The Maze Runner (The Maze Runner #1) (28)

Penulis: James Dashner

28


THOMAS mengikuti Newt tergesa-gesa menuruni tangga dan keluar dari Wisma ke bawah cahaya terang suasana tengah hari. Tak seorang pun berbicara selama beberapa waktu. Bagi Thomas, semua hal ini sepertinya semakin buruk.

“Kau lapar, Tommy?” tanya Newt saat mereka berada di luar.

Thomas melongo mendengar pertanyaan itu. “Lapar? Aku merasa ingin muntah setelah melihat kejadian tadi—tidak, aku tidak lapar.”

Newt hanya menyeringai. “Ya, kalau aku memang lapar. Ayo cari makanan sisa untuk santap siang. Kita perlu bicara.”

“Entah bagaimana aku tahu kau akan bilang begitu.” Tak masalah dengan yang dilakukannya, Thomas kini merasa mulai dapat menerima Glade. Dan, dia juga mulai mengharapkannya.

Mereka langsung menuju dapur dan mendapatkan beberapa sandwich keju serta sayuran meskipun ditambah gerutuan Frypan. Thomas tak dapat mengacuhkan tatappan aneh sang Pengawas para juru masak itu kepadanya, yang selalu mengalihkan pandangan ke arah lain setiap Thomas memergokinya.

Anak itu merasa perlakuan semacam itu sepertinya kini wajar. Dengan beberapa alasan dia anak yang berbeda daripada yang lain di Glade. Rasanya dia telah hidup sangat lama sejak ingatannya terhapus, tetapi kenyataannya dia baru berada di sana selama seminggu.

Kedua anak laki-laki itu memutuskan menyantap makan siang mereka di luar, dan beberapa menit kemudian mereka telah duduk di dekat tembok barat, memandangi berbagai aktivitas pekerja di seluruh Glade, bersandar di rumpun tanaman ivy yang tebal. Thomas memaksa dirinya menelan makanannya. Dengan semua permasalahan ini dia harus menghimpun kekuatan kuatan untuk menghadapi hal gila apa pun yang mungkin akan menghampirinya nanti.

“Kau pernah lihat hal seperti itu sebelumnya?” tanya Thomas setelah beberapa menit.

Newt menoleh kepadanya, wajahnya mendadak muram. “Seperti yang dilakukan Alby? Tidak. Belum pernah. Tapi, lagi pula, tak seorang pun mau memberi tahu kami hal-hal yang mereka ingat selama Perubahan. Mereka selalu menolak. Alby tadi mencoba—pasti itu sebabnya dia menjadi sinting beberapa saat.”

Thomas berhenti mengunyah. Mungkinkah orang-orang yang membuat Maze ini mengendalikan mereka? Sebuah pemikiran yang menakutkan.

“Kita harus mencari Gally,” kata Newt sambil menggigit wortel, mengubah topik pembicaraan. “Anak itu pergi dan entah bersembunyi di mana. Setelah selesai makan, aku harus menemukannya dan memasukkannya ke Tahanan.”

“Kau serius?” Thomas tak mampu menahan perasaan lega yang muncul ketika mendengarnya. Dia akan dengan senang hati membanting pintu tahanannya dan membuang kuncinya.

“Anak itu mengancam akan membunuhmu dan kami harus menyakinkan hal itu tiak akan pernah terjadi lagi. Anak sialan itu akan membayar harga yang mahal karena bertingkah seperti itu—dia beruntung kami tak Membuangnya. Ingat yang kuceritakan kepadamu soal peraturan.”

“Ya.” Yang Thomas pikirkan hanyalah bahwa Gally akan jauh lebih membencinya karena dijebloskan ke Tahanan. Aku tak peduli, pikirnya. Aku tak takut lagi dengan anak itu.

“Begini rencananya, Thommy,” kata Newt. “Kau akan bersamaku sepanjang sisa hari ini—kita harus memecahkan beberapa hal. Besok, kau ke Tahanan. Kemudian, kau akan diajari Minho, dan aku ingin kau sementara menjauh dari anak-anak lain. Mengerti?”

Thomas sangat senang mematuhinya. Menjalani sebagian besar aktivitas seorang diri terdengar sebagai ide yang sangat bagus. “Kedengarannya menyenangkan. Jadi, Minho akan melatihku?”

