The Maze Runner (The Maze Runner #1) (22)

Penulis: James Dashner

22


SETENGAH jam telah berlalu.

Baik Thomas maupun Minho tak ada yang bergerak satu sentimeter pun.

Thomas akhirnya berhenti menangis; dia tak bisa menahan diri memikirkan pendapat Minho tentangnya, atau jika dia nanti bercerita pada yang lain, menyebutnya anak yang lemah. Namun, dia tak mampu mengendalikan diri; dia tak mampu mencegah air matanya keluar, dia tahu itu. Meskipun ingatannya payah, dia yakin inilah malam paling traumatis dalam hidupnya. Ditambah dengan kedua tangan yang kesakitan serta kelelahan luar biasa yang dirasakannya.

Dia merangkak sekali lagi ke tepi Tebing, menjulurkan kepala melewatinya untuk melihat lebih jelas saat fajar mulai terang. Langit di depannya berwarna ungu gelap, lambat laun berubah menjadi biru terang, dengan semburat oranye dari cahaya matahari di kejauhan, dengan gagris horison datar.

Dia memandang ke bawah, melihat tembok batu Maze tegak lurus dari sisi Tebing menuju dasar hingga menghilang sampai ke entah-apa di bawah sana. Seakan-akan Maze itu berdiri di atas sebuah fondasi beberapa kilometer di dalam tanah.

Tapi itu mustahil, pikirnya. Tak mungkin. Ini pasti hanya khayalan.

Dia berguling lagi hingga telentang, mengerang ketika bergerak. Rasa sakit di dalam dan luar tubuhnya tak pernah seperti ini sebelumnya. Setidaknya Pintu-Pintu akan terbuka sebentar lagi, dan mereka dapat kembali ke Glade. Dia menoleh ke arah Minho, yang meringkuk di lorong. “Aku tak percaya kita masih hidup,” katanya.

Minho tak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk, ekspresinya tampak kosong.

“Apakah mereka masih banyak? Apa kita sudah membunuh mereka semua?”

Minho mendengus. “Entah bagaimana caranya kita harus bisa pulang sebelum matahari terbit, atau sebentar lagi kita bakal diuber-uber sepuluh makhluk itu atau lebih.” Dia menggeliat, meringis, dan mengerang. “Sulit dipercaya. Sungguh. Kita berhasil melewati sepanjang malam—ini tak pernah terjadi sebelumnya.”

Thomas tahu seharusnya dia merasa bangga, berani, atau berarti. Namun, kini yang dirasakannya hanya kelelahan dan kelegaan. “Memangnya tindakan apa yang membuat kita berbeda?”

“Aku tidak tahu. Sulit bertanya kepada orang mati tentang tindakan keliru yang dilakukannya.”

Thomas tak bisa berhenti memikirkan mengapa jeritan kemarahan para Griever itu lenyap ketika mereka terjatuh dari Tebing, dan mengapa dia tak bisa melihat mereka melayang jatuh ke bawah. Ada sesuatu yang sangat aneh dan mengganggu tentang hal ini. “Mereka seolah hilang atau semacam itulah setelah melewati tepi tebing.”

“Ya, itu memang agak menakutkan. Beberapa Glader punya teori bahwa beberapa benda lain juga  akan menghilang. Tapi, kami sudah membuktikan kalau mereka salah. Lihat ini.”

Thomas mengawasi saat Minho melontarkan sebongkah batu melampaui Tebing, kemudian pandangannya mengikuti gerakan jatuhnya. Batu itu terus meluncur ke bawah, hingga terlalu kecil untuk dilihat. Dia berbalik memandang Minho. “Bagaimana batu itu membuktikan bahwa mereka salah?”

Minho mengangkat bahu. “Ya, batu itu tidak lenyap, kan?”

“Jadi, apa pendapatmu?” Thomas dapat merasakan sesuatu yang penting tentang hal ini.

Minho mengangkat bahu lagi. “Mungkin mereka adalah sihir. Kepalaku sakit terlalu sering memikirkannya.”

Mendadak Thomas tersentak, semua pikirannya tentang Tebing menguap. Dia teringat Alby. “Kita harus kembali.” Dengan otot-otot kaku, dia memaksa dirinya berdiri. “Harus ambil Alby dari tembok.”

Melihat raut wajah Minho yang bingung, Thomas segera menjelaskan tentang apa yang telah dilakukannya dengan sulur-sulur tanaman ivy.

Minho tertunduk, tatapannya putus asa. “Bagaimana kau bisa tahu? Ayo.” Dia mulai berjalan terhuyung-huyung di sepanjang lorong.

“Karena tak seorang pun berhasil melakukannya ....”

