The Maze Runner (The Maze Runner #1) (31)

Penulis: James Dashner

31


TEPAT setelah Thomas mendengar gesekan antarbatu berderak dan bergemuruh yang menandakan Pintu-Pintu menutup untuk hari itu, Alby datang untuk membebaskannya, yang merupakan sebuah kejutan besar. Kunci logam dan gembok bergemerincing; kemudian pintu sel itu mengayun terbuka lebar.

“Belum mati, kan, Bocah?” tanya Alby. Dia tampak jauh lebih baik daripada kemarin. Thomas tak mampu menahan diri mengamatinya. Kulitnya kembali normal, urat-urat yang saling silang di kedua bola matanya tak tampak lagi; bobotnya seperti bertambah hampir enam kilogram dalam 24 jam.

Alby menyadari bahwa dia diamati. “Sialan, Bocah, kenapa melihatku begitu?”

Thomas menggeleng perlahan, merasa linglung. Pikirannya berpacu, bertanya-tanya tentang hal-hal yang diingat Alby, yang diketahuinya, pendapatnya mengenai dirinya. “Ap—tidak apa-apa. Hanya rasanya gila melihatmu sembuh begitu cepat. Kau baik-baik saja sekarang?”

Alby menggerak-gerakkan lengan kanannya. “Tak pernah sebaik ini—ayo keluar.”

Thomas mengikutinya, berharap matanya tak berkedip-kedip, yang membuat rasa ingin tahunya jadi kentara.

Alby menutup pintu Tahanan dan menguncinya, kemudian berbalik menghadapnya. “Sebenarnya, aku bohong. Aku merasa seperti seonggok kotoran Griever.”

“Ya, kau kelihatan seperti itu kemarin.” Ketika Alby membelalak, Thomas berharap dia hanya bercanda dan buru-buru menjelaskan. “Tapi, hari ini kau tampak segar bugar. Sumpah.”

Alby memasukkan kunci-kunci itu ke kantongnya dan bersandar di pintu Tahanan. “Jadi, percakapan kita cukup singkat, ya, kemarin.”

Jantung Thomas berpacu lebih cepat. Dia tak bisa menebak maksud Alby mengatakan hal itu. “Eh ... ya, aku ingat.”

“Aku melihatnya, Anak-Bawang. Agak kabur, tapi aku tak akan pernah melupakannya. Itu mengerikan. Kalau kuciba mengatakannya, sesuatu mulai mencekikku. Sekarang bayang-bayang itu datang dan pergi, seperti sesuatu yang tidak ingin aku mengingatnya.”

Gambaran kejadian kemarin kembali berkelebat di benak Thomas. Alby meronta-ronta, mencoba mencekik dirinya sendiri—Thomas tak akan memercayainya jika dia tak melihatnya sendiri. Meskipun takut mendengar jawabannya, dia tahu bahwa dia harus menanyakan hal selanjutnya. “Apakah itu tentang aku—kau terus-menerus bilang bahwa kau melihatku. Apa yang kulakukan?”

Alby memandang kosong ke kejauhan selama beberapa saat sebelum menjawab. “Kau sedang bersama ... para Kreator. Membantu mereka. Tapi, bukan itu yang membuatku terguncang.”

Thomas merasa seakan-akan seseorang baru saja meninju perutnya. Membantu merek? Dia tak mampu menyusun kata-kata untuk menanyakan maksudnya.

Alby meneruskan. “Kuharap Perubahan tidak menampakkan kenangan-kenangan kita yang sesungguhnya—hanya sekumpulan ingatan palsu. Beberapa orang mencurigai hal itu—aku hanya dapat berharap. Jika dunia memang seperti yang sudah kulihat ....” Suaranya melemah, menyisakan keheningan yang tak menyenangkan.

Thomas merasa bingung, tetapi mendesak lagi. “Tak bisakah kau katakan apa yang kau lihat tentang aku?”

Alby menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tak mau ambil risiko mencekik diriku sendiri lagi. Mungkin ada sesuatu yang mereka tanam di otak kita untuk mengontrol kita—seperti penghapusan memori itu.”

“Ya, jika aku seorang yang jahat, mungkin kau harus membiarkanku tetap terkurung.” Thomas mengatakannya dengan setengah hari.

“Anak-Baru, kau bukan orang jahat. Kau mungkin memang agak bodoh, tapi kau tak jahat.” Alby tersenyum kecil, menampakkan seringai di wajah yang biasanya tampak garang. “Tindakan yang kudengar telah kau lakukan—mengambil risiko menyelamatkanku dan Minho—itu bukan kejahatan. Tidak, aku hanya membenci Serum Duka dan proses Perubahan. Semoga saja tak pernah terjadi kepada kita.”

Thomas merasa lega Alby menganggapnya baik-baik saja, dia hanya mendengar separuh dari yang dikatakan anak itu tempo hari. “Seberapa burukkah? Kenangan-kenanganmu yang kembali itu?”

“Aku teringat banyak hal sejak masih kecil, tempat tinggalku, semacam itu. Dan, jika Tuhan turun saat ini juga di hadapanku dan mengatakan bahwa aku bisa pulang ....” Aku terunduk dan menggelengkan kepala lagi. “Jika kenangan itu benar, Anak-Baru, aku bersumpah lebih baik menghabiskan waktu semalaman dengan para Griever sebelum pulang.”