“Benar—kau kini seorang Pelari. Minho akan mengajarimu. Tentang Maze, Peta, segalanya. Banyak yang harus dipelajari. Kuharap kau bekerja dengan baik.”

Thomas terkejut karena gagasan memasuki Maze lagi ternyata tak terlalu menakutkan baginya. Dia bertekad akan melakukan seperti yang dikatakan Newt, berharap hal itu dapat menjauhkan pikirannya dari hal-hal lain. Jauh di dasar hatinya, dia ingin keluar dari Glade secepat mungkin. Menghindari orang-orang lain adalah tujuan hidupnya yang baru.

Kedua anak itu duduk tanpa berbicara, menghabiskan makan siang mereka, hingga Newt akhirnya mulai membuka pembicaraan. Sembari meremas sampah makan siangnya menjadi bola, dia berbalik dan memandang Thomas.

“Thomas,” dia memulai. “Aku minta kau menerima satu hal. Kita sudah terlalu sering mendnegar dan mengabaikannya, dan sekarang saatnya kita membahasnya.”

Thomas bisa menebak kelanjutannya, tetapi dia tetap terkejut. Dia menunggu kelanjutannya dengan cemas.

“Gally sudah mengatakannya. Alby juga, sama dengan Ben.” Newt melanjutkan, “anak perempuan itu, setelah kita mengeluarkan dia dari Kotak—juga mengucapkannya.”

Newt kemudian diam, mungkin berharap Thomas menanyakan maksudnya. Namun, Thomas sudah paham. “Mereka semua bilang semuanya akan berubah.”

Newt melempar pandangannya sesaat, kemudian kembali lagi. “Benar. Dan, Gally, Alby, serta Ben mengatakan bahwa mereka melihatmu dalam kenangan-kenangan mereka setelah Perubahan—dan berdasarkan keterangan yang kudapat, kau bukan menolong menanam bunga-bunga dan menolong para wanita tua menyeberangi jalan. Menurut Gally, ada sesuatu yang tak baik dari dirimu hingga dia sampai ingin membunuhmu.”

“Newt, aku tak tahu—” Thomas memulai, tetapi Newt tak membiarkannya menyelesaikan perkataannya.

“Aku tahu kau tak bisa mengingat apa pun, Thomas! Berhentilah mengulang-ulangnya—jangan coba-coba mengatakannya lagi. Tak seorang pun dari kami mengingat apa pun, dan kami bosan kau ingatkan terus. Inti masalahnya adalah ada yang berbeda denganmu, dan kini saatnya kita mencari tahu.”

Thomas merasa kemarahan menyelimutinya. “Baik, jadi bagaimana melakukannya? Aku ingin tahu siapa diriku sebenarnya lebih daripada orang lain. Jelas sekali.”

“Aku ingin kau membuka pikiranmu. Jujurlah jika ada sesuatu—apa pun itu—yang terasa tak asing bagimu.”

“Tak ada ....” Thomas memulai tetapi terhenti. Setelah begitu banyak hal yang terjadi sejak kedatangannya, dia nyaris terlupa tentang berapa familier Glade baginya pada malam pertamanya, saat tidur di sebelah Chuck. Betapa nyaman dan terasa seperti di rumah. Sebuah rasa yang sangat jauh dari teror yang dialaminya.

“Aku tahu kau sedang berpikir keras,” kata Newt, perlahan. “Katakanlah.”

Thomas ragu-ragu, takut akan akibat dari perkataan yang akan diucapkannya. Namun, dia sudah lelah menyimpan rahasia. “Ya ... aku tak terlalu ingat hal-hal secara khusus.” Dia berbicara dengan lambat dan hati-hati. “Tapi, aku merasa pernah berada di sini ketika kali pertama datang.” Dia memandang Newt, berharap menemukan pengertian di kedua matanya. “Apakah yang lain juga merasa seperti itu?”

Akan tetapi, raut wajah Newt tampak kosong. Dia hanya memutar bola matanya. “Eh, tidak, Tommy. Sebagian besar dari kami menghabiskan waktu untuk bekerja dan memerintah.”

