondongkan tubuh, kedua sikunya bertumpu pada lutut.
“Hai, kalian semua yang selama ini berceloteh menyemangatiku. Jangan mulai
merengek saat aku benar-benar mendengarkannya. Jika aku akan melakukannya, aku
akan lakukan sekarang juga, menjadi diriku yang dulu. Aku perlu sesuatu untuk
memulai.”
Kelegaan membanjiri diri Thomas. Dia mulai merasa lelah
dengan semua perdebatan ini.
Alby berdiri. “Aku serius, aku perlu melakukannya.” Dia
berjalan menuju pintu ruangan itu seakan dia memang berniat pergi.
“Kau pasti main-main,” ujar Newt. “Kau tidak bisa keluar
sekarang!”
“Aku akan pergi, dan itu tak bisa diubah lagi.” Alby
mengeluarkan rangkaian kunci dari kantongnya dan menggoyangkannya dnegan
santai—Thomas sulit memercayai keberaniannya yang tiba-tiba itu. “Sampai ketemu
besok pagi.”
Kemudian, anak laki-laki itu melangkah ke luar.
Aneh rasanya mengetahui bahwa malam sudah semakin larut,
bahwa seharusnya kegelapan menyelimuti dunia di sekeliling mereka, tetapi yang
tampak hanyalah sinar kelabu pucat di luar. Hal ini membuat Thomas merasa tidak
keruan, seakan rasa kantuk yang lambat laun menghampiri setiap menitnya terasa
tidak lazim. Waktu berjalan lambat seolah merangkak dan menyiksa; anak
laki-laki itu merasa seakan esok hari tidak akan pernah tiba.
Glader yang lain telah menempatkan diri masing-masing,
menyusup ke balik seliimut dan di atas bantal mereka mencoba untuk tidur yang
hampir mustahil dilakukan. Tak banyak anak berbicara, suasana terasa muram dan
mencekam. Yang terdengar hanyalah suara langkah kaki perlahan dan
bisikan-bisikan.
Thomas berusaha keras memaksa dirinya untuk tidur, sadar
bahwa itu akan membuat waktu seperti berjalan lebih cepat, tetapi tetap gagal
setelah mencoba selama dua jam. Dia berbaring di atas lantai di salah satu
kamar atas, beralas selembar selimut tebal, beberapa Glader lainnya memenuhi
tempat itu bersamanya, hampir berdempet-dempetan. Tempat tidur hanya
diperuntukkan bagi Newt.
Chuck mendapat tempat di kamar lain, dan entah mengapa
Thomas membayangkannya sedang meringkuk di sudut gelap, menangis, merapatkan
selimutnya ke dada seperti seekor beruang Teddy. Bayangan ini membuat Thomas
sangat sedih hingga dia mencoba tak memikirkannya, tetapi tidak berhasil.
Hampir setiap anak mempunyai senter di samping mereka untuk
berjaga-jaga. Sebaliknya, Newt memerintahkan agar memadamkan semua lampu
meskipun langit di luar tampak berkilau pucat mengerikan—tidak perlu ada
masalah tambahan untuk kian memancing perhatian. Semua persiapan singkat yang dapat dilakukan untuk menghadapi
serangan sebuah Griever sudah dilakukan untuk menghadapi serangan sebuah
Griever sudah dilakukan; jendela-jendela ditutup, perabotan diletakkan di depan
semua pintu, belati-belati dibagikan sebagai senjata ....
Akan tetapi, tak satu pun yang membuat Thomas merasa aman.
Kecemasan menunggu sesuatu yang mungkin akan terjadi
selanjutnya menyelubungi dirinya, rasa takut dan khawatir yang seolah mencekik
mulai menguasai dirinya. Anak itu nyaris berharap makhluk-makhluk itu segera
muncul dan mengakhiri semuanya. Penantian ini tak tertahankan.
Ruangan para Griever di kejauhjan terdengar kian dekat
sementara malam terus beranjak, setiap menit yang terlewati seolah semakin lama
daripada sebelumnya.
Satu jam lagi sudah berlalu. Kemudian, jam berikutnya.
Akhirnya, dia tertidur, tetapi dengan gelisah. Thomas menduga saat itu sekitar
pukul dua pagi ketika dia membalikkan posisi badan hingga tengkurap untuk kali
kesekian juta malam itu. Dia meletakkan kedua tangannya di bawah dagu dan
memandang kaki tempat tidur, yang hanya tampak sebagai bayangan di tengah
cahaya temaram.
Kemudian, segalanya berubah.
Bunyi gerakan mesin terdengar dari luar, diikuti suara
bergemeretak menggelinding sebuah Griever yang tak asing lagi di atas tanah
berbatu, seakan seseorang sedang menggoresnya dengan kuku-kuku tangannya.
Thomas melompat berdiri, seperti yang dilakukan sebagian besar anak lain.
