Penulis: James Dashner
17
SELAMA beberapa detik, Thomas merasa seolah dunia membeku.
Kebisuan yang pekat mengikuti gemuruh menggelegar Pintu yang tertutup, dan
selubung kegelapan seakan-akan menutupi langit, seolah matahari ketakutan
dengan apa yang tersembunyi di dalam Maze.
Senja telah berlalu, dan tembok-tembok yang sangat besar itu terlihat seperti
batu-batu nisan raksasa dalam sebuah pemakaman yang diselubungi tanaman
merambat. Thomas menyandarkan punggungnya ke bebatuan yang kasar, tersadar
dengan rasa tak percaya akan tindakan barusan.
Dipenuhi rasa ketakutan tentang akibat yang mungkin akan
ditanggungnya.
Kemudian, jeritan nyaring Alby jauh di depannya merebut
perhatian Thomas; Minho merintih. Thomas segera bangkit dan berlari menuju
kedua Glader itu.
Minho sudah berusaha bangkit dan kini dapat berdiri sekali
lagi, tetapi keadaannya tampak mengerikan, bahkan di tengah cahaya pucat yang
tersisa—berkeringat, kotor, tergores-gores. Alby, di atas tanah, tampak lebih
buruk, pakaiannya tercabik-cabik, kedua lengannya dipenuhi sobekan lukan dan
memar. Thomas gemetar. Apakah Alby telah diserang oleh Griever?
“Anak-Bawang,” kata Minho, “kalau kau pikir masuk kemari
adalah tindakan berani, dengarkan aku. Kau adalah anak dungu dan paling bodoj
yang pernah ada. Kau akan mati, sama seperti kami.”
Thomas merasa wajahnya memerah—dia mengharapkan setidaknya
sedikit penghargaan. “Aku tak bisa hanya diam di sana dan meninggalkan kalian
di sini.”
“Lalu, apa gunanya kau bagi kami?” Minho memutar bola
matanya. “Terserahlah, Bocah. Melanggar Peraturan Nomor Satu, atau mau bunuh
diri, terserah kau.”
“Terima kasih kembali. Aku hanya ingin membantu.” Thomas
merasa ingin menendang wajah anak itu.
Minho memaksakan sebuah tawa getir, kemudian kembali
berlutut di samping Alby. Thomas melihat lebih dekat ke anak yang pingsan itu
dan tersadar bahwa keadaannya sangat buruk. Alby seperti berada di ambang
kematian. Kulitnya yang biasanya gelap
kini kehilangan warnanya dengan cepat dan napasnya berpacu serta pendek-pendek.
Keputusasaan melanda Thomas. “Apa yang terjadi?” dia bertanya,
mencoba mengenyahkan keamarahannya.
“Aku tak mau bicara soal itu,” kata Minho seraya memeriksa
denyut nadi Alby dan menunduk untuk mendengarkan detak jantungnya. “Anggap saja
para Griever itu sangat pintar untuk berpura-pura mati.”
Perkataan itu membuat Thomas terkejut. “Jadi, dia telah ...
digigit? Disengat, atau sejenisnya? Apakah dia sedang melewati Perubahan?”
“Kau masih harus banyak belajar,” kata Minho singkat.
Thomas ingin menjerit. Dia tahu bahwa masih banyak yang
harus dipelajarinya—itulah sebabnya dia mengajukan banyak pertanyaan. “Apakah
dia akan mati?” Dia memaksa diri untuk menanyakannya, merinding menyadari
betapa lirih dan kosong kalimat itu terdengar.
“Mungkin saja karena kami tak berhasil kembali sebelum
matahari terbenam. Dia bisa mati dalam waktu satu jam—aku tak tahu berapa lama
jika kau tak mendapatkan Serum. Tentu saja, kita semua bakal mati, jadi tidak
usah mangisinya. Ya, kita semua akan mati tak lama lagi.” Dia mengatakannya
dengan-sangat-yakin, Thomas agak kesulitan memahami maknanya.
Akan tetapi, dengan segera, kenyataan menakutkan dari
situasi itu menohoknya, dan seluruh organ tubuhnya terasa menciut. “Kita
benar-benar akan mati?” dia bertanya, tak sanggup menerimanya. “Menurutmu kita
tak punya kesempatan?”
“Tidak.”