“Ya, baiklah.” Thomas terdiam, kecewa dan mendadak merasa malu. Apa arti semua ini? Apakah dia memang berbeda dari yang lain? Adakah yang salah dengan dirinya? “Ini semua sepertinya tak asing bagiku, dan aku tahu bahwa aku ingin jadi seorang Pelari.”

“Itu sangat menarik.” Newt mengamatinya sejenak, tak menutupi ekspresi curiganya. “Ya, teruslah mencari tahu. Gunakan otakmu, manfaatkan setiap waktu luang untuk memutar semua ingatanmu, dan pikirkan tentang tempat ini. Selidiki hingga ke dalam otakmu, dan cari sampai dapat. Berusahalah, demi kebaikan kita.”

“Aku akan berusaha.” Thomas memejamkan mata, mulai menjelajahi kegelapan pikirannya.

“Bukan sekarang, bodoh.” Newt tergelak. “Maksudku lakukan sejak saat ini. Pada waktu luang, saat makan, menjelang tidur malam, ketika kau berkeliling, berlatih, bekerja. Sampaikan kepadaku semua hal yang tampaknya tak asing bagimnu sekecil apa pun itu. Mengerti?”

“Ya, aku mengerti.” Thomas tak mampu menahan kecemasannya bahwa perkataannya telah memberi Newt semacam peringatan, dan bahwa anak laki-laki yang lebih tua itu menyembunyikan kerisauannya.

“Bagus,” kata Newt, tampak terlalu mudah  setuju. “Sebagai permulaan, kita sebaiknya menemui seseorang.”

“Siapa?” tanya Thomas, tetapi mengetahui jawabannya segera setelah bertanya. Ketakutan kembali menyelimuti dirinya.

“Anak perempuan itu. Aku ingin kau melihatnya benar-benar hingga matamu lelah, lihat apakah ada sesuatu yang memicu kenangan dalam otakmu.” Newt mengumpulkan sampah makan siangnya dan berdiri. “Lalu, aku ingin kau memberi tahu semua perkataan Alby kepadamu.”

Thomas mendesah, kemudian beranjak berdiri. “Oke.” Dia tak tahu apakah dia mampu berkata jujur sepenuhnya tentang tuduhan Alby, apalagi soal perasaannya tentang anak perempuan itu. Sepertinya dia sulit menyimpan rahasia sepenuhnya.

Kedua anak laki-laki itu berjalan pulang ke Wisma, tempat gadis itu masih terbaring koma. Thomas tidak dapat menahan kecemasannya tentang apa yang dipikirkan Newt. Dia telah membuka diri, dan dia sungguh-sungguh menyukai Newt. Jika Newt berpihak kepadanya sekarang, Thomas tidak tahu apakah dia dapat bergantung kepadanya.

“Jika semua itu tak berhasil,” kata Newt memotong lamunan Thomas, “kami akan mengirimmu ke para Griever—agar kau disengat sehingga kau akan mengalami Perubahan. Kami memerlukan semua memorimu.”

Thomas tertawa getir mendengar gagasan itu, tetapi Newt tidak tersenyum.


Anak perempuan itu tampak tidur dengan nyenyak, seolah dia bisa bangung kapan saja. Tadinya Thomas mengira akan menemukan sosok yang kurus kering—seseorang yang berada di ambang kematian. Namun, dada gadis itu naik-turun di setiap tarikan napasnya, kulitnya terlihat segar.

Salah seorang Anak-medis ada di dekatnya, yang bertubuh pendek—Thomas tak ingat namanya—meneteskan air minum ke mulut gadis yang tak sadarkan diri itu. Sebuah piring dan mangkuk di atas meja sebelah tempat tidur masih tergeletak dengan sisa makan siangnya—kentang tumbuk dan sup. Mereka melakukan segala hal yang diperlukan untuk membuat gadis itu tetap hidup dan sehat.

“Hai, Clint,” sapa Newt, terdengar santai, seolah dia sering mampir sebelumnya. “Dia masih bertahan?”

“Ya,” sahut Clint. “Dia baik-baik saja meskipun sering mengigau dalam tidurnya. Kami rasa dia akan segera bangun.”

