Penulis: James Dashner
36
THOMAS tidak ingin bertemu dengan anak perempuan itu. Dia
tidak ingin bertemu siapa pun.
Segera setelah Newt berlalu untuk menemui gadis itu dan
berbicara kepadanya, Thomas diam-diam menyelinap pergi, berharap tak seorang
pun memperhatikannya di tengah kegaduhan. Dengan perhatian semua orang tercurah
kepada gadis asing yang tersadar dari komanya, Thomas dengan mudah
melakukannya. Dia menyusuri bagian tepi Glade, kemudian mulai berlari, menuju
tempat terasingnya di belakang hutan Tempat-orang-mati.
Dia meringkuk di sudut, mendekam di rumpun tanaman ivy, dan menyelubungkan selimut mulai
dari kepala ke seluruh tubuhnya. Entah mengapa, ini seakan cara menyembunyikan
dirinya dari penyusupan Teresa ke dalam pikirannya. Beberapa menit berlalu,
jantungnya akhirnya kembali berdetak tenang.
“Lupa tentangmu adalah bagian yang terburuk.”
Awalnya Thomas mengira itu pesan di dalam kepalanya; dia
menutup kedua telinganya kuat-kuat dengan tangan mengepal. Namun bukan, itu
terasa ... berbeda. Dia mendengarnya dengan kedua telinganya. Suara seorang
anak perempuan. Rasa dingin mulai menjalari punggungnya, perlahan-lahan dia
menurunkan selimutnya.
Teresa berdiri di sebelah kanannya, bersandar di tembok batu
raksasa. Dia tampak berbeda kini, sadar dan waspada—serta sedang berdiri. Mengenakan baju putih-putih berlengan
panjang, celana jin biru, dan sepasang sepatu cokelat, dia terlihat—sulit
dipercaya—lebih menarik daripada ketika Thomas melihatnya sedang koma. Rambut
hitam membingkai wajahnya yang cantik, dengan sepasang mata sebiru nyala api.
“Tom, kau benar-benar tak ingat kepadaku?” Suaranya lembut,
berlawanan dengan nada berat dan serak yang didengarnya ketika gadis itu keli
pertama tiba, saat dia menyampaikan pesan bahwa segalanya akan berubah.
“Maksudmu ... kau ingat aku?”
tanya Thomas, merasa malu dengan suara mencicit saat mengucapkan kata terakhir.
“Ya. Tidak. Mungkin.” Gadis itu mengibaskan kedua tangannya
dengan muak. “Aku tidak bisa menjelaskannya.”
Thomas membuka mulutnya, kemudian menutupnya lagi tanpa
mengatakan apa pun.
“Aku ingat tentang
mengingat,” gadis itu bergumam, duduk sambil mendesah keras; dia menekuk
kedua kakinya dan memeluk lututnya. “Perasaan-perasaan. Emosi-emosi. Seperti
ada beberapa lemari di kepalaku, diberi tanda untuk memori-memori dan
wajah-wajah, tetapi semua kosong. Seakan segala sesuatu sebelum ini berada di
balik tirai putih. Termasuk kau.”
“Tapi, bagaimana kau mengenalku?” Thomas merasa
tembok-tembok berputar di sekelilingnya.
Teresa berbalik menghadapnya. “Aku tak tahu. Sesuatu terjadi
sebelum kita datang ke Maze. Sesuatu
tentang kita. Sebagian besar kosong, seperti tadi kubilang.”
“Kau tahu tentang Maze
ini? Siapa yang memberitahumu? Kau baru saja siuman.”
“Aku.. semuanya sangat membingungkan saat ini.” Gadis itu mengulurkan
tangan. “Tapi, aku tahu kau temanku.”
Hampir tanpa sadar, Thomas sepenuhnya melepaskan selimut dan
maju untuk menjabat tangannya. “Aku suka caramu memanggilku Tom.” Segera
setelah mengucapkannya, anak laki-laki itu yakin dia tak mungkin mengatakan
sesuatu yang lebih bodoh dari itu.