Thomas merasa terkejut mendengarnya seburuk itu—dia berharap Alby akan memberitahukan detail-detailnya, menggambarkan sesuatu, apa saja. Namun, dia tahu kejadian pencekikan itu masih jelas ada di pikiran Alby untuk membuatnya mau bercerita. “Ya, mungkin hal-hal itu tidak nyata, Alby. Mungkin Serum Duka adalah semacam obat sinting yang membuatmu berhalusinasi.” Thomas tahu dia seperti berharap pada sesuatu yang tak pasti.

Alby tampak berpikir selama semenit. “Obat ... halusinasi ....” Kemudian, dia menggelengkan kepala. “Aku tak yakin.”

Paling tidak dia sudah berusaha. “Kita tetap harus keluar dari tempat ini.”

“Ya, trims, Anak-Bawang,” kata Alby getir. “Tak tahu apa yang harus kami lakukan tanpa segala dukunganmu itu.” Sekali lagi senyumnya tampak samar.

Perubahan perasaan Alby mengeluarkan Thomas dari kemuramannya. “Berhentilah memanggilku Anak-Bawang. Anak perempuan itulah yang menjadi anak baru sekarang.”

“Oke, Anak-Baru.” Alby mendesah, jelas ingin menyudahi percakapan. “Ambil makan malam—hukuman dalam tahanan selama satu hari sudah selesai.”

“Satu hari sudah cukup lama.” Meskipun masih ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya, Thomas tak sabar lagi ingin menginggalkan Tahanan. Lagi pula, dia kelaparan. Anak itu meringis pada Alby, kemudian berjalan menuju dapur mencari makanan.


Menu makan malamnya luar biasa.

Frypan sudah tahu Thomas akan datang terlambat, jadi dia menyisihkan sepiring penuh daging panggang dan kentang; ada pesan bertuliskan bahwa tersedia kue-kue kering di dalam lemari. Juru masak itu sepertinya sungguh-sungguh bermaksud melanjutkan dukungan yang ditunjukkannya untuk Thomas saat Pertemuan. Minho bergabung ketika Thomas makan, menyampaikan sebagian hal sebelum hari besar pelatihannya menjadi Pelari, memberi tahu tentang beberapa rencana dan fakta-fakta menarik. Hal-hal untuk dipikirkannya saat dia beranjak tidur malam itu.

Ketika mereka selesai, Thomas kembali ke lokasi terpencil tempatnya tidur semalam, di sudut belakang Tempat-orang-mati. Dia memikirkan percakapannya dengan Chuck, bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki orangtua yang mengucapkan selamat tidur kepadamu.

Beberapa anak berkeliling di sekitar Glade malam itu, tetapi sebagian besar tempat terlihat sepi, sepertinya semua orang ingin segera tidur, menyelesaikan dan mengakhiri hari itu. Thomas tidak mempermasalahkannya—ini sesuai dengan keinginannya.

Selimut-selimut yang ditinggalkan oleh seseorang untuknya semalam masih teronggok di sana. Dia membawanya dan menutupi tubuhnya, meringkuk di sudut yang nyaman, di pertemuan tembok-tembok batu yang diselimuti rumpun tanaman ivy yang lembut. Beragam bau-bauan hutan menyelusup ke indra penciumannya saat dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendurkan saraf-sarafnya. Udara terasa sempurna, dan itu membuatnya memikirkan lagi tentang cuaca di tempat itu. Tak pernah turun hujan, tak pernah bersalju, tak pernah terlalu panas atau terlalu dingin. Seandainya bukan karena sedikit fakta bahwa mereka terpisahkan dari semua teman dan keluarga, dan terjebak dalam sebuah Maze dengan segerombolan moster, tempat ini bisa disebut surga.

Beberapa hal di sini terasa terlalu sempurna. Thomas tahu itu, tetapi tak mengerti sebabnya.

Lamunannya beralih pada perkataan Minho saat makan malam tentang ukuran dan besar Maze. Dia memercayainya—dia sudah menyadari ukuran tempat itu yang luar biasa ketika menuju Tebing. Namun, dia sulit memahami bagaimana tempat seperti itu dapat dibangun. Maze terbentang berkilo-kilometer. Para Pelari harus memiliki stamina yang luar biasa untuk melakukan tugas mereka setiap hari.

Dan, sekalipun begitu, mereka tak pernah menemukan jalan keluar. Meskipun demikian, dalam keputusasaan menghadapi situasi ini, mereka masih belum menyerah.

Saat makan malam Minho menceritakan sebuah kisah lama—salah satu cerita aneh dan termasuk salah satu hal yang juga teringat olehnya—tentang seorang wanita yang terjebak di dalam sebuah maze. Dia berhasil meloloskan diri tanpa pernah melepaskan tangan kanannya menyentuh tembok-tembok maze, terus menelusurinya sepanjang dia berjalan. Karena melakukan hal itu, dia harus berbelok kanan di setiap tikungan, dan menurut hukum fisika dan geometri sederhana dia akhirnya akan menemukan jalan keluar. Itu masuk akal.

Akan tetapi, tidak di sini. Di tempat ini, seluruh jalan mengarah kembali ke Glade. Mereka pasti melewatkan sesuatu.

Besok, latihannya akan dimulai. Besok, dia dapat mulai menolong mereka menemukan sesuatu yang terlewatkan itu. Saat itu juga Thomas membuat keputusan. Lupakan segala hal yang ganjil. Lupakan semua hal buruk. Lupakan semuanya. Dia tidak akan keluar hingga berhasil memecahkan teka-teki ini dan menemukan jalan pulang.


Besok. Kata itu melayang-layang di benaknya hingga akhirnya dia jatuh tertidur.[] 


No comments:

Post a Comment