Allegiant (Divergent #3) (9)

Penulis : Veronica Roth

“Sudah saatnya mempersiapkan cara hidup baru tanpa faksi. Mulai hari ini, setiap orang akan mulai mempelajari pekerjaan-pekerjaan yang telah lama dilakukan para factionless. Lalu, kita semua akan melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut  secara bergiliran, selain melakukan tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh faksi-faksi.” Evelyn tersenyum tanpa sungguh-sungguh tersenyum. Aku tidak tahu bagaimana ia melakukannya. “Kita semua akan memberikan kontribusi yang sama bagi kota baru kita, seperti yang seharusnya. Dulu faksi-faksi memecah-belah kita, tapi sekarang kita satu. Sekarang, maupun selamanya.”

Para factionless di sekelilingku bersorak. Aku merasakan firasat buruk. Bukannya aku tak setuju dengan Evelyn, tapi anggota-anggota faksi yang kemarin menentang Edward tak akan tinggal diam setelah ini. Cengkeraman Evelyn di kota ini tidak sekuat yang dikiranya.
***

Karena tidak ingin berdesakan dengan orang-orang setelah pengumuman Evelyn, aku menyelinap ke koridor sampai menemukan tangga di belakang, yang beberapa waktu lalu kami naiki saat menuju laboratorium Jeanine. Waktu itu, anak tangganya dipenuhi mayat. Sekarang, tangga itu bersih dan dingin, seakan tidak pernah terjadi apa-apa di sini.

Ketika berjalan melewati lantai empat, aku mendengar teriakan dan suara-suara orang bertengkar. Kubuka pintu dan terlihat segerombolan orang—muda, lebih muda dariku, dan semuanya mengenakan ban lengan factionless—mengerumuni seorang pemuda yang terkapar di lantai.

Bukan sekadar pemuda—seorang Candor, yang mengenakan pakaian hitam dan putih dari kepala hingga kaki.

Aku berlari menghampiri. Saat melihat seorang gadis factionless bertubuh tinggi mengayunkan kaki untuk menendang lagi, aku berseru, “Hei!”

Tak ada gunanya. Tendangan itu berasarang di samping tubuh si Pemuda Candor, menyebabkannya mengerang sambil menggeliat menjauh.

“Hei!” aku berseru lagi, dan kali ini gadis itu berbalik. Ia jauh lebih tinggi dariku—lima belas sentimeter, sebenarnya—tapi hanya kemarahan yang kurasakan, bukan takut.

“Mundur,” aku memerintahkan. “Menjauh darinya.”

“Ia melanggar aturan berpakaian. Aku punya hak, dan aku tidak suka diperintah pecinta faksi,” sahutnya sambil memandang tato di tulang selangkaku.

“Becks,” tegur pemuda factionless di sampingnya. “Itu si Gadis Video Prior.”

Yang lain tampak terkesan, tapi gadis itu hanya mencibir. “Lalu?”

Aku berkata, “Aku sudah menyakiti banyak orang supaya lolos inisiasi Dauntless, dan sekarang aku akan melakukannya terhadapmu, kalau perlu.”

Aku membuka sweter biruku dan melemparkannya ke si Pemuda Candor yang memandangku dari lantai dengan alis mengucurkan darah. Ia mendorong tubuhnya hingga berdiri, memegangi pinggangnya yang baru saja terkena tendangan dengan satu tangan, lalu menarik sweter itu menyelubungi bahunya bagaikan selimut.

“Nah,” aku melanjutkan. “Sekarang, ia tidak melanggar aturan berpakaian.”

Gadis tadi menilai situasi, menimbang-nimbang apakah ia ingin berkelahi melawanku atau tidak. Aku dapat menebak apa yang dipikirkannya—aku ini kecil, lawan yang enteng, tapi aku ini Dauntless, jadi aku tidak dapat dikalahkan dengan mudah. Mungkin ia tahu aku pernah membunuh orang, atau mungin ia Cuma tidak ingin bikin masalah, tapi yang jelas ia kehilangan keberaniannya. Aku tahu itu dari kebimbangan yang tampak di bibirnya.

“Hati-hati saja kau,” ia memperingatkan.

“Aku tak butuh itu,” balasku. “Sekarang, pergi.”