Thomas merasa gusar dengan sikap pesimis Minho. “Oh,
ayolah—pasti ada sesuatu yang dapat kita lakukan. Ada berapa GRIEVER yang akan
mengejar kita?” Dia memicingkan mata ke lorong yang menuju bagian lebih dalam Maze, seolah mengharapkan
makhluk-makhluk itu muncul menghampiri mereka, datang karena nama mereka
disebut-sebut.
“Taku tak tahu.”
Sebuah pemikiran mendadak muncul di benak Thomas, memberinya
harapan. “Tapi ... bagaimana dengan Ben? Dan Gally, dan anak-anak lain yang pernah
disengat dan berhasil bertahan hidup?”
Minho menatap Thomas seolah dia lebih bodoh daripada
seonggok kotoran sapi. “Kau tak mendengarkan aku? Mereka berhasil pulang
sebelum matahari terbenam, Tolol. Mereka semua berhasil pulang dan mendapatkan
Serum.”
Thomas bertanya-tanya tentang serum yang disebut itu, tetapi
masih banyak pertanyaan lain yang mendesak-desak ingin dilontarkan. “Tapi,
kukira para Griever itu hanya keluar pada malam hari.”
“Kalau begitu kau salah,
Bodoh. Mereka selalu keluar saat malam
hari. Tapi, tak berarti mereka tidak pernah muncul sepanjang hari.”
Thomas tak ingin larut dalam keputusasaan Minho—dia tak
ingin menyerah dan belum ingin mati. “Apakah ada yang pernah tertangkap di luar
tembok-tembok ini pada malam hari dan tetap hidup?”
“Tidak ada.”
Thomas menelan ludah, berharap dapat menemukan setitik
harapan. “Kalau begitu, berapa anak yang sudah mati?”
Minho menatap tanah, membungkuk dengan salah satu lengan
bertumpu di lutut. Dia jelas terlihat sangar lelah, nyaris linglung.
“Setidaknya dua belas. Kau sudah pernah ke pemakaman, kan?”
“Ya.” Jadi begitulah
cara mereka mati, pikir Thomas.
“Ya, itu semua hanya yang berhasil kami temukan. Lebih banyak anak yang tak pernah muncul lagi.” Minho
menunjuk asal-asalan ke Glade yang telah tertutup. “Pemakaman itu dibuat di
belakang hutan karena alasan tertentu. Tak ada yang dapat membunuh saat-saat
menyenangkan ketimbang diingatkan kembali akan teman-temanmu yang dibantai
setiap hari.”
Minho berdiri dan meraih kedua tangan Alby, kemudian menunjuk
ke arah kakinya. “Pegangi kaki-kakinya. Kita harus membawanya ke dekat Pintu.
Supaya mereka mudah menemukan mayatnya esok hari.”
Thomas tak percaya mendengar kalimat yang sangat tak wajar itu. “Bagaimana mungkin ini
terjadi!” teriaknya ke tembok-tembok itu, tubuhnya berputar. Dia merasa
kehilangan harapan.
“Berhenti merengek. Kau seharusnya mematuhi peraturan dan
tetap berada di dalam. Sekarang ayo, angkat kedua kakinya.”
Meringis menahan perutnya yang mulai kram, Thomas mendekat
dan mengangkat kedua kaki Alby seperti yang diperintahkan. Mereka mengangkat
separuh menyeret tubuh tak sadarkan diri itu sejauh beberapa meter menuju
sambungan vertikal Pintu, dan Minho menyandarkan Alby ke dinding dengan posisi
setengah duduk. Dada Alby naik-turun dengan napas berat, tetapi kulitnya
bersimbah keringat; dia seperti tak akan bertahan lebih lama lagi.
“Dia digigit di sebelah mana?” tanya Thomas. “Kau dapat
melihatnya?”
“Mereka tentu saja tidak menggigitmu.
Mereka menusukmu. Dan tidak, kau tak dapat melihatnya. Ada puluhan tusukan di
tubuhnya.” Minho bersedekap dan bersandar ke dinding.
Entah mengapa, Thomas merasa kata tusuk terdengar jauh lebih buruk daripada gigit. “Menusuk? Maksudnya?”
“Sobat, kau harus melihat mereka supaya tahu maksudku.”
Thomas menunjuk lengan Minho, kemudian kedua kakinya. “Ya,
kenapa makhluk itu tidak menusuk dirimu?”
Minho merentangkan kedua tangannya. “Mungkin dia
menusukku—mungkin aku akan mati beberapa saat lagi.”
