Penulis : Veronica
Roth
7
TRIS
Christina membolak-balik batu hitam di tangannya sementara
kami berjalan. Beberapa detik kemudian, barulah aku sadar batu itu sebenarnya
batu bara dari mangkuk Upacara Pemilihan Dauntless.
“Sebenarnya aku tak ingin membahas ini, tapi aku tidak dapat
berhenti memikirkannya,” katanya. “Dari sepuluh peserta inisiasi pindahan
angkatan kita, Cuma enam yang masih hidup.”
Di depan kami ada gedung Hancock dan di baliknya ada Lake
Shore Drive, jalur trotoar yang pernah kulewati saat meluncur terbang bagai
burung dari atas gedung. Kami berjalan berdampingan menyusuri trotoar retak
dengan baju bernoda darah kering, darah Edward.
Aku belum menyadari sepenuhnya: bahwa Edward, peserta
inisiasi pindahan yang paling berbakat, anak yang darahnya kubersihkan dari
lantai asrama, sudah tiada. Ia sudah tiada.
“Dari keenamnya, yang baik tinggal aku, kau, dan ...
mungkin, Myra,” kataku.
Aku belum melihat Myra sejak ia meninggalkan kompleks
Dauntless bersama Edward, tepat setelah pisau merenggut mata pemuda itu. Meskit
tahu mereka putus tak lama setelah itu, aku tidak pernah tahu ke mana Myra
pergi. Lagi pula, rasanya aku jarang bicara dengannya.
Sebuah pintu gedung Hancok terbuka. Uriah bilang ia akan ke
tempat ini lebih dulu untuk menyalakan generator, dan benar saja, saat jariku
menyentuh tombol lift, tombol itu langsung menyala.
“Kau pernah ke sini?” aku bertanya saat kami masuk ke lift.
“Tidak,” jawab Christina. “Tidak ke dalamnya, maksudku. Aku
tidak ikut naik tali luncur, ingat?”
“Benar.” Aku bersandar ke dinding. “Kau harus mencobanya
sebelum kita pergi.”
“Yeah.” Christina
memakai lipstik merah, membuatku teringat warna permen yang menodai kulit
anak-anak jika dimakan secara sembrono. “Kadang-kadang, aku mengerti mengapa
Evelyn jadi seperti itu. Ada begitu banyak hal buruk yang telah terjadi,
terkadang rasanya bagus juga jika tetap di sini dan ... berusaha membereskan
kekacauan ini seblum terlibat kekacauan lain.” Ia tersenyum sedikit. “Tapi,
tentu saja aku tak akan melakukan itu,” ia melanjutkan. “Aku tak tahu mengapa.
Rasa penasaran, mungkin.”
“Kau sudah membicarakan ini dengan orangtuamu?”
Kadang-kadang, aku lupa Christina itu tidak sepertiku yang
tak lagi terikat kesetiaan terhadap keluarga. Ia punya ibu dan adik perempuan, keduanya
dulu dari faksi Candor.
“Mereka harus menjada adikku,” jawab Christina. “Mereka tak
tahu apakah di luar sana aman. Mereka tidak mau membahayakan adikku.”
“Tapi mereka tidak keberatan kau pergi?”
“Mereka tidak keberatan aku bergabung dengan faksi lain.
Mereka juga tidak akan keberatan dengan yang ini,” katanya. Ia memandang
sepatunya. “Mereka Cuma ingin aku diup dengan jujur. Aku tak bisa melakukan itu
di sini. Aku tahu aku tak bisa.”
Pintu lift membuka, dan kami langsung disambut angin yang
masih hangat tapi mengandung dinginnya musim dingin. Aku mendengar suara-suara
dari atap, lalu menaiki tangga menuju ke sana. Tangga itu berayun seiring
pijakanku, tapi Christina menahannya hingga aku tiba di atas.
Uriah dan Zeke sudah di atap. Mereka melemparkan kerikil
dari atap dan mendengarkan bunyinya saat batu itu menghantam jendela. Uriah
mencoba menyenggol siku Zeke sebelum ia melempar, supaya melenceng, tapi Zeku
terlalu cepat.