Suaranya menghilang, dan Thomas tahu apa yang dipikirkan anak itu. “Itu karena mereka sudah terbunuh oleh para Griever ketika kalian menemukan mereka. Alby hanya tersengat ileh salah satu jarum mereka, kan?”

Minho berdiri dan mengikuti Thomas berjalan lambat-lambat menuju Glade. “Aku tak tahu, kurasa hal semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa anak memang pernah disengat dengan jarum-jarum itu. Dan, merekalah yang mendapatkan Serum serta mengalami proses Perubahan. Anak-anak malang yang terjebak di dalam Maze sepanjang malam tidak ditemukan hingga esoknya—kadang-kadang beberapa hari kemudian, atau tidak sama sekali. Dan, mereka semua terbunuh dengan cara yang tak ingin kau dengar.”

Thomas bergidik memikirkannya. “Setelah semua yang telah kita lewati, kurasa aku bisa membayangkannya.”

Minho mengangkat wajahnya, wajahnya tampak terkejut. “Kurasa kau telah menemukannya. Selama ini kami salah—ya, semoga kami memang salah. Karena tak seorang pun yang telah disengat dan tidak berhasil pulang saat matahari terbenam bisa bertahan hidup, kami hanya berasumsi bahwa mereka tak akan selamat—karena terlambat untuk mendapat Serum.” Dia terlihat bersemangat dengan pemikirannya ini.

Ketika berbelok di tikungan berikutnya, Minho tiba-tiba mengambil jalan di depan. Langkah anak laki-laki itu semakin cepat, tetapi Thomas tetap berjalan seperti biasa, heran karena dia erasa tak asing dengan arah-arah ini, bahkan di tikungan-tikungan sebelum Minho menunjukkan jalannya.

“Oke—tentang Serum ini,” kata Thomas. “Aku sudah mendengarnya beberapa kali. Apa itu sebenarnya? Dan, dari mana asalnya?”

“Sesuai namanya, itu adalah serum. Serum Duka.”

Thomas memaksakan diri tertawa miris. “Kukira aku telah tahu semua tentang tempat gila ini. Kenapa disebut seperti itu? Dan, kenapa para Griever disebut sebagai monster penyebab kedukaan?”

Minho menjelaskan sembari mereka terus berjalan melewati tikungan-tikungan Maze yang seolah tiada akhir, kali ini tanpa ada yang memimpin. “Aku tak tahu dari mana kami mendapat nama-nama itu, tapi Serum-Serum itu diberikan oleh para Kreator—atau setidaknya itu panggilan kami terhadap mereka. Serum itu berada di antara perbekalan yang selalu datang dalam Kotak setiap minggu. Itu semacam obat atau penawar atau semacamnya, sudah berada di dalam sebuah alat penyunti, siap digunakan.” Dia memeperagakan cara menusukkan jarum ke lengannya. “Suntikkan alat itu kepada orang yang telah disengat dan itu akan menyelamatkan mereka. Mereka akan melalui proses Perubahan—yang mengerikan—tapi setelah itu, mereka akan sembuh.”

Selama satu hingga dua menit suasana hening saat Thomas mencerna informasi tersebut; mereka berbelok lagi di beberapa tikungan. Dia memikirkan tentang Perubahan, dan artinya. Dan, dengan alasan tertentu, dia juga memikirkan anak perempuan itu.

“Tapi aneh, memang,” akhirnya Minho meneruskan. “Kami tak pernah membicarakan ini sebelumnya. Jika Alby masih hidup, berarti tak ada alasan menduga dia tak bisa diselamatkan oleh Serum. Selama ini kami berpikir bahwa setelah Pintu-Pintu ditutup, nasibmu sudah tamat—selesai sudah. Aku harus melihat sendiri urusan tergantung-di-tembok ini—kau benar-benar membuatku terkejut.”

Kedua anak laki-laki itu terus berjalan, Minho hampir tampak gembira, tetapi masih ada satu hal yang mengganggu Thomas. Dia mencoba mengabaikannya, menyangkalnya sendiri. “Bagaimana bila ada Griever lain yang mendapatkan Alby setelah aku mengalihkan perhatian temannya yang mengejarku?”

Minho menoleh padanya, tanpa ekspresi.

“Kalau begitu, kita sebaiknya cepat-cepat ke sana,” kata Thomas, berharap segala usahanya menolong Alby tidak sia-sia.

Mereka berusaha mempercepat langkah, tetapi tubuh mereka terlalu nyeri dan mereka kembali berjalan lambat meskipun ingin segera tiba. Ketika sampai di tikungan berikutnya, Thomas mendadak ragu, jantungnya berdegup lebih cepat ketika dia melihat ada gerakan dari arah depan. Kelegaan membanjirinya sesaat berikutnya ketika dia sadar bahwa itu adalah Newt dan sekelompok Glader. Pintu Barat ke Glade berdiri menjulang di hadapan mereka dan sudah terbuka. Mereka berhasil pulang.

