Penulis: James Dashner
16
THOMAS menghabiskan pagi dengan Pengawas Kebun, “bekerja
keras”, seperti yang dikatakan Newt. Zart adalah anak berambut hitam dan
bertubuh tinggi yang berdiri di bagian depan galah ketika Pembuangan Ben, dan
yang karena sebab tertentu berbau aneh seperti susu basi. Dia tidak banyak
bicara, tetapi menerangkan seluk-beluk pekerjaannya kepada Thomas hingga dia
bisa memulai pekerjaannya sendiri. Menyiangi, memangkas pohon aprikot, menanam biji labu dan mentimun,
memetik sayuran. Thomas tidak menyukai pekerjaan itu, dan mengabaikan anak-anak
lain yang bekerja di sekitarnya, tetapi dia tak membencinya sebesar seperti
yang dikerjakannya untuk Winston di Rumah Darah.
Thomas dan Zart sedang menyiangi barisan panjang tanaman
jagung muda ketika Thomas memutuskan itu saat yang baik untuk bertanya. Sang
Pengawas ini kelihatannya jauh lebih mudah didekati.
“Eh, Zart,” katanya.
Pengawas itu meliriknya, lalu melanjutkan pekerjaannya. Ana
itu memiliki mata sayu dan wajah lonjong—entah mengapa di terlihat sangat
bosan. “Ya, Anak-Bawang, apa yang kau inginkan?”
“Ada berapa total Pengawas di sini?” tanya Thomas, mencoba
terlihat santai. “Dan, mereka mengawasi pekerjaan apa saja?”
“Ya, ada Pembangun, Pembersih, Pemungut, Juru-masak,
Pembuat-peta, Anak-medis, Pengolah-lahan, perkerja Rumah Darah. Para Pelari,
tentu saja. Aku tak tahu, ada beberapa lagi, mungkin. Lumayan banyak untuk
menjaga diriku dan barang-barangku.”
Sebagian besar jawaban itu sudah cukup jelas, tetapi Thomas
masih bertanya-tanya tentang sebagian di antaranya. “Apa itu Pembersih?” Dia
tahu itulah yang dilakukan Chuck, tetapi anak itu tidak pernah ingin
membicarakannya. Tepatnya, menolah untuk membicarakannya.
“Itu yang dilakukan anak-anak yang tak bisa melakukan hal
lain. Membersihkan jamban, kamar mandi, dapur, memberihkan Rumah Darah setelah
penyembelihan, semuanya. Menghabiskan sehari bersama mereka—kuberi tahu kau,
akan membuatmu tak ingin berada di sana.”
Thomas merasa pukulan rasa bersalah terhadap Chuck—merasa
kasihan kepadanya. Anak itu mencoba begitu gigih untuk menjadi teman semua
anak, tetapi sepertinya tak seorang pun menyukainya atau bahkan memberinya
perhatian. Ya, dia memang agak bersemangat dan banyak omong, tetapi Thomas
cukup senang dia berada di dekatnya.
“Bagaimana dengan Pengolah-lahan?” tanya Thomas sambil
mencabut serumpun alang-alang besar, dengan bongkah tanah bergantungan di
akarnya.
Zart menelan ludah dan tetap bekerja sambil menjawab,
“Mereka adalah anak-anak yang mengerjakan semua pekerjaan berat di Kebun-Kebun.
Menggali tanah dan hal-hal kecil lainnya. Selama jam istirahat mereka melakukan
pekerjaan lain di sekitar Glade. Sebenarnya, banyak Glader yang memiliki lebih
dari satu pekerjaan. Memangnya belum ada yang memberitahumu soal itu?”
Thomas mengabaikan pertanyaan itu dan meneruskan pencarian
informasinya, bertekad mendapatkan sebanyak mungkin jawaban. “Bagaimana dengan
para Pemungut? Aku tahu mereka mengurus orang-orang yang mati, tapi hal itu
tidak mungkin sering terjadi, kan?”
“Mereka orang-orang yang agak menyeramkan. Mereka bertingkah
seperti para penjaga dan juga polisi. Semua orang hanya senang memanggil mereka
Pemungut. Untuk lelucon, Teman.” Dia tergelak, untuk pertama kali Thomas
mendengarnya—sepertinya ada sesuatu yang menyenangkan tentang itu.