Thomas mendadak merasa kecemasannya muncul. Karena alasan tertentu, dia tak pernah memikirkan kemungkinan anak perempuan itu akan bangun dan kembali sehat. Dan, bahwa anak itu mungkin akan berbicara pada semua orang. Thomas tidak tahu mengapa pemikiran itu tiba-tiiba membuatnya gugup.

“Kau sudah mencata semua kata-katanya?” tanya Newt.

Clint mengangguk. “Sebagian besar sulit kami pahami. Tapi, ya, kami menulisnya.”

Newt menunjuk buku catatan di atas meja kecil di sebelah tempat tidur. “Berikan salah satu contohnya.”

“Ya, masih sama dengan yang dikatakannya ketika masih menariknya keluar dari Kotak, tentang semua hal yang akan berubah itu. Yang lain mengenai para Kreator dan tentang ‘semua akan berakhir’. Dan, eh ...,” Clint memandang Thomas seakan dia tak mau melanjutkan kata-katanya karena kehadirannya.

“Tidak apa-apa—dia boleh mendengar semua yang kudengar,” Newt meyakinkannya.

“Ya, ... aku tak begitu paham, tapi ...,” Clint memandang Thomas lagi. “Dan terus-menerus menyebut nama-nya.”

Thomas merasa jantungnya mencelus. Kapankah semua hal yang merujuk kepadanya ini berakhir? Ini seperti rasa gatal luar biasa di dalam kepalanya yang tak mau pergi.

Trims, Clint,” kata Newt yang bagi Thomas seperti tanda untuk mengakhiri laporannya. “Berikan laporan tentang itu semua kepada kami, oke?”

“Baik.” Anak-medis itu mengangguk kepada mereka berdua dan meninggalkan ruangan.

“Tarik kursi itu kemari,” kata Newt saat dia duduk di tepi tempat tidur. Thomas, yang merasa lega karena Newt tidak serta-merta menuduhnya mengambil salah satu bangku dan meletakkannya di sebelah kanan tempat gadis itu berbaring. Dia pun duduk, mencondongkan tubuhnya memandang wajah anak perempuan itu.

“Ada yang teringat?” tanya Newt. “Apa pun itu?”

Thomas tak menjawab, tetap menatapnya, berharap penghalang ingatannya runtuh dan mencari kebenaran gadis ini pada masa sebelumnya. Dia mengingat kembali saat-saat suram ketika anak perempuan itu membuka matanya setelah ditarik keluar dari Kotak.

Kedua matanya biru, berwarna lebih cerah daripada mata semua orang yang pernah dilihat Thomas sebelumnya. Dia mencoba menggambarkan sepasang mata itu saat memandang wajahnya yang tenang terlelap, menggabungkan dua gambaran itu dalam benaknya. Rambutnya yang hitam, kulitnya yang putih sempurna, bibirnya yang penuh .... Saat Thomas memandangnya, dia tersadar sekali lagi akan kecantikan gadis itu.

Mendadak sekilas kenangan dirinya mengenal gadis itu muncul lebih kuat—seperti kepak sayap di sudut yang gelap, tak terlihat, tetapi terasa ada. Ingatan itu hanya sekejap sebelum menguap di kedalaman ingatannya yang lain. Namun, Thomas sudah merasakan sesuatu.

“Aku mengenalnya,” bisiknya, bersandar ke kursi. Rasanya lega akhirnya dia dapat mengucapkannya dengan nyaring.

Newt berdiri. “Apa? Siapa dia?”

“Aku tak tahu. Tapi, ada sesuatu yang akrab—aku mengenalnya di suatu tempat.” Thomas mengusap wajahnya, merasa frustrasi karena tak mampu menemukan kaitannya.

“Ya, teruslah berpikir—jangan sampai terlepas. Konsentrasi.”

“Aku sedang berusaha, jadi diamlah.” Thomas memejamkan mata, menggali di kegelapan pikirannya, mencari wajahnya di dalam kekosongan itu. Siapakah dia? Pertanyaan yang ironis itu menyentaknya—dia bahkan tidak tahu siapa sebenarnya dirinya sendiri.

Thomas memajukan tubuhnya dari kursi dan menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh kepada Newt, menggelengkan kepala menyerah. “Aku tidak—”

Teresa.

