The Maze Runner (The Maze Runner #1) (15)

Penulis: James Dashner

15


SELAMA dua malam berturut-turut, Thomas pergi tidur dengan dihantui bayangan wajah Ben yang menyerbu benaknya, menyiksanya. Sebera[a berbedakah segalanya saat ini seandainya itu tidak terjadi kepada anak laki-laki itu? Thomas hampir dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia akan sepenuhnya merasa puas, gembira, dan bersemangat mempelajari lebih banyak tentang hidup barunya, mencapai tujuannya menjadi seorang Pelari. Hampir. Jauh di dalam hatinya dia tahu bahwa Ben hanyalah bagian dari sekian banyak permasalahannya.

Akan tetapi, kini anak laki-laki itu sudah pergi, dibuang ke dunia para Griever, dibawa ke tempat merka membawa mangsanya, korban dari entah apa yang dilakukan di sana. Meskipun Thomas mempunyai sedikit alasan untuk tidak menganggap Ben, dia lebih kasihan kepadanya.

Thomas tidak dapat membayangkan keluar dengan cara seperti itu, tetapi berdasarkan momen-momen terakhir Ben, dengan kegilaannya mengamuk, meludah, dan menjerit-jerit, dia tak lagi menyangsikan pentingnya peraturan Glade bahwa tak seorang pun seharusnya masuk ke Maze kecuali para Pelari.

Entah bagaimana Ben telah disengat satu kali, yang artinya dia mengetahui lebih baik daripada siapa pun tentang apa yang menunggunya di dalam sana.

Anak malang, pikirnya. Anak yang sangat, sangat malang.

Thomas bergidik dan berguling ke samping. Semakin dia memikirkannya, menjadi seorang Pelari kedengarannya bukan ide yang bagus. Namun, yang tak dapat dimengerti, hal itu masih terus memanggilnya.


Keesokan paginya, fajar baru saja menyentuh langit sebelum terdengar suara-suara aktivitas di Glade membangunkan Thomas dari tidurnya yang paling nyenyak sejak dia tiba di sini. Dia duduk, mengucek mata, mencoba mengusir rasa peningnya. Menyerah, dia merebahkan diri kembali, berharap tak ada yang mengganggunya.

Itu berlangsung tak sampai dari semenit.

Seseorang menepuk bahunya dan ketika membuka mata dia melihat Newt sedang menatapnya. Apa lagi sekarang? pikirnya.

“Hai, bangun.”

“Ya, selamat pagi juga. Pukul berapa sekarang?”

“Pukul tujuh tepat, Anak-Bawang,” kata Newt dengan senyum mengejek. “Aku membiarkanmu tertidur setelah hari-hari berat kemarin.”

Thomas berguling ke posisi duduk, benci karena dia tak bisa berbaring untuk beberapa jam lagi. “Tertidur? Kalian ini apa, sih, segerombolan petani?” Petani—mengapa dia seperti sangat mengingat mereka? Sekali lagi ingatannya yang buram membuatnya bingung.

“Eh ... ya, sekarang kau sudah menyebutnya.” Newt menjatuhkan diri di sebelah Thomas dan duduk bersila. Dia duduk dengan tenang selama beberapa saat, memandangi semua kesibukan kegiatan yang mulai bangkit di Glade. “Kau akan bekerja dengan para Pengolah-lahan hari ini, Anak-Bawang. Kita lihat apakah itu lebih cocok denganmu ketimbang jadi pengiris anak-anak babi dan sejenisnya.”

Thomas muak diperlakukan seperti bayi. “Tidakkah seharusnya kau berhenti memanggilku seperti itu?”

“Apa, anak babi?”

Thomas memaksakan tawa dan menggelengkan kepala. “Tidak, Anak-Bawang. Aku bukan anak yang paling baru lagi, kan? Tapi, anak perempuan yang koma itu. Panggil dia Anak-Bawang—namaku Thomas.” Pikiran tentang gadis itu menumbuk benaknya, membuatnya teringat hubungan yang dirasakannya. Kesedihan menjalari tubuh Thomas, seolah dia merindukan anak perempuan itu, dan ingin bertemu dengannya. Ini tidak masuk akal, pikirnya. Aku bahkan tak tahu namanya.

Newt bersandar, kedua alisnya terangkat. “Wow—kau baru saja melewatkan malam yang berat, ya?”

Thomas tak mengacuhkannya dan bertanya. “Apa itu Pengolah-lahan?”

“Panggulan kami untuk orang-orang yang bekerja di Kebun—membajak tanah, menyiangi rumput, menanam, dan sejenisnya.”