Thomas masih punya banyak pertanyaan. Sangat banyak. Chuck
dan semua orang di penjuru Glade tidak pernah mau memberikan jawaban tentang
semua hal. Dan, inilah Zart, yang sepertinya tidak keberatan memberikannya.
Namun, tiba-tiba Thomas tidak merasa ingin bertanya lagi. Entah mengapa gadis
itu kembali muncul dalam kepalanya, pada saat yang tidak tepat, dan kemudian
pikiran-pikiran tentang Ben dan Griever yang mati, yang seharusnya adalah hal
bagus, tetapi setiap orang justru menganggap sebaliknya.
Kehidupan barunya sangat buruk.
Dia mengembuskan napas panjang. Bekerja, pikirnya. Dan, itulah yang dilakukannya.
Ketika tengah hari, Thomas nyaris ambruk karena
kelelahan—kegiatan membungkuk dan merangkak di atas tanah adalah hal yang
paling buruk. Rumah Darah, Kebun. Dua kali pukulan untuknya.
Pelari, pikirnya
ketika waktu istirahat tiba. Biarkan aku
jadi seorang Pelari. Sekali lagi dia berpikir betapa absurd pekerjaan itu
hingga dia begitu menginginkannya. Namun, meskipun dia tak memahami dorongan
itu, ataupun asalnya, keinginan itu tak terelakkan. Sekuat pikiran-pikiran
mengenai anak perempuan itu, tetapi dia berusaha menyingkirkannya sebisa
mungkin.
Merasa lelah dan pegal, dia menuju Dapur untuk mengambil
makanan kecil dan air minum. Dia merasa sanggup melahap segunung makanan
meskipun waktu makan siang dua jam lebih cepat. Bahkan, babi pun kembali
terdengar lumayan.
Dia menggigit apel, kemudian mendudukkan diri ke tanah di
samping Chuck. Newt juga berada di sana, tetapi duduk sendirian, tak
mengacuhkan semua orang. Kedua matanya merah, dahinya bergaris-garis dalam.
Thomas mengawasi saat Newt menggigiti kuku-kuku jarinya, sesuatu yang belum
pernah dilihatnya pada anak laki-laki yang lebih tua itu.
Chuck memperhatikan dan menanyakan sesuatu yang juga
dipikirkan Thomas. “Kenapa dia?” bisiknya. “Seperti yang kau lakukan ketika
keluar dari Kotak.”
“Aku tak tahu,” sahut Thomas. “Kenapa kau tak tanya dia
saja?”
“Aku bisa dengar setiap kata yang kalian bicarakan,” kata
Newt nyaring. “Tak heran orang-orang tak suka tidur di sebelah kalian.”
Thomas seperti tepergok mencuri, tetapi kini dia merasa
yakin—Newt adalah salah satu dari sedikit orang di Glade yang disukainya.
“Ada masalah apa,
sih, denganmu?” tanya Chuck. “Jangan marah, tapi kau kelihatan seperti plung,”
“Dengan semua hal indah di dunia,” Newt menjawab, kemudian
diam sambil menatap kosong selama beberapa saat. Thomas hampir mendesaknya
dengan pertanyaan lagi, tetapi akhirnya Newt meneruskan. “Gadis dari Kotak itu.
Terus-terusan meraung dan menceracau hal-hal aneh, tapi tak ada yang
dimengerti. Anak-medis sudah berusaha memberinya makan yang terbaik, tapi porsi
makannya semakin sedikit setiap waktu. Kuberi tahu kalian, ada sesuatu yang
sangat buruk tentang semua ini.”
Thomas memandang apelnya, kemudian menggigitnya. Kini
rasanya hambar—dia sadar dia mencemaskan gadis itu. Memikirkan keadaannya.
Seolah dia memang mengenalnya.
Newt mendesah panjang. “Masa bodohlah. Tapi, bukan itu yang
membuatku benar-benar pusing.”
“Kalau begitu, apa?” tanya Chuck.
Thomas mendekatkan tubuhnya, merasa sangat penasaran hingga
mampu mengusir bayangan gadis itu dari benaknya.
