The Maze Runner (The Maze Runner #1) (34)

Penulis: James Dashner

34


THOMAS terbangun dalam keadaan nyaris tanpa cahaya. Awalnya dia mengira bangun terlalu pagi daripada biasanya, sekitar satu jam sebelum fajar tiba. Namun, kemudian dia mendengar teriakn-teriakan. Lalu, dia mendongak, memandang di antara dahan-dahan pohon yang memayunginya.

Langit berwarna kelabu—bukan warna pucat pagi hari yang alami.

Dia melompat berdiri, meletakkan tangannya ke tembok menyeimbangkan tubuh saat dia mendongak memandang lapisan langit dengan tercengang. Tak ada biru, tiada hitam, tak ada bintang-bintang, tiada semburat ungu tanda fajar mulai tiba. Langit, setiap jengkalnya, tertutup kelabu. Pucat dan lengang.

Dia melihat jam tangannya—tepat satu jam setelah waktu bangun tidur yang diperintahkan kepadanya. Sinar matahari yang terang seharusnya sudah membangunkannya—yang sangat mudah dilakukannya sejak dia tiba di Glade. Namun, tidak untuk hari ini.

Dia kembali memandang angkasa, setengah berharap langit telah berubah kembali normal. Namun, semua masih kelabu. Tak berawan, tanpa sinar, tidak seperti saat-saat fajar menyingsing. Hanya kelabu.

Matahari telah menghilang.


Thomas melihat sebagian besar Glader berdiri di sekitar pintu masuk Kotak, menunjuk-nunjuk langit yang lengang, semua orang berbicaara pada saat bersamaan. Berdasarkan waktu, sarapan seharusnya sudah disediakan, dan orang-orang seharusnya telah bekerja. Namun, benda terbesar di tata surya telah menghilang dan mengacaukan jadwal yang biasa.

Sejujurnya, saat Thomas tanpa bersuara mengawasi kegemparan itu, dia tak merasa panik atau takut. Dan, dia terkejut melihat banyak sekali anak yang tampak seperti anak-anak ayam tersesat setelah diusir dari kandang. Hal itu sungguh tampak menggelikan.

Matahari jelas tidak menghilang—itu tidak mungkin.

Meskipun tampaknya demikian—tak ada tanda-tanda bola api raksasa itu di mana pun, dan tiada bayang-bayang datangnya pagi. Namun, dia dan semua Glader seharusnya berpikir jauh lebih rasional dan cerdas untuk menyimpulkan hal semacam ini. Tidak, pasti ada alasan ilmiah yang dapat diterima atas semua yang mereka saksikan kini. Dan, alasan apa pun itu, bagi Thomas itu berarti satu hal: kenyataan bahwa mereka tak lagi dapat melihat matahari mungkin menandakan bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkannya. Matahari tak mungkin hilang begitu saja. Langit mereka pastilah—dan masih—buatan. Palsu.

Dengan kata lain, matahari yang telah menyinari penghuni tempat ini selama dua tahu, menyediakan panas dan kehidupan bagi semuanya, sama sekali bukan matahari. Entah bagaimana, itu matahari palsu. Segalanya tentang tempat ini adalah palsu.

Thomas tak mengerti artinya, tak bisa membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Namun, dia tahu itu benar—itulah satu-satunya penjelasan masuk akal yang bisa diterimanya. Dan, jelas terlihat dari reaksi para Glader bahwa tak seorang pun dari mereka yang menyadari hal itu hingga kini.

Chuck mendekatinya, dan ekspresi ketakutan di wajah anak itu membuat hati Thomas perih.

“Menurutmu, apa yang terjadi?” tanya Chuck, suaranya bergetar menyedihkan, pandangannya terpancang ke langit. Thomas berpikir leher anak itu pasti terasa sakit. “Seperti langit-langit kelabu raksasa—cukup dekat hingga kau hampir dapat menyentuhnya.”

