Penulis : Veronica Roth
“Aku tidak ingin menambah bebanmu.”
“Menurutmu aku ini kuat atau tidak?” aku memberengut ke
arahnya. “Karena sepertinya menurutmu aku sanggup menghadapi kemarahanmu, tapi
tak sanggup menghadapi hal lain. Apa maksudnya itu?”
“Tentu saja aku merasa kau ini kuat,” sahutnya seraya
menggeleng. “Aku Cuma ... aku tidak terbiasa bercerita kepada orang lain. Aku
terbiasa menangani masalahku sendiri.”
“Aku ini dapat diandalkan,” jawabku. “Kau bisa memercayaiku.
Kau juga bisa membiarkan aku menentukan apa-apa saja yang sanggup kutangani.”
“Oke,” ujar Tobias sambil mengangguk. “Tapi tidak boleh lagi
ada dusta. Sama sekali.”
“Oke.”
Aku merasa tegang dan tertekan, seakan-akan tubuhku
dijejalkan ke dalam sebuah ruangan yang sangat kecil. Namun, karena tidak ingin
pembicaraan kami berakhir seperti ini, aku meraih tangannya.
“Aku minta maaf karena sudah membohongimu,” ucapku.
“Sungguh.”
“Yah,” jawab Tobias. “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa
seolah-olah aku tidak menghargaimu.”
Selama beberapa saat, kami tidak berkata-kata dan hanya
saling berpegangan tangan. Aku kembali bersandar ke lempeng logam. Langit di
atasku kejam dan gelap, bulan tersembunyi di balik awan. Saat awan bergeser,
aku melihat bintang di atas kami, tampaknya hanya itu satu-satunya bintang
malam ini. Namun, begitu memiringkan kepala ke belakang, aku dapat melihat
siluet gedung-gedung di sepanjang Michigan Avenue, berjajar bagai deretan
penjaga yang mengawasi kami.
Aku tetap diam hingga perasaan sesak dan tertekan yang
kurasakan hilang digantikan rasa lega. Biasanya, kemarahan yang kurasakan tidak
reda secepat ini, tapi minggu-minggu terakhir ini aneh bagi kami berdua, dan aku
senang melepaskan perasaan yang selama ini bercokol di benakku—marah dan takut
apabila Tobias membenciku, juga rasa bersalah karena bekerja sama dengan
ayahnya tanpa sepengetahuannya.
“Minuman ini agak menjijikkan,” komentar Tobias seraya
mengosongkan gelasnya.
“Iya,” aku menjawab sambil memandangi minuman yang tersisa
di gelasku. Aku menghabiskannya dengan sekali tenggak dan meringis saat
gelembung-gelembung itu membakar kerongkonganku. “Aku tidak mengerti mengapa
para Erudite membangga-banggakannya. Kue Dauntless jauh lebih enak.”
“Aku bertanya-tanya seperti apa hidangan khas Abnegation,
kalau ada.”
“Roti basi.”
Tobias tertawa. “Bubur gandum tak berasa.”
“Susu.”
“Terkadang, kupikir aku meyakini semua yang diajarkan di
Abnegation kepada kita,” katanya. “Tapi jelas itu salah, karena sekarang aku
duduk di sini sambil memegangi tanganmu tanpa menikahimu dulu.”
“Apa yang diajarkan di Dauntless tentang ... ini?” aku
bertanya sambil mengangguk ke arah tangan kami.
“Apa yang diajarkan di Dauntless, hmmm.” Ia tersenyum.
“Lakukan apa pun yang kau mau tapi tetap aman, itulah yang mereka ajarkan.”
Aku mengangkat alis. Mendadak wajahku terasa panas.
“Kurasa aku ingin menemukan apa yang sesuai untuk diriku,”
lanjut Tobias. “Menemukan keseimbangan antara apa yang kuinginkan dan apa yang
menurutku bijaksana.”
“Kedengarannya bagus.” Aku diam sejenak. “Tapi, apa yang kau
inginkan?”
Kurasa aku tahu jawabannya, tapi aku ingin mendengar Tobias
mengucapkannya.
“Hmmm.” Tobias tersenyum. Ia merangkulku dengan lengannya,
lalu mengecupku, pelan.
Aku merasa rileks. Aku merasas lebih lembut, lebih ringan,
seakan tidak ada masalah apabila aku tertawa bersamanya dan menikmati
kebersamaan kami. Aku merasa kuat sekaligus lemah dan setidaknya untuk sesaat
aku menjadi keduanya.