Kedua mata Newt menyipit saat memandang salah satu pintu
masuk ke Maze. “Alby dan Minho,”
gumamnya. “Seharusnya mereka sudah kembali berjam-jam lalu.”
Tak terasa akhirnya Thomas kembali bekerja, mencabuti rumput
lagi, menghitung mundur menit demi menit hingga pekerjaannya di Kebun selesai.
Berkali-kali dia melirik ke Pintu Barat, mencari tanda-tanda kepulangan Alby
dan Minho, perhatian Newt kini sama sekali teralih darinya.
Newt bilang mereka seharusnya sudah pulang saat tengah hari,
waktu yang cukup bagi mereka untuk sampai ke Griever yang mati itu, menjelajah
sekitar satu atau dua jam, kemudian kembali pulang. Tak heran dia kelihatan
sangat kecewa. Ketika Chuck mengatakan bahwa mereka mungkin berkeliling dan
bersenang-senang, Newt memandangnya sangat tajam hingga Thomas mengira Chuck
bisa saja seketika terbakar.
Dia tak akan pernah melupakan ekspesi Newt setelahnya.
Ketika Thomas bertanya mengapa Newt dan anak-anak lain tidak masuk ke Maze dan mencari teman-teman mereka,
raut wajah Newt langsung berubah mengerikan—kedua pipinya berkerut, memucat
kemudian menjadi gelap. Lambat laut kemarahannya hilang, dan dia menjelaskan
bahwa mengirimkan regu pencari adalah hal yang dilarang, karena ada kemungkinan
lebih banyak orang yang akan hilang, tapi tak diragukan lagi rasa takut
membayangi wajahnya.
Newt takut terhadap Maze.
Apa pun yang telah dialaminya di sana—barangkali berkaitan
dengan pergelangan kakinya yang luka—pastilah sangat buruk.
Thomas berusaha tak memikirkannya dengan kembali bekerja
mencabuti rumput.
Malam itu acara makan menjadi suram, dan itu tak ada
hubungannya dengan makanan yang disajikan. Frypan dan para juru masaknya
menghidangkan steik porsi raksasa, kentang tumbuk, buncis, dan roti. Thomas
telah mengetahui bahwa ternyata celaan tentang makan Frypan hanyalah—gurauan.
Kenyataannya, semua orang melahap masakannya dan biasanya memohon tambahan.
Namun, malam ini, semua Glader makan seperti orang-orang mati yang bangkit
kembali untuk santapan terakhir sebelum jiwa mereka diserahkan kepada iblis.
Para Pelari telah kembali pada waktu yang biasa, dan
kekecewaan Thomas semakin berlipat-lipat melihat Newt berlari dari satu Pintu
ke Pintu lain saat mereka memasuki Glade, tak bersusah payah menyembunyikan
rasa paniknya. Namun, Alby dan Minho tak pernah muncul. Newt memaksa para
Glader untuk beranjak dan meneruskan menyantap makan malam Frypan yang
sulit-ditelan, tetapi dia berkeras untuk tetap berdiri menunggu dua temannya
yang hilang. Tak ada yang memberitahunya, tetapi Thomas tahu tak lama lagi
Pintu-Pintu itu akan menutup.
Dengan enggan Thomas mematuhinya seperti anak-anak lain dan
duduk di meja piknik di sebelah selatan Wisma bersama Chuck dan Winston. Dia hanya
mampu menambah beberapa gigitan ketika akhirnya tak sanggup menelan lagi.
“Aku tak bisa hanya berdiri di sini, sementara mereka hilang
di sana,” katanya sambil menjatuhkan garpu ke piring. “Aku akan mengawasi
Pintu-Pintu itu bersama Newt.” Dia berdiri dan pergi untuk melihat.
Tak mengherankan, Chuck mengikutinya.
Mereka melihat Newt di dekat Pintu Barat, mondar-mandir,
mengusap-usap rambutnya. Dia mendongak saat Thomas dan Chuck mendekat.
“Di mana mereka?”
kata Newt, suaranya lirih dan tegang.