Teresa memutar bola matanya. “Itu namamu, kan?”
“Ya, tapi kebanyakan orang memanggilku Thomas. Ya, kecuali
Newt—dia memanggilku Tommy. Tom mmebuatku merasa ... seperti sedang berada di
rumah atau semacamnya. Meskipun aku tak tahu rumah itu seperti apa.” Anak itu tertawa getir. “Kita ini
sungguh mengenaskan, ya?”
Anak perempuan itu tersenyum untuk kali pertama, dan Thomas
hampir memalingkan wajah, seolah sesuatu yang seindah itu tidak semestinya
berada di tempat yang muram dan kelabu ini, seolah dia tak berhak menatap
ekspresi gadis itu.
“Ya, kita mengenaskan,” katanya. “Dan, aku takut.”
“Aku juga, percayalah.” Sebuah pernyataan yang jelas tidak
mendukung untuk hari ini.
Beberapa saat berlalu, keduanya menunduk menatap tanah.
“Apa yang ...,” Thomas memulai, tak tahu bagaimana
menanyakannya. “Bagaimana ... cara kau berbicara kepadaku di dalam pikiranku?”
Teresa menggelengkan kepala. Tak tahu—aku melakukannya begitu saja, kata pikiran gadis itu
kepada Tom. Kemudian, dia berbicara dengan jelas kembali, “Seperti saat kau
mencoba mengendarai sepeda di sini—kalau mereka punya. Aku berani bertaruh kau
dapat melakukannya tanpa berpikir. Tapi apakah kau ingat saat berlatih
mengendarainya?”
“Tidak. Maksudku ... aku ingat pernah mengendarai sebuah
sepeda, tapi bukan belajar mengendarainya.” Dia terdiam, merasakan gelombang
kesedihan. “Atau siapa yang mengajariku.”
“Ya,” kata gadis itu, kedua matanya mengerjap seakan merasa
tak enah hati melihat kesedihan Thomas yang tiba-tiba. “Pokoknya ... semacam
itulah.”
“Aku paham.”
Teresa mengangkat bahu. “Kau tidak memberi tahu siapa pun,
kan? Mereka akan mengira kita sinting.”
“Ya ... saat kali pertama terjadi, aku mengatakannya. Tapi,
kurasa Newt hanya mengira aku terlalu tegang atau semacamnya.” Thomas merasa
gelisah, seolah dia bisa gila jika tidak bergerak. Anak laki-laki itu bangkit
berdiri, mulai melangkah hilir mudik di depan Teresa. “Kita perlu memecahkan
semua masalah ini. Pesan aneh darimu
tentang menjadi anak terakhir yang datang ke sini, keadaanmu yang koma, fakta
bahwa kau dan aku bisa berkomunikasi secara telepati. Apa pendapatmu?”
Teresa mengikuti gerakan Thomas mondar-mandir dengan
pandangan matanya. “Hemat napasmu dan berhentilah bertanya. Aku hanya punya
ingatan samar-samar—bahwa kau dan aku penting, bahwa entah bagaimana kita dulunya begitu. Bahwa kita cerdas. Bahwa
kita datang kemari dengan satu tujuan. Aku tahu aku telah membuka Bagian Akhir,
apa pun artinya itu.” Gadis itu mengerah, wajahnya memerah. “Ingatan-ingatanku
sama sia-sianya sepertimu.”
Thomas berlutut di depannya. “Tidak, ingatan-ingatanmu
berbeda. Maksudku, fakta bahwa kau tahu kalau ingatanku telah dihapus tanpa
menanyakan kepadaku sebelumnya—dan fakta-fakta lainnya. Kau tahu lebih banyak
hal ketimbang aku dan orang-orang lain.”
Mereka bertatapan selama beberapa lama; seolah pikiran gadis
itu berputar, mencoba menerima semua ini.
Aku tidak tahu,
kata gadis itu dalam pikiran Thomas.