“Makin sulit jadi bijaksana,” ujarnya sambil tertawa di
telingaku.
Aku tersenyum ke arahnya. “Kurasa memang begitulah
seharusnya.”[]
6
TOBIAS
Sesuatu akan terjadi.
Aku dapat merasakannya saat mengantre di kantin dengan
nampanku. Aku melihatnya pada kerumunan kepala orang-orang factionless yang merunduk di atas bubur gandum mereka. Apa pun itu
akan segera terjadi.
Kemarin, setelah keluar dari kantor Evelyn, aku berlama-lama
di koridor untuk mencuri dengar pertemuan berikutnya. Sebelum ia menutup pintu,
aku mendengarnya mengatakan sesuatu tentang demonstrasi. Pertanyaan yang
mengusik benakku adalah: Mengapa ia tidak memberitahuku?
Evelyn pastilah tidak memercayaiku. Itu artinya aku belum
melakukan tugas berpura-pura menjadi tangan kanannya sebaik yang kukira.
Aku duduk dengan menu sarapan yang sama seperti semua orang:
semangkuk bubur gandum dengan taburan gula merah dan secangkir kopi. Aku
mengamatii kelompok factionless itu
sambil menyuapkan makanan ke mulut. Salah satu dari mereka—anak perempuan,
mungkin empat belas tahun—terus-terusan melirik jam.
Baru setengah makanan kuhabiskan, tiba-tiba terdengar
teriakan-teriakan. Anak perempuan factionless
itu mendadak bangkiit seolah tersetrum. Lalu, mereka semua bergerak menuju
pintu. Aku mengikuti mereka, mendesak melewati orang-orang yang lebih lambat di
lobi markas Erudite, tempat foto Jeanine Matthews yang tercabik-cabik
berceceran di lantai.
Sekelompok factionless
sudah berkumpul di luar, di tengah Michigan Avenue. Selapis awan pucat
menyelimuti matahari, menyebabkan suasana redup dan muram. Aku mendengar
seseorang berseru, “Mampuslah faksi-faksi!” yang kemudian diikuti orang-orang,
menyebabkan kata-kata berubah jadi seperti nyanyian hingga memekakkan
telingaku, Mampuslah faksi-faksi,
mampuslah faksi-faksi. Tinju mereka teracung di udara, seperti Dauntless
yang bersemangat, tapi tidak diiiringi sikap riang Dauntless. Wajah mereka
berkerut karena marah.
Aku mendesak ke tengah dan melihat apa yang mereka kerumuni:
Mangkuk-mangkuk faksi seukuran manusia dari Upacara Pemilihan yang sudah
digulingkan hingga isinya berceceran di jalan. Batu bara pijar, kaca, batu,
tanah, dan air. Semua bercampur jadi satu.
Aku ingat saat melukai telapak tangan untuk meneteskan darah
ke batu bara, pembangkangan pertama yang kulakukan terhadap ayahku. Aku ingat
gejolak semangat di dalam diriku, juga rasa lega yang melanda. Jalan keluar.
Dulu, mangkuk-mangkuk ini adalah jalan keluarku.
Edward berdiri di antara mangkuk-mangkuk itu, pecahan kaca
remuk diinjak tumitnya, palu godam terangkat di atas kepalanya. Ia mengayunkan
palu tersebut ke salah satu mangkuk yang terguling, membuat logamnya penyok.
Debu arang beterbangan.
Aku harus menahan diri agar tidak berlari ke arahnya. Ia
tidak boleh menghancurkannya. Jangan mangkuk itu. Jangan Upacara Pemilihan.
Jangan simbol kemenanganku. Benda-benda itu tidak boleh dihancurkan.
Kerumunan membesar, bukan hanya karena factionless yang mengenakan ban lengan hitam dengan lingkaran putih
kosong, tapi juga karena orang-orang dari setiap faksi yang dulu—yang lengannya
telanjang. Seorang pria Erusite—ciri faksinya masih terlihat jelas dari
rambutnya yang dibelah rapi—berlari keluar dari kerumunan tepat saat Edward
mengangkat palu godam itu untuk melancarkan hantaman berikutnya. Pria Erudite
itu mencengkeramkan tangannya yang lembut dan bernoda tinta ke pegangan palu,
tepat di atas tangan Edward, lalu mereka saling dorong dengan gigi terkatup.
No comments:
Post a Comment