Thomas merasa tersentuh karena Newt sangat memedulikan Alby
dan Minho—seolah mereka adalah anggota keluarganya. “Kenapa kita tidak mengirim
regu pencari?” dia menyarankannya lagi. Rasanya sangat bodoh berdiri di sini
dan hanya mengkhawatirkan diri sendiri, sementara mereka dapat pergi ke sana
dan menemukan mereka.
“Dia—” Newt menghentikan ucapannya; dia memejamkan mata
selama sedetik dan menarik napas dalam-dalam. “Kita tidak bisa. Oke? Jangan
katakan itu lagi. Seratus persen melanggar peraturan. Terutama dengan
Pintu-Pintu yang hampir menutup.”
“Tapi, kenapa?” Thomas berkeras, tak percaya dengan sikap
keras kepala Newt. “Para Griever akan menangkap mereka jika mereka tetap di
sana, kan? Bukankah seharusnya kita melakukan sesuatu?”
Newt berpaling menghadapnya, wajahnya berubah merah, kedua
matanya terbakar kemarahan.
“Tutup mulutmu, Anak-Bawang!” dia membentak. “Kau belum lagi
seminggu berada di sini! Kau pikir aku tidak akan segera mempertaruhkan hidupku
untuk menyelamatkan mereka?”
“Tidak ... aku ... Maaf. Aku tak bermaksud ...,” Thomas tak
tahu harus mengatakan apa—dia hanya ingin membantu.
Wajah Newt melembut. “Kau hanya belum mengerti, Tommy.
Keluar ke sana pada malam hari seperti memohon kematian. Kita hanya membuang
lebih banyak nyawa. Jika kedua anak itu tak pulang ...” Dia terdiam, terlihat
ragu-ragu untuk mengatakan yang dipikirkan semua orang. “Mereka berdua telah
bersumpah, seperti aku. Seperti yang kita semua ikrarkan. Juga ketika kau datang kali pertama di Pertemuan
dan dipilih oleh seorang Pengawas. Jangan pernah keluar pada malam hari. Dengan
alasan apa pun. Jangan pernah.”
Thomas memandang Chuck, yang tampak sepucat Newt.
“Newt tak akan mengatakannya,” kata anak laki-laki itu,
“jadi aku yang akan bilang. Jika mereka tidak kembali, itu artinya mereka mati.
Minho terlalu pintar untuk dapat tersesat. Mustahil. Mereka pasti mati.”
Newt tak mengatakan apa pun, dan Chuck berbalik dan berjalan
menuju Wisma, kepalanya tertunduk lunglai. Mati?
Pikir Thomas. Situasi ini telah menjadi begitu suram sehingga dia tak mampu
bereaksi, merasakan kekosongan dalam hatinya.
“Anak itu benar,” Newt berkata dengan murung. “Itulah
sebabnya kita tak bisa keluar. Kita tak akan sanggup menanggung hal-hal yang
lebih buruk daripada yang telah mereka hadapi.”
Dia menepuk pundak Thomas, kemudian terayun lunglai ke sisi
tubuhnya. Mata Newt berkaca-kaca, dan Thomas merasa yakin bahwa meskipun di
dalam kantong ingatannya yang gelap yang terkunci, jauh dari jangkauannya, dia
tak pernah melihat seseorang yang tampak begitu sedih. Keremangan senja yang
mulai pekat semakin menambah suram perasaan Thomas.
“Pintu-Pintu akan menutup dalam dua menit,” kata Newt,
pernyataan itu terdengar begitu jelas dan final serta menggantung di udara
seperti selubung kain kafan yang terbawa angin. Kemudian, anak laki-laki itu
berlalu, dengan tubuh membungkuk, tanpa sepatah kata pun.
Thomas menggelengkan kepala dan menoleh kembali ke Maze. Dia tak terlalu mengenal Alby dan
Minho. Namun, dadanya terasa nyeri memikirkan mereka ada di luar sana, dibunuh
oleh makhluk menakutkan yang pernah dilihatnya melalui jendela saat kali
pertama sampai di Glade.
Suara berderum nyaring terdengar dari segala penjuru,
mengejutkan Thomas dari lamunannya. Kemudian, bunyi berderak dan batu-batu
bergeretak. Pintu-pintu akan menutup malam itu.