Thomas mengikuti pandangan Chuck ke atas. “Ya, membuatmu berpikir tentang tempat ini.” Untuk kali kedua dalam 24 jam, Chuck mengatakan hal yang tepat. Angkasa memang tampak seperti langit-langit. Serupa langit-langit sebuah ruangan raksasa. “Mungkin ada yang rusak. Maksudku, mungkin matahari akan muncul lagi.”

Chuck akhirnya berhenti mendongak, ingatan samar tentang semalam, sebelum dia tertidur, kembali datang, kata-kata Teresa di dalam pikirannya. Gadis itu berkata, Aku baru saja membuka Bagian Akhir. Ini tak mungkin hanya kebetulan, kan? Lambungnya terasa mual. Apa pun penjelasannya, apa pun yang dulunya ada di langit, matahari asli atau bukan, kini benda itu telah lenyap. Dan, itu bukan pertanda baik.

“Thomas?” panggil Chuck, menepuk pelan lengannya.

“Ya?” Pikiran Thomas masih mengembara.

“Apa maksudmu dengan rusak?” ulang Chuck.

Thomas butuh waktu untuk memikirkan semuanya. “Oh. Aku tak tahu. Ada hal-hal mengenai tempat ini yang jelas tak kita mengerti. Tapi, kau tak bisa melenyapkan matahari begitu saja dari angkasa. Lagi pula, masih ada sedikit cahaya untuk melihat meskipun temaram. Dari mana asalnya?”

Chuck membelalak, seolah rahasia terdalam dan terkelam alam semesta baru saja dipaparkan di hadapannya. “Ya, dari mana asalnya? Apa yang sedang terjadi saat ini, Thomas?”

Thomas meremas pundak anak yang lebih muda itu. Dia merasa kikuk. “Tak ada petunjuk, Chuck. Belum ada petunjuk. Tapi, aku yakin Newt dan Alby akan memecahkan masalah ini.”

“Thomas!” Minho berlari menghampiri mereka. “Sudah cukup menghabiskan waktu dengan Chucky di sini dan ayo berangkat. Kita sudah terlambat.”

Thomas tertegun. Tadinya dia berharap langit yang aneh akan mengubah total semua jadwal rutin.

“Kalian tetap akan keluar sana?” tanya Chuck, jelas sama terkejutnya. Thomas lega anak itu menanyakan hal yang juga ingin dikatakannya.

“Tentu saja, Bocah,” kata Minho. “Bukannya kau punya banyak pekerjaan untuk dilakukan?” Dia mengalihkan pandangan dari Chuck ke Thomas. “Pokoknya, kita butuh alasa yang lebih besar untuk menghentikan tugas kita di luar. Jika matahari benar-benar menghilang, itu juga tidak akan berlangsung lama sebelum tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan mati. Kurasa tingkat keputusasaan di sini menjadi lebih tinggi.”

Kalimat terakhir membuat Thomas terguncang. Meskipun memiliki sekian banyak gagasan—semua yang telah dibahasnya bersama Minho—dia tidak berani mengubah hal-hal yang sudah dilakukan selama dua tahun ini. Campuran semangat dan rasa takut menyelimuti dirinya ketika menyadari maksud perkataan Minho. “Maksudmu kita akan tinggal di luar sepanjang malam? Menyelidiki tembok-tembok itu lebih dekat?”

Minho menggelengkan kepala. “Tidak, belum. Tapi,  mungkin secepatnya.” Dia mendongak menatap langit. “Ya ampun—waktu yang aneh untuk bangun tidur. Ayo, kita berangkat.”

Thomas tak berbicara saat dia dan Minho menyiapkan perlengkapan mereka dan memakan sarapan secepat kilat. Pikrannya berputar di antara langit kelabu dan apa yang Teresa—dia menduga itu suara anak perempuan itu—katakan kepadanya dalam pikirannya, mengajaknya berbicara.

