Allegiant (Divergent #3) (3)

Penulis : Veronica Roth

“Karena.” Aku menggigit bibir, seakan berusaha mencegah kata-kata menderas keluar. Aku tak tahu sejak kapan aku jadi pintar berakting, tapi kurasa itu tak ada bedanya dengan berbohong, yang sudah lama menjadi bakatku. “Karena aku tidak sanggup memegang pistol, oke? Tidak sejak aku menembak ... ia. Temanku, Will. Aku tidak sanggup memegang pistol tanpa merasa panik.”

Mata Evelyn semakin menyipit. Kurasa bahkan di bagian terlembut relung hatinya, tidak ada sedikit pun rasa simpati untukku.

“Jadi, Marcus berkata kepadamu bahwa ia menuruti perintahku,” Evelyn menyimpulkan, “dan meskipun kau tahu hubungan antara dirinya dengan Dauntless maupun factionless diliputi ketegangan, kau memercayainya?”

“Iya.”

“Aku mengerti mengapa kau tidak memilih Erudite,” Evelyn tertawa.

Pipiku gatal. Aku ingin menamparnya, dan aku yakin di ruangan ini ada banyak orang yang ingin melakukan itu meskipun tidak berani mengakuinya. Evelyn mengurung kami semua di dalam kota, di bawah kendali factionless bersenjata yang berpatroli di jalan-jalan. Ia tahu yang memegang senjatalah yang berkuasa. Karena Jeanine Matthews sudah tiada, tidak ada seorang pun yang dapat menentang Evelyn.

Dari tiran yang satu ke tiran yang lain. Itulah dunia yang kami kenal saat ini.

“Mengapa kau tidak menceritakan hal ini kepada seseorang?” ia bertanya lagi.

“Aku tak mau terpaksa mengakui kelemahanku,” jawabku. “Aku juga tidak mau Four tahu aku bekerja sama dengan ayahnya. Aku tahu ia tak akan suka.” Aku merasakan kata-kata lain mendesak naik ke kerongkonganku, didorong oleh serum kejujuran. “Aku menyampaikan kebenaran tentang kota kita, juga alasan mengapa kita ada di dalamnya. Kalau kau tidak mau berterima kasih kepadaku, setidaknya lakukanlah sesuatu! Jangan cuma duduk-duduk di sini, di atas kekacauan yang kau buat, dan berpura-pura ini adalah singgasana!”

Senyuman mencemooh Evelyn berubah masam, seakan ia baru saja mengecap sesuatu yang tidak enak. Ia mencondongkan tubuh ke dekat wajahku, dan untuk pertama kalinya aku melihat betapa tua dirinya. Aku melihat garis-garis yang membingkai mata dan mulut Evelyn, rona pucat wajahnya akibat bertahun-tahun kurang makan. Meski demikian, ia elok seperti anaknya. Berada di ambang kelaparan tidak dapat menghapuskan itu.

“Aku sedang melakukan sesuatu. Aku membuat dunia baru,” jawabnya. Lalu, ia merendahkan suara sehingga aku hampir tidak mendengar kata-katanya. “Dulu aku ini seorang Abnegation. Aku sudah tahu kebenaran itu jauh sebelum dirimu, Beatrice Prior. Aku tidak tahu bagaimana caramu meloloskan diri dari ini, tapi aku jamin kau tidak akan punya tempat di dunia baruku, apalagi dengan putraku.”

Aku tersenyum sedikit. Seharusnya aku tidak melakukannya, tapi sulit menjaga sikap tubuh dan ekspresi wajah saat kau dipengaruhi oleh serum kejujuran. Lebih sulit daripada menahan kata-kata, Evelyn percaya Tobias adalah miliknya. Ia tidak tahu yang sebenarnya bahwa Tobias adalah milik dirinya sendiri.

Evelyn menegakkan tubuh sembari bersidekap.

“Serum kejujuran mengungkapkan bahwa meskipun bodoh, kau bukan pengkhianat. Interogasi selesai. Kau boleh pergi.”

“Bagaimana dengan teman-temanku?” aku bertanya lamban. “Christina, Cara. Mereka juga tidak melakukan sesuatu yang salah.”

“Kami akan segera mengurus mereka,” jawab Evelyn.

