Penulis: James Dashner
21
THOMAS membalikkan badan dan melihat pengejarnya masih
memburunya, meskipun agak melambat, membuka dan menutup cakar logamnya seolah
mengolok-olok, menertawakannya.
Dia tahu nasibku akan
berakhir, pikirnya. Setelah semua usaha yang dilakukannya, beginilah
keadaannya sekarang, dikepung oleh para Griever. Selesai sudah. Belum sampai
seminggu usaha pengembalian ingatannya, hidupnya akan berakhir.
Nyaris ditelan kemuramannya, anak laki-laki itu membuat satu
keputusan. Dia akan melawan.
Lebih memilih menghadapi satu Griever ketimbang dua, anak
itu berlari menuju Griever yang tadi mengejarnya. Makhluk menjijikkan itu
mundur hanya beberapa sentimeter, menghentikan gerakan cakar-cakarnya,
seolah-olah terkejut melihat keberanian Thomas. Mendapatkan sedikit semangat
dalam ketakutannya, Thomas mulai berteriak seraya menyerang.
Griever itu tersadar, paku-paku bertonjolan keluar dari
kulitnya; ia menggelinding maju, siap menabrak musuhnya. Gerakan tiba-tiba itu
hampir membuat Thomas berhenti, sesaat kenekatannya menguap, tetapi dia tetap
berlari.
Pada detik terakhir sebelum tabrakan, tepat ketika dia
melihat dengan jelas lapisan logam, bulu, dan lendir makhluk itu, Thomas
menjejakkan kaki kirinya dan melompat ke kanan. Tak mampu menghentikan lajunya,
Griever itu meluncur kencang melewatinya sebelum bergetar dalam usahanya
berhenti—Thomas melihat makhluk itu kini meluncur jauh lebih cepat. Dengan
bunyi decitan logam, makhluk itu berputar dan siap menerkam korbannya. Namun
sekarang, setelah tak lagi dikepung, Thomas bisa melihat dengan jelas di
hadapannya, jalan setapak di sepanjang lorong.
Dia segera memacu kedua kakinya berlari. Suara-suara
pengejarnya, kali ini empat Griever, mengikuti dengan ketat di belakangnya.
Dengan memaksa tubuhnya bekerja di luar batas kemampuan fisiknya, Thomas terus
berlari, mencoba menyingkirkan keputusasaan memikirkan bahwa ini hanya soal
waktu sebelum merka dapat menangkapnya.
Kemudian, setelah melewati tiga lorong, tiba-tiba ada
sepasang tangan terjulur dan menyambarnya masuk ke sebuah loroong penghubung di
antaranya. Jantung Thomas seakan melompat ke tenggorokan ketika dia
meronta-ronta ingin melepaskan diri. Dia baru berhenti ketika sadar bahwa yang
menariknya adalah Minho.
“Apa—”
“Diam dan ikuti aku!” teriak Minho, yang sudah menyeret
Thomas hingga anak itu akhirnya dapat berlari sendiri.
Tanpa adanya waktu untuk berpikir, Thomas menghimpun
kekuatan sendiri. Bersama-sama, mereka berlari melalui lorong-lorong, berbelok
di setiap tikungan. Minho sepertinya tahu benar apa yang dilakukannya, serta
arah yang ditujunya; dia tak pernah berhenti sejenak untuk berpikir memilih
arah mereka berlari.
Ketika mereka berbelok di tikungan berikutnya, Minho
berusaha berbicara. Di antara napasnya yang berat, dia terengah-engah berkata,
“Aku tadi melihat ... gerakan menghindarmu ... di sana ... memunculkan ideku
... kita hanya perlu bertahan ... sedikit lagi.”