Apa yang dia maksud dengan Bagian Akhir? Thomas tidak mampu menahan perasaan bahwa dia harus mengatakannya kepada seseorang. Kepada semua orang.

Akan tetapi, dia tak tahu apa maksudnya, dan dia tidak ingin mereka tahu ada suara gadis itu dalam kepalanya. Mereka akan berpikir dirinya gila, bahkan akan mengurungnya—dan kali ini sungguhan.

Setelah mempertimbangkan  cukup lama, Thomas memutuskan menutup mulut dan terus berlari dengan Minho pada hari kedua latihannya, di bawah langit yang suram dan pucat.


Mereka melihat Griever itu sebelum sampai ke pintu yang menghubungkan Sektor Delapan ke Sektor Satu.

Minho berada beberapa meter di depan Thomas. Dia baru saja menikung ke kanan ketika mendadak berhenti, nyaris terpeleset. Dia melompat mundur dan menyambar baju Thomas, mendorongnya merapat ke dinding.

“Ssst,” Minho berbisik. “Ada satu Griever di sana.”

Thomas membelalak, merasa jantungnya berdegup semakin cepat meskipun sudah berat dan tersengal-sengal.

Minho mengangguk, kemudian meletakkan jarinya di atas bibir. Dia melepaskan pegangannya pada baju Thomas dan mundur selangkah, kemudian merayap menuju belokan tempat dia melihat Griever itu. Dengan sangat perlahan dia menjulurkan tubuh hendak mengintip. Thomas ingin berteriak mengingatkannya untuk berhati-hati.

Kepala Minho tersentak kembali ke belakang dan dia menoleh kepada Thomas. Suaranya masih berupa bisikan. “Ia hanya duduk di sana—hampir tampak mati seperti yang kami lihat dulu.”

“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Thomas sepelan mungkin. Dia mencoba mengabaikan rasa panik yang mulai menjalarinya. “Apakah dia bergerak ke arah kita?”

“Tidak, bodoh—sudah kubilang ia sedang duduk di sana.”

Lalu?” Thomas mengangkat kedua tangannya dengan putus asa. “Apa yanga akan kita lakukan?” Berdiri begitu dekat dengan sebuah Griever terdengar seperti ide yang sangat buruk.

Minho diam beberapa saat, berpikir sebelum akhirnya berbicara. “Kita harus melewati jalan itu untuk sampai di Sektor kita. Ayo kita amati dulu sebentar—jika ia mengejar, kita akan berlari kembali ke Glade.” Anak itu mengintip sekali lagi, kemudian dengan cepat menoleh dari balik bahunya. “Sialan—ia menghilang! Ayo!”

Minho tidak menanti jawaban, tidak melihat ekspresi ketakutan Thomas yang terbelalak. Minho memelesat lari ke arah di mana dia melihat Griever tadi. Meskipun instingnya mengatakan tidak, Thomas tetap mengikuti temannya.

Dia berlari di sepanjang lorong di belakang Minho, berbelok ke kiri, kemudian ke kanan. Di setiap belokan, mereka mengurangi kecepatan hingga si Pengawas dapat melihat situasi terlebih dahulu di sudut tersebut. Dia berbisik memberi tahu Thomas setiap kali melihat ujung ekor Griever menghilang di balik tikungan berikutnya. Hal ini berlangsung selama sepuluh menit, hingga mereka tiba di sebuah lorong panjang yang berakhir di Tebing, yang di depannya tak ada apa pun kecuali langit yang kosong. Griever itu mengambil ancang-ancang ke arah langit.


Minho berhenti berlari sangat mendadak hingga Thomas nyaris menabraknya. Kemudian, Thomas berdiri tercengang saat melihat di depannya Griever itu menancapkan paku-pakunya dan menggelinding maju ke arah tepi Tebing, dan melayang ke jurang yang kelabu. Makhluk itu lenyap dari penglihatan, hingga bayangannya ditelan kegelapan.[]


No comments:

Post a Comment