Thomas mengangguk ke arah itu. “Siapa Pengawasnya?”

“Zart. Anak baik, asal pekerjaanmu beres, itu saja. Dia berbadan besar yang berdiri di depan semalam.”

Thomas tidak menanggapinya, berharap entah bagaimana dia dapat melewati sepanjang hari itu tanpa membicarakan Ben dan Pembuangan. Topik itu hanya membuatnya mual dan merasa bersalah sehingga dia mengalihkannya pada hal lain. “Jadi, kenapa kau membangunkanku?”

“Jadi, kau tak suka melihat mukaku kali pertama waktu bangun tidur?”

“Tidak juga, sih. Hanya—” Tetapi sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, suara gemuruh tembok-tembok yang membuka untuk hari ini memotongnya. Dia memandang ke Pintu Timur, nyaris berharap melihat Ben berdiri di sana di sisi seberang. Sebaliknya, dia melihat Minho menggeliat. Kemudian, Thomas mengawasi ketika dia berjalan keluar dan membawa sesuatu.

Itu adalah bagian galah dengan ban leher kulit terikat di ujungnya. Minho sepertinya tidak memedulikannya, melempar benda itu ke salah satu Pelari, yang meraih dan membawanya kembali ke gudang peralatan di dekat kawasan Kebun.

Thomas berbalik lagi kepada Newt, tampak bingung. Bagaimana mungkin Minho bertingkah tidak acuh tentang semua ini? “Apa yang—”

“Aku hanya pernah melihat tiga kali Pembuangan, Thomas. Sama buruknya dengan yang kai lihat semalam. Tapi, setiap saat pemangsaan, para Griever meninggalkan bah leher di ambang pintu kami. Membuatku gelisah tak keruan.”

Thomas mau tak mau sepakat dengannya. “Apa yang mereka lakukan terhadap orang-orang ketika menangkap mereka?” Apakah dia memang benar-benar ingin tahu?

Newt hanya mengangkat bahu, ketidakpeduliannya sangat tak meyakinkan. Lebih seperti dia tak ingin membicarakan hal itu.

“Tolong ceritakan kepadaku soal Pelari,” kata Thomas tiba-tiba. Kata-kata itu meluncur begitu saja. Namun, dia tetap berdiri menunggu meskipun terdorong untuk meminta maaf dan mengganti topik pembicaraan; dia ingin mengetahui semua tentang mereka. Bahkan, setelah semua yang dilihatnya semalam, bahkan setelah menyaksikan Griever melalui jendela, dia ingin mengetahuinya. Dorongan rasa ingin tahunya sangat kuat, dan dia tidak tahu sebabnya. Menjadi seorang Pelari sepertinya bagai sebuah takdir yang harus dilakukannya.

Newt tak menjawab, terlihat bingung, “Para Pelari? Kenapa?”

“Hanya ingin tahu.”

Newt memandangnya curiga. “Mereka adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Harus. Segalanya bergantung kepada mereka.” Dia mengambil sebongkah batu dan melemparnya, mengawasinya memantul sampai berhenti dengan tatapan kosong.

“Kenapa kau bukan salah satunya?”

Pandangan Newt kembali kepada Thomas, menusuk. “Dulunya ya, sebelum kakiku luka beberapa bulan belakangan ini. Sejak itu tak pernah sama lagi.” Dia merunduk dan mengusap pergelangan kaki kanannya sambil lalu, sekilas ekspresi nyeri terlihat di wajahnya. Pemandangan itu membuat Thomas berpikir bahwa itu disebabkan kenangan kejadian tersebut, bukan karena rasa sakit yang masih dirasakannya.

“Bagaimana ceritanya?” tanya Thomas, berpikir semakin dia dapat memancing Newt berbicara, dia mungkin akan lebih banyak mendapat petunjuk.

“Kabur dari Griever pengganggu itu, apa lagi coba? Ia hampir menangkapku.” Dia terdiam. “Masih membuatku merinding memikirkan bahwa aku bisa saja melewati proses Perubahan.”

Perubahan. Itu adalah satu topik yang menurut Thomas akan menuntunnya menemukan jawaban-jawaban lebih daripada yang lain. “Omong-omong, apa sebenarnya Perubahan itu? Perubahan macam apa? Apakah semua orang akan jadi gila seperti Ben dan mulai mencoba membunuh orang-orang?”

“Ben lebih buruk dari sebagian besar yang mengalaminya. Tapi, kukira kau ingin membicarakan tentang para Pelari.” Nada suara Newt mengisyaratkan bahwa pembicaraan tentang perubahan telah berakhir.

