Allegiant (Divergent #3) (4)

Penulis : Veronica Roth

“Aku tidak ingin membahas itu,” sahut Uriah sambil menggeleng. “Atau memikirkannya. Aku Cuma ingin melanjutkan hidup.”

“Oke. Aku mengerti. Tapi ... beri tahu aku kalau kau butuh ....”

“Tentu.” Ia tersenyum ke arahku dan bangkit. “Kau akan baik-baik saja di sini, kan? Aku sudah janji untuk mengunjungi ibuku malam ini, jadi aku harus segera pergi. Oh—hampir saja lupa—Four bilang ia ingin bertemu denganmu.”

Aku menegakkan diri. “Oh, ya? Kapan? Di mana?”

“Selewat pukul sepuluh, di Millennium Park. Di luar.” Ia tersenyum. “Jangan terlalu senang, nanti kepalamu meledak.”[]

4
TOBIAS

Ibuku selalu duduk di ujung sesuatu—kursi, birai, meja—seakan merasa dirinya harus secepat mungkin. Kali ini ia duduk di tepi meja Jeanine di markas Erudite dengan jari kaki berjinjit di lantai, diterangi remang lampu-lampu kota di belakangnya. Ibuku, wanita yang kurus berotot yang selalu siap bertindak.

“Kurasa kita perlu membahas tentang kesetiaanmu,” katanya, tapi ia tidak terdengar seperti menuduhkan sesuatu terhadapku, hanya lelah. Sesaat ibuku tampak begitu lelah sehingga aku merasa seakan dapat melihat isi hatinya, tapi kemudian ia menegakkan tubuh dan perasaan itu hilang.

“Pada dasarnya, kaulah yang membantu Tris dan menyebabkan video itu tersebar,” ujarnya. “Tidak ada yang tahu itu, tapi aku tahu.”

“Dengar,” kataku sambil mencondongkan tubuh dan menekankan siku ke lutut. “Waktu itu aku tidak tahu apa isi file tersebut. Aku memercayai penilaian Tris, lebih daripada penilaianku sendiri. Hanya itu.”

Kupikir memberitahunya bahwa aku dan Tris putus akan membuat ibuku lebih mudah memercayaiku, dan aku benar—ia lebih ramah dan terbuka sejak aku mengatakan kebohongan itu.

“Lalu sekarang, setelah kau melihat video itu?” tanya Evelyn. “Apa yang kau pikirkan? Apakah menurutmu kau harus keluar dari kota ini?”

Aku tahu jawaban apa yang diinginakannya dariku—bahwa aku tidak melihat alasan mengapa kami harus bergabung dengan dunia luar. Namun, karena tidak pintar berbohong, aku memilih kata-kataku dan mengatakan sebagian kebenaran.

“Aku takut dengan dunia luar,” jawabanku. “Mengingat di luar sana mungkin berbahaya, aku tidak yakin meninggalkan kota ini adalah tindakan yang cerdas.”

Evelyn memperhatikanku selama beberapa saat sambil menggigit bagian dalam pipinya. Aku mendapatkan kebiasaan itu darinya. Aku biasa menggigiti pipiku sampai luka saat menunggu ayahku pulang, tidak yakin dirinya yang mana yang bakal kuhadapi—ayahku yang dipercayai dan dihormati para Abnegation atau ayahku yang menggunakan tangannya untuk memukulku.

Aku menggerakkan lidah meraba bekas luka gigitan dalam mulutku dan menelan kenangan tersebut seakan menelan empedu.

Ibuku meluncur turun dari meja dan bergerak ke jendela. “Aku menerima laporan meresahkan mengenai organisasi pemberontak di antara kita.” Ia mendongak sambil mengangkat sebelah alis. “Orang selalu membentuk kelompok. Itulah faktanya. Aku hanya tidak menyangka kejadiannya secepat ini.”

“Kelompok macam apa?”

“Yang ingin meninggalkan kota,” jawabnya. “Pagi ini mereka menyebarkan semacam manifesto. Orang-orang ini menyebut diri mereka Allegiant—Setia.” Saat melihat sorot mataku yang bingung, ibuku menambahkan. “Karena mereka setia terhadap tujuan asli kota kita, kau mengerti?”

“Tujuan asli—maksudmu, seperti yang ada di video Edith Prior? Bahwa kita harus mengirim orang ke luar setelah ada cukup banyak Divergent di kota ini?”