“Hai,” sapa mereka berbarengan saat melihatku dan Christina.
“Sebentar, kalian ini bersaudara, ya, kompak banget?” goda
Christina sambil tersenyum lebar. Mereka berdua tertawa, tapi Uriah tampak agak
linglung, seakan jiwanya tak ada di tempat ini. Kurasa kehilangan seseorang
seperti cara Uriah kehilangan Marlene dapat menyebabkan seseorang jadi seperti
itu, walaupun aku sendiri tidak mengalaminya.
Dii atap tidak ada tali hitam untuk meluncur, lagi pula kami
ke sini bukan untuk itu. Entah bagaimana dengan yang lain, tapi aku ingin
berada di tempat tinggi—aku ingin melihat sejauh mungkin. Namun, semua area di
arah barat tempatku berdiri ini tampak hitam, seakan diselubungi selimut gelap.
Sesaat, sepertinya aku melihat kilasan cahaya di cakrawala, tapi sekejap
kemudian sinar itu hilang. Tipuan mata.
Teman-temanku juga diam. Aku bertanya-tanya apakah kami
semua memikirkan hal yang sama.
“Menurut kalian di luar sana ada apa?” akhirnya Uriah
bicara.
Zeke hanya mengangkat bahu, tapi Christina melontarkan
dugaan. “Bagaimana kalau ternyata sama saja? Cuma ... kota yang hancur, faksi-faksi,
dan lainnya?”
“Tak mungkin,” bantah Uriah sambil menggeleng. “Pasti ada
yang lain.”
“Atau tidak ada apa-apa,” Zeke mengusulkan. “Orang-orang
yang menempatkan kita semua di sini mungkin sudah mati. Bisa jadi segalanya
kosong.”
Aku bergidik. Aku tidak pernah memikirkan itu, tapi Zeke
benar—kami tidak tahu apa yang terjadi di luar sana setelah mereka menempatkan
kami di sini, atau berapa generasi yang hidup dan meninggal sejak itu. Mungkin
hanya kami manusia yang tersisa.
“Tidak masalah,” aku berkata, lebih tegas daripada yang
kuinginkan. “Tidak masalah di luar sana ada apa. Kita harus melihatnya sendiri.
Setelah itu, barulah kita hadapi.”
Kami berdiri lama. Mataku menyusuri siluet kasar
gedung-gedung hingga semua jendela yang terang terasa membias dan membaur.
Kemudian, Uriah bertanya kepada Christina tentang demonstrasi tadi, momen
tenang dan hening pun berlalu seolah tertiup angin.
***
Keesokan harinya, Evelyn berdiri di lobi markas Erudite di
antara robekan lukisan Jeanine Matthews dan mengumumkan serangkaian peraturan
baru. Mantan anggota faksi maupun factionlessberjejalan
hingga ke jalan untuk mendengar apa yang akan dikatakan pemimpin baru kami.
Para prajurit factionless berjaga di
sepanjang dinidng, dengan jari siap di pelatuk. Mengendalikan situasi.
“Peristiwa kemarin membuktikan kita tidak mampu lagi untuk
saling percaya,” ujar Evelyn. Ia tampak pucat dan lelah. “Kami akan menerapkan
peraturan yang berlaku bagi semua orang sampai situasi kita lebih stabil. Yang
pertama adalah jam malam: Setiap orang harus sudah kembali ke tempat tinggalnya
pada pukul sembilan malam. Tidak ada yang boleh meninggalkan tempat itu hingga
pukul delapan esok paginya. Penjada akan berpatroli di jalanan pada jam-jam
tersebut untuk menjaga keamanan kita.”
Aku mendengus dan berusaha menutupinya dengan batuk.
Christina menyikut pinggangku dan menyentuhkan jari ke bibir. Aku tidak tahu
mengapa Christina repot-repot memperingatkanku—Evelyn berada jauh di depan
ruangan, tidak mungkin ia mendengarku.
Tori, mantan pemimpin Dauntless yang digulingkan oleh Evelyn
sendiri, berdiri beberapa langkah dariku dengan lengan disilangkan. Bibirnya
mencibir.
No comments:
Post a Comment