Penulis: James Dashner
20
PAKU-PAKU Griever itu menancap ke tembok batu, menerbangkan
serpihan tanaman dan pecahan batu ke segalah arah. Lengan-lengannya merayap
seperti kaki-kaki. Serangga-mesin, beberapa di antaranya mempunyai ujung tajam
yang mengebor ke dalam batu tembok untuk menahan. Sebuah lampu terang di ujung
salah satu tangannya mengarah tepat kepada Thomas, hanya kali ini sorotan sinar
itu tidak bergerak.
Thomas merasa harapan terakhirnya telah menguap dari
tubuhnya.
Dia tahu satu-satunya pilihan yang tersisa adalah lari. Maafkan aku, Alby, batinnya ketika
membuka belitan sulur tanaman yang tebal dari dadanya. Menggunakan tangan
kirinya untuk berpegangan dengan kuat pada dedaunan di atasnya, dia akhirnya
selesai melepaskan lilitan tanaman dan siap bergerak. Dia tahu bahwa dia tak
bisa naik—yang akan menggiring Griever itu melintasi jalan melewati Alby. Ke
bawah, tentu saja, adalah satu-satunya pilihan jika dia ingin segera mati.
Dia harus pergi ke samping. Thomas mengulurkan tangan dan
menyambar sebuah sulur yang berjarak hampir satu meter di sebelah kirinya
bergantung. Setelah melilitkan sulur itu ke lengannya, dia menariknya
kuat-kuat. Sulur itu tertahan dengan kuat, seperti yang lain. Sekilas pandangan
ke bawah menampakkan bahwa Griever itu telah mencapai separuh jarak di antara
mereka, dan ia bergerak makin cepat, tanpa jeda atau berhenti.
Thomas melepaskan sulur tanaman yang dililitkan di dadanya
dan mengayunkan tubuhnya ke kiri, bertahan dengan susah payah untuk selalu
dekat ke tembok. Sebelum tubuhnya terayun kembali ke arah Alby, dia menyambar
sulur yang lain, berhasil mendapatkan yang tebal. Kali ini dia memegangnya
dengan kedua tangan dan berputar untuk menapakkan kakiknya ke tembok. Dia
menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan sejauh tanaman itu dapat membawanya, kemudian
melepaskannya dan menyambar sulur berikutnya. Lalu, berikutnya lagi. Seperti
monyet yang memanjat pohon. Thomas tak menduga dirinya mampu bergerak lebih
cepat daripada yang diharapkannya.
Suara-suara pengejarnya masih terus terdengar, hanya kini
bertambah dengan bunyi batu berderak dan pecah yang menggetarkan
tulang-tulangnya. Thomas berayun ke kanan beberapa kali lagi sebelum berani
menoleh ke belakang.
Griever itu telah mengubah arahnya dari Alby menjadi
langsung menuju Thomas. Akhirnya, kata
Thomas dalam hati, kali ini sesuai yang
diharapkan. Dengan dorongan kedua kakinya sekuat tenaga, ayunan demi
ayunan, dia menjauhi makhluk menyeramkan itu.
Thomas tidak perlu menoleh ke belakang untuk mengetahui
Griever itu berusaha mendapatkannya setiap saat. Bunyi-bunyi yang
ditimbulkannya menjadi pertanda yang jelas. Meskipun demikian, dia harus
kembali ke atas tanah, atau semua akan berakhir dengan cepat.
Ketika berayun ke sulur tanaman berikutnya, anak laki-laki
itu membiarkan genggamannya sedikit longgar agar meluncur ke bawah sebelum
mencengkeramnya dengan kuat. Tali-tanaman ivy
itu seperti membakar telapak tangannya, tetapi dia berhasil merosot beberapa
meter lebih dekat ke tanah. Dia kembali melakukan hal yang sama pada sulur
berikutnya. Dan, selanjutnya. Tiga ayunan lagi dia akan tinggal separuh jalan
menuju lantai Maze. Kedua tangannya
terasa sakit seperti terbakar; dia merasa kulit tangannya mengelupas.
Ketegangan yang menyelimuti dirinya membantu menyingkirkan rasa takutnya—dia
terus bergerak.
