Penulis: James Dashner
18
THOMAS memandang ke titik tempat Minho menghilang.
Rasa tidak sukanya kepada anak itu meluap di dalam hatinya.
Minho sudah berpengalaman dengan tempat ini, dia seorang Pelari. Thomas adalah
seorang Anggota Baru, baru beberapa hari berada di Glade, dan beberapa menit di
dalam Maze. Namun, di antara mereka berdua,
Minho putus asa dan panik, hanya ingin melarikan diri setelah melihat adanya
masalah. Bisa-bisanya dia meninggalkan
aku di sini? Pikir Thomas. Teganya
dia melakukan itu!
Suara-suara bising itu semakin keras. Gemuruh mesin
bersahut-sahutan dengan bunyi menggelinding dan gemerincing seperti rangkaian
rantai yang menggerakkan alat-alat di sebuah pabrik tua dan berdebu. Lalu,
tercium bau—sesuatu yang terbakar, berminyak. Thomas tak mampu menahan diri
untuk menduga makhluk yang kini mendatanginya; dia telah melihat salah satu
Griever, tetapi hanya sekilas, dan melalui sebuah jendela kotor. Apa yang akan
mereka perbuat terhadapnya? Seberapa lama dia dapat bertahan?
Cukup, katanya
kepada diri sendiri. Dia harus berhenti membuang waktu menunggu mereka datang
dan mengakhiri hidupnya.
Dia berbalik dan memandang Alby, masih terpuruk di dinding
batu, kini hanya terlihat seperti gundukan bayangan di kegelapan. Berlutut ke
tanah, Thomas meraba leher Alby, mencari denyut nadi. Masih ada. Dia
mendengarkan di dadanya seperti yang dilakukan Minho tadi.
Dug-dug, dug-dug,
dug-dug.
Masih hidup.
Thomas segera berdiri lagi, kemudian mengusap dahinya dengan
lengannya, mengelap keringat. Saat itu juga, dalam waktu beberapa detik saja,
dia menyadari banyak hal tentang dirinya sendiri. Tentang Thomas yang dulu.
Dia tidak dapat meninggalkan seorang teman mati begitu saja.
Bahkan, seseorang yang setakmenyenangkan Alby.
Dia membungkuk dan meraih kedua tangan Alby, kemudian
berjongkok dan melingkarkan tangannya ke lehernya dari belakang. Dia mengangkat
tubuh yang tak sadarkan diri itu ke punggungnya dan mendorong dengan kakinya
sambil mendengus keras.
Akan tetapi, terlalu berat. Thomas terjatuh ke depan dengan
wajah lebih dahulu; Alby terguling ke samping dengan bunyi berdebum keras.
Suara-suara menakutkan para Griever kian mendekat setiap
detiknya, bergema di tembok-tembok batu Maze.
Thomas merasa dapat melihat kilatan cahaya terang di kejauhan, memelesat ke
langit malam. Dia tidak ingin bertemu dengan sumber semua sinar dan
bunyi-bunyian itu.
Mencoba cara lain, dia meraih kedua tangan Alby lagi dan
mulai menyeretnya di atas tanah. Dia tak percaya betapa beratnya badan anak itu, dan setelah kira-kira lima meter mencoba Thomas
sadar ini tak akan berhasil. Lagi pula, hendak ke mana dia akan membawanya?
Dia mendorong dan menarik Alby kembali ke batas celah yang
menandai pintu masuk ke Glade, dan meletakkannya sekali lagi dalam posisi
duduk, bersandar ke tembok batu.
Thomas juga duduk bersandar, terengah-engah setelah
berusaha, kemudian berpikir. Sambil memandang lorong-lorong gelap di Maze, dia berusaha mencari jalan keluar.
Dia hampir tak dapat melihat apa pun, dan dia tahu, seperti yang dikatakan
Minho, bahwa berlari adalah hal bodoh
bahkan meskipun dia sanggup membawa
Alby. Tak hanya karena kemungkinan tersesat, dia bisa jadi berlari menghampiri
para Griever itu alih-alih menjauhi mereka.
