Penulis : Veronica Roth
“Karena.” Aku menggigit bibir, seakan berusaha mencegah
kata-kata menderas keluar. Aku tak tahu sejak kapan aku jadi pintar berakting,
tapi kurasa itu tak ada bedanya dengan berbohong, yang sudah lama menjadi
bakatku. “Karena aku tidak sanggup memegang pistol, oke? Tidak sejak aku
menembak ... ia. Temanku, Will. Aku tidak sanggup memegang pistol tanpa merasa
panik.”
Mata Evelyn semakin menyipit. Kurasa bahkan di bagian
terlembut relung hatinya, tidak ada sedikit pun rasa simpati untukku.
“Jadi, Marcus berkata kepadamu bahwa ia menuruti
perintahku,” Evelyn menyimpulkan, “dan meskipun kau tahu hubungan antara
dirinya dengan Dauntless maupun factionless
diliputi ketegangan, kau memercayainya?”
“Iya.”
“Aku mengerti mengapa kau tidak memilih Erudite,” Evelyn
tertawa.
Pipiku gatal. Aku ingin menamparnya, dan aku yakin di
ruangan ini ada banyak orang yang ingin melakukan itu meskipun tidak berani
mengakuinya. Evelyn mengurung kami semua di dalam kota, di bawah kendali factionless bersenjata yang berpatroli
di jalan-jalan. Ia tahu yang memegang senjatalah yang berkuasa. Karena Jeanine
Matthews sudah tiada, tidak ada seorang pun yang dapat menentang Evelyn.
Dari tiran yang satu ke tiran yang lain. Itulah dunia yang
kami kenal saat ini.
“Mengapa kau tidak menceritakan hal ini kepada seseorang?”
ia bertanya lagi.
“Aku tak mau terpaksa mengakui kelemahanku,” jawabku. “Aku
juga tidak mau Four tahu aku bekerja sama dengan ayahnya. Aku tahu ia tak akan
suka.” Aku merasakan kata-kata lain mendesak naik ke kerongkonganku, didorong
oleh serum kejujuran. “Aku menyampaikan kebenaran tentang kota kita, juga
alasan mengapa kita ada di dalamnya. Kalau kau tidak mau berterima kasih
kepadaku, setidaknya lakukanlah sesuatu!
Jangan cuma duduk-duduk di sini, di atas kekacauan yang kau buat, dan
berpura-pura ini adalah singgasana!”
Senyuman mencemooh Evelyn berubah masam, seakan ia baru saja
mengecap sesuatu yang tidak enak. Ia mencondongkan tubuh ke dekat wajahku, dan
untuk pertama kalinya aku melihat betapa tua dirinya. Aku melihat garis-garis
yang membingkai mata dan mulut Evelyn, rona pucat wajahnya akibat
bertahun-tahun kurang makan. Meski demikian, ia elok seperti anaknya. Berada di
ambang kelaparan tidak dapat menghapuskan itu.
“Aku sedang melakukan sesuatu. Aku membuat dunia baru,”
jawabnya. Lalu, ia merendahkan suara sehingga aku hampir tidak mendengar
kata-katanya. “Dulu aku ini seorang Abnegation. Aku sudah tahu kebenaran itu
jauh sebelum dirimu, Beatrice Prior. Aku tidak tahu bagaimana caramu meloloskan
diri dari ini, tapi aku jamin kau tidak akan punya tempat di dunia baruku,
apalagi dengan putraku.”
Aku tersenyum sedikit. Seharusnya aku tidak melakukannya,
tapi sulit menjaga sikap tubuh dan ekspresi wajah saat kau dipengaruhi oleh
serum kejujuran. Lebih sulit daripada menahan kata-kata, Evelyn percaya Tobias
adalah miliknya. Ia tidak tahu yang sebenarnya bahwa Tobias adalah milik
dirinya sendiri.
Evelyn menegakkan tubuh sembari bersidekap.
“Serum kejujuran mengungkapkan bahwa meskipun bodoh, kau
bukan pengkhianat. Interogasi selesai. Kau boleh pergi.”
“Bagaimana dengan teman-temanku?” aku bertanya lamban.
“Christina, Cara. Mereka juga tidak melakukan sesuatu yang salah.”
“Kami akan segera mengurus mereka,” jawab Evelyn.
Aku berdiri meskipun lemas dan pusing akibat serum tersebut.