Akan tetapi, Newt bangkit lebih dulu dari siapa pun,
melambaikan tangannya, kemudian berdesis menyuruh diam seisi ruangan dengan
meletakkan sebuah jarinya di depan bibir. Dengan mengangkat kakinya yang sakit
dia terpincang-pincang menuju sebuah jendela di ruangan itu, yang ditutupi
dengan tiga papan yang dipaku sembarangan. Celah-celah di antaranya cukup besar
untuk memberi tempat mengintip ke luar. Berhati-hati, Newt mencondongkan tubuh
untuk melihat, dan Thomas melangkah pelan-pelan untuk bergabung dengannya.
Dia membungkuk di bawah Newt, mendekati papan paling bawah,
merapatkan matanya ke sebuah celah—rasanya menakutkan berada begitu dekat
dengan dinding. Namun, yang terlihat hanyalah lapangan Glade yang terbuka;
celah tidak cukup besar untuk melihat ke bagian atas, bewah, atau samping,
hanya lurus ke depan. Setelah sekitar satu menit, Thomas menyerah dan berbalik
kemudian duduk bersandar ke dinding. Newt berbalik meninggalkan jendela dan
duduk kembali di tempat tidur.
Beberapa menit berlalu, beragam suara sejumlah Griever
menembus dinding-dinding setiap sepuluh hingga dua puluh detik sekali. Seuara
mesin-mesin kecil yang melengking diikuti bunyi bergemeretak mesin yang
berputar. Bunyi paku-paku beradu dengan lantai batu yang keras. Benda-benda
mengibas, membuka dan berkelebat. Thomas mengernyit ketakutan setiap kali
terdengar bunyi-bunyian itu.
Sepertinya ada tiga atau empat makhluk itu di luar.
Setidaknya.
Dia mendengar bunyi beberapa mesin-hewan bersahut-sahutan kian mendekat, tak jauh lagi, menunggu di lantai batu di bawah. Semua berdengung dan bergemerincing gaduh.
Mulut Thomas terasa kering—dia sudah pernah berhadapan
langsung dengan mereka, dan masih mengingatnya dengan sangat jelas; anak itu
sampai harus mengingatkan dirinya sendiri untuk bernapas. Anak-anak lain di
ruangan itu terdiam kaku, tak ada yang berbicara. Ketakutan seakan menggantung
di udara seperti badai salju hitam.
Bunyi salah satu Griever itu seperti sedang bergerak menuju
rumah. Kemudian, suara paku beradu dengan batu tiba-tiba berganti menjadi lebih
berat dan dalam. Thomas dapat menggambarkannya; paku-paku baja makhluk itu
menancap ke dinding-dnding kayu Wisma, benda raksasa itu lalu menggulung
tubuhnya, memanjat ke arah kamar mereka, melawan gaya gravitasi dengan
kekuatannya. Thomas mendengar paku-paku Griever itu mengoyak kayu di jalur
mereka memanjat saat mereka menariknya dan berputar untuk kembali
menancapkannya. Seluruh bangunan terasa bergetar.
Suara kayu yang berderak, berkeretak, dan bergemeretak
menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar bagi Thomas, menakutkannya.
Suara-suara itu semakin keras, semakin dekat—anak-anak yang lain telah bubar
menyeberangi ruangan dan menyingkir dari jendela sejauh mungkin. Thomas
akhirnya mengikuti mereka, Newt berdiri tepat di sebelahnya; semua anak
bergerombol di dekat dinding yang jauh, menatap ke jendela.
Tepat ketika kebisingan itu kian memuncak—saat Thomas
menyadari bahwa Griever itu berada persis di luar jendela—semua mendadak
senyap. Thomas merasa hampir dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
Lampu-lampu berkelip di luar, menciptakan sorotan
garis-garis sinar melalui celah-celah papan kayu. Kemudian, sebuah bayang tipis
menghalangi cahaya itu, bergerak mondar-mandir. Thomas tahu bawah alat-alat dan
persenjataan Griever itu telah dikeluarkan, mencari mangsa. Dia membayangkan
Serangga-Serangga-mesin berada di luar, membantu makhluk itu mencari jalan.
Beberapa detik kemudian gerakan bayangan itu berhenti, sorot lampu terdiam pada
satu titik, membentuk sorot tiga garis sinar terang memasuki ruangan.
Ketegangan memenuhi udara; Thomas tak mendengar seorang pun
menarik napas. Dia menduga hal yang sama pasti juga terjadi di kamar-kamar lain
di Wisma. Kemudian, dia teringat Teresa di Tahanan.
Thomas baru saja berharap gadis itu mengatakan sesuatu
kepadanya ketika pintu di lorong tiba-tiba menjeblak terbuka. Suara napas
tersentak dan teriakan meledak di seisi ruangan. Para Glader sejauh ini
menunggu sesuatu dari jendela, bukan dari belakang mereka. Thomas berbalik
melihat siapa yang telah membuka pintu, berharap menemukan Chuck atau Alby yang
mengurungkan niatnya. Namun, ketika dia melihat orang yang berdiri di sana,
kepalanya seakan mengerut, meremas otaknya dalam keterkejutan.
Orang itu Gally.[]
No comments:
Post a Comment