“Kau melakukannya lagi,” kata Thomas, meskipun dia lega
karena cara berkomunikasi ini tak lagi menakutkannya. “Bagaimana cara kau
melakukannya?”
“Aku melakukannya begitu saja, dan berani taruhan kau juga
bisa.”
“Ya, rasanya aku terlalu khawatir untuk mencobanya.” Anak
laki-laki itu duduk dan menekuk kedua lututnya, seperti yang dilakukan gadis
itu. “Kau tadi mengatakan sesuatu kepadaku—dalam kepalaku—tepat sebelum kau
menemukanku di sini. Kau bilang ‘Maze ini
adalah sebuah kode’. Apa maksudmu?”
Gadis itu menggelengkan kepala perlahan. “Saat kali pertama
siuman, aku seperti telah memasuki sebuah rumah sakit jiwa—ada orang-orang aneh
yang melayang di atas tempat tidurku, dunia seakan menimpaku, kenangan-kenangan
berputar di otakku. Aku mencoba meraih dan menyambar sebagian, dan itu adalah
salah satu dari kenanganku. Aku benar-benar tak ingat mengapa aku mengatakannya.”
“Ada yang lain lagi?”
“Sebenarnya, ya.” Gadis itu menarik lengan baju sebelah
kirinya, menunjukkan lengan atasnya. Ada huruf-huruf kecil tertera di atas
kulitnya menggunakan tinta hitam tipis.
“Apa itu?” tanya Thomas, mencondongkan tubuh untuk melihat
lebih jelas.
“Baca saja sendiri.”
Huruf-huruf itu berantakan, tapi dia dapat membacanya ketika
cukup dekat melihatnya.
WICKED adalah baik.
Jantung Thomas berdegup lebih kencang. “Aku pernah melihat
kata itu—wicked.” Dia berpikir keras
mengartikan maksud kata itu. “Pada makhluk-makhluk kecil yang tinggal di sini.
Serangga-Serangga-mesin.”
“Apakah mereka itu?” tanya Teresa.
“Mesin-mesin berbentuk seperti kadal yang memata-matai kita
untuk para Kreator—orang-orang yang mengirim kita ke sini.”
Teresa merenungkannya selama beberapa saat, memandang ke
langit. Kemudian, dia menatap lengannya. “Aku tak ingat mengapa aku menulis
ini,” katanya sambil membasahi ibu jarinya, kemudian meraba kata-kata itu.
“Tapi, aku tak akan lupa—ini pasti mengandung arti tertentu.”
Ketiga kata itu terus berkelebat di dalam pikiran Thomas.
“Kapan kau menulisnya?”
“Saat aku bangun. Mereka menyediakan pena dan buku catatan
di sebelah tempat tidur. Di tengah kegaduhan aku menulisnya.”
Thomas merasa bingung mengenai gadis ini—yang pertama adalah
hubungan yang dirasakannya terhadap gadis itu sejak awal, kemudian soal
bicara-lewat-pikiran, dan sekarang ini. “Segala tentangmu sungguh aneh. Kau
tahu itu, kan?”
“Dilihat dari tempat persembunyian kecilmu ini, kurasa kau
juga tak kalah anehnya. Suka hidup di dalam hutan, ya?”
Thomas memberengut, tetapi kemudian tersenyum. Anak
laki-laki itu merasa tampak menyedihkan, dan malu karena bersembunyi. “Ya, kau
terlihat tak asing lagi bagiku dan kau menyatakan bahwa kita berteman. Kurasa
aku percaya kepadamu.”
Dia mengulurkan tangan untuk kembali berjabat tangan, dan
anak perempuan itu menyambutnya, saling bersalaman selama beberapa lama. Thomas
menggigil yang anehnya terasa menyenangkan.
“Aku hanya ingin pulang,” kata gadis itu, akhirnya
melepaskan tangannya. “Seperti kalian semua.”
