Penulis: James Dashner
33
MEREKA melewati Pintu Barat menuju Sektor Delapan dan
berlari di beberapa lorong. Thomas berada tepat di sebelah Minho saat dia
berbelok ke kiri dan kanan seolah tanpa berpikir, terus berlari. Cahaya pagi
hari berkilau, membuat segalanya tampak cerah dan segar—tanaman ivy, tembok-tembok yang retak, lantai
berbatu. Meskipun matahari masih harus melewati beberapa jam lagi untuk sampai
ke tengah hari, masih ada semburat cahaya yang terlihat. Thomas berusaha sebisa
mungkin selalu di dekat Minho, harus berlari kencang sesekali untuk
menyusulnya.
Mereka akhirnya sampai ke sebuah celah berbentuk persegi
panjang di sebuah tembok yang memanjang ke utara yang terlihat seperti sebuah
pintu tanpa daun pintu. Minho langsung berlari melewatinya tanpa berhenti. “Ini
jalan masuk dari Sektor Delapan—bagian kotak di kiri tengah—ke Sektor
Satu—bagian kotak kakan atas. Seperti yang kukatakan, jalan tembus ini selalu
berada di titik yang sama, tapi rute di sini mungkin agak berbeda karena
tembok-temboknya berubah sendiri.”
Thomas mengikutinya, terkejut menyadari napasnya kini telah
berat. Dia berharap itu hanya karena kegugupan dan napasnya akan segera stabil
kembali.
Mereka berlari di sepanjang lorong panjang ke arah kanan,
melewati beberapa belokan ke kiri. Ketika mereka sampai di akhir jalan itu,
Minho memperlambat larinya hingga berjalan cepat dan meraih buku catatan dan
pensil dari kantong samping ranselnya. Dia menulis catatan, kemudian
menyimpannya kembali, tanpa pernah benar-benar berhenti melangkah. Thomas ingin
tahu apa yang ditulisnya, tetapi Minho sudah menjawabnya sebelum dia bertanya.
“Aku lebih banyak ... mengandalkan ingatan.” Si Pengawas itu
terengah-engah, akhirnya suaranya sedikit menunjukkan kelelahannya. “Tapi,
setiap sesudah belokan kelima, aku menuliskan hal-hal yang akan membantuku
nanti. Sebagian besar berhubungan dengan hal yang terjadi kemarin, tentang
perbedaan hari ini. Lalu, aku bisa menggunakan Peta kemarin untuk membuat Peta
hari ini. Mudah sekali, Sobat.”
Thomas merasa tertarik. Minho memang membuatnya terdengar mudah.
Mereka berlari beberapa saat lagi sebelum sampai di sebuah
persimpangan. Mereka punya tiga pilihan, tetapi Minho mengambil arah ke kanan
tanpa ragu. Ketika berbelok, dia menarik salah satu belatinya dari kantong dan,
tanpa berhenti sedikit pun, memotong seikat tanaman ivy dari tembok. Dia melemparnya ke tanah di belakangnya dan terus
berlari.
“Remah-remah roti?” tebak Thomas, sebuah dongeng klasik
muncul di benaknya. Potongan-potongan kenangan masa lalunya sepertinya mulai
tak terlalu mengejutkan lagi.
“Remah-remah roti,” ulang Minho. “Aku Hansel, dan kau
Gretel.”
Mereka terus berlari, mengikuti jalan di Maze, terkadang berbelok ke kanan,
sesekali ke kiri. Di setiap belokan, Minho memotong dan menjatuhkan sulur
tanaman ivy sepanjang hampir satu
meter. Thomas tak dapat menutupi rasa terkesannya—Minho bahkan tak perlu
memperlambat laju lari ketika melakukannya.
“Baiklah,” kata si Pengawas itu, napasnya bertambah berat
kini. “Giliranmu.”
“Apa?” Thomas mengira dia hanya akan berlari dan mengamati
pada hari pertama latihannya.
“Potong tanaman ivy itu
sekarang—lama-lama kau akan terbiasa melakukannya sambil berlari. Kami
memungutnya lagi saat kembali, atau menyingkirkannya ke samping.”