Thomas tidak membuang napas untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan; dia hanya terus berlari, mengikuti Minho. Tanpa menoleh
ke belakang, dia tahu para Griever itu memburu dengan kecepatan yang
mengkhawatirkan. Setiap jengkal tubuhnya terasa nyeri, di dalam dan di luar;
semua anggota tubuhnya seolah menjerit agar berhenti berlari. Namun, dia terus
berlari, berharap jantungnya tidak berhenti berdegup.
Setelah beberapa belokan berikutnya, Thomas melihat sesuatu
di depan mereka yang tampak ganjil. Sesuatu yang terlihat ... tak wajar. Dan,
sinar redup yang berasal dari para pengejar mereka membuat keganjilan di
hadapannya tampak semakin jelas.
Lorong itu tidak berakhir di tembok batu yang lain.
Lorong itu tidak berakhir di tembok batu yang lain.
Lorong itu berakhir di kegelapan.
Thomas memicingkan mata saat mereka berlari menuju dinding
kegelapan, mencoba memahami sesuatu yang sedang mereka dekati itu. Dua tembok
yang dirambati tanaman ivy di kedua
sisinya itu seperti tidak berbatasan dengan apa pun kecuali langit di depan.
Dia dapat melihat bintang-bintang. Ketika mereka semakin dekat, Thomas akhirnya
menyadari itu adalah udara terbuka—ujung Maze.
Bagaimana mungkin?
Anak itu heran. Setelah bertahun-tahun pencarian dilakukan, bagaimana bisa
Minho dan aku menemukan jalannya begitu mudah?
Minho seakan dapat membaca pikirannya. “Jangan gembira
dulu,” ujarnya, susah payah mengucapkannya.
Beberapa meter sebelum akhir lorong itu, Minho mengurangi
kecepatan, merentangkan tangannya ke atas dada Thomas untuk memastikannya
berhenti juga. Thomas memperlambat lari, kemudian berjalan ke bagian Maze yang berbatasan dengan langit
terbuka. Suara-suara Griever terdengar mendekat, tetapi dia harus melihat
tempat ini.
Mereka benar-benar telah sampai di jalan keluar Maze, tetapi seperti yang dikatakan
Minho, tak ada yang menggembirakan tentang hal itu. Di segala arah, atas dan
bawah, setiap sisi, Thomas hanya melihat udara kosong dan bintang-bintang di
kejauhan. Ini adalah pemandangan yang aneh dan menggetarkan, seolah dia sedang
berdiri di tepi alam semesta dan selama beberapa saat dia merasa sangat pusing,
kedua lututnya menjadi lemas sebelum dia menguatkan diri sendiri.
Fajar yang menyingsing mulai menandainya, langit seolah-olah
bertambah terang bahkan pada menit terakhir. Thomas memandang tak percaya,
tidak mengerti hal semacam ini dapat terjadi. Sepertinya seseorang telah
membangun Maze ini dan meletakkannya
di angkasa agar melayang di udara kosong selamanya.
“Aku tak mengerti,” bisiknya, tak tahu jika Minho dapat
mendengarnya.
“Hati-hati,” sahut sang Pelari itu. “Kau tak akan mau jadi
bocah pertama yang jatuh dari Tebing.” Dia menepuk pundak Thomas. “Kau lupa
sesuatu, ya?” Dia menoleh ke belakang dan mengangguk ke arah Maze.
Thomas teringat pernah mendengar kata Tebing sebelumnya, tetapi lupa kapan persisnya. Melihat langit
terbuka serta luas di hadapan dan bawahnya membuat dirinya tercengang seolah
terhipnotis. Dia menggelengkan kepala mengembalikan kesadaran dan berbalik
bersiap menghadapi para Griever yang datang. Mereka kini hanya berjarak
beberapa belas meter, membentuk satu barisan, menyerbu dengan garang, bergerak
sangat cepat.
Thomas segera mengerti, bahkan sebelum Minho menerangkan
tindakan yang harus mereka lakukan.