Setelah menunggu mereka menjauh, aku kembali berjalan. Si Pemuda Candor berseru, “Tunggu! Swetermu!”

“Buatmu saja!” aku balas berseru.

Aku berbelok di sudut yang kukira akan membawaku ke tangga lain, tapi ternyata aku hanya melihat koridur kosong yang persis koridor tadi. Sepertinya ada langkah-langkah di belakangku dan aku segera berbalik, siap bertarung melawan gadisi factionless tadi, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa.

Sepertinya aku jadi paranoid.

Kubuka salah satu pintu di koridor utama, berharap menemukan jendela supaya dapat mengetahui posisiku, tapi yang kutemukan hanyalah laboratorium yang habis dijarah dengan gelas kimia dan tabung reaksi berserakan. Sobekan-sobekan kertas mengotori lantai. Saat aku membungkuk untuk memungutnya, lampu padam.

Aku berlari menuju pintu. Lenganku dicengkeram seseorang, lalu aku diseret. Seseorang memasangkan kantong ke kepalaku sementara yang lainnya mendorongku ke dinding. Aku merobta melawan, berusaha melepaskan kain yang menutupi wajahku, dan yang kupikirkan hanya, tidak, jangan, jangan lagi. Aku memutar lenganku hingga bebas lalu meninju, mengenai entah bahu atau dagu seseorang.

“Hei,” seru seseorang. “Sakit!”

“Maaf karena membuatmu takut, Tris,” ujar suara yang lain, “tapi anonimitas adalah bagian dari operasi kami. Kami tak berniat mencelakaimu.”

“Kalau begitu, lepaskan aku!” kataku, hampir menggeeram. Semua tangan yang menahanku di dinding menjauh.

“Siapa kalian?” aku bertanya.

“Kami Allegiant,” sahut suara itu. “Jumlah kami banyak, tapi kami bukan siapa-siapa ....”

Aku tak mampu menahan tawa. Mungkin karena syok—atau karena takut, degup jantungku langsung melambat, dan tanganku gemetar karena lega.

Suara itu melanjutkan, “Kami dengar kau tidak setia terhadap Evelyn Johnson dan kaki-tangan factionless-nya.”

“Ini konyol.”

“Tidak sekonyol mengungkapkan identitas dirimu pada seseorang, padahal itu tak perlu dilakukan.”

Aku berusaha melihat serat selubung kepalaku, tapi seratnya terlalu rapat dan ruangan ini terlalu gelap. Aku berusaha menyandarkan tubuh ke dinding dengan santai, tapi itu sulit dilakukand engan mata yang tak dapat melihat. Kakiku meremukkan tabung reaksi yang tercecer di lantai.

“Tidak, aku tidak setia kepadanya,” jawabku. “Kenapa itu penting?”

“Karena itu artinya kau ingin pergi,” jawab suara itu. Jantungku berdebar tegang. “Kami ingin meminta bantuanmu, Tris Prior. Kami akan mengadakan rapat besok, tengah malam. Kami ingin kau membawa teman-teman Dauntlessmu.”

“Oke,” kataku. “Coba jawab ini: Kalau besok aku bakal melihat siapa kalian sebenarnya, kenapa hari ini kepalaku harus ditutup begini?”

Sepertinya pertanyaan itu membuat lawan bicaraku, siapa pun dia, tercenung sejenak.

“Satu hari bisa mengandung banyak bahaya,” jawabnya. “Kami akan menemuimu besok, pada tengah malam, di tempat kau mengucapkan pengakuan.”

Seketika itu juga, pintu berayun membuka, meniup selubung kepalaku hingga menempel di pipi, dan aku mendengar suara kaki berlari menyusuri koridor. Saat aku berhasil melepas selubung, koridor sudah sunyi. Aku menunduk memandang selubung itu—sarung bantal biru tua dengan cat bertuliskan “Faksi lebih penting dari pertalian darah”.

Siapa pun orang-orang tadi, jelas mereka menyukai sesuatu yang dramatis.

Tempat kau mengucapkan pengakuan.

Hanya ada satu tempat yang sesuai dengan itu: markas Candor, tempat aku ditaklukkan serum kejujuran.
***



No comments:

Post a Comment