Dia memikirkan tembok itu, dan tanaman ivy yang menjalar. Minho belum menjelaskannya, tetapi dari
kata-katanya tadi terkesan bahwa memanjat tembok-tembok ini adalah hal yang tak
mungkin. Namun ....
Sebuah rencana terlintas di benaknya. Ini semua bergantung
pada kemampuan-kemampuan para Griever yang belum diketahuinya, tetapi ini usaha
terbaik yang dapat dilakukannya.
Thomas berjalan beberapa meter menyusuri tembok hingga
menemukan rumpun tebal tanaman ivy
menutupi sebagian besar bebatuan. Dia membungkuk dan merenggut salah satu sulur
tanaman yang menjulur hingga ke tanah dan melilitkannya ke tangannya. Rasanya
kuat dan kokoh lebih daripada dugaannya, dengan diameter kira-kira satu
sentimeter. Dia menariknya, dan dengan bunyi seperti setumpuk kertas yang
disobek, tanaman merambat itu tercerabut dari dinding—semakin panjang ketika Thomas
menapak mundur menjauhinya. Setelah bergerak mundur sepanjang tiga meter, dia
tak lagi dapat melihat ujung sulur tanaman itu di atas, menghilang di
kegelapan. Namun, tanaman yang tercerabut itu belum lepas sepenuhnya, jadi
Thomas tahu tali sulur itu masih melekat di atas.
Agak ragu-ragu untuk mencoba, Thomas membulatkan tekad dan
menarik tanaman ivy itu dengan
segenap kekuatannya.
Tanaman itu tetap bertahan.
Dengan cepat Thomas menyambar sulur tanaman yang lain,
mencerabutnya dari dinding, membentuk beberapa utas tali panjang untuk
memanjat. Dia mencobanya satu per sat, dan semuanya terasa sekuat yang pertama.
Merasa lebih bersemangat, dia kembali kepada Alby dan menyeretnya menuju
rangkaian sulur tanaman itu.
Suara berderak tajam bergema di dalam Maze, diikuti bunyi berkeriut logam yang menakutkan. Thomas,
terkejut dan membalikkan badan, pikirannya terlalu berkonsentrasi pada
sulur-sulur tanaman itu hingga untuk beberapa saat dia mengabaikan para Griever
itu. Dia memandang cepat ke segala arah Maze.
Anak laki-laki itu tak melihat ada sesuatu yang datang, tetapi bunyi-bunyi itu
semakin keras—suara berdesing, berderum, bergemerencing. Dan, udara seolah menjadi lebih terang dengan sangat
perlahan-lahan; dia kini dapat melihat lebih banyak detail Maze daripada beberapa menit yang lalu.
Dia teringat sinar-sinar aneh yang dilihatnya melalui
jendela Glade dengan Newt. Para Griever itu sudah dekat. Pasti.
Thomas mengenyahkan rasa panik yang mulai menyelimutinya dan
memerintahkan dirinya sendiri untuk bekerja.
Dia menyambar satu sulur dan melilitkannya ke lengan kanan
Alby. Thumbuhan itu tak cukup panjang sehingga dia harus menyangga tubuh Alby
sebisa mungkin agar bisa berhasil. Setelah beberapa kali melilitnya, dia
menyimpul mati sulur itu. Kemudian, dia meraih satu lagi sulur dan melilitnya
di lengan kiri Alby, lalu kedua kakinya, mengikatnya masing-masing dengan erat.
Dia agak mencemaskan peredaran darah anak itu yang mungkin terhambat, tetapi
dia mengambil risiko itu.
Mencoba mengabaikan keraguan yang melintas di benaknya,
Thomas kembali bergerak. Kini gilirannya.
Dia menyambar sebuah sulur dengan kedua tangan dan mulai
memanjat, langsung ke bagian atas tempat Alby diikat. Dedaunan lebat tanaman ivy menjadi tempat pegangan yang
sempurna, dan Thomas girang ketika mengetahui bahwa retakan-retakan di tembok
batu dapat menjadi pijakan-pijakan kokoh untuk kakinya saat memanjat. Dia mulai
berpikir betapa mudahnya melakukan ini tanpa ....