Di luar perkiraannya, Thomas ternyata merasa lebih senang
ada hal yang bisa dilakukannya meskipun dia membutuhkan beberapa waktu untuk
lancar melakukannya. Pada awalnya dia harus berlari secepat-cepatnya untuk
menyusul setelah memotong tanaman ivy,
dan membuat jari tangannya terkilir satu kali. Namun, di usahanya yang
kesepuluh, dia hampur menyamai kemampuan Minho melakukan tugas itu.
Mereka terus berlari. Setelah beberapa waktu berlari—Thomas
tak tahu seberapa lama atau seberapa jauh, tetapi dia menduga lima
kilometer—Minho mengurangi kecepatan larinya dan mulai berjalan, lalu berjenti
tak lama kemudian. “Waktu istirahat.” Dia menurunkan ransel dan mengeluarkan
minuman serta sebuah apel.
Tanpa diperintah, Thomas mengikuti perbuatan Minho. Dia
menenggak minumannya, menikmati rasa dinginnya membasahi kerongkongannya.
“Pelan-pelan, Rakus,” kata Minho. “Simpan sebagian untuk
nanti.”
Thomas berhenti minum, menelan tegukan terakhir dengan puas,
kemudian beserdawa. Dia menggigit apelnya, merasa segar seketika. Entah
mengapa, ingatannya kembali ke hari ketika Minho dan Alby pergi melihat Griever
yang mati—saat segalanya berubah kacau. “Kau belum menceritakan kejadian
sesungguhnya yang menimpa Alby hari itu—kenapa dia tampak parah sekali. Griever
itu jelas bangun kembali, tapi apa yang
terjadi selanjutnya?”
Minho telah mengenakan ranselnya lagi. Dia kelihatan siap
untuk berangkat. “Ya, makhluk sialan itu belum mati. Alby menendangnya seperti
anak dungu dan makhluk itu tiba-tiba hidup lagi, paku-pakunya mencuat, tubuhnya
yang gemuk berguling menimpanya. Walaupun begitu, ada yang salah dengan makhluk
itu—serangannya tidak seperti biasanya. Sepertinya ia hanya mencoba ingin pergi
dari sana, dan Alby yang malang kebetulan menghalangi jalannya.”
“Jadi, ia melarikan diri dari kalian?” Berdasarkan kejadian
yang dilihat Thomas hanya beberapa malam lalu, dia tak bisa membayangkannya.
Minho mengangkat bahu. “Ya, kurasa begitu—mungkin tenaganya
perlu diisi ulang atau semacamnya. Aku tak tahu.”
“Apa yang terjadi kepadanya? Apakah kau melihat luka atau
semacamnya?” Thomas tidak tahu jawaban apa yang diharapkannya, tetapi dia yakin
pasti ada petunjuk atau sesuatu yang bisa dipelajari dari peristiwa itu.
Minho berpikir sebentar. “Tidak. Makhluk itu hanya terlihat
seperti sudah mati—seolah patung lilin. Kemudian ‘bum’, ia hidup lagi.”
Thomas berpikir keras, mencoba mencari penjelasan, tetapi
dia bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. “Aku hanya ingin tahu ke mana
makhluk itu pergi. Ke mana mereka
selalu pergi. Kau juga memikirkannya, kan?” Dia terdiam sejenak, lalu meneruskan.
“Kalian pernah terpikir untuk mengikuti mereka?”
“Ya ampun, kau ini benar-benar
ingin mati, ya? Ayo, kita harus berangkat.” Dan, Minho segera berbalik dan
mulai berlari.
Saat mengikutinya, Thomas berusaha keras menemukan sesuatu
yang menggelitik pikirannya. Sesuatu mengenai Griever yang mati dan kemudian
hidup kembali, sesuatu tentang ke mana makhluk itu pergi setelahnya ....
Merasa putus asa, dia menyingkirkan pikiran itu dan berlari
secepat mungkin menyusul Minho.
Thomas berlari tepat di belakang Minho selama dua jam
berikutnya, sesekali berhenti yang kian lama semakin singkat waktunya.
Berstamina prima atau tidak, kini Thomas mulai merasa kelelahan.
Akhirnya, Minho berhenti dan menurunkan ransel sekali lagi.