Thomas terlonjak dari kursinya, menjatuhkannya ke belakang, anak itu berputar, mencari-cari. Dia baru saja mendengar ....

“Ada apa?” tanya Newt. “Kau ingat sesuatu?”

Thomas mengabaikannya, menoleh ke sekeliling ruangan kebingungan, merasa mendengar sebuah suara, kemudian kembali memandang gadis itu.

“Aku ....” Dia kembali duduk, memajukan tubuhnya, menatap wajah gadis itu. “Newt, apakah kau mengatakan sesuatu sebelum aku berdiri tadi?”

“Tidak.”

Tentu saja tidak. “Oh. Aku hanya merasa baru saja mendengar sesuatu .... Aku tak tahu. Mungkin hanya di dalam kepalaku. Apakah ... anak perempuan ini mengatakan sesuatu?”

“Dia?” tanya Newt, matanya membulat. “Tidak. Kenapa? Apa yang kau dengar?”

Thomas merasa takut mengakuinya. “Aku ... aku bersumpah aku mendengar sebuah nama. Teresa.”

“Teresa? Tidak, aku tak mendengarnya. Pasti keluar dari belenggu ingatanmu! Itu nama gadis itu, Tommy, Teresa. Pasti.”

Thomas merasa ... aneh—semacam perasaan tak nyaman, seolah sesuatu yang gaib baru saja terjadi. “Tadi ... aku bersumpah mendengarnya. Tapi, di dalam kepalaku. Aku tak bisa menjelaskannya.”

Thomas.

Kali ini dia melompat dari kursinya dan kalang kabut mundur dari tempat tidur sejauh mungkin, menabrak lampu di atas meja, yang langsung jatuh ke lantai dan pecah berantakan. Sebuah suara. Suara seorang anak perempuan. Lirih, menyenangkan, tenang. Dia mendengarnya. Thomas yakin dia mendengarnya.

“Kau ini kenapa?” desak Newt.

Jantung Thomas berpacu. Kepalanya berdentum-dentum. Lambungnya bergolak. “Dia ... dia berbicara kepadaku. Di dalam kepalaku. Dia baru saja menyebut namaku!”

“Apa?”

“Aku bersumpah!” Dunia serasa berputar di sekitar Thomas, menekannya, mengacaukan pikirannya. “Aku ... mendengar suaranya dalam kepalaku—atau sesuatu ... tak terlalu jelas ....”

“Tommy, duduklah. Apa, sih, yang sedang kau bicarakan?”

“Newt, aku serius. Ini ... tak begitu mirip suara ... tapi aku mendengar-nya.”

Tom, kita adalah yang terakhir. Ini akan segera berakhir. Harus.

Kata-kata itu bergema di dalam kepalanya, bergetar di gendang telinganya—dia dapat mendengarnya. Meskipun demikian kata-kata itu tidak terdengar datang dari ruangan itu, dari luar tubuhnya. Kata-kata itu secara harfiah, berada di dalam pikirannya.

Tom, jangan takut kepadaku.

Thomas menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya, memejamkan mata rapat-rapat. Ini sangat aneh. Dia tak mampu berpikir rasional untuk menerima kejadian ini.

Ingatanku sudah hilang, Tom. Aku tak akan bisa mengingat banyak hal lagi saat bangun. Kita bisa melewati serangkaian Percobaan, Ini harus berakhir. Mereka mengirimku sebagai kunci pembuka.

Thomas tak tahan lagi. Tak mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Newt, dia terhuyung-huyung ke pintu dan men-jeblak-nya terbuka, melangkah ke lorong, dan berlari. Menuruni tangga, dan lari setelah keluar lewat pintu depan. Namun, itu tak menghentikan suara anak perempuan itu.

Segalanya akan berubah, kata gadis itu.

Thomas ingin menjerit, terus berlari hingga dia tak sanggup lagi. Dia sampai di Pintu Timur dan berlari melewatinya, keluar dari Glade. Terus berlari, dari lorong ke lorong, semakin dalam ke jantung Maze, tak peduli dengan semua peraturan. Namun, dia tetap tak bisa melarikan diri dari suara itu.


Kau dan aku, Tom. Kita lakukan ini untuk mereka. Untuk kita.[]


No comments:

Post a Comment