“Ya, benar. Juga hidup dalam faksi-faksi. Allegiant menyatakan kita seharusnya tetap berada di dalamnya sejak lama.” Ibuku menggeleng. “Akan selalu ada orang yang takut menghadapi perubahan. Namun, kita tidak dapat memanjakan mereka.”

Setelah faksi-faksi dibubarkan, sebagian diriku merasa seperti orang yang baru saja dibebaskan setelah lama dipenjara. Aku tidak perlu mengevaluasi apakah setiap ide yang terlintas atau pilihan yang kubuat sesuai dengan ideologi yang sempit. Aku tidak ingin faksi-faksi ada lagi.

Namun, Evelyn belum memerdekakan kami seperti yang disangkanya—ia hanya membuat kami semua jadi factionless. Ia takut dengan apa yang akan kami pilih kalau kami diberi kemerdekaan yang sesungguhnya. Itu berarti, apa pun yang kuyakini tentang faksi-faksi, aku lega karena di suatu tempat ada orang yang menentang ibuku.

Jantungku berdegup kencang, tapi aku berusaha menampilkan ekspresi datar. Aku harus hati-hati, harus menjaga hubungan baik dengan Evelyn. Aku dapat membohongi orang lain dengan mudah, tapi tidak ibuku, satu-satunya orang yang masih mengetahui rahasia saat kami masih tinggal satu rumah sebagai faksi Abnegation dan kekejaman yang tersembunyi di balik dinding-dindingnya.

“Akan kau apakan mereka?” aku bertanya.

“Tentu saja aku akan mengendalikan mereka, apa lagi?”

Kata “mengendalikan” menyebabkanku duduk tegak sekaku kursi yang kududuki. Di kota ini, “mengendalikan” berarti jarum dan serum serta melihat tanpa memandang. “Mengendalikan” berarti simulasi, seperti simulasi yang hampir membuatku membunuh Tris, atau yang membuat para Dauntless menjadi tentara tanpa emosi.

“Dengan simulasi?” aku bertanya pelan.

Ibuku memberengut. “Tentu saja tidak! Aku ini bukan Jeanine Matthews!”

Kemarahannya membuatku kesal sehingga aku berkata, “Jangan lupa aku hampir tidak mengenalmu, Evelyn.”

Ia berjengit mendengar kata-kata pengingat itu. “Kalau begitu, biar kuberi tahu. Aku tidak akan pernah menggunakan simulasi supaya keinginanku dituruti. Kematian adalah pilihan yang lebih baik.”

Mungkin kematianlah yang akan ia gunakan—membunuh akan membuat orang-orang tutup mulut, memadamkan revolusi sebelum dimulai. Siapa pun para Allegiant itu, mereka harus diberi tahu, secepatnya.

“Aku sanggup menyelidiki siapa saja Allegiant ini,” aku mengusulkan.

“Aku yakin kau bisa. Lagi pula, buat apa aku menceritakan tentang mereka kepadamu?”

Ada banyak hal yang dapat menjadi alasan mengapa ia memberitahuku. Untuk mengujiku. Untuk menangkapku. Untuk memberiku informasi palsu. Aku kenal siapa ibuku—baginya, tujuan dapat menjadi alasan untuk menghalalkan cara, persis ayahku, dan juga seperti, terkadang, aku.

“Kalau begitu, aku akan melakukannya. Aku akan menemukan mereka.”

Saat aku berdiri, jari-jari ibuku, yang rapuh seperti ranting, menggenggam lenganku. “Terima kasih.”

Aku memaksakan diri memandangnya. Mata ibuku berada dekat di atas hidungnya yang berujung bengkok, seperti hidungku. Kulihatnya kecokelatan, lebih gelap daripada kulitku. Sesaat, aku melihat ibuku yang mengenakan pakaian kelabu Abnegation dengan rambut tebal digelung dan disemat selusin jepit rambut, duduk di hadapanku di meja makan. Aku melihatnya berjongkok, sambil membenahi kancing bajuku yang salah pasang sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku juga melihatnya berdiri di samping jendela, memandangi jalanan sambil menantikan mobil ayahku, dengan tangan terkatup—bukan, mengepal erat karena tegang sampai-sampai buku-buku jarinya yang cokelat memutih. Pada saat itu, kami dipersatukan rasa takut. Namun saat ini, saat ibuku tidak takut lagi, ada bagian diriku yang ingin tahu seperti apa rasanya dipersatukan dengan ibuku oleh kekuatan.



No comments:

Post a Comment