Di ayunan berikutnya, kegelapan menghalangi Thomas melihat
tembok baru mendekat di depannya hingga terlambat, lorong sudah sampai di ujung
dan berbelok ke kanan.
Dia menabrak tembok dengan kepala terlebih dulu, kehilangan
cengkeramannya di sulur tanaman. Pegangannya terlepas. Thomas menggapai-gapai,
meraih dan menyambar tanaman untuk menghentikan dirinya terjun bebas ke lantai
batu di bawah. Pada saat bersamaan, dia melihat Griever itu melalui sudut mata
kirinya. Griever telah berbalik arah dan hampir mendekatinya, menjulurkan
cakarnya yang mengatup-ngatup.
Thomas menemukan sebuah sulur ketika meluncur ke tanah dan
menyambarnya, kedua tangannya seolah nyaris terlepas dari persendiannya karena
gerakan berhenti yang mendadak. Dia menjejakkan kedua kakinya ke tembok sekuat
tenaga, mengayunkan tubuhnya sejauh mungkin dari tembok tepat pada saat Griever
itu menyerang dengan cakar-cakar dan jarum-jarumnya. Thomas menendang dengan
kaki kanannya, mengenai tangan yang melekat pada salah satu cakar. Suara berderak
tajam menandakan dia cukup berhasil, tetapi kegembiraan itu hanya sesaat ketika
dia tersadar bahwa momentum gerakan berayunnya kini membuatnya akan mendarat
tepat di atas makhluk itu.
Dengan ketegangan memuncak Thomas menarik kedua kakinya dan
merapatnya ke dada. Tepat ketika dia menyentuh tubuh Griever itu, terbenam
menjijikkan beberapa sentimeter ke dalam kulitnya yang berlendir, dia
menjejakkan kedua kakinya kuat-kuat, berkelit menghindari serangan jarum dan
cakat yang menyerbunya dari segala arah. Dia mengayunkan tubuhnya menjauh dan
ke arah kiri; kemudian melompat menuju tembok Maze, mencoba menyambar sulur tanaman yang lain; senjata-senjata
Griever yang mengerikan menggapai-gapai dan mencakar di belakangnya. Dia
merasakan punggungnya tergores dalam.
Terjatuh sekali lagi, Thomas menyambar sulur tanaman yang
lain dan mencengkeramnya dengan kedua tangan. Pegangannya cukup mengurangi
kecepatannya merosot ke tanah, dengan mengabaikan kedua tangannya yang seolah
terbakar. Segera setelah kedua kakinya menapak lantai batu yang keras, dia
melepaskannya, dan berlari meskipun tubuhnya luar biasa lelah.
Suara berdentam sangat keras terdengar di belakangnya,
diikuti bunyi menggelinding, berderak,
dan berdesing dari Griever. Namun, Thomas menahan keinginannya menoleh ke
belakang, menyadari setiap detik sangatlah berharga.
Dia berbelok di tikungan Maze,
kemudian di tikungan berikutnya. Memacu kaki-kakinya di atas lantai berbatu,
dia melesat secepat mungkin. Sebagian pikirannya merekam arahnya berlari, dia
berharap dapat hidup cukup lama untuk menggunakan ingatannya itu kembali ke
Pintu.
Kanan, lalu kiri. Menelusuri gang yang panjang, kemudian ke
kanan lagi. Kiri. Kanan. Kiri dua kali. Satu lagi gang panjang. Suara-suara
pengejarnya di belakangnya tidak berkurang ataupun menjauh, tetapi dia pun masih bertahan.
Dia terus dan terus
berlari, jantungnya siap meledak dari dadanya. Dengan beebrapa tarikan napas
yang dalam anak itu mencoba mengisi paru-parunya dengan oksigen, tetapi dia
sadar tak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Dia memikirkan bahwa lebih mudah
baginya untuk berbalik dan bertarung, dan membiarkan semuanya berakhir.
Ketika berbelok di tikungan selanjutnya. Thomas tergelincir
mengerem laju larinya kerena sesuatu di hadapannya. Tersengal-sengal tak keruan,
dia menatapnya.
Tiga Griever ada di depannya, menggelinding seraya
menancapkan paku-paku mereka ke lantai batu, menuju tepat ke arahnya.[]
No comments:
Post a Comment