Penulis : Veronica Roth
Aku merasa tusukan rasa pilu, seakan-akan aku
mengkhianatinya, wanita yang dulu merupakan satu-satunya sekutuku. Aku berbalik
pergi sebelum berubah pikiran dan meminta maaf.
Aku meninggalkan markas Erudite bersama sekerumunan orang.
Mataku otomatis mencari-cari warna baju penanda faksi, meski hal itu sudah
tidak ada. Aku mengenakan kaus kelabu, jins biru, sepatu hitam—baju baru, tapi
di balik itu semua ada tato Dauntlessku. Mustahil menghapuskan pilihanku.
Terutama yang ini.[]
5
TRIS
Aku menyesal alarm jam tanganku pada pukul sepuluh dan
langsung tidur, bahkan tanpa beegerak mencari posisi yang nyaman. Beberapa jam
kemudian, meski alarm berbunyi, aku tidak terbangun karena itu tetapi lebih
karena teriakan kesal seseorang di seberang ruangan. Aku mematikan alarm,
merapikan rambut dengan tangan, lalu setengah berlari kecil menuju salah satu
tangga darurat. Pintu keluar di bawah mengarah ke gang, dan mungkin di sana aku
tidak akan dicegat.
Begitu tiba di luar, udara segar membuatku terjada. Aku
menurunkan lengan baju hingga menutupi jari-jari supaya hangat. Musim panas
sudah berakhir. Di sekitar pintu masuk markas Erudite ada kerumunan orang, tapi
mereka sama sekali tidak melihatku yang menyelinap melintasi Michigan Avenue.
Ada untungnya juga punya tubuh kecil.
Aku melihat Tobias berdiri di tengah halaman. Ia mengenakan
warna berbagai faksi—kaus kelabu, jins biru, dan sweter hitam bertudung—warna
faksi-faksi yang cocok untukku menurut Tes Kecakapan. Ransel bersandar di
kakinya.
“Bagaimana aku tadi?” tanyaku saat sudah dekat.
“Bagus,” komentarnya. “Evelyn masih membencimu, tapi
Christina dan Cara sudah dibebaskan tanpa ditanyai.”
“Syukurlah.” Aku tersenyum.
Tobias menarik bagian depan kausku dan mengecupku lembut.
“Ayo,” katanya. “Aku punya rencana untuk malam ini.”
“Oh, ya?”
“Iya. Aku baru ingat kalau kita belum pernah kencan
sungguhan.”
“Kekacauan dan kehancuran memang cenderung memupuskan
kemungkinan berkencan.”
“Aku ingin mengalami sendiri fenomena ‘kencan’ ini,’ kata
Tobias.
Ia berjalan mundur, menuju struktur logam raksasa di ujung
halaman, dan aku mengikuti. “Sebelum denganmu, aku Cuma pernah kencan bersama
teman, dan biasanya kacau. Kencan itu selalu berakhir dengan Zeke bermesraan
bersama gadis yang diincarnya, sementara aku duduk dalam keheningan canggung
bersama gadis yang entah bagaimana kubuat tersinggung di awal kencan.”
“Kau memang tak ramah,” komentarku sambil tersenyum lebar.
“Hei, lihat siapa yang bicara,” balasnya.
“Hei, aku bisa bersikap manis kalau mau.”
“Hmmm,” komentarnya sambil mengetuk-ngetuk dagu. “Kalau
begitu, coba ucapkan sesuatu yang manis.”
“Kau ganteng sekali.”
Tobias tersenyum, giginya berbinar dalam kegelapan. “Aku
suka sikap ‘manis’ ini.”
Kami tiba di ujung taman. Bangunan logam tersebut tampak
lebih besar dan aneh saat dilihat dari dekat. Bangunan itu sebenarnya merupakan
panggung yang dinaungi sejumlah lempeng logam besar yang melingkar ke berbagai
arah, mirip kaleng aluminium yang meledak. Kami berjalan mengitari salah satu
lempeng berposisi miring di sebelah kanan agak di belakang panggung.
Tiang-tiang logam menyokong lempengan-lempengan tersebut dari belakang. Tobias
merapikan ransel di bahunya, lalu meraih salah satu tiang. Memanjat.
“Wah, ini rasanya tak asing,” kataku. Salah satu hal pertama
yang kami lakukan bersama adalah memanjat Bianglala, tapi waktu itu akulah yang
memaksa agar kami memanjat lebih tinggi, bukan Tobias.