Dia menahan diri mengakhiri pemikiran itu. Dia tak dapat
meninggalkan Alby.
Ketika dia sampai kira-kira satu meter di atas temannya,
Thomas melilitkan salah satu sulur tanaman di sekeliling dadanya, beberapa
kali, dengan erat hingga ke bawah ketiaknya. Perlahan-lahan, dia membiarkan
dirinya tergantung, melepaskan kedua tangannya, tetapi memiarkan kedua kakinya
tetap bertahan di sebuah ceruk besar. Kelegaan membanjirinya ketika terasa
olehnya tanaman merambat itu tetap kokoh.
Kini tiba di bagian yang terberat.
Empat sulur tanaman yang diikatkan kepada Alby di bawahnya melilit
dengan kuat. Thomas memegang sulur yang melilit kaki kiri Alby, dan menariknya.
Dia hanya mampu mengangkatnya beberapa sentimeter sebelum melepasnya
lagi—bobornya terlalu besar. Dia tak sanggup melakukannya.
Dia merambat turun ke lantai Maze, memutuskan mencoba mendorongnya
dari bawah ketimbang menariknya dari
atas. Untuk mengujinya, dia mencoba menaikkan Alby sepanjang satu meter, per
anggota badan. Pertama, dia mendorong kaki kirinya ke atas, kemudian melilitnya
dengan sulur baru di sana. Kemudian, kaki kanan. Ketika posisi keduanya sudah
aman, Thomas melakukan hal yang sama pada dua tangan Alby—kanan, kemudian kiri.
Dia mundur, terengah-engah, memandang hasilnya.
Alby tergantung di sana, tampaknya pingsan, kini berada satu
setengah meter lebih tinggi daripada lima menit sebelumnya.
Bunyi gemerincing dari Maze.
Berdesing. Berdengung. Bergerung. Thomas merasa melihat beberapa kilatan cahaya
merah dari arah kirinya. Para Griever itu semakin dekat, dan kini jelas ada
lebih dari satu.
Dia harus kembali bekerja.
Menggunakan cara yang sama mendorong naik setiap lengan dan
kaki Alby setengah hingga satu meter setiap kalinya, Thomas juga mulai memanjat
dinding batu. Dia naik hingga berada persis di bawah Alby, melilitkan sebuah
sulur di dadanya sendiri untuk menahan, kemudian mendorong Alby sejauh yang
sanggup dilakukannya, per anggota tubuh, dan melepaskan belitan tanaman ivy. Kemudian, dia mengulang semua
prosesnya lagi.
Panjat, lilit, dorong, lepaskan belitan.
Panjat, lilit, dorong, lepaskan belitan. Setidaknya para
Griever itu sepertinya bergerak perlahan melintasi Maze, memberinya waktu.
Naik dan naik, sedikit demi sedikit, mereka ke atas. Usaha
ini sangat melelahkan; napas Thomas sangat berat, keringat mengucur deras di
sekujur kulit tubuhnya. Kedua tangannya mulai licin dan tergelincir di pegangan
sulur. Kedua kakinya kebas menahan beban di celah-celah retak tembok batu.
Suara-suara itu semakin keras—bunyi-bunyi yang sangat mengerikan. Thomas terus
berusaha.
Ketika mereka berada di titik sekitar sepuluh meter di atas
tanah, Thomas berhenti, berayun di sulur tanaman yang telah dibelitkan ke
dadanya. Menggunakan tangannya yang masih kering dan kebas, dia berputar
menghadap Maze. Kelelahan yang tak
pernah dibayangkannya sebelum kini memenuhi setiap sel-sel tubuhnya. Anak itu
merasa nyeri dan cemas; otot-otonya memberontak. Dia tidak sanggup lagi
mendorong Alby satu sentimeter pun. Hanya sampai di sini.