Mereka duduk di atas tanah, bersandar ke tanaman ivy yang lembut sambil menyantap makan siang, tak ada yang
berbicara banyak. Thomas menikmati setiap gigitan sandwich dan sayuran miliknya, memakannya selambat mungkin. Dia
tahu Minho akan berdiri dan mulai berlari segera setelah bekal mereka habis,
jadi dia mengulur waktu.
“Ada yang berbeda hari ini?” tanya Thomas, penasaran.
Minho menepuk ranselnya, tempat buku catatannya disimpan.
“Hanya pergerakan tembok-tembok seperti biasa. Tidak ada yang cukup menarik.”
Thomas meneguk lama air minumnya, memandang tembok yang
diselimuti tanaman ivy di seberang
mereka. Dia menangkap sekilas warna perak dan merah, sesuatu yang telah
dilihatnya lebih dari sekali hari ini.
“Apa sebenarnya Serangga-mesin itu?” tanyanya.
Makhluk-makhluk itu sepertinya ada di mana-mana. Kemudian, Thomas teringat yang
pernah dilihatnya di Maze—begitu
banyak kejadian hingga dia belum sempat menceritakannya. “Dan, kenapa ada
tulisan Wicked di punggung mereka?”
“Belum pernah berhasil menangkap satu pun dari mereka.”
Minho sudah selesai makan dan menyingkirkan kotak bekalnya. “Dan, kami tak tahu
maksud kata itu—mungkin hanya untuk menakut-nakuti kita. Tapi, mereka pastilah
mata-mata. Untuk mereka. Kami yakin
soal itu.”
“Omong-omong, siapa sih, mereka
ini?” tanya Thomas, menginginkan lebih banyak jawaban. Dia membenci orang-orang
yang berada di belakang Maze ini.
“Ada petunjuk tentang itu?”
“Kami tidak tahu tentang para Kreator bodoh itu.” Wajah
Minho memerah saat dia meremas kedua tangannya seolah sedang mencekik
seseorang. “Tak sabar lagi ingin memberi mereka pela—”
Akan tetapi, sebelum Pengawas itu menyelesaikan
perkataannya, Thomas mendadak berdiri dan menyeberangi lorong. “Apa iti?”
selanya, menunjuk ke sebuah kilau kelabu samar yang baru saja dilihatnya di
belakang tanaman ivy pada tembok,
setinggi sekitar sekepala.
“Oh, itu,” sahut Minho, suaranya terdengar acuh tak acuh.
Thomas mengulurkan tangan dan menarik beberapa sulur tanaman
ivy, kemudian tercengang menatap
selembar logam berbentuk persegi yang dipaku ke tembok batu bertuliskan
kata-kata dalam huruf besar. Dia menjulurkan tangan dan menelusuri tulisan itu
dengan jari-jarinya, seolah dia tak percaya pandangannya sendiri.
DUNIA DALAM BENCANA:
DEPARTEMEN PERCOBAAN WILAYAH
PEMUSNAHAN
Dia membaca kata-kata itu dengan nyaring, kemudian menoleh
kepada Minho. “Apa ini?” Tulisan itu membuatnya menggigil—ini pasti ada
kaitannya dengan para Kreator.
“Aku tak tahu, Bocah. Tulisan itu ada di mana-mana, seperti
labe aneh untuk Maze indah buatan
mereka. Aku sudah tak peduli tulisan itu lagi sejak lama.”
Thomas kembali memandang tanda itu, mencoba menekan rasa
takut akan adanya bencana yang muncul dalam dirinya. “Kata-kata ini terdengar
tak menyenangkan. Bencana. Wilayah pemusnahan. Percobaan. Menyenangkan sekali.”
“Ya, sangat menyenangkan, Anak-Baru. Ayo berangkat.”
Dengan enggan Thomas mengembalikan posisi tanaman ivy ke tempatnya semula dan mencangklong
ranselnya di pundak. Dan, setelah mereka meneruskan perjalanan, ketujuh kata
itu menyisakan tanya di benaknya.
Satu jam setelah makan siang, Minho berhenti di ujung sebuah
lorong panjang. Lorong itu lurus, dengan tembok-tembok kokoh, dan tanpa ada jalan
bercabang.
“Jalan buntu terakhir,” katanya kepada Thomas. “Saatnya
kembali.”