Tembok bagian kanan bergemurh bergeser di atas tanah,
menerbangkan debu dan kerikil ketika bergerak. Besi-besi penyambung berderet ke
atas hingga terlihat menjangkau langit jauh di atas, bergeser menuju
lubang-lubang yang sesuai di tembok sebelah kiri, siap mengunci hingga pagi
tiba. Sekali lagi, Thomas terpukau memandang tembok yang bergerak itu—benda itu
seperti melawan semua teori fisika. Seolah-olah mustahil.
Tiba-tiba sekilas gerakan tertangkap penglihatannya.
Sesuatu bergerak cepat di dalam Maze, di sepanjang lorong panjang di depannya.
Awalnya Thomas merasa panik; dia mundur, takut jika itu
adalah Griever. Namun, kemudian dua sosok itu semakin mewujud,
terpontang-panting di jalan setapak yang menuju Pintu. Akhirnya, Thomas dapat
melihat dengan jelas di antar rasa takutnya, dan dia tersadar bahwa itu Minho,
dengan salah satu tangan Alby terangkul di pundaknya, menyeret anak itu di
belakangnya. Minho mendongak, melihat Thomas, yang tahu matanya pasti terlihat
sangat terbelalak.
“Mereka melukainya!” teriak Minho, suaranya seperti tercekik
dan lemah kelelahan. Setiap langkahnya seperti yang terakhir sanggup
dilakukannya.
Thomas begitu terpana dengan kejadian tak diduga ini, hingga
butuh beberapa saat baginya untuk bereaksi. “Newt!” akhirnya dia berteriak,
memaksa dirinya mengalihkan pandangan dari Minho dan Alby ke arah yang
berlawanan. “Mereka datang! Aku bisa melihat mereka!” Dia tahu di seharusnya
berlari ke dalam Maze dan menolong,
tetapi peraturan untuk tidak meninggalkan Glade terpatri di benaknya.
Newt telah berada di Wisma, tetapi ketika mendengar teriakan
Thomas, dia segera berbalik dan berlari, terpeleset-terpeleset menahan laju
larinya mendekati Pintu.
Thomas menoleh kembali ke dalam Maze dan rasa takut menjalarinya. Alby telah terlepas dari pegangan
Minho dan jatuh ke tanah. Thomas mengawasi saat Minho mencoba dengan putus asa
membuatnya berdiri lagi, dan akhirnya, karena putus asa, mulai menyeret anak
itu di sepanjang tanah berbatu.
Akan tetapi, mereka masih berjarak sekita tiga puluh meter.
Tembok sebelaj kanan menutup dengan cepat, seolah menambah
lajunya dengan semakin besarnya harapan Thomas benda itu melambat. Hanya
tinggal beberapa detik sebelum pintu itu menutup sepenuhnya. Mereka tak mungkin
mengejar waktu yang tersisa. Sama sekali tak ada kesempatan.
Thomas menoleh kembali ke arah Newt berlari secepat yang dia
bisa, jaraknya masih separuh perjalanan menuju Thomas.
Thomas kembali berpaling ke dalam Maze, menatap tembok yang menutup. Hanya beberapa meter lagi dan
semuanya akan berakhir.
Minho terhuyung-huyung di depannya, terjatuh ke tanah.
Mereka tak akan berhasil. Waktu sudah habis. Inilah akhir segalanya.
Thomas mendengar Newt meneriakkan sesuatu di belakangnya.
“Jangan lakukan itu, Tommy! Jangan berani-berani
melakukannya!”
Besi-besi di tembok sebelah kanan bagaikan jari-jemari yang
terjulur akan memasuki rumah mereka, meraih lubang-lubang kecil yang akan
menjadi tempat beristirahat mereka malam itu. Suara Pintu-Pintu yang berderak
dan bergeretak memenuhi udara, memekakkan telinga.
Dua meter. Satu setengah meter. Satu meter. Setengah meter.
Thomas menyadari dia tak punya pilihan lain. Dia bergerak. Maju. Dia menyelipkan tubuhnya
melewati besi-besi penyambung pada detik terkahir dan memasuki Maze.
Tembok-tembok berdebum menutup di belakangnya, gaungnya
teredam oleh batu-batu yang dilapisi tanaman ivy hingga menyerupai suara tawa yang sangat keras.[]
No comments:
Post a Comment