Ruangan ini dipadati orang, berdempet-dempetan. Aku tidak mampu menemukan pintu
keluar selama beberapa waktu, hingga akhirnya seseorang memegang lenganku,
pemuda berkulit cokelat gelap dengan senyum lebar—Uriah. Ia menuntunku ke
pintu. Orang-orang mulai bicara.
***
Uriah membawaku menyusuri koridor menuju lift. Pintu lift
membuka begitu ia menekan tombol. Aku mengikutinya memasuki lift, dengan
langkah yang masih goyah. Begitu pintu lift menutup, aku bertanya, “Menurutmu
bagian tentang kekacauan dan singgasana itu berlebihan atau tidak?”
“Tidak. Evelyn memang menganggapmu mudah marah. Ia malah
bakal curiga kalau kau tidak begitu.”
Aku merasa energi di segenap ragaku, berdebar menanti apa
yang akan terjadi. Aku bebas. Kami akan mencari cara untuk keluar dari kota.
Tidak perlu lagi menunggu, mondar-mandir di sel, meminta jawaban yang tidak
akan pernah kudapatkan dari para penjaga.
Pagi ini, para penjaga memberitahuku beberapa hal mengenai
pemerintahan baru factionless. Mantan
anggota faksi diminta untuk pindah ke dekat markas Erudite dan berbaur, tidak
lebih dari empat orang dari satu faksi di setiap tempat tinggal. Warna pakaian
kami juga harus dicampur. Sebagai akibat dari perintah tersebut, tadi aku
diberi kau kuning Amity dan celana hitam Candor.
“Oke, kita lewat sini ....” Uriah membawaku keluar lift.
Lantai markas Erudite yang ini terbuat dari kaca, termasuk dindingnya. Sinar
matahari membias di kaca, memunculkan warna-warni pelangi di lantai. Aku
menaungi mata dengan satu tangan dan mengikuti Uriah menuju kamar panjang
sempit dengan tempat tidur di setiap sisinya. Di samping masing-masing tempat
tidur ada meja kecil serta lemari kaca untuk pakaian dan buku.
“Ini dulunya asrama peserta inisiasi Erudite,” Uriah
menerangkan. “Aku sudah menyiapkan tempat tidur untuk Christina dan Cara.”
Di tempat tidur dekat pintu duduklah tiga anak perempuan
berkaus merah—Amity sepertinya—sementara di salah satu tempat tidur di sisi
kiri ada seorang wanita yang berbaring dengan kacamata menggantung dari salah
satu telinga—mungkin Erudite. Aku tahu seharusnya aku berhenti mengelompokkan
orang-orang ke dalam faksi-faksi saat melihat mereka, tapi kebiasaan lama sulit
dihilangkan.
Uriah menjatuhkan diri di salah satu tempat tidur di ujung
belakang. Aku duduk di tempat tidur di ujung belakang. Aku duduk di tempat
tidur di sampingnya, senang karena akhirnya bebas dan tenang.
“Zeke bilang kadang-kadang para factionless perlu waktu agak lama untuk memproses pembebasan dari
kesalahan, jadi Christina dan Cara sepertinya baru keluar nanti,” Uriah
menjelaskan.
Sesaat, aku merasa lega karena malam ini semua orang yang
kusayangi akan dikeluarkan dari penjara. Namun kemudian, aku ingat caleb masih
ditawan, karena dikenal sebagai kaki tangan Jeanine Matthews. Para factionless tidak akan pernah
membebaskannya. Meski begitu, aku tidak tahu sejauh apa mereka akan bertindak
untuk menghapuskan tanda-tanda Jeanine Matthews dari kota ini.
Aku tak peduli,
pikirku. Namun, begitu memikirkannya, aku tahu itu bohong. Caleb tetaplah
abangku.
“Bagus,” aku berkomentar. “Trims, Uriah.”
Ia mengangguk, lalu menyandarkan kepala ke dinding.
“Bagaimana kabarmu?” aku bertanya. “Maksudku ... Lynn ....”
Uriah sudah berteman dengan Lynn dan Marlene sebelum aku
mengenal mereka, dan sekarang keduanya sudah tiada. Aku merasa mungkin aku dapat
memahaminya—lagi pula, aku juga sudah kehilangan dua teman, Al akibat tekanan
inisiasi dan Will akibat simulasi penyerangan dan tindakanku yang gegabah.
Namun, aku tak mau menganggap penderitaan kami sama. Lagi pula, Uriah lebih
mengenal teman-temannya daripada aku.
No comments:
Post a Comment