Aku menyingsingkan lengan baju, lalu mengikutinya. Bahuku
masih sakit akibat luka tembak, tapi sudah lumayan sembuh. Meski begitu, aku
menahan sebagian besar bobot badanku dengan lengan kiri dan berusaha mendorong
dengan kaki setiap kali memungkinkan. Aku melihat ke bawah ke arah besi-besi
yang malang-melintang serta tanah yang semakin jauh di bawah, lalu tertawa.
Tobias memanjat ke tempat dua lempeng logam bertemu
membentuk huruf V, yang cukup luas untuk diduduki dua orang. Ia beringsut
mundur, memasukkan dirinya di antara kedua lempeng tersebut, lalu mengulurkan
tangan untuk memegang pinggangku dan membantuku begitu aku mendekat.
Tobias mengeluarkan selimut dari ransel dan menyelubungi
kami berdua. Setelah itu, ia mengeluarkan dua gelas plastik.
“Kau ingin pikiranmu tetap jernih atau tidak?” tanyanya
sambil mengintip ke dalam tas.
“Mmm ....” Aku memiringkan kepala. “Jernih. Kurasa kita perlu
membahas sesuatu, bukan?”
“Benar.”
Tobias mengeluarkan botol kecil berisi cairan jernih
bergelembung, lalu membuka tutupnya seraya berkata. “Aku mencuri ini dari dapur
Erudite. Ternyata sedap.”
Setelah Tobias menuangkan isi botol itu ke masing-masing
gelas, aku menyesapnya. Apa pun namanya, minuman ini terasa manis seperti
sirop, berasa lemon, dan membuatku agak meringis. Tegukan kedua terasa lebih
baik.
“Jadi, hal yang perlu dibicarakan,” kata Tobias.
“Ya.”
“Jadi ...,” Tobias mengernyit ke gelasnya. “Oke, aku
mengerti mengapa kau harus bekerja sama dengan Marcus, juga mengapa kau merasa
tidak dapat memeberitahuku. Tapi ....”
“Tapi kau marah,” aku melanjutkan. “Karena aku membohongmu.
Beberapa kali.”
Tobias mengangguk tanpa memandangku. “Ini bukan tentang
Marcus. Ini jauh lebih lama dari itu. Aku tidak tahu apakah kau dapat memahami
seperti apa rasanya terbangun sendirian dan menyadari kau sudah pergi”—menyongsong kematian, aku kira itulah
yang akan dilakatakannya, tapi Tobias bahkan tidak dapat mengucapkan kata-kata
itu—“ke markas Erudite.”
“Tidak, mungkin aku tidak bisa.” Aku meneguk lagi, memutar
minuman manis itu di dalam mulut sebelum menelannya. “Dengar, aku ... aku
sering berpikir tentang mengorbankan hidupku demi sesuatu, tapi aku tidak benar-benar
memahami apa sebenarnya ‘mengorbankan hidup’ itu sampai mengalaminya sendiri,
saat hidupku akan direngut.”
Aku mendongak menatap Tobias, dan akhirnya, ia balas
memandangku.
“Sekarang aku tahu,” aku melanjutkan. “Aku tahu aku ingin
hidup. Aku tahu aku ingin jujur kepadamu. Tapi ... tapi aku tidak dapat
melakukannya, tidak mau melakukannya, kalau kau tidak bersedia untuk
memercayaiku atau jika kau berbicara kepadaku dengan sikap meremehkan seperti
yang kadang-kadang kau lakukan—”
“Meremehkan?” ulangnya.
“Kau melakukan tindakan yang konyol dan berisiko—”
“Memang,” aku memotong. “Jadi, karena itu kau merasa perlu
bicara dengan nada seolah-olah aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa?”
“Jadi aku harus bagaimana?” balasnya. “Kau tidak mau berpikir
dengan akal sehat!”
“Mungkin aku tak butuh akal sehat!” aku mencondongkan tubuh
ke depan, tak bisa lagi berpura-pura tenang. “Aku merasa seperti ditelan
hidup-hidup oleh rasa bersalah, dan yang kubutuhkan adalah kesabaran serta
kebaikanmu, bukan kau yang membentak
aku. Juga, bukan kau yang selalu merahasiakan rencana-rencanamu dariku
seakan-akan aku ini tak mampu me—”
No comments:
Post a Comment