Penulis : Veronica
Roth
Sejak kencan waktu itu, aku hanya bicara dengannya saat
menyampaikan pesan. Aku harus menahan dorongan untuk berlari ke pelukannya,
membelai pipinya saat ia tersenyum, serta menyentuh alis dan rahangnya yang
kaku. Tapi, tinggal dua menit lagi sebelum tengah malam. Kami tak punya waktu.
Tobias memelukku erat selama beberapa detik. Napasnya
menggelitik telingaku, dan aku menutup mata, membiarkan tubuhku melepaskan
ketegangan. Baunya seperti angin serta keringat dan sabun, seperti Tobias,
seperti rasa aman.
“Kita masuk sekarang?” ia bertanya. “Siapa pun orang-orang
ini, mereka mungkin tepat waktu.”
“Ya.” Kakiku gemetar karena lelah—aku tidak sanggup
membayangkan nanti harus menuruni tangga dan berlari kembali ke markas Erudite.
“Bagaimana putusan Caleb?”
Tobias meringis. “Mungkin sebaiknya itu kita bicarakan nanti
saja.”
Itu cukup menjawab pertanyaanku.
“Mereka akan menghukum mati Caleb, ya?” ucapku lirih.
Tobias mengangguk dan meraih tanganku. Aku tidak tahu harus
merasa apa. Aku berusaha untuk tidak merasakan apa-apa.
Bersama-sama, kami berjalan ke ruangan tempat aku dan Tobias
pernah diinterogasi menggunakan serum kejujuran. Tempat kau mengucapkan pengakuan.
Lilin dinyalakan melingkar di lantai, di atas ubin bergambar
salah satu timbangan Candor. Di ruangan ini ada wajah-wajah yang kukenal dan
juga yang tidak: Susan dan Robert berdiri berdekatan, mengobrol; Peter berdiri
bersidekap sendirian di salah satu pinggir ruangan; Uriah dan Zeke berada
bersama Tori dan beberapa Dauntless lainnya; Christina bersama ibu dan adiknya;
lalu di salah satu sudut ada dua orang Erudite yang tampak gugup. Pakaian baru
tidak dapat melenyapkan perbedaan di antara kami yang sudah terpatri dalam.
Christina memanggilku. “Ini ibuku, Stephanie,” ia memperkenalkanku
kepada wanita berambut hitam ikal yang dihiasi uban. “Ini adikku, Rose. Mom,
Rose, ini temanku Tris, dan instruktur inisiasiku, Four.”
“Tentu saja,” sahut Stephanie. “Kami menyaksikan mereka
diinterogasi bebera minggu lalu, Christina.”
“Aku tahu, aku Cuma bersikap sopan—”
“Kesopanan itu penipuan—”
“Iya, iya, aku tahu,” potong Christina sambil memutar bola
mata.
Ku melihat ibu dan adiknya saling pandang dengan perasaan
seperti khawatir, marah, atau keduanya. Kemudian adiknya memandangku dan
berkata, “Kau membunuh pacar Christina.”
Kata-katanya menimbulkan rasa dingin di hatiku, seolah-olah
ada sebilah es yang membelah tubuhku jadi dua. Aku ingin menjawab, membela
diri, tapi tidak mampu berkata-kata.
“Rose!” Christina menegurnya. Tobias yang di sampingku
menegakkan tubuh, tegang. Siap bertarung, seperti biasa.
“Kupikir sebaiknya kita mengatakan semua hal secara terus
terang,” bantah Rose. “Supaya tidak buang-buang waktu.”
“Lalu, kau bertanya-tanya mengapa aku meninggalkan faksi
kita,” balas Christina. “Jujur bukan berarti kita boleh mengatakan apa pun yang
kita inginkan tanpa pandang waktu. Jujur artinya apa yang ingin kau katakan
haruslah benar.”
“Sengaja tidak mengucapkan sesuatu tetap saja disebut
bohong.”
“Kau mau dengar yang sejujurnya? Aku merasa tidak nyaman dan
tidak ingin berada di sini. Sampai nanti.” Christina meraih tanganku, lalu
berjalan menjauhi keluarganya bersamaku dan Tobias sambil geleng-geleng. “Maaf,
ya. Mereka bukan orang yang pemaaf.”
“Tak apa,” aku menyahut, meskipun dalam hati tak merasa
begitu.
Kupikir saat menerima pengampunan Christina, rasa sedih
akibat kematian Will akan berakhir. Namun, kalau kita membunuh orang yang kita
sayangi, kesedihan itu tak akan pernah berakhir. Kita hanya jadi lebih mudah
mengalihkan perhatian dari apa yang telah kita lakukan.
