Allegiant (Divergent #3) (7)

Penulis : Veronica Roth

Aku melihat kepala berambut pirang di seberang kerumunan—Tris, mengenakan kaus biru longgar tanpa lengan yang memperlihatkan sekilas tato pada bahunya. Ia hendak berlari menuju Edward dan pria Erudite itu, tapi Christina menghentikannya.

Wajah pria Erusite itu berubah ungu. Edward lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan dirinya. Pria itu tidak mungkin menang. Bodoh sekali ia mencobanya. Edward merenggut gagang palu godam itu dari tangan si Pria Erudite, lalu mengayunkan kembali. Namun karena marah, ia jadi limbung sehingga palu godam tersebut justru menghantam bahu si Pria Erudite dengan kekuatan penuh, meremukkan tulangnya.

Sesaat, yang kudengar hanyalah jeritan pria Erudite itu. Semua orang seakan-akan terkesiap.

Lalu suasana jadi kacau. Setiap orang berlari menuju mangkuk-mangkuk itu, ke arah Edward, menuju si Pria Erudite. Mereka saling tubruk dan juga menabrakku, bahu, siku, dan kepala menghantamku berkali-kali.

Aku tidak tahu harus lari ke mana: ke si Pria Erudite, ke Edward, atau Tris? Aku tidak dapat berpikir. Aku tidak sanggup bernapas. Kerumunan itu membawaku ke arah Edward, dan aku meraih lengannya.

“Lepaskan!” seruku. Mata cerah Edward yang tinggal satu menatapku, lalu ia menyeringai sambil berusaha melepaskan diri.

Aku mengangkat lutut, menghantam samping tubuhnya. Edward terhuyung ke belakang, palu godam terlepas dari tangannya. Aku meraih palu itu, membawanya dan mulai bergerak ke arah Tris.

Tris ada di kerumunan di depanku, berusaha menghampiri si Pria Erudite. Aku melihat siku seorang wanita menghantam pipi Tris, menyebabkannya terhuyung ke belakang. Christina mendorong wanita itu menjauh.

Lalu, terdengar salakan senjata. Satu. Dua. Tiga kali.

Orang-orang kocar-kacir, berlari ketakutan menghindari ancaman peluru. Aku berusaha melihat siapa yang menembak tadi, tapi terlalu banyak tubuh yang berseliweran. Aku nyaris tak dapat melihat apa-apa.

Tris dan Christina berjongkok di samping si Pria Erudite yang bahunya remuk. Wajahnya berlumuran darah dan pakaiannya dikotori jejak kaki. Rambut Eruditenya yang rapi sekarang berantakan. Tubuhnya tidak bergerak.

Beberapa langkah darinya, Edward tergeletak di genangan darahnya sendiri. Peluru tadi bersarang di perutnya. Di tanah juga ada orang lain, orang-orang yang tidak kukenal, orang-orang yang terinjak-injak atau tertembak. Kurasa peluru tadi ditujukan hanya untuk Edward—orang-orang lain ini kebetulan saja berada di sana.

Aku memandang berkeliling seraya mencari-cari, tapi tidak melihat si Penembak. Siapa pun penembak itu, ia sepertinya sudah membaur dengan kerumunan.

Aku menurunkan palu godam tadi di samping mangkuk yang penyok, lalu berlutut di dekat Edward, batu-batu lambang faksi Abnegation menekan tempurung lututku. Mata Edward yang sehat bergerak-gerak di balik kelopak—ia masih hidup, untuk saat ini.

“Kita harus membawanya ke rumah sakit,” kataku ke siapa pun yang mendengarkan. Hampir semua orang sudah pergi.

Aku menoleh ke arah Tris dan si Pria Erudite yang tidak bergerak. “Ia masih ...?”

Tris sedang meraba leher pria itu, merasakan nadinya, dengan mata membelalak hampa. Ia menggeleng. Tidak, pria itu diak selamat. Sudah kuduga.

Aku menutup mata. Aku masih dapat melihat mangkuk-mangkuk faksi yang terguling dan isinya tumpah di jalan. Simbol cara hidup kami yang dulu telah hancur—seorang pria mati, lainnya terluka—tapi untuk apa?

Tidak untuk apa-apa. Untuk visi Evelyn yang picik dan hampa: sebuah kota tempat faksi-faksi direnggut paksa dari orang-orang.

