Penulis : James Dashner
40
LAMPU-LAMPU berkelebat di seluruh isi
Wisma. Semua Glader berlarian, semua orang berbicara pada saat bersamaan.
Beberapa anak menangis di sudut ruangan. Kekacauan menguasai keadaan.
Thomas mengabaikan semuanya.
Dia berlari ke lorong, kemudian turun
dengan melompati tiga anak tangga sekaligus. Dia terus berlari menerobos
kerumunan di beranda, keluar dari Wisma dan menuju Pintu Barat, berlari
sekencang mungkin. Anak itu mengerem larinya tepat di perbatasan Maze, instingnya memaksa dirinya
berpikir dua kali untuk masuk ke sana. Newt memanggilnya dari belakang, menunda
keputusannya.
“Minho ikut ke luar sana!” teriak Thomas
ketika Newt tiba, sebuah handuk kecil ditekankan ke luka di kepalanya. Noda
darah terserap ke kain putih itu.
“Aku melihatnya,” kata Newt, menarik handuk
dan mengamatinya; anak itu meringis dan menempelkannya kembali ke kepalanya.
“Sial, sakit sekali. Minho akhirnya hilang akal—sama seperti Alby. Aku sudah
menebak dia memang sinting.”
Thomas tetap mencemaskan Minho. “Aku akan
mengejarnya.”
Waktunya untuk menjadi pahlawan lagi?”
Thomas memandang Newt dengan tajam,
tersinggung dengan teguran itu. “Kau piker aku melakukan ini untuk membuat
kalian semua terkesan? Yang benar saja. Aku hanya ingin keluar dari sini.”
“Ya, baiklah, kau memang anak yang tangguh.
Tapi, sekarang kita punya masalah yang lebih buruk.”
“Apa?” Thomas tahu dia tak memiliki waktu
mendengarkannya jika ingin menyusul Minho.
“Seseorang—” Newt memulai.
“Itu dia!” teriak Thomas. Minho baru saja
berbelok dari tikungan di depan dan berlari ke arah mereka. Thomas membentuk
corong dengan kedua tangan di mulutnya. “Apa yang kau lakukan, Bodoh!”
Minho menunggu hingga melewati Pintu dan
berhenti, kemudian membungkuk, kedua tangannya bertumpu di lutut, dan menarik
napas beberapa kali sebelum menjawab. “Aku hanya … ingin … memastikan.”
“Memastikan apa?” tanya Newt. “Keadaanmu
bisa saja lebih baik, dibawa bersama Gally.
Minho menegakkan tubuh dan berkacak
pinggang, masih bernapas terengah-engah. “Tenang dulu, Sobat! Aku hanya ingin
melihat apakah mereka langsung pergi ke Tebing. Menuju Lubang Griever.”
“Dan?” desak Thomas.
“Bingo.”
Minho mengusap keringat di keningnya.
“Aku tak percaya,” ujar Newt, nyaris dengan
berbisik. “Malam yang luar biasa.”
Thomas mencoba memikirkan tentang Lubang
itu dan arti semua ini, tetapi dia tak bias menyingkirkan pikiran tentang hal
yang akan dikatakan Newt sebelum mereka melihat Minho kembali. “Apa yang hendak
kau katakana kepada kami?” tanya anak itu. “Kau bilang ada sesuatu yang lebih
buruk—”
“Ya.” Newt menunjukkan ibu jarinya ke
belakang pundaknya. “Kau masih bisa melihat asapnya.”
Thomas memandang kea rah itu. Pintu baja
kokoh Ruang Peta sedikit terbuka, gumpalan asap hitam membumbung keluar menuju
langit kelabu.
“Seseorang membakar peti-peti Peta,” kata
Newt. “Semuanya.”