Jam tanganku menunjukkan pukul dua belas. Pintu di depan
ruangan terbuka, dan masuklah dua sosok langsing. Yang pertama adalah Johanna
Reyes, mantan juru bicara Amity, yang dapat dikenali dengan mudah dari goresan
bekas luka di wajah dan sekilas warna kuning yang mengintip dari balik jaket
hitamnya. Yang kedua juga perempuan, tapi selain warna biru yang dikenakannya
aku nyaris tak dapat melihat wajahnya.
Aku merasakan sentakan ngeri. Wanita itu sangat mirip dengan
... Jeanine.
Tidak, aku melihatnya
mati. Jeanine sudah tiada.
Wanita itu mendekat. Ia bertubuh tegap dan pirang, mirip
Jeanine. Kacamata bergantung dari saku depan, dan rambutnya dikepang. Seorang
Erudite sejati, tapi bukan Jeanine Matthews.
Cara.
Cara dan Johanna adalah pemimpin Allegiant?
“Halo,” Cara menyapa, menyebabkan semua obrolan berhenti. Ia
tersenyum, tapi ekspresinya kaku, seakan hanya menuruti aturan sosial. “Kita
seharusnya tidak di sini, jadi aku akan berusaha agar rapat ini singkat.
Sebgian dari kalian—Zeke dan Tori—telah membantu kami selama beberapa hari
terakhir.”
Aku memandang Zeke. Zeke
membantu Cara? Kurasa aku lupa dulu Zeke itu mata-mata Dauntless. Mungkin saat
itulah ia membuktikan kesetiaannya kepada Cara—Zeke berteman dengan Cara
sebelum gadis itu meninggalkan markas Erudite baru-baru ini.
Zeke memandangku sambil mengangkat salah satu alisnya, lalu
tersenyum lebar.
Johanna melanjutkan, “Sebagian dari kalian ada di sini
karena kami ingin meminta bantuan kalian. Kalian semua ada di sini karena
kalian tidak memercayai Evelyn Johnson menentukan nasib kota ini.”
Cara mengatupkan telapak tangan di depan dada. “Kita yakin
kita harus mengikuti tuntunan para pendiri kota ini, yang diwujudkan dalam dua
cara: pembentukan faksi-faksi serta misi Divergent seperti yang yang
diungkapkan Edith Prior, yakni mengirim orang-orang keluar pagar perbatasan
untuk membantuk siapa pun yang ada di luar sana begitu populasi Divergent yang
ada cukup banyak. Kami yakin bahwa meskipun populasi Divergent tersebut tidak
cukup banyak, situasii kota kita ini sudah cukup genting sehingga kita tetap
haris mengirim orang ke luar pagar perbatasan.
“Sejalan dengan keinginan para pendiri kota, kita punya dua
tujuan: menggulingkan Evelyn dan factionless
sehingga faksi-faksi dapat didirikan kembali serta mengirim sebagian dari kita
ke luar kota untuk melihat apa yang ada di luar sana. Johanna akan memimpin
upaya pertama sementara aku sendiri memimpin upaya yang kedua, yang akan kita
bahas malam ini.” Ia menyelipkan untai rambutnya yang lepas kembali ke
kepangan. “Yang bisa pergi hanya sebagian kecil karena jumlah yang terlalu
banyak bakal menarik perhatian. Evelyn tidak akan membiarkan kita pergi begitu
saja, jadi kurasa sebaiknya merekrut orang-orang yang kukenal dan berpengalaman
menghadapi bahaya.”
Aku melirik Tobias. Kami jelas berpengalaman menghadapi
bahaya.
“Orang-orang yang kupilih itu adalah Christina, Tris,
Tobias, Tori, Zeke, dan Peter,” Cara melanjutkan. “Kalian semua sudah
membuktikan kemampuan kalian, dan karena alasan itulah aku ingin mengajak
kalian pergi bersamaku keluar kota. Tentu saja kalian tidak diharuskan untuk
menyetujui ini.”
“Peter?” tuntutku
tanpa berpikir. Aku tak bisa membayangkan apa yang sudah Peter lakukan untuk
“membuktikan kemampuannya” kepada Cara.
“Ia mencegah kaum Erudite membunuhmu,” ujar Cara lembut.
“Kau pikir siapa yang mengajarinya cara memalsukan kematianmu?”
No comments:
Post a Comment