Evelyn ingin kami punya lebih dari lima pilihan. Sekarang, kami tidak punya satu pilihan pun.

Seketika itu juga aku sadar diriku tidak akan dapat menjadi sekutunya, tidak akan pernah.

“Kita harus pergi,” ujar Tris. Aku tahu yang ia maksud bukanlah meninggalkan Michigan Avenue atau membawa Edward ke rumah sakit. Yang ia maksud adalah meninggalkan kota.

“Kita harus pergi,” aku mengulangi.
***

Rumah sakit darurat di markas Erudite berbau zat kimia menusuk tajam hidungku. Aku menutup mata sambil menunggu Evelyn.

Aku terlalu marah sehingga tidak ingiin duduk di sini. Yang kuinginkan hanyalah mengemasi barang-barangku dan pergi. Evelyn pasti telah merencanakan demonstrasi tadi, karena kalau tidak, tidak mungkin ia mengetahuinya kemarin. Ia juga pasti sudah tahu demonstrasi itu bakal tak terkendali karena suasana di kota begitu tegang, tapi ia tetap melakukannya. Membuat pernyataan mengenai faksi-faksi sangatlah penting baginya dibandingkan keselamatan atau kemungkinan terjadinya korban jiwa. Anehnya, aku tetap saja terkejut.

Aku mendengar pintu lift bergeser membuka, lalu suaranya: “Tobias!”

Ibuku bergegas menghampiri, lalu meremas tanganku yang lengket karena darah. Matanya yang gelap membelalak ketakutan saat ia bertanya, “Kau terluka?”

Ibuku mengkhawatirkanku. Pikiran itu terasa mengiris dan panas di hatiku—ia pasti menyayangiku sehingga mencemaskanku. Ia pasti masih mampu mencintai.

“Ini darah Edward. Aku membantu mebawanya ke sini.”

“Bagaimana keadaannya?” ia bertanya.

Aku menggeleng. “Mati.”

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi mengungkapkannya.

Evelyn mundur, melepaskan tanganku, lalu duduk di salah satu kursi ruang tunggu. Ibuku merangkul Edward setelah pemuda itu dikeluarkan dari Dauntless. Pastilah ibuku yang mengajari Edward bagaimana cara menjadi prajurit lagi setelah kehilangan mata, faksi, dan pijakannya. Aku tidak tahu mereka begitu dekat. Namun, aku dapat melihatnya sekarang, dari air mata yang menggenang dan jari ibuku yang gemetar. Sejak ayahku mengempaskannya ke dinding ruang keluarga kami ketika aku masih anak-anak, baru kali ini ibuku menunjukkan emosinya lagi.

Aku menjejalkan kenangan itu jauh-jauh ke laci terkecil memoriku.

“Aku turut menyesal,” kataku. Aku tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh ataukah hanya mengucapkannya supaya ibuku mengira aku masih di pihaknya. Lalu, aku menambahkan dengan ragu, “Mengapa kau tidak memberitahuku tentang demonstrasi itu?”

Ibuku menggeleng. “Aku tidak tahu apa-apa tentang itu.”

Ia berbohong. Aku tahu, tapi aku memutuskan untuk membiarkannya. Demi menjaga kesan baik, aku harus menghindari masalah dengan ibuku. Atau, mungkin aku Cuma tidak ingin membahas masalah itu sementara kematian Edward masih terasa begitu nyata. Terkadang, sulit mengetahui kapan siasatku berakhir dan kapan rasa simpatiku kepadanya dimulai.

“Oh.” Aku menggaruk belakang telingaku. “Kau bisa masuk dan melihatnya, kalau mau.”

“Tidak.” Ibuku tampak begitu jauh. “Aku belum pernah melihat mayat.” Semakin jauh.

“Mungkin sebaiknya aku pergi.”

“Tinggallah,” ujar ibuku sambil menyentuh kursi kosong di antara kami. “Tolong.”

Aku duduk di sampingnya. Meskipun dalam hati aku mengatakan kepada diriku bahwa aku ini mata-mata yang pura-pura menaati pemimpinnya, aku merasa lebih seperti seorang anak yang memenangkan ibunya yang berduka.

Kami duduk berdempetan, dengan napas seirama, tanpa mengucapkan kata-kata.[]



No comments:

Post a Comment