Jantung Thomas mencelus ketika dia kembali ke kenyataan dan
teringat betapa suramnya dunia saat ini. “Ya, semua memang kacau-balau saat
ini. Matahari menghilang dan langit berubah kelabu, mereka tidak mengirimkan
perbekalan mingguan untuk kita—sepertinya semua ini hanya akan berakhir di satu
titik atau semacamnya.”
Akan tetapi, sebelum Teresa menanggapinya, Newt berlari
keluar dari hutan. “Bagaimana ...,” katanya tiba di hadapan mereka. Alby dan
beberapa anak lain menyusul di belakangnya. Newt memandang Teresa. “Bagaimana
kau bisa kemari? Anak-medis memberi tahu bahwa kau berada di sana sekejap dan
detik berikutnya lenyap.”
Teresa bangkit, mengejutkan Thomas dengan kepercayaan
dirinya. “Kurasa dia lupa memberi tahu sebagian kecil cerita ketika aku
menendangnya dan memanjat jendela.”
Thomas hampir tertawa saat Newt menoleh ke seorang anak yang
lebih tua yang berdiri di dekatnya, yang wajahnya langsung merah padam.
“Selamat, Jeff,” kata Newt. “Kau secara resmi menjadi anak
laki-laki pertama di tempat ini yang berhasil dikalahkan oleh seorang anak perempuan.”
Teresa tidak berhenti sampai di situ. “Bicara seperti itu
lagi dan kau akan jadi yang berikutnya.”
Newt kembali menghadap mereka, tetapi wajahnya menampakkan
ketakutan. Dia berdiri, membisu, hanya memandang mereka. Thomas balas
menatapnya, ingin tahu apa yang berkecamuk di dalam kepala anak itu.
Alby maju selangkah. “Aku bosan dengan semua ini.” Dia
menuding dada Thomas, nyaris menyentuhnya. “Aku ingin tahu siapa dirimu, siapa
gadis ini, dan bagaimana kalian bisa saling mengenal.”
Thomas sudah merasa lelah. “Alby, aku bersumpah—”
“Anak perempuan ini langsung mendatangimu setelah siuman,
sialan!”
Kemarahan merayapi Thomas—dan cemas bahwa Alby akan mengamuk
seperti Ben. “Jadi, kenapa? Aku mengenalnya, dia mengenalku—atau paling tidak,
kami dulu saling mengenal. Itu tak berarti apa pun! Aku tidak ingat apa-apa. Begitu juga dengannya.”
Alby memandang Teresa. “Apa yang telah kau lakukan?”
Thomas, yang heran mendengar pertanyaan itu, menoleh kepada
Teresa untuk melihat apakah gadis itu
mengerti maksud Alby. Namun, Teresa tidak menjawab.
“Apa yang telah kau lakukan!” teriak Alby. “Pertama-tama
langit, lalu sekarang ini.”
“Aku telah membuka sesuatu,” gadis itu menjawab dengan
tenang. “Tapi, di luar kendaliku, aku bersumpah. Bagian Akhir. Aku tidak tahu
artinya.”
“Ada masalah apa, Newt?” tanya Thomas, tidak ingin langsung
berbicara kepada Alby. “Apa yang telah terjadi?”
Akan tetapi, Alby menyambar bajunya. “Apa yang telah
terjadi? Kuberi tahu kau apa yang telah terjadi, Bocah. Terlalu sibuk
bersenang-senang hingga lupa melihat ke sekelilingmu? Untuk memperhatikan pukul berapa saat ini!”
Thomas memandang arlojinya, ngeri ketika menyadari sesuatu
yang luput dari perhatiannya, mengetahui apa yang akan dikatakan Alby sebelum
anak itu mengungkapkannya.
Lagi seru nih hihi kapan update nya min,,, di tunggu loh :P
ReplyDeleteTolong dong minta pdf y buat tugas uas kuliah
ReplyDeleteKapan di update nih, penasaran banget ma kelanjutannya
ReplyDelete