Hal ini membuat Thomas merasa lebih penasaran meskipun dia tidak keberatan mengganti topik kembali ke soal para Pelari. “Oke, aku mendengarkan.”

“Seperti yang kubilang, mereka yang terbaik di antara yang terbaik.”

“Jadi, apa yang kalian lakukan? Menguji semua orang untuk melihat seberapa gesit mereka?”

Newt memandang Thomas dengan kesal dan mengerang. “Tunjukkan sedikit kecerdasanmu, he, Anak-Bawang, Thomas, terserah yang mana. Seberapa cepat kau bisa berlari hanyalah sebagian dari itu. Bagian yang sangat kecil, sebenarnya.”

Ini memancing rasa ingin tahu Thomas. “Apa maksudmu?”

“Saat kubilang yang terbaik di antara yang terbaik, artinya dalam semua hal. Untuk bertahan hidup di dalam Maze, kau harus cerdas, gesit, dan kuat. Harus punya kemampuan memutuskan sesuatu, tahu besar risiko yang harus diambil. Tak boleh sembrono, atau ragu-ragu.” Newt meluruskan kaki dan bersandar dengan bertumpu di kedua tangannya. “Di sana benar-benar mengerikan, kau tahu? Aku tidak merasa kehilangannya.”

“Kupikir para Griever hanya keluar malam hari.” Ditakdirkan atau tidak, Thomas tidak ingin bertemu dengan salah seorang dari mereka.

“Ya, biasanya.”

“Lalu, mengapa di sana begitu menyeramkan?” Apakah ada hal lain yang tak diketahuinya?

Newt mendesah. “Tekanan. Stres. Pola Maze berbeda setiap hari, kau harus mengingat-ingatnya, mencoba mengeluarkan kita dari sini. Cemas. Tentang urusan Peta-Peta itu. Yang terburuk, kau selalu takut tak berhasil kembali lagi. Sebuah maze normal sudah cukup sulit—tapi kalau itu berubah setiap malam, dengan sedikit saja tekanan mental kau akan melewatkan malam dengan monster-monster ganas itu. Tak ada tempat atau waktu bagi anak-anak bodoh atau nakal.”

Thomas mengerutkan dahi, tak memahami gejolak yang timbul dalam dirinya, terus mendorongnya. Terutama setelah tadi malam. Namun, dia masih merasakannya. Sepenuhnya.

“Kenapa kau begitu tertarik?” tanya Newt.

Thomas ragu-ragu, berpikir, takut untuk mengatakannya lagi. “Aku ingin jadi Pelari.”

Newt menoleh dan memandangnya lurus-lurus. “Kau belum seminggu berada di sini, Anak Bodoh. Agak terlalu cepat untuk berharap mati, ya, kan?”

“Aku serius.” Bahkan, Thomas menganggapnya tak masuk akan, tetapi dia sangat merasakannya. Kenyataannya, keinginan menjadi seorang Pelari adalah satu-satunya yang menggerakkan hatinya, membantunya menerima keadaannya yang sulit.

Newt tidak memutus pandangannya. “Begitu juga aku. Lupakan saja. Tidak ada seorang pun yang pernah menjadi Pelari pada bulan pertama mereka, apalagi pada minggu pertama. Butuh banyak pembuktian sebelum kami merekomendasikanmu kepada seorang Pengawas.”

Thomas berdiri dan mulai melipat kantong tidurnya. “Newt, aku serius. Aku tidak bisa mencabuti rumput sepanjang hari—aku bisa gila. Aku tak punya petunjuk tentang apa yang kulakukan sebelum mereka mengirimku ke sini dalam kotak logam itu, tapi naluriku mengatakan bahwa menjadi seorang Pelari adalah hal yang seharusnya kulakukan. Aku sanggup melakukannya.”

Newt masih duduk di sana, menatap Thomas, tak menanggapinya. “Tak ada yang bilang kau tak sanggup melakukannya. Tapi, tunda dulu keinginan itu sekarang.”

Thomas merasa tak sabar. “Tapi—”

“Dengar, percaya kepadaku tentang hal ini, Tommy. Jika kau mulai berkeliaran di tempat ini mengoceh bahwa kau terlalu oke untuk bekerja sebagai petani, tentang betapa baik dan siapnya dirimu menjadi seorang Pelari—kau akan mendapat banyak musuh. Hentikan itu mulai sekarang.”

Mendapat musuh adalah hal terakhir yang diinginkan Tommy, tetapi dia bergeming. Anak itu memutuskan untuk mencari jalan lain. “Baik, aku akan bicara dengan Minho soal ini.”