Thomas menarik napas dalam-dalam, mencoba tak memikirkan
bahwa mereka masih separuh jalan hari ini. “Ada hal baru?”
“Hanya perubahan-perubahan biasa di sepanjang jalan menuju
kemari—sudah setengah hari berlalu,” jawab Minho sambil menatap jam tangannya
tanpa emosi. “Kita harus kembali.” Tanpa menunggu jawaban, si Pengawas itu
berbalik dan berlari ke arah mereka tadi tiba.
Thomas mengikutinya, putus asa karena mereka tidak menyempatkan
diri memeriksa tembok-tembok itu, setidaknya menyelidikinya. Dia akhirnya bisa
menyamai derap Minho. “Tapi—”
Diamlah, Sobat. Ingat yang kukatakan tadi—tak bisa mengambil
kesempatan. Lagi pula, coba pikirkan. Kau benar-benar yakin ada pintu keluar
entah di mana? Semacam pintu tingkap atau sejenisnya?”
“Aku tak tahu ... mungkin saja. Kenapa kau bertanya seperti
itu?”
Minho menggelengkan kepala, meludah ke arah kiri seolah
mendengar sesuatu yang menjijikkan. “Tak ada jalan keluar. Semuanya sama. Tembok,
tembok, tembok. Yang kokoh.”
Thomas merasa hal itu benar, tetapi dia tetap mendesak.
Bagaimana kau bisa yakin?”
“Karena orang-orang yang sengaja mengirim sekelompok Griever
untuk mengejar kita tidak akan memberi kita jalan keluar mudah.”
Hal ini semakin membuat Thomas meragukan tujuan mereka
melakukan ini. “Lalu, kenapa kita bersusah payah keluar ke tempat ini?”
Minho memandangnya. “Kenapa bersusah payah? Karena pintu itu ada di sini—pasti ada alasannya.
Tapi, jika kau pikir kita akan menemukan sebuah pintu gerbang kecil yang indah
menuju Kota Bahagia, kau ini benar-benar menyedihkan.”
Thomas memandang lurus ke depan, merasa begitu putus asa
hingga hampir berhenti berlari. “Ini sungguh-sungguh sialan.”
“Kata terbaik yang pernah kau ucapkan, Anak-Bawang.”
Minho mengembuskan napas keras dan terus berlari, sementara
Thomas melakukan satu-satunya hal yang harus dilakukannya. Dia mengikuti Minho.
Sisa hari itu membuat Thomas sangat lelah. Dia dan Minho
berhasil kembali ke Glade, masuk ke Ruang Peta, menuliskan rute Maze hari itu, membandingkannya dengan
peta kemarin. Kemudian, Pintu-Pintu menutup dan waktu makan malam tiba. Chuck
mencoba mengajaknya berbicara beberapa kali, tetapi Thomas hanya dapat
mengangguk atau menggelengkan kepala, setengah mendengarkan, karena dia sangat
kecapekan.
Sebelum senja beranjak ke kegelapan, dia sudah berada di
tempat baru yang menyenangkan di sudut hutan, meringkuk di depan rumpun tanaman
ivy, bertanya-tanya apakah dia masih
sanggup berlari lagi. Membayangkan apakah dia mampu melakukan hal yang sama
esok hari. Terutama ketika hal itu seperti sia-sia. Menjadi seorang Pelari
telah kehilangan daya tariknya. Setelah satu hari.
Segala keberanian yang dirasakannya, keinginan untuk membuat
perubahan, janjinya kepada diri sendiri untuk mempertemukan kembali Chuck dan
keluarganya—semuanya lenyap menjadi keputusasaan, dan kelelahan yang
menyakitkan.
Dia sudah hampir tertidur ketika sebuah suara berbicara di
dalam kepalanya, suara lembut dan manis yang terdengar seolah dari sang dewi
yang terjebak dalam tengkoraknya. Keesokan paginya, ketika segalanya mulai
terlihat kacau, dia mengira-ngira apakah suara itu sungguhan atau hanya bagian
mimpinya. Namun, dia mendengarnya dengan jelas dan ingat setiap kata-katanya.
Tom, aku baru saja
membuka Bagian Akhir.[]
No comments:
Post a Comment