“Mereka ...,” Thomas memulai, tetapi tak tahu harus berkata
apa lagi. Dia tidak tahu apakah Minho serius mengatakannya.
“Bukan mereka,
hanya ada satu yang kami pikir sudah mati. Dia mendadak gila dan menyengat
Alby, tapi kemudian lari.” Minho menoleh lagi ke arah Maze, yang kini gelap gulita karena malam tiba. “Tapi, aku yakin
dia dan gerombolan temannya akan datang ke sini menghabisi kita dengan
jarum-jarum mereka.”
“Jarum-jarum?” Kata-kata itu terus berdengung dan kian
mengganggu Thomas.
“Ya, jarum-jarum.” Minho tidak menjelaskannya, dan raut
wajahnya tidak menunjukkan dia ingin melakukannya.
Thomas mendongak memandang tembok-tembok raksasa yang
diselimuti tanaman ivy yang
tebal—rasa putus asa akhirnya menggayutinya untuk mencari cara memecahkan
persoalan ini. “Bisakah kita memanjat tembok-tembok ini?” Dia memandang Minho,
yang tidak menjawabnya. “Tanaman-tanaman
merambat ini—bisakah kita memanjatnya?”
Minho mendesah frustrasi. “Sumpah deh, Anak-Bawang, kau
pasti berpikir kami ini sekumpulan orang idiot. Kau pikir kami tak pernah punya
ide brilian seperti memanjat tembok-tembok
mengerikan ini?”
Untuk kali pertama, Thomas merasakan kemarahannya timbul
bersamaan dengan ketakutan dan kepanikan. “He, aku hanya mencoba membantu.
Bisakah kau berhenti mencela setiap perkataanku dan berbicara baik-baik denganku?”
Minho mendadak menerjang Thomas dan menyambar bajunya. “Kau
tak mengerti, dasar bodoh! Kau tak
mengerti apa pun, dan kau hanya membuatnya semakin buruk dnegan mencoba
mempunyai harapan! Kita akan mati, kau dengar aku? Mati!”
Thomas tak tahu perasaan apa yang mendominasinya saat
itu—kemarahannya terhadap Minho atau mengasihaninya. Dia terlalu mudah
menyerah.
Minho menatap kedua tangannya yang mencengkeram baju Thomas
dan rasa malu melintas di wajahnya. Perlahan-lahan, dia melepaskannya dan
berpaling mundur. Thomas meluruskan bajunya dengan sikap menantang.
“Ah, ya ampun,” bisik Minho, kemudian terpuruk ke tanah,
membenamkan wajahnya ke kedua tangannya yang terkepal. “Aku belum pernah
setakut ini. tidak pernah seperti ini.”
Thomas ingin mengatakan sesuatu, memintanya agar bersikap
dewasa, memberitahunya untuk berpikir,
memintanya menjelaskan segala yang diketahuinya. Satu hal!
Dia baru saja hendak membuka mulut, tetapi menutupnya dengan
cepat ketika mendengar sebuah bunyi.
Minho menegakkan kepalanya; dia menatap lorong berlantai batu yang gelap.
Thomas merasakan napasnya sendiri mulai berpacu lebih cepat.
Bunyi itu berasal jauh dari dalam Maze, suara yang terdengar rendah menakutkan. Suara berdesing
konstan dengan gemerencing logam setiap beberapa detik, seperti pisau-pisau
tajam beradu satu sama lain. Bunyi itu terdengar semakin keras, dan bertambah
dengan serangkaian suara gemeretak nyaring. Thomas membayangkan kuku-kuku jari
panjang yang mengetuk-ngetuk permukaan kaca. Suara mengerang yang menyeramkan
memenuhi udara, diikuti bunyi seperti rangkaian rantai bergemerencing.
Semua itu terdengar sangat mengerikan, dan sisa keberanian
Thomas yang telah terkumpul kini mulai menguap.
Minho berdiri, wajahnya nyaris tak tampak di suasana yang
tanpa cahaya. Namun, ketika dia berbicara, Thomas membayangkan matanya yang
terbelalak ketakutan. “Kita harus berpencar—ini satu-satunya harapan kita.
Teruslah berlari. Jangan berhenti berlari!”
Kemudian, dia berbalik dan lari, menghilang dalam sekejap,
ditelan Maze dan kegelapan.[]
No comments:
Post a Comment