Entah mengapa, Thomas tidak terlalu peduli
dengan Peta-Peta itu—lagi pula benda-benda itu seperti tiada artinya. Dia
berdiri di luar jendela Tahannan, meninggalkan Newt dan Minho ketika mereka
pergi untuk menyelidiki sabotase Ruang Peta. Thomas memergoki mereka diam-diam
saling bertukar pandang sebelum berpisah, seolah membicarakan sebuah rahasia
melalui kontak mata. Namun, Thomas hanya memikirkan satu hal.
“Teresa?” panggilnya.
Wajah gadis itu muncul, kedua tangannya
mengucek-ucek matanya. “Ada yang terbunuh?” tanyanya, tampak linglung.
“Kau tadi tidur?” tanya Thomas. Dia merasa lega melihat gadis itu baik-baik
saja, membuatnya tenang.
“Tadinya,” sahut Teresa. “Sampai kudengar
sesuatu seperti merusak Wisma sedikit demi sedikit. Apa yang terjadi?”
Thomas menggelengkan kepala tak percaya.
“Aku tak mengerti bisa-bisanya kau tertidur di tengah suara para Griever itu di
sini.”
“Coba kapan-kapan kau bangun dari koma. Kau
akan tahu rasanya.” Sekarang jawab
pertanyaanku, kata gadis itu dalam pikiran Thomas.
Thomas mengerjap, sesaat terkejut oleh
suara itu sejak Teresa tidak melakukannya selama beberapa waktu. “Tolong
hentikan bicara lewat pikiran lagi.”
“Beri tahu aku apa yang terjadi.”
Thomas mendesah; ceritanya panjang, dan dia
merasa enggan mengisahkan seluruhnya. “Kau belum mengenal Gally, tapi dia
adalah anak sinting yang melarikan diri. Tadi dia muncul, melompat ke atas sebuah
Griever, dan mereka semua pergi ke dalam Maze.
Sangat tak masuk akal.” Thomas masih tak percaya hal itu benar-benar terjadi.
“Cerita yang luar biasa,” kata Teresa.
“Ya.” Thomas menengok ke belakang, berharap
melihat Alby di suatu tempat. Sudah pasti dia akan membolehkan Teresa keluar
sekarang. Para Glader berpencaran di sekeliling kompleks, tetapi tidak ada
tanda-tanda dari pemimpin mereka itu. Thomas kembali berbalik ke Teresa. “Aku
tak mengerti. Kenapa para Griever itu pergi setelah mendapatkan Gally? Dia
sempat mengatakan sesuatu tentang para Griever akan membunuh kita satu per satu
setiap malam hingga kita semua mati—dia setidaknya mengatakan hal itu dua
kali.”
Teresa mengeluarkan tangannya melalui
jeruji, menyadarkan ke bingkai beton jendela. “Hanya satu orang setiap malam?
Kenapa?”
“Aku tidak tahu. Dia juga bilang sesuatu
yang ada hubungannya dengan … percobaan-percobaan. Atau beberapa perubahan.
Semacam itu.” Thomas merasakan dorongan aneh seperti semalam—untuk memegang
salah satu tangan gadis itu. Namun, dia segera menghentikan lamunannya.
“Tom, aku sudah berpikir tentang
perkataanku. Bahwa Maze ini adalah
sebuah kode. Terkurung di dalam sini membuatku merenungkan tentang tujuan
dibuatnya tempat ini.”
“Dan, apa menurutmu?” Sungguh-sungguh tertarik,
Thomas mencoba menutup telinga dari semua teriakan dan omongan orang-orang yang
bising di seluruh Glade saat yang lain menyadari tentang Ruang Peta yang
terbakar.
“Ya, tembok-tembok itu bergerak setiap
hari, kan?”
“Ya.” Thomas yakin gadis itu menemukan
sesuatu.
“Dan, Minho bilang mereka menduga ada
polanya, kan?”
“Benar.” Roda-roda berpikir Thomas mulai
bergerak ke tempatnya, seolah ingatannya yang dahulu mulai membuka.