Di sinilah mereka akan bersembunyi. Atau melawannya.
Anak itu sadar mereka tidak dapat mencapai puncak—dia hanya
berharap Griever itu tidak dapat atau tidak akan mendongak memandang mereka.
Atau, setidaknya, Thomas berharap dia sanggup melawan mereka dari atas, satu
per satu, daripada jadi bulan-bulanan di atas tanah.
Dia tak tahu apa yang diharapkannya; dia tak tahu apakah
masih dapat melihat esok hari. Namun, di sini, tergantung pada tanaman ivy merambat, Thomas dan Alby akan
menjumpai nasib mereka.
Beberapa menit berlalu sebelum Thomas melihat pantulan
cahaya berkelip di bagian atas tembok-tembok Maze. Bunyi-bunyi mengerikan yang didengarnya kian melengking
selama sejam terakhir, berkeriut, seperti teriakan kematian sebuah robot.
Sekilas cahaya merah di sebelah kirinya, di atas dinding, mengalihkan
perhatiannya. Dia menoleh dan nyaris menjerit keras—sebuah Serangga-mesin hanya
berada beberapa sentimeter darinya, kaki-kakinya yang kecil dan panjang melesak
ke dalam rumpun tanaman ivy dan entah
bagaimana melekat ke dinding batu. Sinar merah di matanya seperti matahari kecil,
terlalu terang untuk dipandang secara langsung. Thomas memicingkan mata dan
mencoba lebih memperhatikan tubuh makhluk itu.
Batang tubuhnya berbentuk silinder berwarna perak, mungkin
berdiameter kira-kira tujuh sentimeter, dengan panjang 25 sentimeter. Dua belas
kaki berderet di sepanjang bagian bawah tubuhnya, terentang ke arah luar,
membuat makhluk itu terlihat seperti kadal yang sedang tidur. Kepala benda itu
tidak terlihat karena sinar merah menyorot tepat ke arah Thomas, meskipun
bentuknya sepertinya kecil, barangkali pandangan menyilaukan ini adalah
satu-satunya kegunaannya.
Kemudian, Thomas melihat sesuatu yang paling membuatnya
menggigil. Dia merasa pernah melihatnya sebelumnya, di Glade ketika sebuah
Serangga-mesin berlari melewatinya dan masuk ke hutan. Kini hal itu menjadi
jelas: cahaya merah dari matanya menampakkan kilau menyeramkan barisan lima
huruf kapital yang tercoreng di bagian bawah tubuhnya, seolah ditulis
menggunakan darah.
WICKED
Thomas tak dapat membayangkan alasan kata itu dicapkan pada
sebuah Serangga-mesin kecuali dengan tujuan memberi tahu para Glader bahwa itu
adalah makhluk yang kejam. Jahat.
Dia tahu benda itu pasti sejenis mata-mata yang dikirim ke
sini oleh entah siapa—Alby pernah memberitahunya kira-kira seperti itu,
mengatakan bahwa para serangga adalah cara para Kreator mengawasi mereka.
Thomas membeku, menahan napas, berharap serangga itu hanya dapat mendeteksi
adanya gerakan. Detik-detik yang panjang berlalu, paru-parunya menjerit
mengharapkan udara.
Dengan suara klik dan klak serangga itu berbalik dan berlari
pergi, lenyap di balik rimbun tanaman merambat. Thomas menghirup napas
dalam-dalam, dan lagi, merasakan impitan sulur yang membelit dadanya.
Suara berkeriut yang nyaring kembali membahana di Maze, kini terdengar dekat, diikuti
bunyi mesin-mesin berputar gaduh. Thomas berusaha meniru Alby yang pingsan,
tergantung lemah di belitan tanaman merambat.
Kemudian, sesuatu berbelok di sudut depan, langsung ke arah
mereka.
Sesuatu yang pernah dilihat Thomas sebelumnya, tetapi dari
balik kaca tebal yang aman.
Sesuatu yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Griever.[]
No comments:
Post a Comment