Allegiant (Divergent #3) (10)

Penulis : Veronica Roth

Sesampai di asrama malam harinya, aku menemukan surat dari Tobias yang diletakkan di bawah gelas air di meja nakasku.

VI—
Sidang abangmu diadakan besok pagi, tertutup. Aku tidak dapat menghadirinya tanpa menimbulkan kecurigaan, tapi aku akan mengabarkan putusan sidangnya secepat mungkin. Setelah itu, kita bisa menyusun rencana.

Apa pun yang terjadi, semua akan segera berakhir.
—IV []

8
TRIS

Pukul sembilan. Mereka mungkin sedang menetapkan putusan sidang Caleb saat ini, saat aku mengikat sepatu, saat aku merapikan seprai untuk keempat kalinya. Aku menyisir rambut dengan tangan. Para factionless hanya melakukan sidang tertutup jika mereka merasa hukumannya sudah jelas, dan Caleb adalah tangan kanan Jeanine tepat sebelum wanita itu tewas.

Seharusnya aku tidak sibuk memikirkan hukuman Caleb. Hukumannya sudah jelas. Semua orang terdekat Jeanine akan dihukum mati.

Kenapa kau peduli? Tanyaku kepada diri sendiri. Caleb mengkhianatimu. Ia tidak berusaha menghentikan eksekusimu.

Aku tidak peduli. Aku peduli. Aku tak tahu.

“Hei, Tris,” sapa Christina sambil mengetuk kosen pintu dengan buku jari. Uriah berdiri di belakangnya. Uriah masih selalu tersenyum, tapi sekarang senyumannya seakan terbuat dari air, seperti bakal menetes dari wajahnya.

“Ada berita?” tanya Christina.

Aku mengecek kamar lagi meskipun tahu tempat ini kosong. Semua orang sedang sarapan, sesuai jadwal. Aku meminta Uriah dan Christina melewatkan sarapan supaya dapat memberitahukan sesuatu kepada mereka. Perutku mulai keroncongan.

“Ya,” jawabku.

Mereka duduk di ranjang seberangku. Aku bercerita tentang penyergapan di laboratorium semalam, tentang sarung bantal. Allegiant, dan pertemuannya.

“Aku heran kau Cuma meninju salah satu dari mereka,” komentar Uriah.

“Yah, aku kalah jumlah,” jawabku, membela diri. Aku tidak bersikap seperti Dauntless sejati karena langsung memercayai mereka, tapi ini masa-masa yang aneh. Lagi pula, aku tidak yakin seberapa Dauntless diriku ini setelah faksi-faksi ditiadakan.

Aku merasakan nyeri yang aneh saat memikirkan itu, tepat di tengah dadaku. Ada hal-hal yang sulit direlakan.

“Jadi, menurutmu apa yang mereka inginkan?” tanya Christina. “Cuma pergi meninggalkan kota ini?”

“Kedengarannya begitu, tapi entahlah,” jawabku.

“Bagaimana kita tahu mereka bukan orang-orang Evelyn yang mencoba mengakali kita untuk mengkhianatinya?”

“Aku juga tidak tahu soal itu,” sahutku. “Tapi, keluar dari kota ini tanpa bantuan seseorang itu mustahil, dan aku tidak mau diam di sini, belajar mengemudikan busa dan hanya menaati perintah.”

Christina melemparkan tatapan cemas ke arah Uriah.

“Hei,” kataku. “Kalian tidak perlu ikut, tapi aku harus keluar dari sini. Aku harus tahu siapa Edith Prior ini, dan siapa yang menunggu kita di luar pagar perbatasan, kalau ada. Aku tak tahu mengapa, tapi aku harus melakukannya.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Entah dari mana dorongan kuat ini berasal. Namun sekarang, aku menyadarinya dan tak mungkin mengabaikan rasa itu, yang bagaiman makhluk hidup yang terbangun dari tidur panjangnya. Perasaan itu menggeliat di perut dan leherku. Kau harus pergi. Aku perlu mengetahui kebenaran.

Sesaat, senyum lemah di bibir Uriah lenyap. “Aku juga,” katanya.

“Oke,” ucap Christina. Mata hitamnya masih menyorot gelisah, tapi ia mengangkat bahu. “Jadi, kita akan menghadiri pertemuan itu.”