“Usaha yang bagus, Anak Bodoh. Acara Pertemuan akan memilih para Pelari, dan jika kau pikir aku keras kepala, mereka akan tertawa di depan wajahmu.”

“Asal kalian semua tahu, aku bisa jadi Pelari yang hebat. Membuatku menunggu hanya membuang waktu.”

Newt berdiri mengikuti Thomas dan menudingkan jari ke wajahnya. “Dengar aku, Anak-Bawang. Kau bisa dengar dengan baik dan jelas?”

Anehnya Thomas tak merasa terintimidasi. Dia memutar bola matanya, tetapi kemudian mengangguk.

“Sebaiknya, kau hentikan omong kosongmu ini sebelum yang lain mendengarnya. Itu peraturan di sini, dan seluruh eksistensi kita bergantung pada berjalannya semua itu.”

Dia berhenti berbicara, tetapi Thomas tak menanggapi, berharap-harap cemas Newt akan menerangkannya.

“Peraturan,” Newt melanjutkan. “Peraturan. Ulang terus-menerus kata itu dalam kepala bodohmu. Alasan kita semua bisa waras di tempat ini karena kita bekerja dan mematuhi peraturan. Kami mengeluarkan Ben karena peraturan—tak bisa biarkan anak sinting berkeliaran mencoba bunuh orang-orang, kan? Peraturan. Hal terakhir yang kami butuhkan adalah kau merusak semua itu.”

Sikap keras kepala Thomas menguap. Dia tahu ini saatnya menutup mulut. Dia hanya menyahut dengan “Ya”.

Newt menepuk punggungnya. “Ayo buat kesepakatan.”

“Apa?” Harapan Thomas bangkit kembali.

“Kau tutup mulut soal ini, dan aku akan menempatkanmu dalam daftar calon potensial sesegera mungkin saat kau menunjukkan beberapa kelebihanmu. Sekali saja kau buka mulut, kujamin keinginanmu tak akan pernah terjadi. Sepakat?”

Thomas membenci gagasan menunggu itu, tanpa tahu harus seberapa lama. “Itu kesepakatan yang payah.”

Kedua alis Newt terangkat.

Thomas akhirnya mengangguk. “Setuju.”

“Ayo, kita ambil sedikit makanan dari Frypan. Dan, semoga kita tidak perlu setengah mati menelannya.”


Pagi itu Thomas akhirnya bertemu dengan Frypan yang terkenal masam itu meskipun hanya dari kejauhan. Anak itu terlalu sibuk menyiapkan sarapan ke sepasukan penghuni Glade yang kelaparan. Usianya tak mungkin lebih dari enam belas tahun, tetapi dia berjenggot lebat dan bulu-bulu tumbuh di bagian tubuhnya yang lain, seolah setiap bulu mendesak-desak keluar dari balik bajunya yang berlepotan makanan. Dia tak terlihat seperti anak yang paling bersih di dunia untuk mengelola semua urusan memasak, pikir Thomas. Dia mencatat dalam hati untuk berhati-hati pada bulu hitam menjijikkan di makanannya nanti.

Dia dan Newt baru saja bergabung dengan Chuck untuk sarapan di meja piknik tepat di luar Dapur ketika serombongan besar Glader berdiri dan berlari ke Pintu Barat, berbicara antusias tentang sesuatu.

“Apa yang terjadi?” tanya Thomas, terkejut mendengar dirinya begitu tenang mengucapkannya. Perkembangan-perkembangan baru di Glade telah menjadi bagian dalam hidupnya.

Newt mengangkat bahu seraya menyendok telurnya. “Hanya melepas Minho dan Alby pergi—mereka akan melihat bangkai Griever itu.”

“Hai,” kata Chuck. Serpihan daging babi terlempar keluar dari mulutnya saat berbicara. “Aku ingin bertanya soal itu.”

“Ya, Chuckie?” tanya Newt, terdengar sinis. “Dan, apa pertanyaanmu itu?”

Chuck kelihatan berpikir serius. “Ya, kalian menemukan Griever yang mati, kan?”

“Ya,” ulang Newt. “Trims sudah memberitahuku soal itu.”

Chuck tak mengindahkannya dan mengetuk-ngetukkan garpunya ke meja selama beberapa detik. “Ya, jadi, siapa yang telah membunuh makhluk bodoh itu?”


Pertanyaan yang sangat bagus, pikir Thomas. Dia menunggu Newt menjawab, tetapi anak itu hanya diam. Dia jelas tak punya petunjuk.[]


No comments:

Post a Comment