“Mereka mungkin memang tampak mengerikan,” kata Minho, “tapi
mereka payah soal kepekaan. Berdiri di sini, di dekatku, menghadap—”
Thomas memotong perkataannya. “Aku tahu. Aku siap.”
Mereka menempatkan kaki mereka hingga berdiri berdempetan di
depan tebing tepat di tengah-tengah logon, menghadap ke arah para Griever.
Tumit mereka hanya beberapa sentimeter dari tepi Tebing di belakang mereka,
dengan udara kosong menunggu setelahnya.
Yang tersisa pada mereka hanyalah keberanian.
“Kita harus kompak!” teriak Minho, nyaris tenggelam di
tengah suara-suara memekakkan telinga paku-paku yang menggelinding di sepanjang
jalan berbatu. “Ikuti hitunganku!”
Tidak ada yang tahu alasan para Griever berbaris seperti
itu. Barangkali Maze terlalu sempit
sehingga membuat mereka tampak aneh jika harus berjalan berdampingan. Namun,
dengan berbaris berurutan, mereka menggelinding di sepanjang jalan,
bergemeretak dan meraung siap membunuh. Jarak belasan meter kini menjadi
beberapa meter, dan monster-monster itu hanya beberapa detik hingga menuju
kedua anak laki-laki yang menunggu.
“Bersipa,” Minho memberi aba-aba. “Belum ... belum ....”
Thomas membenci setiap detik penantiannya. Dia hanya ingin
memejamkan mata dan tak pernah melihat Griever mana pun lagi.
“Sekarang!” teriak Minho.
Tepat ketika tangan Griever pertama terjulur untuk menusuk
mereka, Minho dan Thomas meloncat ke arah berlawanan, masing-masing menuju
tembok-tembok lorong. Taktik itu berhasil dilakukan Thomas sebelumnya, dan dari
bunyi berkeriut menyeramkan Griever pertama, dapat diduga taktik itu sukses.
Monster itu terjungkal dari tepi Tebing. Anehnya, suara lengkingannya terputus
begitu saja alih-alih menghilang perlahan-lahan saat ia melayang jatuh ke
kedalaman.
Thomas mendarat dari tembok dan berputar tepat pada saatnya
untuk melihat makhluk kedua melambung dari tepi tebing, tak mempu menghentikan
lajunya sendiri. Makhluk ketiga menghunjamkan salah satu tangannya yang berpaku
ke dalam lantai batu, tetapi lajunya terlalu kencang. Suara paku berkeriut
bergeser menggores batu yang memekakkan telinga membuat Thomas gemetar meskipun
detik berikutnya Griever itu juga terjungkal ke jurang yang sangat dalam.
Sekali lagi, tak satu pun dari mereka menimbulkan suara ketika jatuh—seolah
mereka menghilang dan bukannya terjatuh.
Makhluk keempat dan yang terakhir berhasil berhenti tepat
pada waktunya, berusaha menahan keseimbangan di tepi tebing, sebuah tangan dan
cakar menahan posisinya. Naluris Thomas memberi tahu apa yang harus
dilakukannya. Dia memandang Minho, mengangguk, kemudian berbalik. Kedua anak
laki-laki itu berlari menuju Griever dan melompat menendang makhluk itu sekuat
tenaga. Kerja sama mereka berdua berhasil mengirim monster terakhir itu
terguling jatuh menuju kematian.
Thomas segera merayap ke tepi jurang, menjulurkan kepalanya
untuk melihat Griever-Griever yang jatuh. Namun, sungguh tak masuk akal, mereka
semua lenyap—tak ada satu pun tanda-tanda mereka dalam kekosongan yang membentang
di bawah. Tiada apa pun.
Thomas tak lagi mampu memikirkan keanehan ujung Tebing ini
atau nasib makhluk-makhluk mengerikan itu. Sisa kekuatannya telah habis, dan
dia meringkuk di atas tanah.
Kemudian, akhirnya, air matanya mengalir.[]
No comments:
Post a Comment