“Bagus. Bisakah salah satu dari kalian memberi tahu Tobias? Aku seharusnya menjaga jarak karena kami ‘putus’,” pintaku. “Kita bertemu di gang pukul sebelas tiga puluh.”

“Aku akan memberitahunya. Kurasa hari ini aku sekelompok dengannya,” Uriah mengajukan diri. “Belajar tentang pabrik. Aku tak sabar.” Ia tersenyum. “Apakah Zeke boleh kuberi tahu juga? Atau, apakah ia kurang dapat dipercaya?”

“Boleh. Tapi, pastikan ia tidak menyebarkan hal ini.”

Aku mengecek arlojiku lagi. Sembilan lima belas. Saat ini, hukuman Caleb pasti sudah ditetapkan. Sebentar lagi semua orang harus pergi untuk mempelajari pekerjaan factionless. Rasanya hal sekecil apa pun dapat membuat jantungku melompat. Lututku bergoyang-goyang sendiri.

Christina merangkul bahuku, tanpa bertanya apa-apa, dan aku senang ia begitu. Entah apa yang harus kukatakan.
***

Aku dan Christina melintasi jalur rumit di markas Erudite menuju tangga belakang, agar terhindar dari factionless yang berpatroli. Sengaja kuturunkan lengan baju sampai pergelangan, agar peta yang kugambar di lenganku tak terlihat. Sebelum pergi, aku menggambar peta jalan-jalan kecil menuju markas Candor. Aku tak ingin kami melintasi jalan yang biasa karena mungkin saja terlihat oleh factionless.

Uriah menunggu kami tepat di luar pintu. Pakaiannya serba hitam, tapi aku dapat melihat abu-abu. Abnegation mengintip dari balik kerah sweternya. Aneh rasanya melihat teman Dauntlessku mengenakan warna Abnegation, seolah-olah mereka seumur hidup bersamaku. Kadang-kadang, rasanya memang seperti itu.

“Aku sudah memberi tahu Four dan Zeke. Mereka akan menemui kita di sana,” ujar Uriah. “Ayo berangkat.”

Kami berlari bersama menyusuri gang menuju Monroe Street. Aku menahan keinginan untuk meringis setiap kali mendnegar gema langkah kaki kami. Lagi pula, saat ini bergegas lebih penting daripada bergerak diam-diam. Kami berbelok ke Monroe, dan aku menoleh untuk mengecek kalau-kalau ada patroli factionless. Aku melihat beberapa sosok gelap mendekat ke Michigan Avenue, tapi tidak berhenti dan kemudian lenyap di balik deretan gedung.

“Cara mana?” aku berbisik ke Christina saat kami di State Street dan cukup jauh dari markas Erudite sehingga dapat berbicara dengan aman.

“Entahlah, kurasa ia tidak dapat undangan,” ujar Christina. “Aneh sekali. Aku tahu ia ingin—”

“Sst!” desis Uriah. “Selanjutnya belok ke mana?”

Aku menggunakan cahaya dari arloji untuk melihat peta yang tertulis di lenganku. “Randolph Street!”

Kami bergerak seirama, sepatu kami menjejak trotoar, napas kami berderu hampir serentak. Meski ototku yang terasa napas, lari rasanya menyenangkan.

Kakiku terasa pegal setibanya kami di jembatan. Namun, saat melihat Merciless Mart yang terlantar dan gelap di seberang sungai berawa, aku tersenyum melupakan sakitku. Aku melambatkan langkah saat menyeberangi jembatan, dan Uriah merangkul bahuku.

“Sekarang,” katanya, “kita harus menaiki jutaan anak tangga.”

“Mungkin mereka sudah menyalakan lift?”

“Tak mungkin,” sahutnya sambil menggeleng. “Aku yakin Evelyn mengawasi semua penggunaan listrik—itu cara terbaik untuk mengetahui apakah orang-orang melakukan pertemuan secara diam-diam.”

Aku mendesah. Aku mungkin suka berlari, tapi aku benci menaiki tangga.
***

Saat akhirnya tiba di ujung atas tangga, kami megap-megap. Lima menit lagi tengah malam. Yang lain berjalan duluan sementara aku menarik napas di depan lift. Uriah benar—aku tak melihat satu lampu sekali pun, selain penanda pintu keluar. Di bawah cahaya birunya, aku melihat Tobias muncul dari ruang interogasi di depan sana.



No comments:

Post a Comment