Aku berdiri meskipun lemas dan pusing akibat serum tersebut. Ruangan ini dipadati orang, berdempet-dempetan. Aku tidak mampu menemukan pintu keluar selama beberapa waktu, hingga akhirnya seseorang memegang lenganku, pemuda berkulit cokelat gelap dengan senyum lebar—Uriah. Ia menuntunku ke pintu. Orang-orang mulai bicara.

***

Uriah membawaku menyusuri koridor menuju lift. Pintu lift membuka begitu ia menekan tombol. Aku mengikutinya memasuki lift, dengan langkah yang masih goyah. Begitu pintu lift menutup, aku bertanya, “Menurutmu bagian tentang kekacauan dan singgasana itu berlebihan atau tidak?”

“Tidak. Evelyn memang menganggapmu mudah marah. Ia malah bakal curiga kalau kau tidak begitu.”

Aku merasa energi di segenap ragaku, berdebar menanti apa yang akan terjadi. Aku bebas. Kami akan mencari cara untuk keluar dari kota. Tidak perlu lagi menunggu, mondar-mandir di sel, meminta jawaban yang tidak akan pernah kudapatkan dari para penjaga.

Pagi ini, para penjaga memberitahuku beberapa hal mengenai pemerintahan baru factionless. Mantan anggota faksi diminta untuk pindah ke dekat markas Erudite dan berbaur, tidak lebih dari empat orang dari satu faksi di setiap tempat tinggal. Warna pakaian kami juga harus dicampur. Sebagai akibat dari perintah tersebut, tadi aku diberi kau kuning Amity dan celana hitam Candor.

“Oke, kita lewat sini ....” Uriah membawaku keluar lift. Lantai markas Erudite yang ini terbuat dari kaca, termasuk dindingnya. Sinar matahari membias di kaca, memunculkan warna-warni pelangi di lantai. Aku menaungi mata dengan satu tangan dan mengikuti Uriah menuju kamar panjang sempit dengan tempat tidur di setiap sisinya. Di samping masing-masing tempat tidur ada meja kecil serta lemari kaca untuk pakaian dan buku.

“Ini dulunya asrama peserta inisiasi Erudite,” Uriah menerangkan. “Aku sudah menyiapkan tempat tidur untuk Christina dan Cara.”

Di tempat tidur dekat pintu duduklah tiga anak perempuan berkaus merah—Amity sepertinya—sementara di salah satu tempat tidur di sisi kiri ada seorang wanita yang berbaring dengan kacamata menggantung dari salah satu telinga—mungkin Erudite. Aku tahu seharusnya aku berhenti mengelompokkan orang-orang ke dalam faksi-faksi saat melihat mereka, tapi kebiasaan lama sulit dihilangkan.

Uriah menjatuhkan diri di salah satu tempat tidur di ujung belakang. Aku duduk di tempat tidur di ujung belakang. Aku duduk di tempat tidur di sampingnya, senang karena akhirnya bebas dan tenang.

“Zeke bilang kadang-kadang para factionless perlu waktu agak lama untuk memproses pembebasan dari kesalahan, jadi Christina dan Cara sepertinya baru keluar nanti,” Uriah menjelaskan.

Sesaat, aku merasa lega karena malam ini semua orang yang kusayangi akan dikeluarkan dari penjara. Namun kemudian, aku ingat caleb masih ditawan, karena dikenal sebagai kaki tangan Jeanine Matthews. Para factionless tidak akan pernah membebaskannya. Meski begitu, aku tidak tahu sejauh apa mereka akan bertindak untuk menghapuskan tanda-tanda Jeanine Matthews dari kota ini.

Aku tak peduli, pikirku. Namun, begitu memikirkannya, aku tahu itu bohong. Caleb tetaplah abangku.

“Bagus,” aku berkomentar. “Trims, Uriah.”

Ia mengangguk, lalu menyandarkan kepala ke dinding.

“Bagaimana kabarmu?” aku bertanya. “Maksudku ... Lynn ....”

Uriah sudah berteman dengan Lynn dan Marlene sebelum aku mengenal mereka, dan sekarang keduanya sudah tiada. Aku merasa mungkin aku dapat memahaminya—lagi pula, aku juga sudah kehilangan dua teman, Al akibat tekanan inisiasi dan Will akibat simulasi penyerangan dan tindakanku yang gegabah. Namun, aku tak mau menganggap penderitaan kami sama. Lagi pula, Uriah lebih mengenal teman-temannya daripada aku.



No comments:

Post a Comment