“Ya, aku tak ingat mengapa aku mengatakan
tentang kode kepadamu. Ketika aku sadar dari koma semua pikiran dan kenangan
berputar-putar tak keruan di kepalku, seakan aku bisa merasakan ada seseorang
sedang mengosongkan pikiranku,
menyedotnya keluar. Dan, seolah aku merasa harus mengatakan sesuatu tentang
kode itu sebelum lenyap. Jadi, pasti ada alasan yang penting.”
Thomas hampir tak mendengarnya—dia sedang
berpikir keras beberapa saat. “Mereka selalu membandingkan Peta setiap sektor
dengan hari sebelumnya, dan hari sebelumnya lagi, dari hari ke hari, setiap
Pelari hanya menganalisis Sektor mereka sendiri. Bagaimana seandainya mereka
membandingkan Peta-Peta itu dengan sektor-sektor lain ….” Suaranya mengecil,
merasa telah mendekati yang dicarinya.
Teresa sepertinya tak menghiraukannya,
memikirkan teorinya sendiri. “Yang kali pertama terpikir olehku mengenai kata
kode adalah huruf-huruf. Huruf-huruf dalam alfabet. Mungkin Maze itu mencoba mengeja sesuatu.”
Segalanya mengalir begitu cepat ke dalam
pikiran Thomas, anak itu hampir mendengar suara semua bagian yang menyatu pada
saat bersamaan. “Kau benar—kau benar! Tapi, para Pelari selama ini mengamatinya
dengan keliru. Mereka menganalisisnya dengan cara yang salah!”
Teresa kini mencengkeram jeruji-jeruji
jendela, buku-buku jarinya memutih, wajahnya menempel di jeruji besinya. “Apa?
Apa maksudmu?”
Thomas mencengkeram dua jeruji di sebelah
yang dipegang gadis itu, bergerak mendekat hingga mampu mambaui
aromanya—perpaduan bau keringat dan bunga-bungaan yang anehnya menyenangkan.
“Minho bilang bahwa pola-pola itu berulang dengan sendirinya, tetapi mereka
belum menemukan artinya. Tapi, mereka selalu mempelajarinya per sektor,
membandingkan satu hari dengan hari berikutnya. Bagaimana seandainya setiap
hari adalah bagian terpisah dari kode itu, dan seharusnya mereka menggunakan
kedelapan sektor sekaligus?”
“Menurutmu, mungkin ada sebuah kata yang
harus di pecahkan setiap hari?” tanya Teresa. “Dengan semua pergerakan tembok
itu?”
Thomas mengangguk. “Atau mungkin sebuah
huruf dalam sehari, aku tak tahu. Tapi, mereka selalu mengira semua pergerakan
itu akan memberi petunjuk tentang meloloskan diri, bukan mengeja sesuatu.
Selama ini mereka mempelajarinya sebagai sebuah peta, bukan gambaran dari
sesuatu. Kita harus—” Kemudian, dia terdiam, teringat apa yang baru saja diberi
tahu oleh Newt. “Oh, tidak.”
Kedua mata Teresa melebar penuh kecemasan.
“Ada apa?”
“Oh, tidak, tidak, tidak ….” Thomas
melepaskan cengkeramannya dari jeruji dan terhuyung ke belakang saat kesadaran
itu menghantamnya. Dia berbalik untuk melihat Ruang Peta. Asap telah berkurang,
tetapi masih membumbung keluar dari pintu, berupa asap ripis dan gelap yang
menyelubungi seluruh tempat.
“Ada apa?” tanya Teresa lagi. Dia tidak
bisa melihat Ruang Peta dari sudut pandangnya.
Thomas menoleh kepada anak perempuan itu.
Kurasa itu taka da gunanya ….”
“Apa!”
desak Teresa.
“Seseorang telah membkar semua Peta. Jika memang ada sebuah kode, ia sudah
lenyap.”[]
No comments:
Post a Comment