Melihat kedatangan mereka, Newt segera berlari menghampiri. “Apa yang terjadi?” desaknya; suaranya nyaris terdengar marah. “Mengapa ....”

“Nanti saja kami ceritakan,” potong Thomas. “Kami harus menyelamatkan Alby.”

Wajah Newt memucat. “Apa maksudmu? Dia masih hidup?”

“Lihat kemari.” Thomas berjalan ke arah kanan, menengadak ke tembok, mencari di sepanjang tanaman merambat yang lebat hingga dia melihat Alby tergantung di lengan dan kakinya jauh di atas mereka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Thomas menunjuk ke atas, tak berani terlalu berharap. Alby masih berada di sana, tetap  utuh, tetapi tak ada tanda-tanda gerakan.

Newt akhirnya melihat temannya tergantung di antara tanaman ivy, dan kembali memandang Thomas. Jika tadi dia terlihat sangat terkejut, kini dia tampak kebingungan. “Apakah dia ... masih hidup?”

Semoga saja, batin Thomas. “Aku tak tahu. Dia masih hidup ketika aku meninggalkannya di sana.”

“Ketika kau meninggalkan dia ...” Newt menggelengkan kepala. “Kau dan Minho segeralah masuk, biarkan Anak-anak medis memeriksa kalian. Kalian berdua kelihatan payah sekali. Aku ingin cerita lengkapnya setelah mereka selesai dan istirahat.”

Thomas ingin tetap tinggal dan melihat keadaan Alby. Dia hendak membuka mulut tetapi Minho merenggut tangannya dan memaksanya berjalan menuju Glade. “Kita perlu tidur. Dan, perban. Sekarang juga.”

Thomas tahu dia benar. Akhirnya, dia mengalah, menoleh kembali memandang Alby, kemudian mengikuti Minho keluar dan menjauh dari Maze.


Perjalanan kembali ke Glade dan kemudian ke Wisma seolah tak berujung, barisan para Glader memenuhi kedua sisi jalan, ternganga menatap mereka. Wajah mereka menunjukkan ketakjuban yang luar biasa, seolah sedang menatap dua hantu yang berjalan-jalan ditengah tanah pekuburan. Thomas tahu itu disebabkan mereka telah melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi dia merasa malu dengan semua perhatian ini.

Dia hampir berhenti melangkah sama sekali ketika melihat Gally di depan, dengan lengan terlipat dan menatap tajam, tetapi dia tetap berjalan. Meskipun harus memaksa dirinya sekuat tenaga, dia membalas tatapan Gally, tanpa berkedip. Ketika jarak mereka tinggal satu setengah meter, Gally tertunduk.

Kali ini Thomas merasa lebih baik. Hampir.

Menit-menit selanjutnya berlangsung dengan cepat. Mereka dituntun oleh beberapa Anak-medis ke dalam Wisma, menaiki tangga, sekilas melihat di balik pintu yang sedikit terbuka ada seseorang sedang menyuapi gadis yang tak sadarkan diri di pembaringan—Thomas merasa dorongan luar biasa untuk menemuinya, melihat keadaannya—lalu mereka menuju kamar, mendapatkan tempat tidur, makanan, air, dan perban. Sekujur tubuhnya sakit. Akhirnya, dia ditinggalkan sendiri, kepalanya direbahkan ke bantal terempuk yang masih mampu diingatnya dari kenangan yang tersisa.

Akan tetapi ketika tertidur, ada dua hal yang tak mau meninggalkan pikirannya. Pertama, kata yang dilihatnya tertulis di bawah badan dua Serangga-mesin semalam—wicked—selalu melintas di pikirannya.

Yang kedua adalah gadis itu.


Berjam-jam kemudian—dia menduganya berhari-hari—Chuck ada di sisinya, mengguncang tubuhnya untuk bangun. Butuh waktu beberapa detik bagi Thomas untuk terjada dan dapat melihat jelas. Dia menatap Chuck, mengerang. “Biarkan aku tidur.”

“Kurasa kau ingin tahu tentang ini.”

Thomas mengucek matanya dan menguap. “Ingin tahu apa?” Dia memandang Chuck lagi, bingung karena dia tersenyum lebar.

“Dia masih hidup,” katanya. “Alby baik-baik saja—Serumnya bekerja dengan baik.”

Rasa ngantuk Thomas seketika terhapus, berganti dengan kelegaan—kabar itu sangat menggembirakan. Namun, kata-kata Chuck selanjutnya membuatnya harus memikirkannya lagi.

“Dia baru saja memulai proses Perubahannya.”


Seolah dibuka oleh perkataan itu, sebuah jeritan yang menggetarkan membahana dari ruangan di aula.[]


No comments:

Post a Comment